(Maroko,
1304 M – Fez, 1369 M)
Ibnu Batutah banyak melihat peristiwa yang belum pernah dialami di
negaranya termasuk perbuatan penduduk asli, adat istiadat serta ragam flora dan
fauna. Konon, diperkirakan Ibnu Batutah menempuh perjalanan sejauh 75.000 mil
dengan mengelilingi hamper 44 negara selama 30 tahun. Dalam sejarah peradaban
tidak ada satupun tokoh dunia yang mampu melakukan ekspedisi sebagaimana yang
dilakukan Ibnu Batutah. Perjalanannya meliputi berbagai kota dunia seperti
Iskandariyah, Kairo, Mesir, Palestina, Syam. Mosul, Syiraz, Basra, Yaman, Oman,
Baghdad, Kuffah, Diyarbakr, Istirkhan, Delhi, Afganistan, Sarajevo, Bukhara,
Cina, Andalusia, Maroko, Mali, Maladewa bahkan sampai di Indonesia. Di
Indonesia Ibnu Batutah pernah singgah di Sumatera. Sayangnya, Ibnu Batutah pada
dasarnya bukan penulis produktif sehingga tidak dapat satupun catatan atau
hasil karya yang pernah ditulisnya.
Ada satu kitab yang menceritakan perihal dirinya, namun bukan ditulis
secara pribadi, namun ditulis oleh orang lain. Buku itu berjudul Tuhfah
an-Nazzar fi Gara`ib al-Amsar wa `afa`ib al-Asfar (Persembahan Seorang
Pengamat Tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) yang ditunlis
oleh Ibnu Juzai, atas inisiatif sultan Abu Iyan. Buku itu disusun menjadi
sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan mengaitkan berbagai peristiwa,
waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting yang berisi berita dan
peristiwa yang dialami Ibu Batutah selama pengembaraanya. Ibnu Batutah wafat
pada tahun 1369 di Fez. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak
mengumpulkan rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya hanya
mengisahkan pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah
disinggahinya terutama dalam menyangkut kultur setempat.
Di bawah ini sekelumit singkat perjalanan dari Ibnu Batutah
Atas
dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya
kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada
di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan
perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.Hampir semua yang
diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun
dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau
dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.
Lahir
di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh
tahun Ibnu Batutah berangkat haji — ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia
melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia
Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya
ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di
Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman.
Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur
yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke
arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di ‘Aydhad. Tetapi,
ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan
pertikaian lokal.
Kembail
ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai
Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di
perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui
Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya
tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut — Hebron, Yerusalem, dan Betlehem,
misalnya — dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk
mengamankan para peziarah.
Setelah
menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan
yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya
Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah
melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian
memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate
(sekarang Iraq dan Iran.
Dengan
cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju
Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali.
Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade
jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad
belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di
sana ia bertemu Abu Sa’id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk
sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara
menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang
merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah
perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal
selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah
dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan
untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan
tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan
mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan
sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke
Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya.
Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke
Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia
berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah
lagi. Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di
kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia.
Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan
menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai
selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai
Laut Hitam.
Setelah
menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden
Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan
dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.