Di dalam GBPP Bahasa Indonesia Tahun
1987 materi menulis cerpen terdapat pada kelas II SMA semester 3, serta dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK,
2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) materi menulis
cerpen terkandung mulai dari SMP/MTs
Kelas III Semester 1 sampai dengan
SMA/MA Kelas III. Hal itu berarti
bahwa mulai dari tahun 1987 para siswa SMA/MA telah diajari menulis cerpen, dan
sejak tahun 2004 SMP/MTs para
siswa juga sudah diajari menulis cerpen. Dengan demikian semestinya para siswa
yang telah lulus dari SMA/MA sudah memiliki keterampilan menulis cerpen.
Namun, pada kenyataannya sampai saat
ini masih sangat sedikit para lulusan SMA/MA, bahkan yang sudah menjadi
mahasiswa yang mampu menulis cerpen. Salah satu bukti dari hal itu dapat
diambil dari pengalaman peneliti. Selama tiga tahun belajar mata kuliah Menulis
pada Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia,
FKIP, Universitas
Galuh . Salah satu materi
perkuliahannya adalah menulis cerpen. Ternyata dari seluruh mahasiswa peserta
kuliah, setiap tahunnya hanya sekitar 5% mahasiswa yang telah memiliki
keterampilan menulis cerpen dengan kualitas relatif baik. Selebihnya, yakni sekitar
95%, belum mampu menulis cerpen dengan baik. Bukti yang lain, dari pengakuan
beberapa cerpenis dapat diketahui bahwa keterampilan menulis cerpen yang mereka
miliki tidak secara langsung didapat dari proses pembelajaran di sekolah.
Mereka memilikinya dari proses
belajar mandiri dan belajar dari para cerpenis lain yang sudah ada terlebih
dahulu, baik belajar secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud
belajar secara langsung yaitui mereka dibimbing secara langsung oleh cerpenis
dimaksud. Adapun yang dimaksud belajar secara tidak langsung yaitu mereka
belajar melalui cerpen-cerpen karya para cerpenis dan tulisan-tulisan para
cerpenis tentang proses kreatif mereka dalam menulis cerpen. Kenyataan yang
demikian itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran menulis cerpen di sekolah,
baik di tingkat Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Tingkat Atas,
yang selama ini berlangsung belum berjalan dengan baik sehingga belum
menghasilkan siswa yang memiliki keterampilan menulis cerpen. Hal itu
memunculkan pertanyaan, apa yang menjadi sebab proses pembelajaran menulis
cerpen belum berjalan sebagaimana mestinya hingga belum mampu menghasilkan
siswa yang memiliki keterampilan menulis cerpen? Belum berhasilnya proses pembelajaran menulis cerpen mencapai tujuan
disebabkan oleh beberapa masalah. Masalah dimaksud dapat datang dari pihak
siswa, pihak guru, maupun pihak kurikulum.
A.1 Masalah dari Pihak Guru
Berdasarkan pada wawancara dan
observasi yang peneliti lakukan terhadap beberapa orang guru Bahasa Indonesia
dapat disimpulkan bahwa penyebab utama belum tercapainya tujuan pembelajaran
menulis cerpen yang datangnya dari pihak guru adalah masalah rendahnya
kompetensi guru dalam menulis cerpen dan kompetensi guru dalam membimbing siswa
menulis cerpen. Sebagian besar guru Bahasa Indonesia, baik tingkat SMP/MTs maupun SMA/MA, memiliki kompetensi yang
rendah dalam menulis cerpen1. Mereka tidak dapat menulis cerpen dengan kualitas
yang relatif baik, bahkan sebagian dari mereka mengaku belum pernah menulis
cerpen. Mereka yang mengaku belum pernah menulis cerpen pada umumnya adalah
mereka yang semasa kuliah tidak mendapatkan mata kuliah menulis cerpen
Kompetensi para guru dalam menulis
cerpen yang rendah itu ternyata berakibat pada rendahnya kompetensi mereka
dalam membimbing siswa menulis cerpen. Sebagian besar dari mereka tidak
memiliki keterampilan membimbing para siswanya dalam menulis cerpen. Mereka
mengaku merasa bingung pada saat harus membimbing para siswa menulis cerpen
karena mereka tidak memiliki pengalaman langsung menulis cerpen. Sebagai akibatnya,
para siswa tidak mendapat bimbingan yang benar dan tepat dalam proses belajar
menulis cerpen, sehingga mereka tidak dapat menghasilkan cerpen, apalagi cerpen
yang berkualitas.
Semenjak KTSP diberlakukan tuntutan
agar para guru Bahasa Indonesia memiliki kompetensi dalam menulis cerpen dan
membimbing siswa dalam proses menulis cerpen menjadi semakin jelas. Tuntutan
itu muncul sebab dalam KTSP tercantum Kompetensi Dasar
yang harus dimiliki oleh para siswa dalam proses
pembelajaran menulis cerpen yakni siswa
mampu menulis cerpen. Agar Kompetensi
Dasar itu dapat tercapai maka guru
harus mampu membimbing siswa menulis cerpen. Guru akan dapat membimbing siswa
menulis cerpen secara mantap dan terarah jika ditunjang dengan pengalamannya
menulis cerpen. Beberapa alternatif langkah dapat ditempuh untuk mengatasi
rendahnya kompetensi guru dalam menulis cerpen dan dalam membimbing siswa
menulis cerpen. Untuk mengatasi rendahnya kompetensi guru dalam menulis cerpen,
paling sedikit ada dua alternatif langkah yang dapat ditempuh.
Pertama, para guru diberi pelatihan mengenai proses pembimbingan
menulis cerpen sampai mereka memiliki kompetensi dalam membimbing menulis
cerpen. Kedua, disediakan perangkat pembelajaran2 menulis cerpen yang sudah
teruji tingkat efektivitas dan efisiensinya. Penyediaan perangkat pembelajaran
menulis cerpen yang efektf dan efisien ini ditawarkan sebagai salah satu
alternatif sebab selama ini para guru sudah memiliki perangkat pembelajaran
menulis cerpen, hanya saja model yang mereka gunakan masih belum tepat sehingga
belum menghasilkan siswa yang mampu menulis cerpen.
A.2 Masalah dari Pihak Siswa
Berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara peneliti dengan para siswa dapat diketahui bahwa masalah utama yang
datangnya dari pihak siswa adalah motivasi para siswa mengikuti pembelajaran
menulis cerpen rendah. Rendahnya motivasi para siswa dalam mengikuti
pembelajaran menulis cerpen disebabkan oleh beberapa hal yang berkait, yakni
(1) merasa tidak berbakat, (2) merasa tidak ada manfaatnya menulis cerpen, dan
(3) merasa tidak mendapat bimbingan yang baik oleh guru dalam proses
pembelajaran menulis cerpen.
Para siswa mengaku bahwa kemampuan menulis cerpen adalah bakat. Oleh
karenanya ketika dalam proses pembelajaran menulis cerpen mereka kesulitan
menulis cerpen, maka mereka merasa tidak berbakat. Atas pandanga itu sebagian
besar guru tidak memberi pemahaman bahwa keterampilan menulis cerpen dapat
dipelajari, bukan semata-mata bakat. Orang yang dengan tekun berlatih menulis
cerpen akan dapat menghasilkan cerpen yang baik. Rendahnya motivasi siswa juga
disebabkan oleh ketidaktahuan mereka
akan manfaat belajar menulis cerpen.
Mereka merasa bahwa belajar menulis cerpen tidak ada manfaatnya. Mereka tidak
mengetahui bahwa menulis cerpen sebenarnya dapat mendatangkan beberapa manfaat.
Manfaat dimaksud, antara lain (1) cerpen dapat dijadikan sarana sebagai
ekspresi pengalaman, perasaan,
pemikiran, pendapat, dan gagasan, serta
(2) keterampilan menulis cerpen pada saat ini dapat dijadikan sebagai salah
satu bentuk mata pencaharian. Disayangkan, para guru Bahasa Indonesia jarang
yang memberitahukan hal itu kepada para siswanya sehingga motivasi mereka
menulis cerpen rendah.
Penyebab ketiga adalah para siswa
merasa tidak mendapat bimbingan yang baik oleh guru dalam proses pembelajaran
menulis cerpen. Dalam hal ini guru tidak dapat menyajikan proses pembelajaran
menulis cerpen yang menarik perhatian dan minat para siswa. Ketidakmampuan guru
menyajikan proses
pembelajaran menulis cerpen itu dapat
disebabakan oleh, antara lain, pertama, guru tidak memiliki kompetensi dalam
menulis cerpen dan kompetensi dalam membimbing siswa menulis cerpen, dan kedua,
belum tersedianya perangkat pembelajaran menulis cerpen yang efektif dan
efisien. Termasuk di dalam perangkat pembelajaran dimaksud adalah model
pembelajaran penulisan cerpen.
A.3 Masalah dari Pihak Kurikulum
Berdasarkan pada pengamatan dan
wawancara dengan beberapa guru, masalah yang muncul dari pihak kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pada kurikulum-kurikulum yang berlaku
sebelum Kurikulum Berbasis Kompeensi (KBK)
masalah yang muncul adalah belum terpisahnya materi
menulis cerpen dari materi kesastraan
yang lainnya. Menulis cerpen masih merupakan bagian dari materi apresiasi
sastra. Akibat lain hal itu, alokasi waktu untuk proses pembelajaran menulis
cerpen menjadi sangat sedikit, tidak menukupi untuk sebuah proses pembelajaran
menulis cerpen.
Kedua, pada saat diberlakukannya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
sebenarnya materi menulis cerpen sudah mulai diarahkan untuk dijadikan sebagai
materi pembelajaran yang mandiri, terpisah dari materi menulis karya sastra
lainnya. Namun, penempatan materi itu masih kurang jelas, sebab masih
berada dalam aspek kesastraan secara
umum. Di samping itu, masa berlakunya KBK ternyata sangat singkat, yang kemudian diganti
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebagai akibatnya, para guru
belum dapat memahaminya sehingga belum mampu mempraktikannya.
Ketiga, KTSP telah menempatkan
materi menulis cerpen secara mandiri, terpisah dari materi menulis karya sastra
yang lain. Alokasi waktu yang tersedia juga relatif memadahi. Hanya saja, KTSP
hanya dimuat Standar Kompetensi (KD) dan Kompetensi Dasar (KD). KTSP tidak
disertai dengan perangkat pembelajaran, yang terdiri atas silabus3, rancangan
pelaksanaan pembelajaran (RPP)4,
dan sistem evaluasi5. Penyusunan silabus, RPP,
dan sistem evaluasi diserahkan kepada sekolah atau guru. Akibatnya, banyak
sekolah atau guru yang kebingungan untuk menyusunnya. Banyak guru yang tidak
mampu menyusun ketiga perangkat pembelajaran dimaksud. Dengan demikian
diperlukan adanya model silabus, rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan sistem evaluasi yang dapat dijadikan
pegangan guru dalam proses pembelajaran menulis cerpen.
No comments:
Post a Comment