Thursday, January 5, 2012

PENDIDIKAN DAN INVESTASI NILAI MANUSIA DALAM KEHIDUPAN


Semua kita pasti setuju dan meyakini bahwa pendidikan merupakan gerakan untuk membangkitkan bangsa dan Negara supaya mampu berdiri tegak, kokoh, maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. Pendidikan sebagai praksis pembangunan bangsa, meskipun terkesan klise, tapi tetap menarik dan penuh makna.
Untuk membangun bangsa tentunya harus memiliki sumber manusia yang produktif, bermutu, disiplin dan bermartabat (human dignity). Manusia adalah objek pendidikan, sebagai makhluk yang dapat didik dan yang harus mendapatkan pendidikan. Sehingga dengan pendidikan yang diperoleh dapat mengembangkan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa atau negara ini. Tentunya dengan cara manusia terdidik, mempunyai kemampuan  pengetahuan. Sehingga dengan tanpa merusak esensial alam itu sendiri, keakraban dan kelestarian lingkungan harus terjaga. Cara- cara seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh manusia yang terdidik melakukan aktivitasnya.
Dalam hal ini diperlukan usaha untuk menjadikan manusia itu bermakna sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang “spesial” dari makhluk lain. Disebut special karena pada manusia itu mempunyai akal yang bisa membawa manusia jauh lebih terhormat dan dihormati sebagai manusia.
Esensial manusia dilahirkan kedunia dengan membawa potensi fitrah, maka fitrah tersebut harus mendapat tempat dan perhatian serta pengaruh dari faktor eksogen manusia (environment) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal manusia itu dari penguasaan nafsu amarahnya.
Cara yang tepat untuk mengembangkan dan memelihara fitrah manusia itu adalah dengan pendidikan, karena pendidikan (al-tarbiyah) manusia itu bisa dibentuk dan membentuk diri. Dengan pendidikan juga telah mencakup semua dimensi untuk memanusiakan manusia sebagaimana utuhnya. Pendidikan juga merupakan sebagai upaya untuk mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-potensi kejiwaaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna, karena potensi-potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga.(Amin, 1992). Pendidikan juga merupakan pondasi bagi manusia dalam posisi baik sebagai khalifah maupun sebagai ‘abd (hamba Allah).
Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, menurut Jonh Dewey sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Artinya pembagian yang tepat antara teori dan praktek learning by doing.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Dengan pendidikan dan semua manusia bisa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, sehingga bakat dan kemampuan manusia itu bisa berpotensial. Manusia yang mempunyai masa proses pengembangan diri, tentunya juga mendapatkan tahapan-tahapan penyesuaian dalam mendapatkan pendidikan, dalam hal ini tentunya pendidik. Tugas seorang pendidiklah untuk membantu manusia (yang dididik) itu dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya. Disamping itu pendidik juga berkewajiban untuk membantu menemukan kesulitan-kesulitan yang menghambat perkembangan potensinya, serta membantu menghilangkan hambatan itu untuk mencapai tujuan menjadi manusia mandiri.
Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol social, yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dalam Undang-Undang System Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, pendidikan diharapkan dapat berfungsi mengembangkan kemampuan dan  membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,  dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sehingga terbentuknya  masyarakat madani yang demokratis, rukun dan  damai  dalam kesatuan bangsa yang toleran dan menghormati sesame suku, agama, ras dan adat istiadat dan budaya.
Konsep tujuan pendidikan kita sangat ideal dan baik, namun belum maksimal dalam mencapai output nilai manusianya, sehingga hal ini jauh bertolak belakang dengan tujuan pendidikan itu.ya. Keadaan ini bisa dilihat, diamati, dalam aktifitas kehidupan . terjadinya tindakan seperti; Kekerasan dan “Mafia” dalam dunia pendidikan, terror bom, korupsi, pungutan pajak yang tidak dibenarkan secara undang-undang (pajak liar) yang masih berlangsung, (dan hal ini juga katanya yang menjadi penghambat para investor dalam melakukan investasi, sehingga menggangu proses percepatan pembangunan bangsa/daerah ini) Trafficking, pelaku eksploitasi sumber daya alam yang merusak kehidupan, para abdi Negara yang lalai terhadap tugas dan tenggaungjawab yang diberikan, seperti; PNS yang molor dan suka nongkrong di warung/di luaran pada saat jam kerja, dan banyak praktek tindakan-tindakan a moral lainnya yang terjadi dan pelakunya kaum terdidik dan mereka yang berpendidikan.
Persoalan ini, juga tidak bisa semata disalahkan konstitusi pendidikan, karena pendidikan adalah tanggungjawab setiap warga negara yang tak bisa dipungkiri.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk manivestasi pendidikan  manusia; pertama, Pengembangan terhadap yang teoritis dengan praktis harus sejalan. Pengembangan teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis manusia, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis. Kedua, kesadaran individu, dari segi paedagogis manusia sebagai Homo Educandum harus mampu untuk tidak membiasakan mengerjakan hal yang buruk, selama ini sebagai hamba Allah kita masih berlagak sebagai manusia suci, dan tidak jujur pada diri sendiri, sebagai contoh; setiap waktu kita mengerjakan kewajiban seperti shalat lima waktu tapi justru shalat itu, belum mampu membendung tingkah laku seseorang untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan a moral atau perbuatan yang melanggar aturan Tuhan. Sehingga nilai shalat tadi yang dikerjakan tidak lebih dari praktek ritual semata. Prilaku manusia yang berakal hilang dengan pengaruh nafsu, nafsu lebih  menguasai akal manusia, yang seharusnya akal mengontrol nafsu itu. Ketiga, meningkatkan peran dukungan dari keluarga dan lingkungan masyarakat selama ini ada kesalahan paradigma berpikir dalam masyarakat, bahwa kalau urusan pendidikan semata-mata adalah tanggungjawab pemerintah semata atau konstitusi pendidikan saja. Sehingga fungsi control sebagai orang tua dan masyarakat perannya sangat lemah. Hal ini juga dampak dari ketidak tau-an dan beberapa pengaruh lain bagi mereka, seperti; factor rendahnya pendidikan orang tua, factor ekonomi keluarga, pekerjaan, dan alasan lain sebagainya yang pada prinsipnya mereka juga belum bisa memanusiakan dirinya sendiri sebagai orang tua atau keluarga.
Ketiga, adalah system dan kebijakan pendidikan serta profesionalisme tenaga kependidikan kita, system pendidikan yang mengutamakan pencapaian nilai, dimana ukuran keberhasilan diukur dari kemampuan menjawab soal-soal, sedangkan persoalan prilaku masih kurang tersentuh, aplikasi bagaimana pemahaman dan penerapan ilmu agak di nomor duakan. Ruang desentralisai pendidikan yang diberikan kedaerah masih terkekang dan belum mampu mengubah system pendidikan secara keseluruhan. Mengamati system RENSTRA pendidikikan Aceh, yang menginginkan pendidikan berbasis islami. Untuk mengimplementasikan rencana ini maka harus ditunjang tindakan-tindakan kongrit. Bisa saja dengan memperhatikan kembali kurikulum pendidikannya,  dimana harus memuat prinsip-prinsip islam yang lebih mengedepankan dasar religi. Sehingga nilai islaminya tidak berkesan simbolis semata. Diakui banyak pihak menilai pendidikan kita sudah bagus, tapi bagus, belum keproses berhasil membentuk manusianya. Sebagai contoh, mendapat nobel atau gelar pendidikan, tapi tanpa proses sekolah, cukup dengan punya kekuasaan dan uang gelar itu bisa dibeli. Didisi lain dengan meninggkatnya dana pendidikan dan kesejahteraan tenaga kependidikan diharapkan para tenaga kependidikan ini lebih profesional dan ulet. Disamping itu juga kesetaraan pelayanan dan sarana prasarana kebutuhan pendidikan yang diberlakukan harus tetap sama antara kota dan desa tidak menganak tiri, kandungkan. Sehingga akses pendidikan itu mudah di dapatkan.
Pengaruh perkembangan dan perubahan dunia globalisasi merupakan tantangan bagi pendidikan dalam “memanusiakan” manusia maka pendidikanpun harus terarah hendaknya. Ada sebuah pesan dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan; “ Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, sebab mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu”. Pesan yang sama juga diungkapkan oleh futurology, Arifin Tofler, yang menyatakan, “Pendidikan harus selalu mengacu pada masa depan”. Oleh karena itu, pendidikan dipandang berperan penting dalam keberlangsungan hidup manusia, untuk mengakomodasi kebutuhan  dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Dalam amanat UUD 1945  juga ditegaskan, pendidikan harus menjadi wahana dan sarana meningkatkan kecerdasan bangsa secara berkelanjutan dalam kerangka pendidikan sepanjang hayat (life long education). Kecerdasan yang dimaksud disini adalah kecerdasan manusianya, hanya dengan ilmu dan kemampuan skilnya (capacity bulding), manusia bisa mengangkat derajatnya. Manusia yang berpendidikan adalah ibarat pohon yang kokoh, rindang dan juga berbuah lebat yang bisa bermamfaat bagi kehidupan. Dan tentunya diposisikan semata-mata untuk beribadah kepadaNYA.sehingga tidak menguragi esensi nilai manusia sebagai ‘abd dan khalifah dimuka bumi.

Tuesday, January 3, 2012

Konsep Psikologis Manusia


Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan  obyek sekaligus. Menusia berfikir dan merenung, kemudian menjadikan  dirinya sebagai obyek fikiran dan renungan.. Manusia sangat menarik  di mata manusia itu sendiri. Terkadang manusia dipuja, tetapi di kala  yang lain ia dihujat. Secara internal manusia sering merasa bangga dan  bahagia menjadi manusia, tetapi di mata orang lain atau di waktu yang  lain, ia terkadang menyesali diri sendiri, menyesali keberadaannya  sebagai manusia.
Ada manusia yang perilakunya berada di luar batas perikemanusiaan,  tetapi ada juga manusia yang begitu tinggi tingkat kemanusiaannya  sehingga ia disebut sebagai "manusia suci". Pada umumnya manusia  tertarik untuk bertanya tentang dirinya ketika berada dalam puncak- puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keberhasilan dan puncak  kegagalan. Ada kesepakatan pandangan, bahwa betapapun manusia terdiri  dari jiwa dan raga, tetapi penilaian tentang kualitas manusia  terfokus pada jiwanya, terkadang disebut hatinya, karena hakikat manusia adalah jiwanya..
Dalam sejarah keilmuan, lahirnya filsafat, antropologi, psikologi,  ekonomi dan politik sesungguhnya juga merupakan upaya mencari jawaban  tentang manusia, tetapi khusus tentang jiwa manusia, ia dibahas  oleh filsafat, psikologi dan agama.
Psikologi sebagai disiplin ilmu baru lahir pada akhir abad 18 Masehi,  tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitif  ummat manusia. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya,  tubuhnya hanya sekedar alat saja. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa  adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adalah fungsi dari  mata. Hinga kini sekurang-kurangnya ada empat mazhab psikologi, yakni  (1)Psikoanalisa, (2) Behaviorisme, (3) Kognitif dan (4) Humanisme.  Empat mazhab itu menggambarkan adanya dinamika pemahaman terhadap  manusia yang sifatnya trial and error.
Freud dengan teori psikoanalisanya memandang manusia sebagai homo  volens, yakni makhluk yang perilakunya dikendlikan oleh alam bawah  sadarnya. Menurut teori ini, perilaku manusia merupakan hasil  interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni  komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani,  intelek dan moral.
Teori ini dibantah oleh Behaviorisme yang memandang perilaku manusia  bukan dikendalikan oleh factor dalam (alam bawah sadar) tetapi  sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak,y ang terukur,  dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut  sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang  bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh  factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak  dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa  dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami
atau yang dipersiapkan untuknya.
Teori ini dibantah lagi oleh teori Kognitif yang menyatakan bahwa  manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa  aktif bereaksi secara aktif terhadap lingkungan dengan cara  berfikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapi dan  merespond dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori  Kognitif, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir.
Teori Kognitif dilanjutkan oleh teori Humanisme. Psikologi Humanistik  memandang manusia sebagai eksistensi yang positip dan menentukan.  Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki cinta, krestifitas, nilai  dan makna serta pertumbuhan pribadi. Oleh karena itu teori Humanisme  menyebut manusia sebagai homo ludens, yakni manusia yang mengerti  makna kehidupan. Psikologi Humanistik sudah mulai meraba-raba wilayah yang  sumbernya dari wahyu, yakni disamping membahas kecerdasan intelektual  dan emosional, juga dibahas kecerdasan spiritual.

Konsep Manusia dalam Al-Qur’an
Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas. Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.
Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S Al-Baqarah:34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa.
Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian,
ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.

Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (Q.S Al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan.
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (Q.S Al-Baqarah : 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia
Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Q.S As-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an
Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?” Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.

Kesimpulan
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.