Memasuki Tahun Ajaran Baru
2012/2013 permasalahan pendidikan mengemuka dengan berbagai persoalan.
Biaya masuk sekolah yang semakin mahal, sistem penerimaan siswa baru
yang menyusahkan orangtua dan siswa, diskriminasi akses pada
sekolah-sekolah yang dianggap unggulan, dan di ujung tahun ajaran nanti
kita juga akan menghadapi lagi problema ujian akhir nasional. Ini semua
menunjukkan tidak beresnya sistem pendidikan nasional.
Hingga saat ini,
pendidikan di Indonesia masih berkutat pada dua masalah pokok yaitu
pemerataan akses pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Dalam
sistem pendidikan nasional, dua hal ini menjadi target nasional yang
harus dicapai. Belum lagi bicara tentang target pencapaian tujuan
milenium yaitu salah satunya adalah pendidikan untuk semua.
Pemerataan
akses pendidikan hingga satu dekade berlalu dari Milenium 2000 masih
menyisakan jalan panjang yang penuh kesenjangan di depan. Angka
partisipasi sekolah di tingkat sekolah dasar, menengah, dan lanjutan
masih menunjukkan jurang yang tajam.
Hingga
tahun 2010, angka partisipasi anak usia 7-12 (tingkat sekolah dasar)
sebesar 97,96 %, namun angkanya menurun pada partisipasi anak usia 13-15
tahun (tingkat sekolah menengah) menjadi sebesar 86,11 % kemudian
menukik drastis pada partisipasi anak usia 16-18 tahun (tingkat sekolah
lanjutan) hanya sebesar 55,83%. Artinya, jumlah putus sekolah di tingkat
pendidikan yang lebih tinggi masih besar sekali, yang menimbulkan
jurang kesenjangan pendidikan tinggi bagi anak-anak Indonesia.
Angka-angka
itu baru menunjuk pada jurang pemerataan kesempatan pendidikan. Belum
lagi pada jurang peningkatan kualitas pendidikan. Di dunia persekolahan
Indonesia pun tampaknya berlaku hukum dagang yaitu ada uang, ada barang.
Siapa punya uang cukup, dia yang dapat masuk sekolah berkualitas.
Fenomena
itu semakin jelas dengan praktek sekolah publik yang dianggap unggulan
berubah statusnya menjadi rintisan sekolah berstandar internasional
(RSBI), memisahkan kelasnya dari golongan “sekolah biasa”.
Sekolah-sekolah RSBI, sekolah unggulan, sekolah percontohan, dan istilah
lainnya, meminta harga tinggi kepada orangtua calon siswa yang ingin
mendapatkan pendidikan yang dianggap berkualitas di sekolah itu.
Rata-rata sekolah unggulan ini mematok biaya masuk Rp 6-15 juta.
Akses
masuk pendidikan formal di Indonesia masih berwajah biaya tinggi dan
prosedur sulit. Sekolah negeri yang dipromosikan gratis tanpa pungutan
dan yang dilarang memungut biaya masuk Kementerian Pendidikan Nasional
pun, diberitakan di banyak tempat masih memungut biaya pada orangtua
calon siswa. Pungutan itu diinstruksikan oleh kepala sekolah. Ini
menunjukkan ketidakkonsistenan kebijakan dan praktek pungutan liar di
dunia pendidikan formal.
Selain
pungutan uang pangkal dan uang sekolah bulanan yang mahal, prosedur
masuk sekolah juga sulit. Sejak beberapa tahun terakhir ini, prosedur
penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri menerapkan sistem
online, berdasarkan kuota dan peringkat. Pada praktiknya,
sistem prosedur ini menyusahkan orangtua dan calon siswa yang akan
mendaftar masuk sekolah.
Sebelum
praktik ini diterapkan, dulu sekolah di mana pun punya kewenangan
menerima siswa dari mana saja dan dapat menerapkan kebijakan penerimaan
siswa sesuai kondisi masing-masing siswa. Saat ini semuanya diukur
dengan nilai (peringkat nilai ujian nasional) dan standarisasi
penerimaan siswa menjadi diskriminasi penerimaan siswa, karena tidak
semua calon siswa dapat masuk ke sekolah yang diinginkan, yang dekat
dengan lokasi tempat tinggal.
Sekarang,
dengan sistem peringkat dan kuota, siswa-siswa yang nilai ujian
nasionalnya rendah, menjadi semakin terpinggirkan ke sekolah-sekolah
yang menjadi “buangan” siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah
favorit. Belum lagi bila siswa diterima di sekolah yang jauh lokasinya
dari tempat tinggal, ini berkonsekuensi pada transportasi ke sekolah
sehingga menambah biaya tinggi.
Awal
tahun ajaran baru membuat dunia pendidikan di Indonesia menjadi
momentum untuk mewaspadai kebijakan dan praktek pendidikan nasional
mulai dari awal masuk siswa, lalu proses belajar mengajar selama tahun
ajaran, kemudian di akhir tahun ajaran nanti kita akan berhadapan lagi
dengan hiruk pikuk ujian nasional bagi siswa-siswa di tahun terakhir.
Jangan sampai semua problema sistem pendidikan menjadi siklus bencana
pendidikan yang dipelihara.