Friday, May 17, 2013

MENYOROT POLITICAL WILL, POLITICAL COMMITMENT DAN POLITICAL ACTION TERHADAP PENDIDIKAN GRATIS DAN PEMBATASAN ANAK USIA SEKOLAH


I. Pendahuluan
Ada pameo no such a thing as a free lunch, tidak ada makan siang gratis. Pameo tersebut penting untuk direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan gratis yang cenderung menjadi komoditas politik (Edy Priyono, Suara Pembaruan Daily).
Dalam kampanye pilkada beberapa kandidat secara “gagah berani” menjanjikan pendidikan gratis jika terpilih. Beberapa kepala daerah yang sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan sekolah gratis.
Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak dilarang, karena sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan. Setiap kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya, apakah semua pihak menyadari apa konsekuensi kebijakan tersebut.
Yang dimaksud dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang sejak 2005 diterima sekolah dari pemerintah (pusat). Untuk 2007, dana BOS bernilai Rp 21.000 per siswa per bulan untuk SD/MI dan Rp 29.500 untuk SMP/MTs.
Pertanyaan pertama, apakah sebelum mencanangkan atau menjanjikan pendidikan gratis para (calon) pimpinan daerah sudah menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya satuan di tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dengan dana BOS, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut?
Kebijakan pendidikan gratis jelas tidak membebankan kekurangan biaya tersebut kepada masyarakat (orang tua). Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah (pemda) atau dibiarkan tanpa satu pihak pun yang menutupnya. Jika pemda yang akan menutup kekurangan biaya di sekolah berarti diperlukan alokasi APBD sesuai dengan jumlah murid. Sebagai gambaran, selisih antara biaya satuan dan BOS adalah Rp 15.000 dan di suatu kabupaten terdapat 200.000 murid SD maka diperlukan tambahan APBD senilai Rp 3 miliar untuk tingkat SD saja. Semakin besar selisih antara BOS dengan biaya satuan dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah semakin besar alokasi APBD yang diperlukan.
Jika pemda tidak mau (atau tidak mampu) mengalokasikan anggaran yang diperlukan dan tetap konsisten dengan kebijakan pendidikan gratis, itu artinya sekolah dibiarkan untuk beroperasi dengan dana yang lebih rendah dari kebutuhannya. Berarti pula sekolah tidak akan mampu memberikan pelayanan kepada siswa sesuai standar.
Fakta Lapangan
Dalam buku Panduan BOS Tahun 2007 dinyatakan bahwa pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah untuk menerima sumbangan dari orangtua yang mampu. Yang dengan tegas harus “gratis” adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa pengelola BOS menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional di sekolah. Meskipun demikian, tidak semua orang menyadari hal itu.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa berbagai “model” kebijakan pembiayaan pendidikan di daerah. Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai “pendamping BOS”, kemudian menggratiskan pendidikan.
Dalam kasus tertentu, di mana pemda tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional sekolah, kebijakan pendidikan gratis justru menjadi perangkap. Kualitas pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpuruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan operasional sekolah. Oleh karena itu, masyarakat harus cukup cerdas untuk mencermati wacana pendidikan gratis, khususnya yang dijanjikan oleh para kandidat dalam pilkada. Caranya, antara lain, dengan menuntut penjelasan yang lebih rinci tentang bagaimana kebijakan tersebut hendak diimplementasikan.

II. MATERI
Mengapa Pendidikan Gratis
Sudah lebih dari dua puluh tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
Terlebih lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.
Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan “No Child Left Behind“. Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis- selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.
Dalam “ketegangan” tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.
“Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan,” kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala, setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1724964.htm)
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju?

III. MASALAH
UU Sisdiknas Mendukung Pendidikan Gratis
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).  
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Berangkat dari uraian normative diatas, dengan mencermati fenomena yang berkembang dewasa ini yang sering dijadikan jargon dalam dimensi politik yaitu “Pendidikan Gratis”.  Pendidikan gratis dapat dimaknai sebagai upaya membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik di sekolah sebagai perwujudan dari upaya membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang merupakan  hak dari setiap warga Negara sebagaiman anamat UUD 1945 pasal 31.  Hal ini diharapkan menjadi salah satu instrument untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun.

IV. ASPEK MASALAH
Mengapa Pembatasan Anak Usia Sekolah
Pendidikan Anak Dini Usia (PAUD)
Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Kesalahan yang terjadi pada periode kritis akan membawa kerugian yang nyata pada masa depan bangsa. Investasi untuk perbaikan gizi dan kesehatan serta pembinaan anak usia dini akan membuat anak lebih siap belajar dengan baik pada saat sekolah. Investasi tersebut juga mempunyai efek positif yang panjang bagi kehidupan anak-anak di masa depan. Sehingga pada gilirannya akan berdampak positif sangat nyata bagi kemajuan bangsa. Produktivitas bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.
Pengembangan anak usia dini merupakan pilihan yang bijaksana dalam kaitannya dengan pembangunan SDM guna membangun masa depan bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Young (1996) mengemukakan paling tidak ada lima alasan pentingnya melakukan investasi untuk pengembangan anak usia dini (Early Child Development).
Pertama, untuk membangun SDM yang berkemampuan intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang baik serta mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh.
Kedua, untuk menghasilkan “Economic Return” yang lebih dan menurunkan “Social Costs” di masa yang akan datang dengan meningkatnya efektivitas pendidikan dan menekan pengeluaran biaya untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, untuk mencapai pemerataan sosial ekonomi masyarakat, termasuk mengatasi kesenjangan antar gender.
Keempat, untuk meningkatkan efisiensi investasi pada sektor lain karena intervensi program gizi dan kesehatan pada anak-anak akan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup anak, sedangkan intervensi dalam program pendidikan akan meningkatkan kinerja anak dan mengurangi kemungkinan tinggal kelas.
Kelima, untuk membantu kaum ibu dan anak-anak. Dengan semakin meningkatnya jumlah ibu bekerja dan rumah tangga yang dipimpin oleh wanita, pemeliharaan anak yang aman menjadi semakin penting. Penyediaan wahana untuk itu akan memberi peluang kepada wanita untuk berkarir dan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya.
Fungsi pendidikan bagi anak dini usia (golden age) tidak hanya sekedar memberikan berbagai pengalaman belajar seperti pendidikan pada orang dewasa, tetapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasannya. Pendidikan disini hendaknya diartikan secara luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya pendidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri di lingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga.
Pembelajaran harus dilakukan secara menyenangkan yaitu melalui bermain kesenangan yang diperoleh melalui bermain memungkinkan anak belajar tanpa tekanan, sehingga disamping motoriknya, kecerdasan anak (kecerdasan kognitif, sosial-emosional, spiritual dan kecerdasan lainnya) akan berkembang optimal. Lebih penting lagi, dampak dari jenuh belajar berupa semakin menurunnya prestasi anak di kelas. Kelas yang lebih tinggi dapat dihindari. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan pembelajaran yang berpusat pada anak, dimana anak mendapatkan pengalaman nyata yang bermakna bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya, melalui pendidikan anak dini usia yang pembelajarannya dilakukan secara menyenangkan akan membentuk manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai tantangan.
Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak dini usia disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi, dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena faktor bawaan harus kita terima apa adanya, maka faktor lingkunganlah yang harus direkayasa. Kita harus mengupayakannya semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan tersebut dapat kita perbaiki.

Arti Pendidikan Anak Dini Usia bagi kualitas SDM
Secara konseptual, pembangunan kualitas sumberdaya manusia harus mencakup semua dimensi baik fisik maupun non fisik tersebut secara totalitas. Segenap potensi jasmani dan rohani manusia bisa berkembang secara sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan hidup. Kualitas fisik dicerminkan dengan derajat kesehatan yang prima. Kualitas akal dicerminkan oleh daya fakir atau kecerdasan intelektual yang berkaitan dengan penguasan ilmu pengetahuan. Kualitas kalbu diukur dengan derajat keimanan dan ketakwaan, kejujuran, budi pekerti, moral dan akhlak. Kualitas akal dan kalbu secara bersama-sama melahirkan daya dzikir dan kesadaran diri yang mendalam akan hakikat manusia sehingga melahirkan emogensi atau kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang berkualitas.
Pendekatan holistik menekankan bahwa kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal yang berlangsung dalam keseluruhan siklus hidup, tahap yang sangat menentukan adalah pada saat janin (pre-natal) sampai usia remaja (sekitar 15 tahun), dan tahap yang paling kritis adalah sampai umur 5 tahun (balita). Usia dini, yaitu pada umur balita, adalah tahap yang rentan terhadap berbagai pengaruh fisik dan non fisik. Faktor-faktor yang menentukan tumbuh kembangnya anak balita baik fisik, psikologis, dan sosial sangat penting untuk diperhatikan dan dikendalikan agar dapat menjadi manusia yang berkualitas.
Bagi guru kelas satu, dua, tiga Sekolah Dasar yang berpengalaman, sudah tidak asing lagi adanya anak yang cepat mengerti pelajaran dan ada yang lambat, ada yang lebih berminat terhadap satu atau beberapa pelajaran dari yang lain, bahkan ada anak yang cepat sekali mengerti suatu pelajaran tertentu dan ada yang bakatnya berbeda-beda. Bakat (aptitude) dapat dirumuskan sebagai potensi kemampuan yang dibawa sejak lahir (inherent inner component of ability; Semiawan, C, 1997). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat ini dan banyak pula yang dapat dilakukan oleh lingkungan dalam rangka pengembangan intelektual dan kreativitas anak dini usia termasuk bermain.

Arti Bermain Bagi Anak Dini Usia 
Bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui aktivitas bermain, berbagai pekerjaannya terwujud. Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan, bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif. Bila anak bermain secara bebas, sesuai kemauan maupun sesuai kecepatannya sendiri, maka ia melatih kemampuannya.
Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai yang ia ketahui dan dari yang tidak dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya. Jadi, bermain mempunyai nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan kehidupan sehari-hari seorang anak.
ü  Bermain memiliki arti. Pada permulaan, setiap pengalaman bermain memiliki unsur risiko. Ada risiko bagi anak untuk belajar berjalan sendiri, atau naik sepeda sendiri atau berenang, ataupun meloncat. Betapapun sederhana permainannya, unsur risiko itu selalu ada.
ü  Unsur lain adalah pengulangan. Dengan pengulangan, anak memperoleh kesempatan mengkonsolidasikan keterampilannya yang harus diwujudkannya dalam berbagai permainan dengan berbagai nuansa yang berbeda. Sesudah pengulangan itu berlangsung, anak akan meningkatkan keterampilannya yang lebih kompleks. Melalui berbagai permainan yang diulang, ia memperoleh kemampuan tambahan untuk melakukan aktivitas lain.
ü  Fakta bahwa aktivitas permainan sederhana dapat menjadi kendaraan (vehicle) untuk menjadi hajat permainan yang kompleks, dapat dilihat dan terbukti pada kala mereka menjadi remaja.
ü  Melalui bermain anak secara aman dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran, umpama; ia bisa bermain peran sebagai ibu atau bapak yang galak, atau sebagai bayi atau anak yang mendambakan kasih sayang. Di dalam semua permainan itu ia dapat menyatakan rasa benci, takut dan gangguan emosional lainnya.

V.  SOLUSI
Penuhi Kebutuhan Bermain Anak Dini Usia
Sering kali cara belajar formal seperti diuraikan di atas dilakukan demi kebanggaan orang tua. Orang tua bangga bila anaknya disebut juara di kelas, anak dipacu untuk belajar, belajar dan belajar, supaya menjadi pintar dan menjadi juara. Selain itu guru hendak “menghabiskan” kurikulum cepat. Tetapi dampak yang diperolehnya dari cara belajar seperti ini tidak menguntungkan. Dalam arti dampak yang paling ringan adalah bahwa anak-anak pintar di TK, mungkin pintar di kelas 1, 2 ataupun 3, tetapi ternyata menurut penelitian oleh Universitas Indonesia (1981), makin lama menjadi makin tidak pintar di kelas yang lebih tinggi.
Sedangkan mereka yang kebutuhan permainannya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunianya lebih lanjut dan menjadi manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang sesuai potensi yang dimilikinya, sehingga menjadi manusia yang bermartabat dan mandiri. Lebih dari itu, ia terlatih untuk terus-menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan
Dengan memasukkan anak dini usia lebih awal dari usia sekolah yang dipersyaratkan, hanya akan memasung dan memenjarakan anak lebih awal, dengan kata lain kesempatan untuk menghabiskan masa bermain dipangkas oleh keinginan orang tua untuk cepat-cepat melihat anaknya masuk sekolah dasar, padahal itu mungkin membuat anak sukses tetapi belum tentu membuat anak-anak bahagia.

VI. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sungguh merupakan program yang sangat populis dan didambakan oleh masyarakat dalam kondisi multi krisis yang menimpa republik ini.
  2. Program pendidikan gratis yang dicanangkan tersebut diharapkan tidak hanya dalam bentuk tataran wacana dan program yang manis melainkan yang paling penting adalah kongkritisasi dari program tersebut, Karena itu diperlukan adanya political will, political commitment dan political action. sebab Emile Durkheim mengingatkan bahwa Society not exist by rational agreement but trust. No agreement without trust and no contract without trust.
  3. Wacana pendidikan gratis tidak berarti hanya bertujuan peningkatan aksesibilitas pendidikan semata, melainkan perlu ditunjang perbaikan mutu yang terus menerus, sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang cerdas dan kompetetitf. Oleh karenanya, kebijakan pendidikan juga perlu mengacu pada pendidikan terjangkau dan bermutu.
Pembatasan anak sekolah baik dalam hal pembatasan usia dan pembatasan jumlah dalam suatu sekolah masih diperlukan pengkajian mendalam guna melahirkan berbagai kebijakan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan phisikologi anak, psikologi social dan tuntutan perkembangan pendidikan itu sendiri.