Kata ‘Aqiqah berasal dari bahasa arab. Secara bahasa ia bermakna
‘memutus’. Adapun makna secara istilah ‘Aqiqah berarti “menyembelih
kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan
rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya ‘Tuhfatul Maudud’ hal.25-26, mengatakan bahwa: Imam Jauhari berkata: Aqiqah ialah ‘Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.’
Imam Ahmad rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila
ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna
berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
ADAKAH AQIQAH SUNAH RASULULLAH S.A.W?
Aqiqah adalah amalan sunnah bagi pengikut Rasulullah s.a.w, amalan
ini disunnahkan bagi orang islam yang mampu untuk melakukannya. Adapun
dalil-dalil yang boleh dijadikan sebagai pegangan bahwa aqiqah
disyariatkan oleh Islam adalah :
1. Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata: Rasululloh bersabda:
‘Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan
hilangkanlah semua gangguan darinya.’ [Shahih Hadits Riwayat Bukhari
(5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul
Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau
menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul
Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-’Ilmiyah, pent]
2. Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata:
Rasulullah bersabda: ‘Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak
kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.’ [Sanadnya Hasan,
Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam ‘Mu’jamul Kabir’ 1/121/2,
dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin
Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil
hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.
APAKAH HUKUM AQIQAH ?
Status hukum ‘Aqiqah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan
pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam
Malik, dengan berdasarkan dalil di atas. Para ulama itu tidak sependapat
dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya
‘Aqiqah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat
diketahui oleh agama. Dan seandainya ‘Aqiqah wajib, maka Rasulullah saw
juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut.
Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits,
berpendapat bahwa hukum ‘Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan
Hadits :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Semua anak
bayi tergadaikan /dituntut dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya
disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.’ [Shahih,
Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah
3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya
‘Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan
syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di-‘Aqiqah-i. Ada juga sebagian
ulama yang mengingkari disyariatkannya ‘Aqiqah, tetapi pendapat ini
tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama
lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa ‘Aqiqah adalah
sunnah.
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul
Authar (6/213): ‘Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan
hadist Nabi:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda:
‘Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena
kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing
yang sama dan untuk perempuan satu kambing.’ [Sanadnya Hasan, Hadits
Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan
Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]
APAKAH AQIQAH DILAKSANAKAN PADA HARI KETUJUH?
Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling
utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Pendapat dan
kesepakatan tersebut berdasarkan hadist dari Samurah bin Jundab :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Semua anak
bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih
hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.’ [Shahih, Hadits
Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa’i 7/166, Ibnu Majah 3165,
Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah
sebelum hari ketujuh atau sesudahnya. Diantara para ulamak yang
berpendapat tentang masalah ini adalah :
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya ‘Fathul Bari’ (9/594):
‘Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’
(hadist dari Samurah bin Jundab ), ini sebagai dalil bagi orang yang
berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang
yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan
aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur
setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik.
Beliau berkata: ‘Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka
gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.’
2. Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh.
Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya
‘Tuhfatul Maudud’ hal.35.
3. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh.
Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya ‘al-Muhalla’ 7/527.
4. Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka
boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21.
Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab ‘As-Shagir’ (1/256) dari
Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah:
‘Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21.’
Namun riwayat diatas lemah, tidak boleh dijadikan dalil. Sebagaimana
penjelasan Abu Muhammah ‘ishom Bin Mar’i, Penulis kitab ahkamul ‘aqiqah,
mengatakan bahwa: ‘Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena buruk
hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul
Bari’ (9/594).’ Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist
ini mungkar dan mudraj].
Dari perbedaan pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pendapat yang utama adalah pendapat dimana waktu pelaksanaan aqiqah
adalah pada hari ketujuh, tidak sebelumnya dan tidak juga sesudahnya.
Perkara ini disebabkan lemahnya hadis-hadis akan sunahnya aqiqah setelah
hari ketujuh atau sebelumnya.
Seorang muslim sepatutnya mengaqiqahkan bayinya pada hari ketujuh,
jika tidak mampu melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh, maka terlepaslah
kewajibannya. Tidak ada dosa baginya, karena hukum aqiqah itu sendiri
adalah sunah, dan dalil-dalil yang berkenaan aqiqah sebelum dan sesudah
hari ketujuh adalah lemah. Namun jika ada juga yang melaksanakan aqiqah
sebelum atau sesudah hari ketujuh, karena berpegang pada pendapat ulama,
maka sepatutnya kita sampaikan perkara ini. Jika mereka menerima,
alhamdulillah. Jika mereka menolak dan tetap melaksanakan aqiqah sebelum
atau sesudah hari ke tujuh, disebabkan itulah ilmu dan keyakinan
mereka, tanpa ada niat untuk menolak kebenaran, maka cukuplah kita
berdoa kebaikan untuk mereka.
Untuk perkara seperti ini, semoga Allah memafkan mereka, karena
mereka melakukan suatu amalan diluar pengetahuan mereka, pada pandangan
saya mereka tidaklah berdosa, karena perkara ini adalah masalah fiqhiyah
dalam bab furu’ atau cabang, bukan masalah akidah. Untuk kita saling
bersikap hikmah adalah sangat diperlukan.
BERSEDEKAH DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT
Diantara amalan aqiqah adalah mencukur rambut bayi, kemudian
menimbang rambut tersebut, dan bersedekah dengan uang senilai dengan
perak seberat timbangan rambut bayi itu. Diantara ulamak yang
berpendapat demikian adalah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam
Ahmad, dan lain -lain.’ Amalan seperti ini berhujahkan kepada :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata:
Rasulullah bersabda: ‘Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak
kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya.’ [Sanadnya Hasan,
Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani dalam ‘Mu’jamul Kabir’ 1/121/2,
dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin
Uqoil]
Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif/ lemah.
BOLEHKAH ORANG DEWASA MENGAQIQAHKAN DIRINYA SENDIRI?
Untuk orang dewasa, tidak ada kewajiban baginya untuk mengaqiqahkan
dirinya disebabkan belum diaqiqahkan pada hari ke tujuh dari
kelahirannya. Karena hal itu tidak ada contoh dan keterangan yang shahih
dari Rasulullah.s.a.w.
Sebagian ulama mengatakan: “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa
kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin
mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi: ‘Rasulullah
mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi.’
[Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari
jalan Qatadah dari Anas]
Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya
dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa aqiqah hanya pada satu
waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari
kelahirannya.
BERAPAKAH JUMLAH KAMBING UNTUK BAYI LELAKI DAN PEREMPUAN?
Untuk bayi laki-laki disunahkan menyembeliah dua ekor kambing, adapun
untuk bayi perempuan cukup satu ekor kambing. Pendapat ini di perkuat
dengan dalil :
1. Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Bayi laki-laki
diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.’
[Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu
Majah (3163), dengan sanad hasan]
2. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah
bersabda: ‘Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing)
karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua
kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.’ [Sanadnya Hasan,
Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163), Ahmad (2286, 3176)
dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]
Berdasarkan hadist diatas, dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. “Setelah
menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
‘Fathul Bari’ (9/592): ‘Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi
hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi
perempuan dalam masalah aqiqah.’
Imam Ash-Shan’ani rahimahulloh dalam kitabnya ‘Subulus Salam’ (4/1427)
mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya: ‘Hadist
ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi
perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki.’
Al-’Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitabnya ‘Raudhatun
Nadiyyah’ (2/26) berkata: ‘Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk
bayi perempuan adalah satu kambing.’
BOLEHKAH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING?
Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan
satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar, ‘Urwah bin
Zubair, Imam Malik dan lain-lain, mereka semua berdalil dengan hadist
Ibnu Abbas sebagai berikut :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda: ‘Menaqiqahi Hasan dan
Husain dengan satu kambing dan satu kambing.’ [HR Abu Dawud (2841) Ibnu
Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya
shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya
‘Fathul Bari’ (9/592): ‘…meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit
(shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua
kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk
menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing’.’
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan
aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah
laki-laki dengan dua kambing.
BOLEHKAH AQIQAH DENGAN UNTA ATAU LEMBU?
Tidak ada keterangan yang shahih dari Rasulullah s.a.w tentang
bolehnya aqiqah dengan selain kambing. Bagi yang ingin melaksanakan
aqiqah, sepatutnya dia menyembelih kambing. Karena itu sesuai dan
menepati sunah Rasulullah s.a.w. Sebagaimana merujuk kepada hadis Aisyah
:
Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Bayi laki-laki
diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.’
[Shahih, Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu
Majah (3163), dengan sanad hasan]
Dalam ‘Fathul Bari’ (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh
menerangkan: ‘Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan
kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk
menentukan kambing buat aqiqah.’ Menurut beliau: ‘Tidak sah aqiqah
seseorang yang menyembelih selain kambing’.
Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena:
[1]. Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya.
[2]. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah
dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha’if.
APAKAH PERSYARATAN KAMBING AQIQAH ?
Adalah pendapat dari Imam As-Shan’ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu
Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu
atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang
lebih utama adalah yang tidak cacat.
Imam As-Shan’ani dalam kitabnya ‘Subulus Salam’ (4/1428) berkata:
“Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan
kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang
menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas.’
Imam Syaukhani dalam kitabnya ‘Nailul Authar’ (6/220) berkata: ‘Sudah
jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum
bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah
satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun
mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan
pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita
bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga
ini merupakan qiyas yang bathil.’
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya ‘Al-Muhalla’ (7/523) berkata: ‘Orang
yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya
sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul
Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau
kambing itu bebas dari catat.’
BOLEHKAH MENGUSAPKAN KHULUQUN ( SEJENIS MINYAK WANGI ) DI ATAS KEPALA BAYI ?
Diantara amalan sunah adalah mengusapkan apa-pa sejenis minyak wangi
ke atas kepala bayi saat pelaksanaan aqiqah, sebagai ganti dari pada
tradisi jahiliyah dimana mereka mengusapkan darah sembelihan kambing
keatas kepala bayi. Amalan ini merujuk kepada :
‘Dari Aisyah berkata: Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila
mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan
hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan
kapas tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda: ‘Jadikanlah
(gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).’ [Shahih,
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan
oleh Hakim (2/438)]
Al-llamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya ‘Irwaul Ghalil’ (4/388)
berkata: ‘Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk
kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.’
Al-’Allamah Imam Syukhani dalam, kitabnya ‘Nailul Aithar’ (6/214)
menyatakan: ‘Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap
kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..’
Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas
bahwasannya dia berkata: ‘Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah
terhadap anak kecil ….. dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.’
[Hadits Riwayat Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan
mungkar.
BOLEHKAH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH] SEBAGAIMANA SEMEBLIHAN LAINNYA?
Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya,
seperti ditegaskan Imam Malik dalam ‘Al-Muwaththa’ (2/502), karena tidak
adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang
menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada
kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk
dimakan.
Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah:
[1]. Bahwasannya Rasulullah bersabda: ‘Janganlah kalian menghancurkan
tulang sembelihannya.’ [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya,
Hadits Riwayat Baihaqi (9/304)]
[2]. Dari Aisyah dia berkata: ‘….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak
menghancurkan tulang sembelihannya….’ [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj,
Hadits Riwayat. Hakim (4/283]
Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak
shahih. [lihat kitab ‘Al-Muhalla’ oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].
DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya ‘Tuhfathul Maudud’ hal.43-44,
berkata: ‘Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu,
karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga
(yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah
kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga,
anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira.
Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak
rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang
masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya …..Dan pada umumnya,
makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur)
dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.’
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya ‘Tuhfathul Maudud’ hal.51-52,
berkata: Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada
Alloh Ta’ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka
pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan
mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya
tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga
aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu
digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya’ [lihat
pula ‘Al-Muwaththa’ (2/502) oleh Imam Malik].
ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN, DAN
MENGHADIAHKAN DAGING SEMEBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA JIKA SEMUA
DIAMALKAN
Imam Ibnu Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya ‘Tuhfathul Maudud’ hal.48-49,
berkata: ‘Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara
penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hukum asal,
yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan
dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau
menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi
lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan
membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut,
berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar
sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Alloh Ta’ala’.
[lihat pula ‘Al-Muwaththa’ (2/502) oleh Imam Malik].
JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH KALAU MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT]
‘Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah menggabungkan
niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah
dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau
dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya
mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Alloh Ta’ala tidak
pernah lupa.’
ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH
Diantara bid’ah ( amalan yang tidak di contohkan Nabi s.a.w. ) yang
sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan ceramah
yang berkaitan dengan hukum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan
dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di
acara aqiqahan pada hari ketujuh.
Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat
suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, barzanji dan
bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa
semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu
adalah bid’ah.
Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang
shahih bahkan dalam dha’if sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan
oleh Salafush Sholih rahimahumulloh. Seandainya perbuatan ini baik
niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan
ini termasuk dalam hal bid’ah-bid’ah lainnya yang sering dikerjakan oleh
sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu
rumah-rumah kita.
Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di
dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta
menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang
dibuat-buat.
Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Semua kabaikan
itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid’ahnya
Khalaf.
PANDUAN MENYAMBUT KELAHIRAN BAYI
PADA HARI PERTAMA
Ada beberapa amalan yang patut dilakukan oleh orang tua dalam menyambut kelahiran bayinya pada hari pertama, yaitu :
Pertama: Memberi nama yang baik. Tidak disyariatkan adzan dan iqamah
untuk bayi yang baru lahir, kerana hadis-hadis tentang masalah ini
adalah lemah.
Pada hari pertama kelahiran seorang bayi, sebaiknya diutamakan untuk
memberi nama yang baik, amalan ini pernah dilakukan oleh Rasulullah
s.a.w saat lahir anaknya, kemudian diberi nama Ibrahim.
Telah diriwayatkan Anas ibn Maalik bersabda: Rasulullah (SAW)
bersabda: “Seorang anak telah dilahirkan kepada ku malam tadi dan aku
memanggilnya dengan nama bapa ku Ibrahim.”Riwayat Muslim, 2315
Bayi yang baru lahir sebaiknya diberikan nama yang baik, seperti
‘Abdullah atau ‘Abdul Raman. Perkara ini merujuk kepada riwayat dari
Naafi’ yang Ibn ‘Umar berkata: Rasulullah (SAW) bersabda : “Nama-nama
kamu yang disukai Allah ialah ‘Abdullah dan ‘Abdul Raman.” (Riwayat
Muslim, 2132)
Adalah mustahabb (digalakkan) untuk memberi anak-anak itu nama Nabi:
Dari Abu Darda’ r.a., bersabda Rasulullah s.a.w.: Sesungguhnya pada hari
kiamat nanti kamu akan dipanggil dengan nama-nama kamu dan nama-nama
bapa kamu. Oleh itu, berilah nama yang baik untuk kamu. (HR Abu Daud)
Kedua: Mentahnik
Antara sunnah yang perlu diamalkan terhadap bayi ialah `tahnik’,
iaitu menggosok langit-langit bayi dengan kurma. Caranya: Kurma yang
dikunyah diletakkan di atas jari, kemudian memasukkan jari berkenaan ke
dalam mulut bayi. Gerak-geraknya ke kanan dan ke kiri dengan lembut
hingga merata. Jika sukar untuk memperoleh kurma, boleh diganti dengan
manisan lain.
Dan yang lebih utama, `tahnik’ ini hendaklah dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai sifat taqwa dan soleh. Ini adalah sebagai suatu
penghormatan dan harapan agar anak ini juga akan menjadi seorang yang
taqwa dan soleh.
Hadis Rasulullah s.a.w. dari Abu Burdah, dari Abu Musa r.a., katanya:
Aku telah dikurniakan seorang anak. Lalu aku membawanya kepada Nabi
s.a.w. dan baginda menamakannya dengan Ibrahim, men`tahnik’nya dengan
kurma serta mendoakannya dengan keberkatan. Kemudia baginda s.a.w.
menyerahkannya kembali kepadaku. (HR Bukhari & Muslim)
Ketiga: Memberi ucap selamat/tahniah dan mendo’akan keberkahan
Antara sunnah menyambut kelahiran bayi ialah setiap muslim dianjurkan
memberi ucap selamat dengan mendoakan kesejahteraan anak dan
ibubapanya, serta turut sama bergembira.
Firman Allah Taala: Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria,
sedang dia sedang berdiri sembahyang di mihrab (katanya), “Sesungguhnya
Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya..
(3:39)
Ibnu Qaiyim al-Jauziyah menyebutkan di dalam Tuhfatul Maudud, dari
Abu Bakar al-Munzir, bahwa dia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami
dari al-Hasan al-Basri bahawa seorang lelaki telah datang kepadanya, dan
di sisinya ada seorang lelaki yang baru dianugerahi seorang anak kecil.
Lelaki itu berkata kepada orang yang mempunyai anak itu: “Selamat
bagimu atas kelahiran seorang penunggang kuda.” Hasan al-Basri berkata
kepada lelaki itu: “Apakah kamu tahu, apakah dia seorang penunggang kuda
atau penunggang keledai?” Lelaki itu bertanya: “Jadi bagaimana cara
kami mengucapkannya?” Hasan al-Basri menjawab: “Katakanlah, semoga kamu
diberkati di dalam apa yang diberikan kepadamu. Semoga kamu bersyukur
kepada yang memberi. Semoga kamu diberi rezeki dengan kebaikannya, dan
semoga ia mencapai masa balighnya.”
PADA HARI KETUJUH
Pada hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi, ada beberapa perkara
yang sunah dilakukan oleh orang tua terhadap bayinya, yaitu :
Pertama: Memberi nama kalau kita tidak menamakannya pada hari pertama
Ada juga hadis yang menunjukan pada hari ketujuh berdasarkan riwayat
Samirah, katanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Setiap anak itu
digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih untuknya pada hari ketujuhnya,
diberi nama dan dicukur kepalanya. (HR Ashabus Sunan)
Dapat disimpulkan dari hadis-hadis berkenaan bahawa Islam memberi
kelonggaran terhadap tempoh pemberian nama anak. Boleh pada hari
pertama, boleh dilewatkan pada hari ketujuh.
Adalah mustahabb (digalakkan) untuk menamakan anak itu pada hari ke
tujuh, tetapi tiada salah untuk menamakan nya pada hari kelahiran nya,
sebab hadith yang dipetik diatas.
Telah diriwayatkan dari Samurah ibn Jundub yang Rasulullah (SAW)
bersabda: “Setiap anak berada dalam tuntutan untuk ‘aqiqah nya yang
sepatutnya disembelih untuknya pada hari ke tujuh, kepala nya harus
dicukur dan dia diberi nama.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, 2838; disahihkan oleh Shaykh al-Albaani dalam Saheeh al-Jaami’, 4541
Ibn al-Qayyim berkata:
Tujuan memberi nama adalah untuk mengenal-pasti sesuatu itu, kerana jika
sesuatu yang tiada nama maka susah untuk merujuk nya. Jadi dibenarkan
untuk menamakan anak pada hari kelahirannya, dan dibenarkan untuk
menangguhkan memberi nama hingga hari ketiga, atau sehingga hari
‘aqiqah, atau sebelum atau selepas itu. Hal ini adalah besar ruangnya”
Tuhfat al-Mawlud, halaman 111
Kedua: Aqiqah dengan menyembelih kambing, memasaknya, dan membuat majelis kenduri.
Antara sunah menyambut kelahiran bayi ialah beraqiqah. Hadis Rasulullah
s.a.w.: Samirah, katanya Rasulullah s.a.w. telah bersabda: Setiap anak
itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih untuknya pada hari
ketujuhnya, diberi nama dan dicukur kepalanya. (HR Ashabus Sunan)
Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Bayi laki-laki diaqiqahi
dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.’ [Shahih,
Hadits Riwayat Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah
(3163), dengan sanad hasan]
Berdasarkan hadis di atas dan hadis-hadis lain bahawa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran bayi.
Ketiga: Mencukur rambut dan disedekahkan timbangan rambut itu dengan nilai perak kepada orang-orang fakir miskin.
Antara sunnah menyambut kelahiran anak ialah mencukur kepada anak
pada hari ketujuh kelahirannya. Kemudian bersedekah kepada orang-orang
fakir dengan perak seberat timbangan rambutnya itu.
Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan perkara ini, antaranya ialah:
Dari Ja’far bin Muhamad dari ayahnya, dia berkata: Fatimah r.a. telah
menimbang rambut kepala Hasan, Husin, Zainab dan Ummu Kalsom. Lalu dia
menyedekahkan perak seberat timbangan rambut berkenaan. (HR Imam Malik)
Yahya bin Bakir meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., bahawa
Rasulullah s.a.w. telah menyuruh agar dicukur kepala al-Hasan dan
al-Husin pada hari ketujuh dari kelahiran mereka. Lalu dicukur kepala
mereka, dan baginda menyedekahkan perak seberat timbangan rambut
berkenaan.
Pada hari ketujuh ini, sunat mencukur rambut bayi. Ini berdasarkan
hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, maksudnya:
“Rasulullah saw telah menyuruh agar dicukur rambut Hasan dan Husin pada
hari ketujuh kelahiran mereka berdua, lalu dicukur dan disedekahkan
timbangan rambut itu dengan nilai perak.”
Setelah rambut bayi itu dicukur, ianya tidak langsung dibuang.
Sebaliknya, rambut itu ditimbang dengan perak, dan nilainya disedekahkan
kepada fakir miskin. Apabila kita mencukur rambut bayi, rambut itu
hendaklah dicukur semuanya. Bukan sekadar menggunting beberapa helai
rambut ataupun dicukur sebahagiannya dan ditinggalkan sebahagiannya.
Contoh amalan adat yang wajib dijauhi adalah :
Adanya majlis kenduri yang diadakan Mengikut bagi upacara mencukur
rambut. Pada majlis tersebut, bayi itu dibawa ke ruang tengah dan
disambut dengan taburan beras kunyit yang bercampur dengan wang duit
atau syiling. Tiga atau lima atau tujuh orang tetamu yang dihormati akan
diminta memotong rambut bayi itu. Tetamu akan mengambil sejemput beras
kunyit dan sejembut bertih lalu menaburkannya di keliling bayi; kemudian
menyapukannya air tepung tawar ke bahagian rambut yang hendak
dipotongnya lalu mengambil gunting dan memotong rambut bayi itu.
Potongan rambut yang digunting tadi dimasukkan ke dalam mangkuk.
Biasanya didalam majlis kenduri tersebut ada bacaan maulid berzanji
yang diadakan serentak dengan majlis mencukur rambut itu. Perkara ini
menyalahi peraturan syariat.
Adapun perbuatan menabur beras kunyit, wang, bertih serta memasukkan
potongan rambut itu ke dalam mangkuk atau kelapa muda adalah perbuatan
khurafat.
Selain unsur pembaziran, perbuatan-perbuatan yang disebutkan di atas
itu jelas tiada hubung-kait dengan anjuran Islam yang menggalakkan
pencukuran rambut.
Keempat: Bersedekah kepada faqir miskin seberat timbangan rambut dengan
perak baik dengan peraknya atau dengan harganya (uangnya).
Permasalahan adzan dan iqamah di telinga bayi :
Apakah disyariatkan untuk adzan dan iqamah ditelinga bayi yang baru lahir?
Adzan dan iqamah ditelinga bayi yang baru lahir tidak disyariatkan,
karena hadis-hadis yang berkenan dengan perkara ini adalah lemah,
sebagaimana penjelasan dibawah ini.
Didalam kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia
Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-36 Pustaka
Al-Haura oleh
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah Muhammad bin Khalifah bin
Muhammad Ar-Rabah dijelaskan bahawa tdk disunahkan adzan pada telinga
bayi yg baru lahir, krn lemahnya hadits-hadits yg diriwayatkan dalam
permasalahan ini.
Ada beberapa hadits yg diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini, diantaranya :
1. Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي
أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah
melahirkannya dengan adzan shalat”.
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam
Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam
Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du’a karya beliau (2/944), Ahmad
(6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim
(3/179), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim :
“Shahih isnad dan Al-Bukhari dan Muslim tdk mengeluarkannya”. Ad-Dzahabi
mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata : “Aku katakan : Ashim
Dla’if”. Berkata At-Tirmidzi : “Hadits ini hasan shahih”.
Semua dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.
Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan
Al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ Zawaid (4/60) dari jalan Hammad
bin Syua’ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi
Rafi dgn tambahan.
“Arti : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain”.
Rawi berkata pada akhir : “Dan Nabi memerintahkan mereka beruntuk demikian”.
Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main.
Berkata Al-Bukhari tentang : “Mungkarul hadits”. Dan pada tempat lain
Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya”.
Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : “Dalam sanad ada Hammad bin Syua’ib dan ia lemah sekali”.
Kami katakan di dalam sanad juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah,
dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan
matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi
Rafi dgn mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dgn Ali bin Al-Husain dan ia
menambahkan lafadz : “Al-Husain” dan perintah adzan. Hammad ini
termasuk orang yg tdk diterima hadits jika ia bersendiri dalam
meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tdk
sedangkan ia telah menyelisihi orang yg lebih tsiqah dari dan lebih
kuat dlabt yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini mungkar,
pertama dinisbatkan kelemahan dan kedua krn ia menyelisihi rawi yg
tsiqah.
Adapun jalan yg pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanad ada Ashim
bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : “Ia Dla’if”, dan
Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu’bah berkata :
“Seandai dikatakan kpd Ashim : Siapa yg membangun masjid Bashrah niscaya
ia berkata : ‘Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa sa beliau membagunnya”.
Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : “Telah berkata Abu Zur’ah
dan Abu Hatim : ‘Mungkarul Hadits’. Bekata Ad-Daruquthni : ‘Ia
ditinggalkan dan diabaikan’. Kemudian Daruquthni membawakan untuk hadits
Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan pada
telinga Al-Hasan dan Al-Husain” (selesai nukilan dari Al-Mizan).
Maka dgn demikian hadits ini dha’if krn perputaran pada Ashim dan anda telah mengetahui keadaannya.
Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi’ dalam kitab Tuhfatul
Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid
bagi hadits Abu Rafi’. Salah satu dari Ibnu Abbas dan yg lain dari
Al-Husain bin Ali. Beliau memuntuk satu bab khusus dgn judul “Sunnah
adzan pada telinga bayi”. Namun kita lihat keadaan dua hadits yg menjadi
syahid tersebut.
2. Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman
(6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi
ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib dari
Manshur bin Shafih dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas beliau mengatakan :
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى
“Arti : Sesungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan pada telinga
Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga
kanan dan iqamah pada telinga kiri”.
Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnad ada kelemahan.
Kami katakan : Bahkan hadits maudhu’ (palsu) dan cacat (ilat) ialah
Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentang Al-Hafidh dalam At-Taqrib :
“Matruk”.
Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta’dil 91/2/26) tarjumah no. 109
:’Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tdk
menulis hadits darinya, ia ditinggalkan hadits (matrukul hadits)”.
Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : “Ibnul Madini mendustakan dan
berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.
Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits
bahwa hadits yg dla’if tdk akan naik ke derajat shahih atau hasan
kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dgn syarat tdk ada
pada jalan yg selain itu (jalan yg akan dijadikan pendukung bagi hadits
yg lemah, -pent) rawi yg sangat lemah lebih-lebih rawi yg pendusta atau
matruk. Bila pada jalan lain keadaan demikian (ada rawi yg sangat lemah
atau pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yg mau dikuatkan itu tetap
lemah dan tdk dpt naik ke derajat yg bisa dipakai untuk berdalil
dgnnya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa hadits Ibnu Abbas tdk
pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap
Dla’if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.
Adapun hadits Al-Husain bin Ali ialah dari riwayat Yahya bin Al-Ala
dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali
ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Bayi siapa saja yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan
dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan
membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu
Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).
Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni
dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakan
dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan dalam sanad ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk”.
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dgn nomor (6780).
Berkata Muhaqqiq : “Isnad rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan
hadits”. Kemudian ia berkata : ‘Sebagaimana hadits Ibnu Abbas menjadi
syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul
Wadud (hal.16) dan dikelurkan
oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab dan dgn menjadi kuatlah hadits Abi
Rafi. Bisa jadi dgn alasan ini At-Tirmidzi berkata : ‘Hadits hasan
shahih’, yakni shahih lighairihi. Wallahu a’lam (12/151-152).
Kami katakan : tdklah perkara itu sebagaimana yg ia katakan krn
hadits Ibnu Abbas pada sanad ada rawi yg pendusta dan tdk pantas menjadi
syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat penjelasannya,
Wallahu a’lam.
Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini ialah palsu, pada sanad ada Yahya
bin Al-Ala dan Marwan bin Salim kedua suka memalsukan hadits
sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan
Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor (6121).
Inilah yg ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yg benar. Dengan demikian
hadits Abu Rafi tetap lemah krn hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh
Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) : “Perputaran hadist ini pada Ashim
bin Ubaidillah dan ia Dla’if.
Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan
Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata :
“Hadits hasan”. Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits
ini Hasan Isya Allah”.
Dalam Adl-Dla’ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan
melemahkan hadits Abu Rafi’ ini : “At-Tirmidzi telah meriwayatkan dgn
sanad yg lemah dari Abu Rafi, ia berkata :
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan dgn adzan
shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh
ibu Fathimah”.
Berkata At-Timidzi : “Hadits shahih (dan diamalkan)”.
Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : “Mungkin penguatan hadits Abu Rafi
dgn ada hadits Ibnu Abbas”. (Kemudian beliau menyebutkannya) Dikelurkan
oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
Aku (yakni Al-Albani) katakan : “Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu
Abbas ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yg benar hadits
Al-Husain yakni hadits yg ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits
ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu ‘alam. Maka
jika demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada
telinga bayi) krn masalah ini yg disebutkan dalam hadits Abu Rafi’,
adapaun iqamah maka hal ini gharib, wallahu a’alam.
Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : ‘Aku
katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu
Abbas degan sanad yg lemah. Aku menyebutkan seperti syahid terhadap
hadits ini ketika berbicara tentang hadits yg akan datang setelah dalam
Silsilah Al-Hadits Adl-Dla’ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dpt
menjadi syahid untuk hadits ini, wallahu a’alam.
Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah
Al-Ma’arif) (1/494) no. 321 menyatakan : “Aku katakan sekarang bahwa
hadits Ibnu Abbas tdk pantas sebagai syahid krn pada sanad ada rawi yg
pendusta dan matruk. Maka Aku heran dgn Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim
kenapa kedua merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku
memastikan pantas (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang
termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrij akan
disebutkan kemudian (61121)” (selesai ucapan Syaikh).
Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang
lebar untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yg telah
memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kpd kebenaran dan memberi ilham
padanya. Maka dgn demikian wajib untuk memperingatkan para penuntut ilmu
dan orang-orang yg mengamalkan sunnah yg shahihah yg tsabit dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yg
pegangan bagi hadits Abu Rafi’ yg lemah ialah sebagaimana pada akhir
penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan
inilah yg ada di hadapan anda. Dan hadits ini tdklah shahih seperti yg
sebelum beliau sebutkan dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu
Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a’lam.
Kemudian kami dptkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin
Muhammad Al-Jalabi yg masyhur dgn Ibnul Maghazil, tapi ia juga tdk
pantas sebagai syahid krn dalam sanad ada rawi yg pendusta.
SUMBER : https://aycuna.wordpress.com/2012/09/24/bagaimana-kita-melaksanakan-aqiqah-apakah-makna-aqiqah/