Sistem korupsi yang teratur
adalah benar-benar isu politik karena itu mempengaruhi hubungan antara negara
dan masyarakat dank arena itu mempengaruhi proses politik dan penghasilan. Pada
satu tangan, korupsi secara signifikan mempengaruhi politik karena hamper semua
bentuk-bentuk korupsi menyalahgunakan pengaruh politik. Hal itu mengakibatkan
proses yang terlewati, melemahkan hak-hak sipil, dan “menghambat saluran sah pemerintah
pada akses politik dan pertanggung jawaban sementara membuka (dan
menyembunyikan) dosa yang baru4”. Hal itu juga bisa membawa kepada kelemahan
institusi politik dan hilangnya kepercayaan orang-orang pada sistem politik.
Dalam banyak kasus, rezim militer menggunakan korupsi tingkat tinggi pada
masyarakat untuk memberikan alas an untuk menggulingkan pemerintahan. Korupsi
memiliki efek yang mwerugikan pada kualitas proses politik karena hal itu
membiarkan 3 element kunci pada proses demokrasi : gambaran, debat, dan
pilihan.
Disisi lain, politik
menyebabkan jenis-jenis dan besarnya korupsi di berbagai cara. Korupsi bisa
juga digunakan dalam pendebatan dan cara-cara berpolitik yang kadang-kadang
membuat hal itu sulit untuk membedakan mana korupsi dari skandal-skandal
pengikutnya. Lawan politik yang dikecilkan dari kritikan pemerintah yang ada
mungkin menemukan peng-korupsi-an sebagai sebuah jalan untuk menantang
pemerintah tanpa mengancam pada kekuatan politik5. Direzim demokrasi,
partai-partai yang berkuasa juga mempertimbangkan persepsi publik tentang
seberapa besarnya korupsi itu. Dalam demokrasi lama dan baru, ada sebuah guna
umum dari pemindahan orang-orang dari politikus karena perluasan jaringan
politik uang dan mereka meningkatkan kepedulian tentang kurangnya transparansi
di pemerintahan.
Korupsi memunculkan beberapa
sindrom. Johnston telah mengidentifikasi 4 sindrom tersebut. Di dalam
kepentingan tawar menawar kelompok sindrom, kelompok elit lebih memiliki akses
dari pada swatantra. Dan ada kesempatan ekonomi dari pada politik. Kelompok
yang memiliki kepentingan berusaha untuk sumber daya ekonomi mereka seperti
kontribusi politik untuk mempengaruhi keputusan-keputusan politik. Ini adalah
tipikal daridemokrasi liberal seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman.
Dalam sindrom elit kekuasaan tertinggi, sebuah “kubu elit politik menghadapi kompetisi
politik kecil dan beberapa tuntutan berarti untuk penguasaan pertanggung jawaban dan eksploitasi kesempatan ekonomi,
manipulasi akses politik (sebuah komoditas yang langka & bernilai) dalam
pengembalian untuk penghasilan ekonomi lebih jauh. “Contoh-contoh termasuk
china, Nigeria dibawah rezim militer, dan korea selatan. Di dalam perlindungan
yang dipecahkan dan sindrom kumpulan orang secara luas, para elit politik
sangat mudah mengakses tapi butuh mencari kekuatan didalam situasi kompetisi
politik yang hebat dan kekurangan sumber daya pada politik yang terpecah. Para
elit secara politik gelisah dan biasanya tidak bisa untuk memberikan
penghargaan secukupnya kepada pengikut mereka melalui perlindungannya.
Contohnya termasuk Rusia dan sebelum Fujimori peru. Karena negara-negara yang
dalam kondisi tersebut menjadi negara yang secara politik tidak stabil, ada
banyak kesempatan-kesempatan bagus untuk korupsi yang luar biasa. Dibawah
sindrom mesin perlindungan, para elit politik mengatur kompetisi politik dengan
memanipulasi kelangkaan ekonomi melalui sistematik perlindungan, meminjam
kepada konsentrasi kekuatan politik dalam beberapa tangan. Perlindungan
digunakan untuk mengontrol tingkat korupsi yang melekat didalam beberapa
keadaan. Contoh dari tipe ini adalah Meksiko dan Indonesia sebelum pembahasan
demokrasi.
Menghitung akibat dari korupsi
pada kesempatan politik sangatlah sulit karena kurangnya data. Korupsi bisa
berperan penting pada sistematik kesempatan politik atau kerusakan pada proses
politik atau ke perubahan pokok dalam kekuasaan politik (seperti di Liberia,
Higeria, Higer, Philipina, Uni soviet dulu dan sudan) atau hal itu dapat
berperan penting pada perubahan rezim dan “penyusunan kembali pada kompetisi
politik” seperti di Agrentina. Banglades, Indonesia, Meksiko, Pakistan , Korea
Selatan dan Thailand.
Walaupun politikus korup bisa
saja di pilih diluar kekuasaan dalam sebuah pemilihan pemerintah secara
demokrasi, demokrasi khususnya selama tingkat awal – tidaklah dibutuhkan untuk
praktek-praktek korupsi. Di dalam perkembangan ekonomi, korupsi tingkat tinggi
pada pemerintah berdampingan dengan perubahan demokrasi. Sebagai negara
berkembang melalui masa transisi, pembangunan konsesus dan hak kekuasaan
menyisakan permasalahan. Satu aspek penting dari legitimasi politik adalah
penggunaan kekuasaan negara oleh pegawai-pegawai negri dalam penyesuaian dengan
pengaturan sebelumnya dan peraturan-peraturan yang telah disetujui. Dimana
pegawai sipil melaksanakan kekuasaan, seperti kebanyakan negara baru, mereka
sendiri mungkin mengambil inisiatif dalam kewenangan legislative untuk apa yang
mereka harapkan. Ketika legislasi di adopsi, hal itu tidak mengetengahkan control
politik diatas birokrasi.
Meratanya korupsi disebuah
negara bisa mengindikasikan sedemikian luasnya yang mana pegawai sipil bisa dan
mau untuk melanggar hukum atau pelanggaran surat izin mereka. Uang sogok
mungkin diberikan untuk membujuk petugas-petugas untuk melaksanakan tugas
mereka- sebagaimana dalam lisensi dan izin – atau untuk memantau tidaknya
pelaksanaan. Sebuah konstitusi atau undang-undang diharapkan menyediakan fondasi
untuk peraturan yang efektif.
Ketika hukum tak bisa
dijalankan, bagaimanapun juga, kelesuan publik dan kekecewaan publik berbalik
melawan institusi. Saat konstitusi tidur suatu ketika sebuah kesulitan dasar
dari dukungan, sistem adalah didiskreditkan dan mudah dijatuhkan. Kegagalan
konsensus untuk berkembang dan sebuah krisis pada legitimasi bertahan, membuka
sistem untuk praktek korupsi.
Di sebuah negara dimana politik
korupsi dapat menembus, sebab perusak mengurangi fungsi badan pemilihan,
parlemen,pengadilan,dan institusi pemerintah lainnya. Hal itu membuat sebuah
lingkungan politik yang negative dan kurang bermurah hati pada
institusionalisasi dari proses dan praktek demokrasi. Parlemen dalam negara
berkembang kurang lebih berkuasa daripada organ lainnya dipemerintahan,
terutama sekali cabang eksekutif. Agensi pemerintahan adalah subjek untuk
melemahkan control perhitungan dan tidak menghadapi penelitian yang serius oleh
badan pembuat undang-undang atau institusi legal. Dalam beberapa kasus,
kehakiman merasa tak bisa mengambil tindakan pada kasus pemerintah mengenai
penyalahgunaan keuangan atau penyalahgunaan kekuasaan.
Kebutuhan untuk membuat pemilu
bebas dan adil telah diagendakan dibanyak negara, tapi pengaruh korupsi pada
hasil pemilu menjadi menyebar. Di negara berkembang, pemilu ditandai dengan
keributan, kecurangan besar-besaran, pembelian suara, dan mempengaruhi pemilih
dibawah bantuan pemerintah. Di Pakistan, sebagai contoh, 4 pemilu diadakan dengan cepat antara 1998 dan
1997, dan setiap waktu yang kalah mempertanyakan tentang keadilan dan kejujuran
mereka. Dugaan persengkongkolan pada pemilu 1997 membawa pihak militer
mengambil alih pemerintahan. Di Bangladesh, pemilu berturut-turut membawa
perselisihan yang serius antara panitia dan partai oposisi tentang hasil,
membawa ke amandemen konstitusi yang disediakan untuk sebuah pemerintahan
sementara 3 bulan sebelum pemilu nasional dilaksanakan untuk memastikan bahwa
partai yang berkuasa tidak menyalahgunakan kekuasaannya selama pemilu. Karena
politik modern menyaratkan sumber daya lebih dari pada peserta gaya lama dank arena
banyak kandidat dalam pengembangan ekonomi menggunakan uang/kekayaan mereka
didalam ketiadaan keuangan publik,politikus membawa hasil yang bagus akan
membawa keuangannya kembali melalui praktek korupsi atau melalui legitimasi
politik perlindungan.
Lebih jauh lagi, pemilu
dinegara berkembang menjadi lebih mahal. Karena uang diinvestasikan dipemilu
harus kembali dan kebanyakan kandidat menggunakan kekayaan mereka, perangsang
selama pemilu dapat dilihat pada 2 tingkat- dipilih dan tetap berkuasa. Seperti
kasus yang ditunjukkan di philipina, pemilu memakan biaya yang banyak dari
pengeluaran yang besar pada media, iklan-iklan, transportasi, humas, dan
rahasia kecil dalam pembelian suara&.pemilu, oleh karena itu telah
meningkat pengertiannya dari waktu ke waktu pada akses ke sistem yang rusak,
yang mana praktis terbuka jalan bagi wakil yang dipilih untuk membuka uang
publik,dibanyak kasus tanpa keamanan yang teruji melawan penyalah gunaan.
Hilangnya pengaturan dan
pendisiplinan partai. Politik, badan pembuat undang-undang dinegara berkembang
menjadi lemah dan tak bisa melaksanakan jaminan kekuasaan secara
konstitusional. Parlemen-parlemen di banyak negara tidak menyediakan sebuah
forum yang efektif untuk debat publik pada isu politik dari kepentingan negara.
Cabang eksekutif, dengan bantuan dari pegawai sipil, memonopoli kekuasaan dan
merampas peraturan dan fungsi-fungsi dari parlemen-parlemen dan partai-partai
politik. Kelebihan kebijaksanaan ini dan lemahnya pertanggung jawaban dari
cabang eksekutif membawa lebih banyak korupsi. Tidak adanya sebuah sistem yang
memadai dari check & balance, tidak mendorong melawan pengalihan dari
kekayaan publik tidak dilaksanakan. Banyak partai politik menjadi alat
tunggangan pribadi dari politikus untuk meraih daripada kendaraan untuk debat
pada politik nasional dan program-program mode yang biasa adalah bergabung
kepartai pemenang sesudah semua pemilu dalam harapan mendapatkan
bantuan-bantuan keterlibatan pembuat undang-undang didalam merancang dan
implementasi dari proyek pengembangan adalah salah satu mekanisme untuk
mendapatkan bantuan dari partai yang berkuasa. Pada tahun 1990, sebagai
contohnya, kongres delapan philipina membuat pengembangan kekayaan daerah
pedalaman untuk proyek infrastruktur. Di Pakistan, membuat undang-undang
menyediakan dana pengembangan sebesar 5 juta Rs. Setiap pengembangannya di
tahun 1986. Badan eksekutif kadang-kadang menggunakan APBN dan politik
perlindungan untuk memperoleh suara pembuat undang-undang untuk mendapatkan
sebuah suara terpercaya di parlement.
Sebuah lembaga kehakiman yang
mandiri dan berfungsi dengan baik adalah pilar tengah dari peraturan
hukum.korupsi mengurangi kepercayaan publik dalam peraturan hukum. Petugas yang
korup memperkuat element kriminal di dalam masyarakat. Lebih jauh lagi
kurangnya keyakinan publik akan lembaga kehakiman membawa kepada kemunduran diri pada etika
standar. Dan menipiskan integritas publik. Di banyak negara, lembaga kehakiman
gagal mengambil tindakan pada kasus penyalahgunaan pemerintahan pada keuangan atau
melawan politikus yang sedang memegang jabatan di pemerintahan. Gaji yang kecil
dan kerja yang berlebihan dan petugas pengadilan mudah disogok penawaran dari
penyogok atau penyalah gunaan perlindungan sebagus serangan atau intimidasi. Di
ukraina, sebagai contoh, hakim-hakim secara luas menyisakan tanggungan pada
kewenangan lokal untuk tempat tinggal mereka, dan mereka yang melawan peraturan
petugas kota t. rentan terkena keterlambatan dalam mendapatkan perumahan10.
Korupsi di kehakiman membolehkan orang kaya untuk membeli keadilan secara
langsung dengan menyogok staf kehakiman dan secara tak langsung melalui akses
mereka kepada pengacara-pengacara terbaik.
Sogokan bisa digunakan untuk
mempercepat keputusan pengadilan di negara-negara dengan penangguhan kasus
serius dan jaminan.
Politik korupsi dapat memaksa
masuk ke sistem demokrasi dari kedua dari negara berkembang dan dikembangkan.
Ketika peraturan keuangan tidak dilaksanakan dan kehakiman terlalu lemah untuk menangani
pertanggung jawaban politikus korup, sebuah kelompok yang secara politik
dihubungkan pada makelar penyogok di kembalikan untuk menyalahgunaan dari
politik perlindungan oleh kekuasaan tersebut, dan sebagian disajikan sebagai
“partai pemegang kas” special untuk mengambilkan uang untuk simpanan partai
dari sumber-sumber seperti industri konstruksi.