Saturday, December 10, 2011

ASPEK NEUROLOGI BAHASA



1.                  Struktur, Fungsi, dan Pertumbuhan Otak
Otak ( serebrum dan serebelum ) adalah salah satu komponen dalam system susunan saraf manusia. Komponen lainnya adalah sumsum tulang belakang atau medula spinalis dan saraf tepi. Yang pertama, otak, berada di dalam ruang tengkorak ; medulla spinalis berada di dalam ruang tulang belakang ; sedangkan saraf tepi ( saraf spinal dan saraf otak ) sebagian berada di luar kedua ruang tadi ( Kusumoputro, 1981).
Otak seorang bayi ketika baru dilahirkan beratnya hanya kira-kira 40 % dari berat otak orang dewasa ; sedangkan mahluk primate lain, seperti kera dan simpanse adalah 70% dari otak dewasanya (Menyuk, 1971: 31). Dari perbandingan tersebut tampak bahwa manusia kiranya telah dikodratkan secara biologis untuk mengembangkan otak dan kemampuannya secara cepat.
Perbedaan otak manusia dan otak mahluk lain, seperti kera dan simpanse, bukan hanya terletak pada beratnya saja, melainkan juga pada struktur dan fungsinya. Pada otak manusia ada bagian-bagian yang sifatnya disebut manusiawi, seperti bagian-bagian yang berkenaan dengan pendengaran, ujaran, pengontrol alat ujaran, dan sebagainya. Pada otak mahluk lain tidak ada bagian-bagian yang berkenaan dengan ujaran itu. Sebaliknya, pada otak mahluk lain, banyak bagian yang berhubungan dengan insting ; sedangkan pada otak manusia tidak banyak. Ini berarti ; perbuatan mahluk lain lebih banyak dikendalikan oleh insting dan perbuatan manusia bukan hanya karena insting.
  Dilihat dari atas, otak terdiri dari dua hemister (belahan), yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, yang dihubungkan oleh korpus kalosum. Tiap hemisfer terbagi lagi dalam bagian-bagian besar yang disebut sebagai lobus, yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus oksipitalis, lobus temporalis.
Permukaan otak yang disebut sebagai korteks serebri tampak berbelok-kelok membentuk lekukan (disebut sulkus) dan benjolan (disebut girus). Dengan adanya sulkus dan girus ini permukaan otak yang disebut korteks serebri itu menjadi lebih luas.
Korteks serebri ini mempunyai peranan penting baik pada fungsi elementer, seperti pergerakan, perasaan, dan pancaindra, maupun pada fungsi yang lebih tinggi dan kompleks yaitu fungsi mental atau fungsi luhur atau fungsi kortikal dari kata korteks. Fungsi kortikal ini antara lain terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa).
Girus yang terdapat pada korteks hemisfer  kiri dan hemisfer kanan mempunyai peranan bagi masing-masing fungsi tertentu. Korteks hemisfer kanan menguasai fungsi elementer dari sisi tubuh sebelah kiri, dan korteks hemisfer sebelah kiri menguasai fungsi tubuh sebelah kanan. Andaikan korteks presentral hemisfer kanan tempat pusat pergerakan tubuh rusak, maka akan terjadi kelumpuhan pada sisi tubuh sebelah kiri dan sebaliknya pula.
Perkembangan atau pertumbuhan sel otak manusia berlangsung dengan sangat cepat, sejak bayi hingga akhir masa remaja. Pengenalan terhadap lingkungan baru pada rentang usia tersebut, memicu lahirnya jutaan sel-sel baru, dan pertumbuhan ini masih akan terus berlangsung pada usia dewasa, hanya saja agak lebih lambat.
Perkembangan atau pertumbuhan otak manusia menurut Volpe (1987) terdiri atas enam tahap, yaitu :
·         Pembentukan tabung neural.
·         Profilerasi selular untuk membentuk calon sel neuron dan glia.
·         Perpindahan selular dari germinal subependemal ke korteks.
·         Deferensiasi selular menjadi neuron spesifik.
·         Perkembangan akson dan dendrite yang menyebabkan bertambahnya sinaps.
·         Elimenisi selektif neuron, sinaps, dan sebagainya untuk spesifikasi.
Kelahiran saraf-saraf baru bisa saja terjadi di wilayah otak lain dan urat saraf tulang belakang. Ia seperti sel kulit, lahir untuk memperbaharui sel-sel yang telah mati. Dengan demikian, kemungkinan besar sel otak juga dapat memperbaharui dirinya sepanjang waktu.
2.                  Fungsi Kebahasaan Otak
Sudah dikemukakan bahwa kedua hemisfer otak mempunyai peranan yang berbeda bagi fungsi kortikal. Fungsi bicara bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang tidak kidal. Hemisfer kiri ini disebut hemisfer dominant bagi bahasa dan korteksnya dinamakan korteks bahasa. Hemisfer dominant atau superior secara morfologis memang agak berbeda dari hemisfer yang tidak dominant atau inferior. Hemisfer dominant lebih berat, lebih besar girusnya dan lebih panjang. Hemisfer kiri yang terutama mempunyai arti penting bagi bicara bahasa, juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal. Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosional, lagu isyarat, baik yang emosional ataupun yang verbal.
Hemisfer kiri memang dominant untuk fungsi bicara bahasa, tetapi tanpa aktifitas hemisfer kanan, maka pembicaraan seorang akan menjadi monoton, tak ada prosodi, tak ada lagu kalimat ; tanpa menampakan adanya emosi ; dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.
Penentuan dan pembuktian daerah-daerah tertentu dalam otak dalam kaitannya dengan fungsi bicara bahasa dan fungsi-fungsi lain pada awalnya dilakukan dengan penelitian terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan  otak atau kecelakaan yang mengenai kepala. Kemudian dilakukan juga dengan berbagai eksperimen terhadap orang sehat.
Satu daerah lagi yang terlibat dalam proses ujaran adalah daerah korteks ujaran superior atau daerah motor  suplementer. Bukti bahwa daerah itu dilibatkan dalam artikulasi ujaran fisik berasal dari ahli bedah saraf Penfield dan Robert, yang melakukan penelitian dengan teknik ESB. Dengan batuan arus listrik keduanya dapat mengindentifikasikan daerah-daerah otak yang dipengaruhi rangsangan listrik. Daerah-daerah yang dipengaruhi rangsangan listrik itu mempengaruhi hasil ujaran secara normal. Karena daerah motor suplementer itu berdekatan dengan celah yang digunakan untuk mengendalikan gerak fisik, yakni menggerakan tangan, kaki, lengan dan lain-lain, daerah itu juga mengendalikan penghasilan ujaran.
Hasil penelitian tentang kerusakan otak oleh Broca dan Wernickle serta penelitaian Penfield dan Robert mengarah pada kesimpulan bahwa hemisfer kiri dilibatkan dalam hubungannya dengan fungsi bahasa. Kranshen (1977) mengemukakan lima alas an yang mendasari kesimpulan itu. Kelima alas an itu adalah berikut ini.
·         Hilangnya kemanpuan berbahasa akibat kerusakan otak lebih sering disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf hemisfer kiri daripada hemisfer kanan.
·         Ketika hemisfer kiri dianestesia kemampuan berbahasa menjadi hilang, tetapi ketika hemisfer kanan dianestesia kemanpuan bahasa itu tetap ada.
·         Sewaktu bersaing dalam menerima masukan bahasa secara bersamaan dalam tes dikotik, ternyata telinga kanan lebih unggul dalam ketepatan dan kecepatan pemahaman daripada telinga kiri. Keunggulan telinga kanan itu karena hubungan antara telinnga kanan dan hemisfer kiri lebih baik daripada hubungan telingan kiri dengan hemisfer kanan.
·         Ketika materi bahasa diberikan melalui penglihatan mata kanan dan mata kiri, maka ternyata penglihatan kanan lebih cepat dan lebih tepat dalam menangkap materi bahasa itu daripada penglihatan kiri. Keunggulan penglihatan kanan itu karena hubungan antara penglihatan kanan dan hemisfer kiri lebih baik daripada hubungan penglihatan kiri dan hemisfer kanan.
·         Pada waktu melakukan kegiatan berbahasa baik secara terbuka maupun tertutup, hemisfer kiri menunjukan kegiatan elektris lebih hebat daripada hemisfer kanan. Hal ini diketahui melalui analisis gelombang otak. Hemisfer yang lebih aktif sedikit dalam menghasilkan gelombang alpha.    
3.                  Teori Lateralisasi
Banyak pakar psikologi yang meragukan teori lateralisasi, bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada pada hemisfer kiri. Mereka berpendapat bahwa seluruh otak bertanggung jawab dan terlibat dalam proses pemahaman dan produksi bahasa. Pendapat ini dalam psikologi disebut holisme. Namun demikian, dari bukti-bukti eksperimental yang dilakukan terhadap otak yang normal, kebenaran teori lateralisasi  itu bisa dipertimbangkan. Berikut dikemukakan beberapa eksperimen yang pernah dilakukan untuk menyokong teori lateralisasi itu.
a)                  Tes Menyimak Rangkap ( Dichotic Listening)
Tes ini dilakukan dengan memperdengarkan pasangan kata yang berbeda (misalnya boy dan girl ) pada waktu yang betul-betul bersamaan di telinga kiri dan kanan orang yang dites dengan kenyaringan yang sama.
Ternyata kata boy yang diperdengarkan pada telinga sebelah kanan dapat diulangi dengan baik dari pada kata girl yang diperdengarkan di telinga sebelah  kiri. Hasil tes ini membuktikan bahwa telinga kanan (yang diladasi oleh hemisfer kiri) lebih peka terhadap bunyi-bunyi bahasa dibandingkan dengan telinga kiri (yang dilandasi oleh hemisfer kanan).
b)                 Tes Stimulus Elektris ( Electrical Stimulation of Brain )
Dengan tes ini pusat bahasa pada otak distimuluskan dengan aliran listrik melalui thalamus lateral kiri sehingga menimbulkan anomia, di mana subjek yang diteliti tidak dapat menyebutkan nama benda yang ada di depannya, meskipun dia lancar bercakap-cakap. Stimulus elektris yang sama yang dilakukan terhadap hamisfer kanan melalui thalamus lateral kanan tidak menyebabkan anomia. Tes stimulus elektris ini membuktikan bahwa lateralisasi hemisfer kiri untuk bahasa telah merupakan satu kenyataan yang tidak dapat dibantah.  
c)                  Tes Grafik Kegiatan Elektris ( Electris Encephalo Graphy )
Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah aliran listrik pada otak apabila seseorang sedang bercakap-cakap dan kalau ada bagian manakah yang giat mendapatkan aliran lisrtik ini. Sebalinya juga dengan tes ini juga, grafik kegiatan elektris telah direkam pada hemisfer kanan bila subjek-subjek yang diteliti sedang giat melakukan kegiatan yang bukan ujaran bahasa. Tes grafik kegiatan elektris ini telah membuktikan bahwa lateralisasi untuk bahasa adalah pada hamesfer kiri, sedangkan hemisfer kanan untuk fungsi-fungsi lain yang bukan bahasa.
d)                 Tes Wada ( Tes Amysal )
Dalam tes ini obat sodium amysal diinjeksikan kedalam system peredaran salah satu belahan otak. Belahan otak yang mendapatkan obat ini menjadi lumpuh untuk sementara. Jika hemisfer kanan yang dilumpuhkan dengan sodium amysal ini, maka anggota-anggota badan sebelah kiri tidak berfungsi sama sekali. Namun, fungsi bahasa tidak terganggu sama sekali dan orang yang diteliti ini dapat bercakap-cakap dengan normal seperti biasa. Apabila hemisfer kiri yang diberi sodium amysal maka anggota badan sebelah kanan menjadi lumpuh, termasuk fungsi bahasa. 
e)                  Teknik Fisiologi Langsung ( Direct Physiological Technique )
Teknik fisiologi langsung ini merekam secara langsung getaran-getaran elektris pada otak dengan cara electro encephalo grapky, setelah ke telinga kiri dan telinga kanan secara berturut-turut diperdengarkan bunyi bisikan dan bunyi ujaran bahasa. Ternyata suara bising terekam dengan baik pada hemisfer kanan, sedangkan bunyi ujaran bahasa terekam dengan baik pada hemisfer kiri.
f)                   Teknik Belah Dua Otak ( Bisected Brain Technique )
Pada teknik ini kedua hemisfer sengaja dipisahkan dengan memotong korpus kalosum, sehingga kedua hemisfer itu tidak mempunyai hubungan. Kemudian pada tangan kiri pasien yang matanya ditutup dengan kain, diletakan sebuah benda misalnya anak kunci. Ternyata subjek mengenal benda itu dengan melakukan gerak membuka pintu dengan menggunakan anak kunci itu, tetapi tidak dapat menyebutkan nama benda itu. Mengapa, karena penyebutan nama benda dilandasi oleh hemisfer kiri, sedangkan tangan kiri yang memegang benda itu dilandasi dengan hemisfer kanan. Dengan kata lain hemisfer kiri tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh hemisfer kanan karena hubungan keduanya telah diputuskan.
4.                  Teori Lokalisasi
Teori lokalisasi atau lazim juga disebut pandangan lokalisasi berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan daerah Wernicke seperti sudah disebut sebelumnya.
Ada beberapa cara lain untuk menunjukan teori lokalisasi ini antara lain sebagai berikut.
a)                  Teknik Stimulus Elektrik
Teknik ini dilakukan dengan cara menstimulasi bagian-bagian tertentu permukaan korteks dengan aliran listrik, seperti yang telah dilakukan dua ahli bedah saraf, Penfield dan Robert (1959) pada waktu proses pengobatan bedah saraf pasien-pasien otak.
Mereka menemukan hanya pada tiga bagian saja yang terdapat kelainan-kelainan yang merusak bahasa. Ketiga tempat itu adalah berikut ini.
·                     Bagian depan girus tengah sebelah bawah lobus depan kiri, yaitu bagian yang sekarang dikenal dengan daerah (medan) Broca.
·                     Bagian atau medan temporo pariental posterior, yaitu yang sekarang dikenal sebagai daerah (medan) Wernicke.
·                     Medan motor suplementer yang terdapat pada permukaan tengah belahan korteks sebelah kiri, yaitu yang sekarang dikenal sebagai korteks motor.
b)         Teknik Perbedaan Anatomi Otak
Dalam berbagai literature mengenai teori lokalisasi muncul satu pertanyaan : jika pusat-pusat bahasa hanya berada pada hemisfer kiri, tentulah kedua hemisfer itu, kiri dan kanan tidak simetris, hemisfer kiri tentu lebih besar dari pada hemisfer kanan.
Untuk menjawab pertanyaan ini Geschwind dan Levistsky (1968) telah menganalisis secara terperinci 100 otak manusia normal setelah mereka meninggal. Keduanya menemukan bahwa planun temporale yaitu daerah dibelakang girus Heschl jauh lebih besar pada hemisfer kiri. Bahkan perbedaan ini dapat langsung dilihat dengan mata.
c)      Cara Melihat Otak Dengan PET (Positron Emission Tomography)
Cara lain  untuk membuktikan teori lateralisasi dan lokalisasi adalah dengan cara melihat otak secara langsung dengan menggunakan alat yang disebut PET. Dengan PET ini kita melihat bagian-bagian otak terutama bagian-bagian korteks, pada waktu bagian-bagian itu sedang berfungsi.
Umpamanya kalau pasien diminta mendengarkan lagu atau musik, maka korteks hemisfer kanan akan kelihatan bercahaya dan berwarna merah, tetapi apabila dia mendengarkan bahasa (kaliamt-kalimat) maka korteks hemifer kirilah yang bercahaya dan berwarna merah. Hal ini membuktikan bahwa suatu latihan yang dilakukan dengan kesadarn dan kefahaman yang tinggi dapat menukar reaksi fungsional otak dari hemisfer kanan ke hemisfer kiri.
5.                  Hamisfer yang Dominan
Menurut Yule (1985) fungsi bagian tertentu pada satu daerah otak yang mengalami kerusakan akan digantikan oleh penggantinya dibagian otak yang lain. Oleh karena itu, sangat diperlukan kecermatan untuk menyatakan hubungan-hubungan antara aspek-aspek perilaku linguistic dan letaknya dalam otak.
Krashen lebih jauh mengatakan bahwa cara kerja hemisfer tertentu pada setiap orang dapat bervariasi dalam dua hal berikut.
·         Sebagian orang kurang mendapat lateralisasi daripada sebagian orang yang lain. Maksudnya, untuk orang-orang tertentu kemampuan berbahasa dikendalikan oleh hemisfer kiri orang-orang tertentu lain oleh hemesfer kanan.
·         Sebagian orang lebih cenderung pada penggunaan salah satu hemisfer kiri atau kanan, secara lebih siap untuk kondisi kognitif.
Teori mengenai daerah konvergensi bahasa itu antara lain mengatakan berikut ini.
·         Setiap orang memiliki pola otak yang unik yang mendasari kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Hal ini dibuktikan dengan hasil temuan bahwa ternyata wanita memiliki pola otak yang membuat IQ verbalnya lebih besar dibanding pria.
·         Bahasa pertama (bahasa ibu) seseorang berkaitan erat dengan jaringan sel saraf, sedangkan bahasa kedua berkaitan dengan otak. Ini dibuktilkan dari hasil penelitian terhadap orang terserang stroke. Stroke yang menyerang salah satu bagian otak dapat membuat hilangnya kemampuan bahasa pertama, sedangkan bahasa kedua (yang sedang dipelajari) masih melekat atau dapat juga sebaliknya yang hilang bahasa kedua sedangkan bahasa pertama masih tetap ada.
Kritik terhadap teori lateralisasi sebagai hasil penelitian lebih lanjut berujung pada lahirnya hipotesis adanya hemisfer yang dominant yang mungkin pada hemisfer kiri  dan mungkin pula pada hemisfer kanan.  
6.                  Otak Wanita
Majalah Femina edisi bulan Juni 1999 menurunkan artikel berjudul "Otak Kita, Keunggulan Kita", dan yang dimaksud dengan kita di sini adalah wanita. Dalam tulisan itu diakui memang ukuran otak pria lebih besar antara 10-15% dari pada otak wanita. Padahal temuan mutakhir dibidang neurology menegaskan bahwa dalam beberapa hal otak wanita lebih unggul. Dimanakah letak keunggulan otak wanita?
a)                  Otak Wanita Lebih Seimbang
Asumsi adanya perbedaan cara kerja otak pria dan wanita itu terutama dikukuhkan oleh perbedaan kepadatan sel-sel saraf atau neuron pada suatu daerah di otak. Hasil penelitian menunjukan bahwa lepas dari soal ukuran, daerah tertentu otak wanita lebih kaya akan neuron dibandingkan otak pria. Perlu dicatat makin banyak jumlah neuron di suatu daerah, makin kuat fungsi otak di sana.
Selain itu, kalau kanak-kanak perempuan lebih cepat pandai bicara, membaca, dan jarang mengalami gangguan belajar dibandingkan kanak-kanak laki-laki, para ahli memperkirakan adanya kaitan dengan kemampuan wanita menggunakan kedua belah hemisfernya (kiri dan kanan) ketika membaca atau melakukan kegiatan verbal lain. Sedangkan pria hanya menggunakan salah satu hemisfernya (biasanya sebelah kiri).
b)                 Otak Wanita Lebih Tajam
Menurut Dr. Thomas Crook dan sejumlah ahli, setelah melakukan pengujian indra, bahwa penglihatan wanita lebih tajam daripada pria, meski diakui bahwa lebih banyak wanita yang lebih dulu memerlukan bantuan kecamata daripada pria. Penglihatan wanita mulai menurun sejak memasuki usia 35 sampai 44 tahun, sedangkan pria mulai 45 sampai 54 tahun.
Begitu juga dengan pendengaran wanita lebih tajam daripada pria. Maka tak mengherankan kalau pada malam hari tangisan bayi biasa membangunkan sang ibu, sementara sang ayah tetap terlelap. Pendengaran wanita baru mulai berkurang menjelang usia 50-an.
Dr.Thomas Crook juga menyimpulkan bahwa ingatan pria kurang tajam dibanding dengan ingatan wanita. Baik wanita maupun pria sama-sama akan mengalami penurunan daya ingat sesuai dengan pertumbuhan usia.
Ketajaman otak wanita bukan hanya pada indranya, tapi juga pada perasaannya. Hal ini terbukti ketika diminta mengenang pengalaman emosionalnya dengan bantuan MRI, tampak wanita lebih responsive daripada pria. 
c)                  Lebih Awet dan Selektif
Dalam jurnal kedokteran Arhieves of Neurology terbitan tahun 1998 (femina, Juni 1999) diungkapkan temuan bahwa otak pria mengerut lebih cepat daripada otak wanita. Ketika sama-sama muda memang otak pria lebih besar daripada otak wanita, tetapi ketika keduanya mencapai usia 40 tahun, otak pria menyusut (terutama dibagian depan) sehingga besarnya sama dengan otak wanita.
Penyusutan otak pria itu, menurut temuan Ruben, berkaitan dengan efisiensi pemakaian energi. Otak wanita memiliki kemampuan untuk menyesuaikan kecepatan metabolisme otak (pemakaina energi oleh otak) dengan umumnya, sedangkan kecepatan metabolisme pria semakin boros energi dengan bertambahnya usia. Wanita meskipun juga mengalami penyusutan jaringan secara menyeluruh ketika bertambah tua tubuhnya punya kecenderungan untuk menghemat apa yang ada, termasuk otaknya.
7.                  Peningkatan Kemampuan Otak : Membaca dengan Kedua Belah Otak
Teori lateralisasi dan lokalisasi berpendapat bahwa wilayah-wilayah tertentu dalam otak memiliki fungsi-fungsi tertentu, seperti ideasi bahasa berada pada hemisfer kiri dan kemampuan berbicara ada pada daerah Broca sedangkan kemampuan memahami terdapat pada daerah Wernicke. Kesimpulan yang diajukan telah dibuktikan berdasarkan penelitian pasien-pasien yang mengalami kerusakan otak juga dari hasil penelitian terhadap sejumlah orang yang tidak mengalami kerusakan otak.
Harian Media Indonesia 6 Januari 2000, menurunkan satu artikel berjudul " Membaca dengan Kedua Belah Otak ". dalam artikel itu dikatakan dalam era globalisasi dewasa ini agar tidak ketinggalan informasi yang sudah mengglobal orang harus membaca. Namun, pekerjaan membaca ini menjadi sukar bagi orang yang tidak bisa membaca ditempat yang bising, atau bagi orang yang tidak punya banyak waktu karena kesibukannya dengan pekerjaannya.
Orang dewasa rata-rata dapat membaca 250 kata per menit. Namun setelah 36 jam daya ingat yang tersisa dari yang dibaca itu tinggal 10 %. Jadi, orang membaca selama satu jam hanya menguasai bahan yang dibacanya selama enam menit. Kebanyakan orang hanya menggunakan hemisfer kirinya. Wilayah hemisfer kiri biasanya membaca dengan pola analisis, harfiah dan linear. Sedangkan hemisfer kanan mampu melakukan pemahaman secara simbolik dan spasial, serta mudah menangkap makna intuitif  dan metaphor. Maka jika kedua hemisfer ini bisa difungsikan secara bersamaan, kiranya membaca sekaligus memahami teks dapat dilakukan dengan kecepatan luar biasa.
Menurut Diane Alexander, lambannya kecepatan membaca dann minimnya daya ingat terhadap yang dibacanya adalah karena tidak terfokusnya mata pada apa yang dibacanya. Seringkali ketika menghadapi sebuah halaman buku, mata lari kederetan kata diseluruh halaman dan bukan pada satu deret kalimat yang dibaca. Oleh karena itu menurut Diane, langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengubah kebiasaan itu adalah membaca dengan runtut dari samping kiri ke samping kanan halaman, dengan bantuan jari tangan yang digunakan untuk mengikuti baris demi baris kalimat tersebut. Mata harus dibiasakan untuk mengikuti rute ini secara tertib.
Berdasarkan penelitian yang dikerjakan oleh Diane Alexander, Ken Shear, dan kawan-kawannya dapat ditarik kesimpulan bahwa teori lokalisasi yang menyatakan tiap wilayah otak memiliki fungsi-fungsi tetentu ternyata tidak seratus persen benar sebab ternyata hemisfer kanan pun dapat dilatih untuk tugas-tugas kebahasaan.
8.                  Pemberbahasaan Hewan
Mengerti bahasa dan dapat berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Hewan-hewan yang dilatih, seperti dalam sirkus, memang mengerti bahasa karena dia dapat melakukan perbuatan yang diperintahkan kepadanya. Namun kemengertiannya itu sebenarnya bukanlah karena dia mengerti bahasa, melainkan sebagai hasil dari respon-respon yang dikondisikan.
Meskipun demikian banyak pakar yang telah mencoba mengajarkan bahasa manusia pada hewan primate, yakni simpanse. Di antara pakar itu adalah sebagai berikut.
a)                  Keith J. Hayes dan Catherine Hayes
Keith dan Catherine adalah sepasang suami istri yang memelihara seokor simpanse betina yang diberi nama Viki.kedua pasangan suami istri itu berharap Viki dapat menirukan kata-kata manusia yang didengarnya dan dapat menggunakannya dengan benar dalam keluarga tempat dia dibesarkan. Pada akhirnya memang Viki dapat mempelajari posisi bibir dan mulut dengan dibantu kedua tangannya untuk menghasilkan kata-kata yang diminta oleh kedua orang tua angkatnya. Namun, meskipun Viki dapat mengucapkan kata-kata itu, belum berarti dia dapat memahami makna kata-kata itu.
Hasil eksperimen itu ternyata kurang menggembirakan. Setelah enam tahun berlangsung Viki memang dapat mengucapkan kata-kata itu. Akan tetapi ternyata Viki hanya mau menirukan kata-kata itu setelah pelatih mengucapkannya, dan hanya kalau dia diberi hadiah berupa makanan atau minuman setelah itu.
b)                 R. Allen Gardner dan Beatrice T. Gardner
Sama halnya dengan Hayes, Allen Gardner dan Beatrice Gardner adalah sepasang suami istri yang mencoba mengajarkan bahasa pada simpanse betina bernama Washoe. Berdasarkan pengamatan terhadap Viki yang tidak dapat mengucapkan kata-kata, Allen dan istrinya mendapatkan gagasan untuk tidak mengajar Washoe dengan bunyi suara, melainkan dengan bahasa isyarat Amerika yang digunakan oleh para tunarungu di Amerika.
Di samping itu mereka juga memotivasi Washoe untuk mempelajari bahasa isyarat itu dengan cara menunjukan posisi tangan secara berulang-ulang, dengan cara memperbaiki posisi tangan Washoe pada waktu membuat isyarat. Hasilnya? Setelah dua tahun belajar Washoe telah dapat menggunakan 34 buah kata secara benar dalam situasi yang tepat, misalnya dia membuat isyarat anjing ketika dia melihat gambar anjing atau ketika mendengar suara anjing(tanpa melihat anjing).
Dibanding dengan anak manusia, kepandaian Washoe memang belum apa-apa. Pada usia lima tahun anak manusia telah menguasai beratus-ratus kata serta telah dapat membuat kalimat yang lebih kompleks. Namun demikian, Washoe tercatat dalam sejarah sebagai simpanse yang dapat berkomunikasi dengan kata-kata dalam bahasa isyarat bukan lisan.   
c)                  David Premack dan Ann Premack
David dan Ann adalah sepasang suami istri yang coba mengajarkan bahasa manusia pada beberapa simpanse, salah seekor diantaranya bernama Sarah, seekor simpanse betina. Sarah diajarkan untuk menguasai bahasa buatan yang disusun dari lempengan-lempengan plastic. Bentuk maupun warna lempengan itu tidak berhubungan dengan maknanya. Misalnya, untuk apel lempengan itu berbentuk segitiga berwarna biru dan konsep sama berbentuk lempengan bergerigi berwarna orange.
Proses pembelajaran berlangsung sebagai berikut. Sarah dan pengajarnya duduk di bangku secara terpisah. Sarah di tempatkan dalam kandang dan pengajarnya duduk di ujung bangku itu. Untuk mengajarkan nama makanan, misalnya, pengajar akan menukar makanan itu dengan lempengan plastic yang sesuai. Umpamanya, dalam mengajarkan konsep apel pengajar meletakan sepotong apel di atas meja dalam jarak yang tidak dijangkau Sarah. Kemudian pengajar meletakan lempengan plastic segitiga biru dalam jangkauan Sarah, dan pengajar tidak akan memberikan apel apabila Sarah tidak meletakan segitiga biru itu pada sebuah papan bahasa yang ada di depannya.
Setelah menguasai sebuah kata (dalam bentuk lempengan plasti), tahap berikutnya Sarah diajarkan mengurutkan dua buah kata, misalnya, beri apel. Bila Sarah dapat membuat urutan seperti itu dia akan diberi apel, tetapi bila salah misalnya menjadi apel beri, dia tidak akan diberi apel.
Maka tampak bahwa simpanse, binatang primata yang katanya tingkat kognisinya hanya satu jenjang di bawah manusia, tetap tidak dapat menguasai bahasa manusia kalau bahasa itu kita sepakati sebagai alat komunikasi verbal berupa system bunyi yang arbitrer. Viki, simpanse yang dilatih oleh pasangan suami istri Hayes, memang bisa mengucapkan beberap kata tertentu, tetapi dia hanya bisa mengucapkan apabila terlebih dahulu diucapkan oleh pelatihnya dan apabila diberi hadiah. Begitu juga yang dilakukan Washoe, Sarah, Lana, Nim Chimsky, tanpa upah mereka tidak mau melakukan apa-apa.
Tentang mengajarkan bahasa manusia pada simpanse ini memang telah menimbulkan pendapat yang controversial. Namun, kiranya perbedaan kodrat otak mereka dengan otak manusia, yang menyebabkan mereka tidak mungkin menguasai bahasa manusia. 
DAPTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Psikolinguistik : Kajian Teoritik. Jakarta : Rineka Cipta, 2003.

Thursday, December 8, 2011

REFORMASI PRODUKSI UNDANG-UNDANG


Sejak awal Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka hukum memang penting. Tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana kita membaca dan memaknai hukumtersebut. Nazi Jerman juga sebuah negara hukum, tetapi membantai jutaan orang Yahudi dengan sengaja dan sistematis. Ternyata tipe negara hukum itu dapat bermacam-macam, demokratis, otoriter, bahkan “monster”.
Pelajaran sejarah tersebut sungguh-sungguh berharga untuk mencerahkan dan mendewasakan kehidupan umat manusia dalam bernegara hukum. Kita menjadi tahu bahwa hukum itu hanya bentuk atau wadah yang di dalamnya dapat diisi dengan seribu macam keinginan dan kepentingan. Bentuk itu tidak berubah dan tidak ada hubungannya dengan isi. Dunia pasca-holocaust yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman tentunya menjadi lebih cerdas. Memang itulah yang kemudian terjadi, seperti pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan moral kemanusiaan yang baru.
Indonesia lahir sesudah pengalaman dunia yang diciptakan para penguasa negara hukum Nazi Jerman. Para arsitek UUD1945 tentunya sangat kuat dibayangi oleh kengerian terhadap genosida yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman. Dengan latar belakang itulah kita membaca pikiran Supomo dan kawan-kawan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum bukan negara kekuasaan semata.
Indonesia tidak boleh mengulangi sejarah dan jatuh sebagai negara yang menggunakan kekuasaanya dengan sewenang-wenang. UUD RI menjawab dengan kata-kata “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pernyataan tersebut bersifat histories dan merupakan jawaban bangsa Indonesia terhadap pembantaian kemanusiaan di dunia yang waktu itu baru saja lewat. Kekuasaan memang penting, tetapi jangan dibiarkan menjadi liar. Hukum bertugas mengendalikan kekuasaan tersebut. Hukum tak dapat mengendalikan kekuasaan, kecuali negara hukum itu memiliki komitmen terhadap moral kemanusiaan.
Dapat dikatakan, negara hukum Indonesia adalah sebuah negara hukum yang komitmen moral kemanusiaan. Ini masih lebih tinggi daripada sebutan negara hukum demokratis. Dengan komitmen seperti itu, sudah sepantasnyalah apabila Indonesia menawar negara hukum macam apa yang akan dibangun di negeri ini.
Bukan kuantitas
Undang-undang itu memang penting, tetapi janganlah diukur dari jumlah yang diproduksi. Kuantifikasi perundang-undangan dapat menjerumuskan kita kepada kediktatoran kalimat undang-undang, padahal UUD 1945 sarat dengan pesan dan kandungan moral. Konstitusi Indonesia layak disebut sebagai “konstitusi partisan” yang memihak kepada bagian bangsa Indonesia yang kurang beruntung. Kata-kata “ sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” adalah sebuah deklarasi moral yang menyentakan.
Sejak UUD 1945 menyusui (nurture) perundang-undangan Indonesia dengan penuh pesan moral kemanusiaan, maka kita belum bernegara hukum dengan benar apabila pesan-pesan tersebut belum diwujudkan dengan nyata di semua lembaga negara.
Di dalam dunia modern undang-undang kita perlukan karena kehidupan sudah menjadi sangat kompleks sehingga membutuhkan panduan yang jelas. Untuk itulah undang-undang diperlukan. Kendati demikian, memahami dan menerima undang-undang sebagai suatu yang final (finite scheme) adalah kesalahan besar. Cacat undang-undang adalah sebuah kemungkinan besar yang dapat terjadi.
Oleh karena itu di muka dikatakan bahwa jangan sampai terjadi kediktatoran perundang-undangan. Hukum sejatinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Di dalam negara hukum Indonesia, seyogyanya paradigma itulah yang kita pegang, yaitu hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya.
Maka sungguh celakalah apabila reformasi itu dimaknai sebagai “reformasi produksi undang-undang” karena bangsa Indonesia tidak akan meningkat kebahagiaannya dengan cara bernegara hukum seperti itu.

Tuesday, December 6, 2011

Peran Guru Sehubungan dengan Murid


Peranan guru dalam hubungannya dengan murid bermacam-macam menurut situasi interaksi social yang dihadapinya, yakni situasi formal dalam proses belajar-mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal.
Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukan kewibawaan atau otoritasnya, artinya ia harus mempu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol kelakuan anak. Kalau perlu ia dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak belajar, melakukan tugasnya atau mematuhi peraturan. Dengan kewibawaan ia menegakan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses belajar-mengajar.
Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak. Mendidik ialah membimbing anak dalam perkembangannya kea rah tujuan pendidikan. Bimbingan atau pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan diperoleh bila pendidik menpunyai kewibawaaan. Kewibawaan dan kepatuhan merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin.
Adanya kewibawaan guru dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :
  • Anak-anak sendiri mengharapkan guru yang berwibawa, yang dapat bertindak tegas untuk menciptakan suasana disiplin dan mereka bersedia mengakui kewibawaan itu. Bila ada guru baru, mereka sering menguji hingga manakah kewibawaan guru itu. Mereka lebih senang bila guru menang dalam pengujian kewibawaan guru itu.
  • Guru dipandang sebagai pengganti orang tua lebih-lebih pada tingkat SD. Bila di rumah anak itu mematuhi ibunya, maka lebih mudah ia menerima dan mengakui kewibawaan ibu guru.
  • Pada umumnya tiap orang tua mendidik anaknya agar patuh kepada guru. Bila guru digambarkan sebagai orang yang harus dihormati, sebagai orang yang berhak menghukum pelanggaran anak, bila orang tua senagtiasa memihak guru dalam semua tindakannya, maka guru lebih mudah menegakan kewibawaaanya.
  • Guru sendiri dapat memelihara kewibawaannya dengan menjaga adanya jarak social antara dirinya dengan murid dan berenda-gurau dengan mereka. Sekalipun dalam situasi informal guru harus senangtiasa menjaga kedudukannyasebagai guru dan tidak menjadi salah seorang anggota yang sama dengan anak-anak.
  • Guru harus disebut “Ibu Guru” atau “Pak Guru” dan dengan julukan itu memperoleh kedudukan sebagai orang yang dituakan.
  • Dalam kelas guru duduk atau berdiri di depan murid. Posisi yang menonjol itu memberikannya kedudukan yang lebih tinggi daripada murid yang harus duduk tertib di bangku tertentu. Ia senangtiasa mengawasi gerak-gerik murid untuk mengontrol kelakuannya. Sebagai guru ia berhak menyuruh murid melakukan hal-hal menurut keinginannya.
  • Untuk guru sering disediakan ruang guru yang khusus yang tak boleh dimasuki murid begitu saja.
  • Guru-guru muda yang ingin bergaul dengan murid sebagai kakak dan akan dinasihati oleh guru-guru tua yang berpengalaman agar menjaga jarak dengan murid dan jangan terlampau rapat dengan mereka.
  • Wibawa guru juga diperolehnya dari kekuasaannya untuk menilai ulang atau ujian murid dan menentukan angka rapor dan dengan demikian menentukan nasib murid, apakah ia naik atau tinggal kelas. Murid maupun mahasiswa sangat menyegani pengajar yang memegang kekuasaan itu. Ada guru yang menyalahgunakan kekuasaan itu dan diberi julukan “killer”.
  • Namum kewibawaan yang sejati diperoleh guru berdasarkan kepribadiannya sendiri. Kepribadian itu harus dibentuk berkat pengalaman. Kepribadian diperolleh dengan mewujudkan norma-norma yang tinggi pada diri guru seperti rasa tanggungjawab, yang nyata dalam ketaatan pada waktu, persiapan yang cermat, kerajinan memeriksa pekerjaan murid, kesediaan membimbing dan membantu murid, kesabaran, ketekunan, kejujuran, dan sebagainya.
Kewibawaan sejati tidak diperoleh dengan penyalahgunaan kekuasaan dengan ancaman akan memberikan angka rendah bila guru merasa ia kurang dihormati. Sekalipun kedudukan sebagai guru telah memberikan kewibawaan formal, namun kewibawaan itu harus lagi didukung oleh kepribadian guru.
Dalam situasi informal guru dapat mengendorkan hubungan formal dan jarak social, misalnya sewaktu reaksi berolah raga, berpiknik atau kegiatan lainnya. Murid-murid menyukai guru yang pada waktu-waktu demikian dapat bergaul dengan lebih akrab dengan mereka, sebagai manusia kepada menusia lainnya, dapat tertawa dan bermain lepas dari kedok formal. Jadi guru hendaknya dapat menyesuaikan peranannya menurut situasi social yang dihadapinya. Akan tetapi bergaul dengan murid secara akrab sebagai sahabat dalam situasi belajar dalam kelas akan menimbulkan kesulitan disiplin bagi murid itu sendiri. Dalam masyarakat kita yang sedidkit banyak masih bercorak otoriter-partikhel mungkin sikap demokratis masih belum dapat dijalankan sepenuhnya.
Walaupun guru bertindak otoriter dengan menggunakan kewibawaannya, namun ia tidak akan dicap sebagai kejam. Guru dapat bertindak tegas bahkan keras namun dapat menjaga jangan sampai menyinggung perasaan dan harga diri murid. Ini mungkin selama ia mengecam kesalahan yang dibuat murid agar diperbaiki  tanpa menyentuh pribadi anak itu sendiri. Kebanyakan murud-murid akan tetap menyukainya dan memandangnya sebagai guru yang baik asal ia selalu berusaha memahami murid dan bersedia untuk membantunya.
Pada satu pihak guru harus bersikap otoriter, dapat mengontrol kelakuan murid, dapat menjalankan kekuasaannya untuk menciptakan suasana disiplin demi tercapainya hasil belajar yang baik dan untuk itu ia menjaga adanya jarak social dengan murid. Di lain pihak ia harus dapat menunjukan sikap bersahabat dan dapat bergaul dengan murid dalam suasana yang akrab. Guru yang berpengalaman dapatmenjalankan peranannya menurut situasi social yang dihadapinya. Kegagaln dalam hal ini akan merusak kedudukannya dalam pandangan murid, kepala sekolah, rekan-rekan guru maupun orang tua murid.