Peranan gur dalam masyarakat antaralain bergantung pada gambaran
masyarakat tentang kedudukan gur. Kedudukan social guru berbeda dari negara ke
negara, dari zaman ke zaman. Pada zaman hindu, misalnya guru menduduki tempat
yang sangat terhormat sebagai satu-satunya sumber ilmu. Murid harus datang
kepadanya untuk memperoleh ilmu sambil menunjukan baktinya. Demikian pula
guru-guru silat di Cina sangat dijungjung tinggi oleh murid-muridnya. Di Yunani kuno guru itu diambil dari golongan hamba. Pada
zaman VOC yang menjadi guru adalah orang-orang yang ada pengetahuannya sedikit
seperti tukang sepatu, tukang pangkas, orang yang menguburkan mayat.
Di negara
kita kedudukan guru sebelum perang dunia ke-2 sangat terhormat karena hanya
mereka yang terpilih dapat memasuki lembaga pendidikan guru. Hingga kini citra
tentang guru masih tinggi walupun sering menurut yang dicita-citakan yang tidak
selalu sejalan dengan kenyataan.
Pekerjaan guru sering dipandang dalam hubungannya denga ideal
pembangunan bangsa. Dari guru diharapkan agar ia manusia idealistis, namun guru
sendiri tak dapat menggunakan pekerjaannya sebagai alat untuk mencari nakfah
bagi keluarganya. Walupun demikian masyarakat tak dapat menerima pekerjaan guru
semata-mata sebagai mata pencaharian belaka sejajar dengan pekerjaan tukang
kayu atau saudagar. Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan
negara dan masa depan bangsa.
Karena kedudukan yang istimewa itu masyarakat mempunyai
harapan-harapan yang tinggi tentang peranan guru. Harapan-harapan itu tak dapat
diabaikan oleh guru, bahkan dapat menjadi norma
yang turut menentukan kelakuan guru.
Juga di negara maju seperti AS masyarakat menuntut kelakuan tertentu
dari guru yang tidak dikenakan pada jabatan lain, bahkan juga tidak pada orang
tua sendiri secara ketat. Sekitar 1930-an guru-guru wanita di sana diharapkan jangan kawin bila ingin tetap
bekerja sebagai guru. Mereka tidak diinginkan pacaran, main kartu, merokok,
minum alcohol atau berdansa. Guru wanita
yang baik harus rajin beribadah, berdedikasi penuh kepada pekerjaannya. Mereka
harus berpakaian sopan, dilarang pakai lipstick dan tidak mengikuti mode baru.
Walaupun zaman berubah namun kelakuan guru yang menyimpang dari apa
yang dianggap sopan selalu mendapat sorotan yang tajam. Guru
selalu diharap agar menjadi
teladan bagi anak-didik.
Pada umumnya guru tidak menentang harapan-harapan masyarakat
walaupun pada hakikatnya membatasi kebebasan mereka. Guru
sendiri menerima pembatasan itu
sebagai sesuatu yang wajar. Pelangaran oleh guru juga dapat dikecam oleh
rekan-rekannya. Mungkin sekali mereka memasuki lembaga pendidikan guru pada
prinsipnya telah menerima norma-norma
kelakuan yang ditentukan oleh masyarakat.
Guru-guru meneriam harapan agar mereka menjadi suri tauladan bagi
anak didiknya. Untuk itu guru harus mempunyai moral yang tinggi. Walupun
demikian ada kesan bahwa kedudukan guru mungkin merosot dibandingkan dengan
beberapa puluh tahun yang lalu.
Pada zaman colonial itu jumlah guru sangat terbatas. Lagi pula guru
sebagai pegawai menduduki tempat yang tinggi dikalangan orang Indonesia.
Kedudukan yang tinggi umumnya dipegang oleh orang Belanda. Setelah kemerdekaan
semua jabatan yang dahulu dipegang oleh penjajah jatuh ketangan orang Indonesia
sehingga kedudukan guru relative merosot. Kepala H.I.S. (SD) dahulu pangkat
yang sangattinggi yang hanya diduduki oleh beberapa orang Indonesia yang memiliki ijazah tertentu yang
jarang dapat diperoleh orang Indonesia.
Sekarang tidak ada lagi memandang kepala SD sebagai orang yang berpangkat
tinggi. Lagi pula jumlah guru sangat banyak bertambah dalam usaha pemeretaan
pendidikan. Mendidik guru dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat tak
dapat tiada menimbulkan masalah-masalah dalam memilih calon yang baik serta
membina kepribadian guru. Namun diharapkan bahwa mereka sepanjang jabatannya
sebagai guru berangsur-angsur membina dirinya menjadi guru yang kita harapkan.
No comments:
Post a Comment