Thursday, February 16, 2012

Metode Discovery


Proses penemuan dalam metode discovery merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan keterampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Menurut Rohani (2004:39) menyatakan bahwa metode discovery adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswa-siswanya menemukan sendiri informasi yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
1.      Pengertian Metode Discovery
            Discovery adalah proses mental dalam menemukan sesuatu. Discovery merupakan proses mental individu dalam mengasimilasi suatu konsep dan prinsip-prinsip. Proses discovery terjadi apabila siswa terlibat secara mental untuk menemukan beberapa konsep/ prinsip.
            Beberapa pendapat ahli tentang pengertian metode discovery sebagai berikut.
Saliwangi (1989:41) menegaskan bahwa, kegiatan discovery ialah kegiatan belajar mengajar yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan (discovery) konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Menurut Suryosubroto (2002:193) mengutip pendapat Sund bahwa discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, dan membuat kesimpulan. Sanjaya (2007:194) strategi pembelajaran discovery adalah adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.
            Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa metode discovery adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan mental siswa secara langsung dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip atau proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental misalnya mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan. 
            Hamalik (2003:134) menjelaskan mengenai metode discovery berikut.
Prosedur mengajar yang menitikberatkan studi individual, manipulasi objek-objek dan eksperimentasi oleh siswa sebelum membuat generalisasi sampai siswa menyadari suatu konsep. Metode discovery adalah suatu komponen dari praktik pendidikan yang sering disebut sebagai heuristic teaching, yakni suatu tipe pengajaran yang meliputi metode-metode yang didesain untuk memajukan rentang yang luas dari belajar efektif, berorientasi pada proses, membimbing diri sendiri, dan metode belajar reflektif. Semua strategi yang merangsang siswa untuk menyelidiki lebih lanjut tanpa bantuan dari guru.
Metode discovery merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang menyajikan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, dan mencari sendiri.
2.      Ciri-ciri Metode Discovery
Menurut Sanjaya (2007:195) ada beberapa hal yang menjadi ciri utama dalam metode pembelajaran discovery, yaitu sebagai berikut.
1)      Metode discovery menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan.
2)      Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa dirahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari suatu yang dipertanyakan, sehingga dapat menumbuhkan sikap percaya diri.
3)      Tujuan dari penggunaan metode discovery adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis. Atau mengembangkan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka metode ini menekankan kepada aktivitas siswa dalam pembelajaran menggunakan metode discovery. Selain itu aktivitas siswa diarahkan untuk mencari sendiri dan menemukannya sehingga menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa. Tujuan dari metode ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis. Atau mengembangkan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
3.      Keuntungan Metode Discovery
            Menurut Suryosubroto (2002:199) keuntungan menggunakan metode discovery adalah sebagai berikut.
1)      Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa.
2)      Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh, dalam arti pendalaman dari pengertian retensi dan transfer.
3)      Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa, misalnya siswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.
4)      Metode ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri.
5)      Metode ini menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya sehingga ia lebih merasa terlibat dan bermotivasi sendiri untuk belajar.
6)      Metode discovery dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan.
7)      Strategi ini berpusat pada siswa, misalnya memberi kesempatan pada siswa dan guru berpartisispasi dalam situasi penemuan yang jawabannya belum diketahui sebelumnya.
Keuntungan yang didapat dari penggunaan metode discovery sangat banyak dan bervariasi. Keuntungan yang didapat siswa adalah dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan yang dimilikinya. Selain itu metode ini membangkitkan gairah belajar pada siswa dan memberi kesempatan kepada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri. Ditambah metode ini berpusat pada siswa sehingga memberi kesempatan pada siswa dan guru untuk berpartisipasi dalam situasi penemuan.
4.      Kelemahan Metode Discovery
Kelemahan metode discovery menurut Suryosubroto (2002:2001) adalah sebagai berikut. a) dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini;  b) metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar.
Kelemahan metode ini diharuskan adanya persiapan mental, misalnya siswa yang lamban mungkin bingung dalam usanya mengembangkan pikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu subyek, atau dalam usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis. Siswa yang lebih pandai mungkin akan memonopoli penemuan dan akan menimbulkan frustasi pada siswa yang lain. Metode ini juga kurang berhasil untuk mengajar kelas besar, misalnya sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu seorang siswa menemukan teori-teori, atau menemukan bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu.
5.      Langkah-langkah Metode Discovery
            Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dengan metode discovery berikut ini dikemukakan oleh  Suryosubroto (2002:197) yang mengutip pendapat Gilstrap (1975:47) yaitu sebagai berikut.
1)      Guru memberi petunjuk dan bimbingan yang cukup kepada siswa untuk perencanaan kegiatan pembelajaran.
2)      Mempersiapkan setting kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan.
3)      Menambah berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan.
4)      Guru hanya mengemukakan problem atau masalah dan siswa mencari pemecahan melalui pengamatan, analisis, dan penghayatan.
5)      Memberi kesempatan kepada siswa seluas-luasnya untuk mencari masalah, kemudian mencari sendiri pemecahannya.
6)      Guru merangsang interaksi siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan, mendiskusikan hipotesis dan data yang terkumpul.
7)      Untuk mengembangkan motivasi dan minat belajar siswa dalam suatu diskusi kelompok, digunakan gambar-gambar ilustrasi.
8)      Guru mencek apakah siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau teknik, dalam situasi berikutnya, yaitu situasi dimana siswa bebas menentukan jawabannya.
9)      Siswa menuliskan hasil penemuan dan mengemukakannya di depan kelas, sedangkan siswa lain memperhatikan, mengamati, dan bertanya jika perlu.
Mengacu kepada prosedur langkah-langkah metode discovery, bahwa metode ini menuntut siswa aktif, berpikir kritis dan analis. Metode discovery memandang siswa sebagai pusat pengajaran, mengembangkan bakat dan kecakapan individu, serta dapat memberi waktu bagi siswa untuk mengasimilasi suatu konsep.

Tuesday, February 14, 2012

Keunggulan & Kelemahan KTSP


BAB I
PENDAHULUAN

            Pada akhir tahun 2006 dan sampai pertengahan tahun 2007, sebagian besar satuan pendidikan sibuk dengan pekerjaan besar, yaitu menyusun kurikulumnya sendiri yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri. KTSP sebenarnya positif, sebab sekolah diberi otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar Kompetensi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hanya saja, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang dibuat dari "pusat". Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
            Pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih baik, karena guru harus memikirkan perencanaan penyampaian materinya. Penerapan KTSP memberikan peluang bagi setiap sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, dan untuk itu tiap guru yang akan mengajar di kelas dituntut memiliki kemampuan menyusun kurikulum yang tepat bagi peserta didiknya.
            Banyak hasil yang diperoleh dari kegiatan penyusunan KTSP tersebut, tidak saja berupa silabus dan rencana pembelajaran serta keterampilan menerapkannya, tetapi juga memberi pengalaman baru bagi guru tentang bagaimana berpikir tentang masa depan pendidikan bagi peserta didiknya. Bekal pengetahuan dan keterampilan tersebut akan digunakan guru dalam mengimplementasikan KTSP. Dari sekian macam kegiatan yang dilakukan, guru masih meragukan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan KTSP antara lain tentang waktu yang diperlukan peserta didik untuk "tuntas" pada kompetensi dasar tertentu. Hal itu disebabkan adanya kebiasaan guru yang biasanya selesai diterangkan selama 15 menit, tetapi dengan sistem pembelajaran pada KTSP, guru seolah menjadi repot dan misalnya butuh waktu lama. Ini berarti bahwa guru masih merasa bahwa cara-cara yang dilakukan dalam mengajar selama ini diangggap sudah baik dan guru sudah "hafal" dengan cara-cara tersebut. Apalagi dengan  bertambahnya tugas guru dalam melakukan penilaian terhadap peserta didiknya, karena peserta didik harus dinilai tidak hanya aspek kognitifnya tetapi juga aspek afektif dan psikomotornya Padahal, dengan cara-cara seperti yang dilakukannya bertahun-tahun, ¬hasil atau mutu pendidikan kita sekarang dianggap masih rendah dan¬ peserta didik kita masih belum dapat bersaing dengan negara lain.

BAB II
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
A. Keunggulan Dan Kelemahan KTSP
            KTSP yang juga. merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan konsep ini, meski bukan format satu-satunya untuk mengantisipasi permasalahan pendidikan, namun secara umum, KTSP bisa 'diandalkan' menjadi patokan menghadapi tantangan masa depan dengan pembekalan keterampilan pada peserta didik. Keunggulan lain, KTSP memiliki kemampuan beradap¬tasi dengan daerah ,setempat, karena keterampilan yang diajarkan berdasar¬kan pada lingkungan dan kemampuan peserta didik. Di samping itu juga adanya penghargaan bagi pribadi peserta didik. Peserta didik yang mampu menyerap materi dengan cepat akan diberi tambahan materi sebagai pengayaan, dan peserta didik yang kurang akan ditangani oleh guru dengan penuh kesabaran dengan mengulang materinya atau memberi remedial. Peserta didik juga diajak bicara, diskusi, wawancara dan membahas masalah-masalah yang kontekstual, yang dalam kenyataannya memang diperlukan sehingga peserta didik menjadi lebih mengerti dan menjiwai permasalahannya karena sesuai dengan keadaan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Peserta. didik tidak hanya dituntut untuk menghafal namun yang lebih penting sudah adalah belajar proses sehingga men dorong peserta didik untuk meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kesulitan yang mung¬kin saja timbul dari pelaksanaan KTSP ini adalah diperlukannya waktu yang cukup oleh pendidik dalam membina perkembangan peserta didiknya, ter¬utama peserta didik yang berkemam¬puan di bawah rata-rata. Kenyataan membuktikan, kondisi sosial dan ekonomi yang menghimpit kesejahteraan hidup para guru, menyebabkan mereka kurang berkonsentrasi dalam proses pembelajaran. Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah. Ini artinya, KTSP menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat. kurikulum sendiri.
Kendala lain, KTSP menuntut kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran berbasis kompetensi dengan merencanakan sendiri bagaimana strategi yang tepat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah setempat. Di samping masalah fasilitas pendidikan di sekolah yang masih sangat minim. Padahal konsep ini lebih menitikberatkan pada praktek di lapangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dibanding teori semata. Kendala lain yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assessment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengararnya.
Berkenaan dengan tidak ada¬nya target materi dalam KTSP, di satu pihak KTSP menekankan kom¬petensi peserta didik yang berarti proses belajar harus diperhatikan oleh guru, di pihak lain materi meskipun tidak diprioritaskan tetapi akhirnya harus diselesaikan juga. Dengan demikian guru harus berpacu dengan waktu, sementara proses belajar tidak dapat dipastikan keber¬hasilannya. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil belajar peserta didik yang dibinanya, yang berujung pada penolakan kebijakan pemerintah ten¬tang Ujian Nasional (UN) sebagai dasar penentuan kelulusan peserta didiknya.

B. Guru Sebagai Fasilitator Dalam Membantu Siswa Membangun Pengetahuan
            Salah satu ciri pembelajaran efektif adalah mengembangkan pemi¬kiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya (Dit-PLP, 2003). Ciri inilah yang dikembangkan dalam pembelajaran KTSP dan berkaitan dengan filsafat konstruktivisme.
            Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, terutama memperoleh penge¬tahuan. Dalam pengertian konstruk¬tivisme, pengetahuan itu merupakan "proses menjadi", yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan peserta didik itu sendiri yang membentuknya.
            Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator atau moderator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya. Guru juga meng¬evaluasi apakah gagasan peserta didik itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak. Sedangkan tugas peserta didik aktif belajar, mencerna, dan memodifikasi gagasan sebelumnya. Dalam KTSP dianut bentuk pem¬belajaran yang ideal yaitu pem¬belajaran peserta didik aktif dan kritis. Peserta didik tidak kosong, tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk ber¬kembang. Maka modelnya adalah model dialogis, model mencari ber¬sama antara guru dan peserta didik. Peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pen¬dapat guru yang dianggap kurang tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Dalam KTSP, pendidikan yang benar harus membebaskan peserta didik untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang.
            Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pen¬didikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktor atau selalu memberi instruksi dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mam¬pu menghasilkan lulusan yang kompeten.

C. Perlunya Perubahan Paradigma Mengajar
            Dengan KTSP, guru mengajar supaya peserta didik memahami yang diajarkan dan mampu memanfaatkannya dengan menerapkan pemahamannya baik untuk memahami alami lingkungan sekitar maupun untuk solusi atau pemecahan masalah sehari-hari. Kegiatan mengajar bukan sekedar mengingat fakta untuk persediaan jawaban tes sewaktu ujian. Akan tetapi, kegiatan mengajar juga diharapkan mampu memperluas wawasan pengetahuan, meningkatkan keteram¬pilan, dan menumbuhkan sejumlah sikap positif yang direfleksikan peserta didik melalui cara berpikir dan cara bertindak atau berperilaku sebagai dampak hasil belajamya. Oleh karena itu cara guru mengajar perlu diubah. Ditinjau dari esensi proses pembelajarannya, perlu adanya pengubahan paradigma "mengajar" (teaching) men¬jadi "membelajarkan" (learning how to learn) sehingga proses belajarnya cenderung dinamis dan bersifat praktis dan analitis dalam dua dimensi yaitu: pengembangan proses eksplorasi dan proses kreativitas. Proses eksplorasi menjadi titik pijak untuk menggali pengalaman dan penghayatan khas peserta didik, bukan dari pihak luar, bukan dari apa yang dimaui orang tua, guru, maupun masyarakat bahkan pemerintah sekalipun. Dari proses tersebut dikembangkan prakarsa untuk bereksperimen-kreatif, berimajinasi-kreatif dengan metode belajar yang memungkinkan peserta didik untuk melatih inisiatif berpikir, mentradisikan aktivitas kreatif, mengem¬bangkan kemerdekaan berpikir, mengeluarkan ide, menumbuhkan kenikmatan bekerjasama, memecahkan masalah-masalah hidup dan kehidupan nyata. Karena itu, dalam proses pembelajaran seharusnya tampak dalam bentuk kegiatan prakarsa bebas (independent study), komunikasi dialogis antar peserta didik maupun antara peserta didik dan guru, spontanitas kreatif, yang kadang-kadang terkesan kurang tertib menurut pandangan pendidikan. Guru perlu menyediakan beragam kegiatan pembelajaran yang berimplikasi pada beragamnya pengalaman belajar supaya peserta didik mampu mengembangkan kompetensi setelah menerapkan pemahamannya pengetahuannya. Untuk itu strategi belajar aktif melalui multi ragam metode sangat sesuai untuk digunakan ketika akan menerapkan KTSP.
            Dalam pendidikan matematika, Marpaung (2003) menyatakan perlu¬nya melakukan perubahan/ pergeser¬an paradigma dari paradigma meng¬ajar ke paradigma belajar. Lebih lanjut Marpaung memerinci karakteristik paradigma belajar, yaitu: peserta didik aktif guru aktif, pengetahuan dikonstruksi, menekankan proses dan produk, pembelajaran luwes dan menyenangkan, sinergi pikiran dan tubuh, berorientasi pada peserta didik, asesmen bersifat realistik, dan kemam¬puan sebagai suatu penguasaan hubungan antar pengetahuan yang tersusun dalam suatu jaringan. Untuk itu dituntut komitmen guru untuk berubah, bersikap sabar, bersikap positif, ramah dan memiliki kom¬petensi tinggi. Bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru tidak hanya berupa penilaian "tradisional" yaitu hanya melakukan kegiatan ulangan harian tetapi perlu dikem¬bangkan penilaian "alternatif", antara lain adalah portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis. Sebagai penjabarannya antara lain, portofolio; merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan peserta didik dalam konteks belajar dalam kehi¬dupan sehari-hari. Peserta didik diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar sekaligus memperoleh kesempatan luas untuk berkembang serta merekapun termotivasi. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses peserta didik sebagai pembelajaran aktif. Sebagai contoh, peserta didik diminta untuk melakukan survei mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
            Tugas kelompok, dalam pembe¬lajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing peserta didik. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik diminta membentuk kelompok projek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan peserta didik.
            Demonstrasi, peserta didik diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Demonstrasi ini dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas. Di dalam kelas antara lain dapat dilakukan dalam kegiatan laboratorium IPA, di lapangan olahraga untuk pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Di luar kelas antara lain peserta didik diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan, para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukan peserta didik.

BAB III
PENUTUP
            Guru adalah komponen pokok dalam sistem pendidikan. Oleh sebab itu suksesnya pelaksanaan KTSP sangat tergantung pada sikap guru alam mengajar. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat menye¬babkan kreativitas guru kurang terpupuk, tetapi dengan KTSP, kreativitas guru bisa berkembang. Menggunakan paradigma lama dalam mengajar untuk menghadapi tantangan baru dan situasi baru jelas kurang efektif. Agar kualitas pendidikan kita meningkat, guru perlu melakukan introspeksi dan mau mengubah paradigma mengajar, cara berpikir serta mempraktekkan pembelajaran dengan menggunakan paradigma belajar. Guru sebagai ujung tombak pembelajaran sudah sekian lama menggunakan metode lama, ia menjadi sumber belajar utama. Para¬digma mengajar tersebut itu harus diubah dengan menggiatkan peserta didik agar dapat mencapai komepetensinya melalui penguasaan materi ajar.

DAFTAR PUSTAKA
Dit-PLP-Ditjen Dikdasmen-Depdiknas.(2003). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta.
Marpaung (2003). lnovasi Pendidikan. Makalah disampaikan pada Penlok Kepala BPG dan Kepala Dinas Kota Kabupaten serta Widyaiswara Matematika dan Kasi Pelnis BPG di PPPG Matematika Yogyakarta.