Thursday, May 3, 2012

Kerangka Kerja dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah


Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
  • pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
  • bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
  • pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
  • mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
  • Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
  • Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.


Tuesday, May 1, 2012

Mengatasi Krisis Pendidikan di Indonesia

Ironis. Itulah pikiran yang muncul ketika mengamati dunia pendidikan di negeri ini. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain dalam praktek belajar mengajarnya telah menerapkan hasil-hasil penelitian tentang bagaimana siswa belajar, sehingga siswa larut dalam kegiatan belajar (engaged in the learning activities), pendidikan di Indonesia malah menghasilkan generasi yang suka tawuran dan tidak siap untuk menghadapi tantangan kehidupan. Bukan hanya pada tingkat sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas, bahkan pada tingkat sekolah dasarpun sering terjadi perkelahian siswa.

Berkenaan dengan perkelahian dan tawuran pelajar ini, beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan ada hubungan yang terbalik antara keterlibatan siswa dalam berbagai tindakan anti-sosial dan kejahatan dengan keterlibatan (engagement) siswa dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Semakin tinggi keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar, semakin rendah kemungkinannya terlibat dalam tindakan anti-sosial dan kejahatan. Dan sebaliknya.

Jalan di Tempat

Beberapa teman, ketika mengamati kondisi pendidikan di Indonesia, berkata bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu tentu saja tidak benar. Pendidikan di Indonesia masih sama seperti tiga puluh tahun yang lalu. Itulah masalahnya. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain maju dengan pesat, pendidikan di Indonesia masih berjalan di tempat.

Masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia terjadi karena sistem pendidikan masih menerapkan konsep dan praktek-praktek pendidikan yang sudah ketinggalan zaman, yang dikembangkan lebih dari satu abad yang lalu.

Beberapa Masalah Penting

Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis pendidikan di Indonesia:

Pertama, kurikulum yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat. Di sekolah-sekolah di Indonesia siswa diwajibkan untuk mempelajari banyak sekali mata pelajaran yang kadang-kadang tidak ada kaitannya satu sama lain, dan sama sekali tidak relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya, siswa kelas dua SD di Bandung dipaksa mempelajari sebelas mata pelajaran setiap semester. Bandingkan dengan sekolah-sekolah Internasional di mana siswa hanya mempelajari lima sampai enam mata pelajaran. Secara sederhana saja langsung terlihat bahwa siswa di sekolah-sekolah Internasional memiliki waktu dua kali lebih banyak daripada siswa di sekolah-sekolah Indonesia. Penelitian terbaru dalam bidang psikologi kognitif dan neuroscience menunjukkan bahwa bukan banyaknya informasi yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi ahli (expert) dalam suatu bidang, melainkan bagaimana berbagai informasi yang ada disusun dalam suatu skema atau model mental yang mudah diakses ketika diperlukan. Dalam proses penyusunan informasi itu ke dalam suatu skema atau model mental, orang yang ahli biasanya menyingkirkan informasi-informasi yang tidak relevan, dan menyusun ulang informasi-informasi yang relevan saja. Hal ini akan membuat proses mengakses informasi itu menjadi efisien. Hal itulah yang membuat seorang ahli terlihat begitu lancar dan elegan dalam mengerjakan apa yang menjadi keahliannya, seolah-olah dia tidak perlu berpikir lagi dalam melakukannya. Sebaliknya, banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari di sekolah tidak memberi kesempata bagi siswa untuk menyusun skema yang dapat diakses dengan efisien.

Kedua, praktek-praktek pendidikan, seperti perencanaan, pengajaran, dan evaluasi hasil belajar yang tidak sesuai. Kebanyakan guru tidak membuat rencana pengajaran (lesson plan) yang memadai. Beberapa guru yang pernah penulis wawancarai mengakui bahwa mereka hanya membaca kembali bahan yang akan diajarkan keesokan harinya, tanpa mengkaji ulang apakah bahan yang akan diajarkan masih valid dan bagaimana mengantisipasi situasi belajar yang mungkin tidak sesuai dengan rencana. Misalnya, apa yang harus dilakukan oleh guru kalau siswa terlihat kurang termotivasi.

Dari pengamatan yang penulis lakukan di beberapa sekolah juga terlihat bahwa guru sangat bergantung pada metode ceramah ketika menyampaikan pelajaran. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para guru adalah padatnya pelajaran dan kurangnya waktu untuk menyelesaikan bahan yang sudah ditetapkan oleh DEPDIKNAS. Tetapi dari pengamatan penulis, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan para guru. Pendapat ini sejalan dengan Darling-Hammond (dalam Woolfolk, 2004) yang meneliti bagaimana kualifikasi guru berhubungan dengan prestasi siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas guru, yang dinilai dari sertifikat mengajar dan gelar kesarjanaan dalam bidang yang diajarnya, memiliki hubungan yang nyata dengan prestasi siswa.

Masalah yang lain adalah penilaian atau evaluasi hasil belajar mengajar. Ada pemikiran bahwa ujian atau evaluasi hasil belajar hanya merupakan sarana untuk menilai kemampuan siswa. Padahal evaluasi hasil belajar seharusnya merupakan sarana untuk menilai keberhasilan guru dan sistem pendidikan dalam membantu anak didik meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Di samping itu, sampai sekarang penilaian hasil belajar siswa kebanyakan dilakukan melalui ujian tertulis, yang biasa disebut paper and pencil test. Hal ini masih diperburuk oleh pelaksanaan ujian akhir nasional, yang memukul rata semua siswa di seluruh wilayah tanah air ini, seolah-olah siswa di Papua tidak ada bedanya dengan siswa di Jawa atau daerah lainnya. Beberapa ahli pendidikan sebenarnya sudah mengusulkan untuk melakukan penilaian berdasarkan portfolio siswa, tetapi dalam prakteknya belum ada sekolah yang melakukannya. Hal ini mungkin disebabkan sulitnya melakukan penilaian berdasarkan portfolio ini, karena setiap individu siswa harus dinilai berdasarkan perkembangannya sendiri. Kebanyakan guru kelihatannya belum mampu untuk melaksanakan cara ini.

Ketiga, pengembangan diri guru yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah pengembangan diri guru merupakan masalah yang klasik. Kebanyakan sekolah tidak memiliki rencana definitif untuk membantu guru mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya mengajar. Karena itu perkembangan kemampuan guru sangat tergantung pada usaha dan kreativitas guru sendiri sebagai individu.

Beberapa Hasil Penelitian:

Banyak penelitian menunjukkan bahwa cara belajar yang paling berhasil adalah yang melibatkan siswa aktif dalam pembelajarannya. Tetapi apa yang terjadi di ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia. Anak-anak duduk diam mendengarkan guru. Pembelajaran berjalan membosankan. Memang beberapa tahun yang lalu ada usaha untu mengembangan cara belajar yang melibatkan siswa secara aktif, yang dikenal dengan nama "Cara Belajar Siswa Aktif" (CBSA). Tetapi karena kurangnya dukungan terhadap pelaksanaan cara belajar ini, akhirnya guru sendiri kebingungan untuk menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajarnya, sampai ada beberapa guru yang memplesetkan singkatan CBSA menjadi Catat Bahan Sampai Abis. Pada akhirnya program ini terhenti begitu saja.

Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang berhasil adalah di mana siswa melakukan konstruksi terhadap pengetahuannya. Ini berarti siswa diberi kesempatan untuk memasuki pengalaman belajar yang menantang pemikirannya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan pengetahuan yang didapat dari pengalaman itu. Sesuai dengan itu proses belajar yang paling berhasil adalah di mana siswa berusaha memecahkan masalah, khususnya yang berkaitan dengan kehidupannya. Hal ini akan membuat pembelajaran itu relevan dengan kehidupan siswa.

Untuk memecahkan masalah, sering kali siswa harus bekerja sama dengan siswa yang lain. Tetapi di sekolah-sekolah di Indonesia, siswa yang bekerja sama dianggap curang. Tentu saja siswa yang bekerja sama dianggap curang karena sistem pengujian yang dangkal dan hanya menguji ingatan siswa, tidak memberi kesempatan siswa untuk mengungkapkan pemahaman yang mendalam.

Penelitian-penelitian dalam psikologi pendidikan dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa proses belajar akan berlangsung paling baik kalau anak belajar dalam suasana yang menyenangkan. Beberapa penelitian dalam bidang neuroscinece bahkan menunjukkan pembelajaran paling berhasil ketika otak dalam keadaan rileks. Hal ini menjelaskan mengapa apa yang dipelajari di Taman Kanak-kanak (TK) biasanya terus diingat oleh anak sampai dewasa. Pelajaran itu melekat dalam pikiran anak karena dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, yaitu di mana anak belajar sambil bermain. Atau lebih tepat lagi, anak bermain sambil belajar. Proses belajar menjadi bagian dari kegiatan bermain itu.

Bukan hanya untuk anak yang masih kecil, untuk anak yang lebih tuapun prinsip ini berlaku. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa kegiatan belajar yang paling berhasil terjadi dalam suasana bermain, baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan “No laughing, no learning.” Kalau tidak ada tawa, tidak belajar.

Bandingkan dengan suasana belajar di kebanyakan kelas di sekolah-sekolah, di mana bercanda di dalam kelas dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap otoritas guru. Bagaimana otak yang begitu tegang itu dapat belajar dengan baik? Tentu saja tidak dapat. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa biasanya siswa lupa apa yang dipelajarinya selama satu semester segera setelah dia selesai ujian akhir semester itu.

Penutup:

Kalau mau mengejar ketinggalan yang sangat jauh ini, dunia pendidikan di Indonesia harus mengubah sistem pendidikan yang ada. Dunia pendidikan harus memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada.

Ada tiga prinsip umum yang harus dipakai dalam sistem pendidikan. Pertama, kurikulum dan evaluasi harus disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, bahkan harus sesuai dengan masing-masing individu pembelajar kalau mungkin. Kedua, pengajaran harus memakai pendekatan siswa aktif di mana pembelajar diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksinya dengan bahan, dengan pengajar dan dengan sesama siswa. Ketiga, pengajar harus membangun suasana belajar yang menyenangkan di mana siswa dapat bermain sambil belajar.