Dalam setiap Peringatan Hari Guru, persoalan kesejahteraan guru selalu
menjadi topik yang hangat untuk didiskusikan. Begitu juga dengan
Peringatan Hari Guru tahun ini, dapat dipastikan isu kesejahteraan guru
akan kembali mengemuka. Walaupun sebagian besar guru telah menikmati
berbagai tunjangan yang diberikan oleh pemerintah.
Mulai dari tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus
daerah terpencil, tunjangan kinerja, insentif, uang makan dan lain
sebagainya, tak urung membuat guru masih merasa kurang sejahtera.
Sayangnya, dialog tentang kesejahteraan guru selalu dibingkai dalam arti
yang sempit, yaitu terkait kesejahteraan ekonomi atau finansial.
Tuntutan yang selalu disuarakan oleh para guru terkait kesejahteraan
adalah adanya peningkatan penghasilan guru. Suara yang disampaikan
biasanya adalah terkait percepatan pembayaran tunjangan, tambahan
insentif dari APBD atau pengangkatan guru honorer jadi PNS. Kalau sudah
jadi PNS akan ada jaminan penghasilan.
Guru pun rela melakukan apa saja untuk sertifikasi, memperoleh tunjangan
atau menjadi CPNS. Memanipulasi data, menyuap petugas, rekayasa
dokumen, memalsukan sertifikat, plagiat karya tulis bahkan dipungli juga
mau. Jadilah seorang guru bisa memperoleh tunjangan fungsional dari
Depag dan Diknas sekaligus. Atau guru yang baru 1 tahun mengajar dapat
ikut sertifikasi. Atau juga guru yang rela mengeluarkan dana jutaan bagi
keluarnya tunjangan profesi dan kejadian-kejadian ganjil lainnya.
Turun ke jalan pun dilakoni para guru untuk keluarnya tunjangan profesi.
Bermandikan cucuran air mata atau meneteskan darah demi sebuah ritual
cap jempol darah pun rela dilakukan asal diangkat jadi PNS. Tetapi kalau
diajak untuk memperjuangkan kebebasan berorganisasi, jaminan sosial
untuk guru, penghapusan UN yang telah merampas sebagian hak guru atau
menuntut keadilan bagi guru-guru yang telah di-PHK lebih banyak yang
memberikan dukungan moril berupa titip doa atau titip salam, titip duit
pun tidak.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan guru juga
sepertinya tak lebih hanya menjawab persoalan penghasilan melalui
program sertifikasi dan tunjangan profesi guru. Apakah karena memang
tuntutan guru hanya masalah penghasilan atau pemerintah sedang bersiasat
untuk tidak memenuhi seluruh komponen kesejahteraan guru?
Hal ini tergambar dari betapa sibuknya pemerintah untuk mengurusi
sertifikasi dan tunjangan profesi. Sampai harus melakukan difusi
kedirjenan dan melahirkan badan baru serta melakukan beberapa kali
revisi mekanisme sertifikasi dan tunjangan profesi setiap tahunnya
padahal program sertifikasi hanya tinggal 3 tahun lagi. Seluruh energi
dan kemampuan dicurahkan sehingga terkesan menomorduakan urusan-urusan
lainnya
Ironisnya, masalah sertifikasi dan tunjangan profesi masih saja
menyisakan cerita tak sedap. Mulai dari permainan kuota sertifikasi yang
terindikasi ada suap dan manipulasi data sehingga mengakibatkan guru
yang sudah bertugas belasan tahun belum tersertifikasi sementara guru
yang baru saja selesai kuliah dapat disertifikasi. Terlambatnya
pembayaran tunjangan profesi dan terindikasi diselewengkan pejabat
terkait, bahkan untuk tahun anggaran 2010 masih banyak guru yang belum
menerimanya. Sampai dengan yang paling esensi adalah ternyata pemberian
sertifikasi dan tunjangan profesi tidak membuat guru menjadi lebih baik
atau profesional, padahal inilah yang menjadi tujuan utama program
tersebut.
Perkembangan terakhir, pemerintah juga akan membuat peraturan tentang
tenaga honorer di sekolah. Dimana dalam aturan tersebut gaji guru swasta
ditetapkan paling sedikit harus di atas upah minimum provinsi. Sebuah
kebijakan yang patut disambut dengan gembira. Tetapi dalam konteks
kesejahteraan lagi-lagi terjebak dalam bingkai, kesejahteraan adalah
penghasilan dan penghasilan adalah kesejahteraan.
Kesejahteraan Guru Sesungguhnya
Dalam sebuah jurnal lawas, Review Educational Research, yang dikeluarkan
oleh American Educational Research Association, Percival M. Symonds dan
Robert T. Ford (1952) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap kesejahteraan guru adalah :
- Keamanan ekonomi, meliputi penghasilan yang memadai, jaminan sosial untuk kesehatan dan hari tua (pensiun), serta kepastian masa jabatan dalam posisi tertentu;
- Kemampuan profesional, yaitu mendapat pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi guru dalam jabatan mau pun guru pra jabatan.
- Kenyamanan pribadi, yang tidak hanya melibatkan masalah kebebasan akademik dan sosial, tetapi juga hubungan interpersonal yang demokratis dalam situasi belajar atau pun urusan administrasi.
- Kondisi kerja, termasuk di dalamnya lama kerja dalam satu hari, jumlah siswa yang diajar, karakter tugas, ketersediaan bahan ajar dan karakter umum dari guru lainnya.
Penempatan masalah keamanan ekonomi pada urutan pertama memang
menggambarkan betapa pentingnya penghasilan dalam masalah kesejahteraan
guru. Tetapi secara kesuluruhan juga tergambar bahwa masalah ekonomi
bukan satu-satunya yang mempengaruhi guru menjadi sejahtera. Artinya,
masih banyak variabel dan dibutuhkan banyak usaha untuk memenuhi
kesejahteraan guru bukan hanya meningkatkan penghasilannya.
Apa yang disampaikan oleh Symonds dan Ford di atas, sebenarnya sudah
terakomodir dalam UU Guru dan Dosen (UUGD). Berkaitan dengan keamanan
ekonomi telah diatur gaji yang harus di atas kebutuhan hidup minimum,
tunjangan profesi bagi guru-guru yang bersertifikat, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus untuk guru yang bertugas di daerah khusus,
maslahat tambahan, jaminan kesejahteraan sosial dan kompensasi finansial
bagi guru-guru yang di-PHK.
Juga diatur perlindungan dalam melaksanakan tugas berupa perlindungan
hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja, kebebasan berorganisasi, kesempatan untuk berperan dalam
menentukan kebijakan pendidikan mulai dari sekolah sampai birokrasi
pusat, memperoleh penghargaan atas prestasi dan hak untuk cuti tanpa
potongan gaji.
Berkaitan dengan pembelajaran diatur tentang beban kerja guru, hak untuk
memanfaatkan sarana dan pra sarana di sekolah, kebebasan dalam
melakukan penilaian dan penentuan kelulusan, kesempatan untuk
mengembangkan kompetensi dan kualifikasi akademik serta kesempatan
memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi.
Jelas sekali bahwa UU Guru dan Dosen tujuannya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan guru bukan sekedar penghasilan. UU Guru dan Dosen bukan
hanya sekedar sertifikasi dan tunjangan profesi. Banyak guru terjebak
memaknai UU Guru dan Dosen dalam dua bagian itu saja sehingga kalau
sudah mendapatkan sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi maka
tamatlah pembicaraan UU Guru dan Dosen.
Catatan Akhir
Penting bagi guru untuk memahami UU Guru dan Dosen secara lebih
komprehensif agar tidak keliru dalam memahami arti kesejahteraan guru
yang sebenarnya. Dengan pemahaman yang benar juga guru akan mengetahui
apa yang menjadi hak dan kewajibannya serta mengerti eksistensi dan
konsekuensinya sebagai guru profesional. Tetapi yang sangat disayangkan,
jangankan untuk memahami UU Guru dan Dosen, dokumennya saja banyak guru
yang tak memiliki. Kalau sudah begini, maka upaya untuk memperjuangkan
kesejahteraan guru akan menjadi bualan saja karena guru sendiri tidak
memiliki referensi dan tidak mengerti terhadap apa yang diperjuangkan.
Bagi pemerintah sudah bukan zamannya lagi untuk menutup-nutupi
keterbatasan dalam pemenuhan kesejahteraan guru. Demi pencitraan atau
sekedar popularitas. Apalagi kemudian mencari-cari kesalahan guru untuk
menutupi ketidakmampuannya tersebut.
Pemerintah seharusnya mensosialisasikan langkah-langkah yang telah dan
akan dilakukan terkait implementasi UU Guru dan Dosen karena hal ini
merupakan indicator sampai sejauhmana kesejahteraan guru itu telah
terpenuhi. Pemerintah terkesan menina-bobokan guru dengan sertifikasi
dan tunjangan profesi. Pemerintah masih menganggap guru bagai anak kecil
yang merengek untuk dibelikan baju, tetapi pemerintah hanya memberinya
sebatang coklat karena anak kecil tersebut sudah pasti akan diam dari
rengekannya.
Tidak akan ada artinya ruang belajar yang mewah ber-AC atau laboratorium
yang canggih dengan fasilitas IT jika guru yang mengajar tidak
diperhatikan kesejahteraannya. Akan sia-sia perpustakaan yang lengkap
dan media pembelajaran yang modern jika guru yang mengajar tidak
dipedulikan kenyamanan dan keamanannya. Tetapi kalau guru sejahtera,
nyaman dan aman mengajar maka dengan sendirinya akan tumbuh komitmen,
loyalitas, kapasitas dan kreatifitas guru dalam mengajar.
Apapun ceritanya, guru merupakan ujung tombak pendidikan.
Mensejahterakan guru adalah sebuah keniscayaan, karena dengan guru yang
sejahtera maka kualitas pendidikan akan meningkat.
SUMBER-SUMBER
- http://pendidikanantikorupsi.org/wp-content/uploads/2012/04/Makalah_Memaknai-Kembali-Arti-Kesejahteraan-Guru.pdf
- Penulis adalah Guru SMKN 1 Percut Sei Tuan dan Sekretaris Umum Serikat Guru Indonesia Kota Medan (SeGI Medan)