Tuesday, June 26, 2012

Mewaspadai Tahun Ajaran Baru

Memasuki Tahun Ajaran Baru 2012/2013 permasalahan pendidikan mengemuka dengan berbagai persoalan. Biaya masuk sekolah yang semakin mahal, sistem penerimaan siswa baru yang menyusahkan orangtua dan siswa, diskriminasi akses pada sekolah-sekolah yang dianggap unggulan, dan di ujung tahun ajaran nanti kita juga akan menghadapi lagi problema ujian akhir nasional. Ini semua menunjukkan tidak beresnya sistem pendidikan nasional.
Hingga saat ini, pendidikan di Indonesia masih berkutat pada dua masalah pokok yaitu pemerataan akses pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional, dua hal ini menjadi target nasional yang harus dicapai. Belum lagi bicara tentang target pencapaian tujuan milenium yaitu salah satunya adalah pendidikan untuk semua.
Pemerataan akses pendidikan hingga satu dekade berlalu dari Milenium 2000 masih menyisakan jalan panjang yang penuh kesenjangan di depan. Angka partisipasi sekolah di tingkat sekolah dasar, menengah, dan lanjutan masih menunjukkan jurang yang tajam.
Hingga tahun 2010, angka partisipasi anak usia 7-12 (tingkat sekolah dasar) sebesar 97,96 %, namun angkanya menurun pada partisipasi anak usia 13-15 tahun (tingkat sekolah menengah) menjadi sebesar 86,11 % kemudian menukik drastis pada partisipasi anak usia 16-18 tahun (tingkat sekolah lanjutan) hanya sebesar 55,83%. Artinya, jumlah putus sekolah di tingkat pendidikan yang lebih tinggi masih besar sekali, yang menimbulkan jurang kesenjangan pendidikan tinggi bagi anak-anak Indonesia.
Angka-angka itu baru menunjuk pada jurang pemerataan kesempatan pendidikan. Belum lagi pada jurang peningkatan kualitas pendidikan. Di dunia persekolahan Indonesia pun tampaknya berlaku hukum dagang yaitu ada uang, ada barang. Siapa punya uang cukup, dia yang dapat masuk sekolah berkualitas.
Fenomena itu semakin jelas dengan praktek sekolah publik yang dianggap unggulan berubah statusnya menjadi rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), memisahkan kelasnya dari golongan “sekolah biasa”. Sekolah-sekolah RSBI, sekolah unggulan, sekolah percontohan, dan istilah lainnya, meminta harga tinggi kepada orangtua calon siswa yang ingin mendapatkan pendidikan yang dianggap berkualitas di sekolah itu. Rata-rata sekolah unggulan ini mematok biaya masuk Rp 6-15 juta.
Akses masuk pendidikan formal di Indonesia masih berwajah biaya tinggi dan prosedur sulit. Sekolah negeri yang dipromosikan gratis tanpa pungutan dan yang dilarang memungut biaya masuk Kementerian Pendidikan Nasional pun, diberitakan di banyak tempat masih memungut biaya pada orangtua calon siswa. Pungutan itu diinstruksikan oleh kepala sekolah. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan kebijakan dan praktek pungutan liar di dunia pendidikan formal.
Selain pungutan uang pangkal dan uang sekolah bulanan yang mahal, prosedur masuk sekolah juga sulit. Sejak beberapa tahun terakhir ini, prosedur penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri menerapkan sistem online, berdasarkan kuota dan peringkat. Pada praktiknya, sistem prosedur ini menyusahkan orangtua dan calon siswa yang akan mendaftar masuk sekolah.
Sebelum praktik ini diterapkan, dulu sekolah di mana pun punya kewenangan menerima siswa dari mana saja dan dapat menerapkan kebijakan penerimaan siswa sesuai kondisi masing-masing siswa. Saat ini semuanya diukur dengan nilai (peringkat nilai ujian nasional) dan standarisasi penerimaan siswa menjadi diskriminasi penerimaan siswa, karena tidak semua calon siswa dapat masuk ke sekolah yang diinginkan, yang dekat dengan lokasi tempat tinggal.
Sekarang, dengan sistem peringkat dan kuota, siswa-siswa yang nilai ujian nasionalnya rendah, menjadi semakin terpinggirkan ke sekolah-sekolah yang menjadi “buangan” siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah favorit. Belum lagi bila siswa diterima di sekolah yang jauh lokasinya dari tempat tinggal, ini berkonsekuensi pada transportasi ke sekolah sehingga menambah biaya tinggi.
Awal tahun ajaran baru membuat dunia pendidikan di Indonesia menjadi momentum untuk mewaspadai kebijakan dan praktek pendidikan nasional mulai dari awal masuk siswa, lalu proses belajar mengajar selama tahun ajaran, kemudian di akhir tahun ajaran nanti kita akan berhadapan lagi dengan hiruk pikuk ujian nasional bagi siswa-siswa di tahun terakhir. Jangan sampai semua problema sistem pendidikan menjadi siklus bencana pendidikan yang dipelihara.