LEBARAN telah berakhir. Mereka yang mudik ke kampung halaman kini telah kembali lagi ke perantauan, ke kota-kota sumber pencahariannya. Kota-kota kembali ramai, padat dan sumpek, sementara kampung-kampung kembali lengang, sepi dan seperti biasanya. Jalan raya yang dipenuhi arus mudik dan balik berangsur-angsur seperti semula, normal. Apa yang bisa dibaca dari fenomena mudik-balik Lebaran?
Efek Lebaran
Apa pun itu, Lebaran tetaplah momen yang menggembirakan dan membahagiakan, biar pun macet dan merayap di jalanan saat mudik ataupun balik. Bahkan, biar pun nyawa dipertaruhkan di jalanan. Kabarnya, tahun ini ada sekitar 700 orang yang meninggal akaibat kecelakaan di jalan dan kebanyakan adalah pengendara sepeda motor. Selain jumlahnya yang memang sangat banyak, risiko di jalanan bagi pengendara motor memang lebih besar dibandingkan mobil. Kelelahan mengakibatkan hilangnya konsentrasi yang sesungguhnya sangat diperlukan ketika jalanan begitu ramai.
Lebaran, dari tahun ke tahun, entah sampai kapan, akan selalu terisi dengan mudik-balik orang-orang. Jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menjadi favorit orang-orang untuk mencari penghidupan akan terus didatangi kaum urban dari kampung-kampung, sepanjang tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk memeratakan pembangunan di seluruh daerah di penjuru negeri ini. Otonomi daerah mestinya tidak dijadikan sebagai alasan pemerintah pusat mengabaikan perannya di daerah-daerah, karena ternyata tidak semua daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik. Kabarnya, beberapa daerah malah kekurangan dana untuk membayar gaji pegawai negeri.
Dari perspektif sosiologis semacam ini, jelas bahwa faktor ekonomi menjadi inti dari terus meningkatnya jumlah pemudik Lebaran dari tahun ke tahun, di mana jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat ketika balik lagi ke kota. Tidak heran, ada pameo menyebutkan ‘mudik bawa barang, balik bawa orang’. Maksudnya, kaum urban dari kota-kota sentra ekonomi mudik membawa apa yang sudah dihasilkannya; entah itu berupa kendaraan (mobil, motor), entah itu berupa uang, entah itu berupa jajanan atau oleh-oleh makanan yang dibeli di kota, yang katanya di kampung tidak ada, lalu dibawa mudik. Sadar tidak sadar, apa yang dibawa secara sosiologis mencerminkan yang Karl Marx sebut dengan perjuangan kelas sosial dengan pergi ke kota, lalu pulang kampung menyandang status sosial lebih baik, yakni menjadi orang sukses di kota. Tentu saja ukuran ‘sukses’ adalah adanya perbedaan ketika masih di kampung dengan setelah di kota.
Saat balik ke kota, untuk sebagian besar mereka membawa orang, yaitu saudara, kerabat atau teman-temannya. Tidak heran, dibanding jumlah pemudik, jumlah yang balik lagi ke kota bisa dua kali lipat. Kesuksesan sebagai orang yang hidup di kota yang terlihat dengan barang-barang yang mereka bawa telah banyak menarik minat orang-orang kampung lainnya untuk ikut mengalami kesuksesan semacam itu. Hasrat untuk menjadi orang urban semakin besar ketika kampung halaman sudah tidak lagi memberi kesejahteraan. Kampung halaman sudah dianggap sebagai kampung orang-orang tua, orang-orang kolot yang hidupnya begitu-begitu saja, nyaris tidak berubah.
Kalaupun berubah, berbeda jauh dengan perubahan terjadi di kota. Masyarakat kampung, untuk sebagian besar, justru memang menghendaki tidak adanya perubahan. Mereka lebih suka hidup ajeg, dan mereka menikmatinya. Pada hal-hal tertentu, misalnya pendapatan harian mereka yang tidak sebanding dengan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin naik, mereka memang menggerutu, tapi itu tidak lama. Mereka nrimo. Kaum muda, generasi setelah mereka, sebagian besarnya merasa ingin perubahan. Kota-kota besar menjadi magnet yang mereka persepsikan bisa mengubah hidup mereka. Mereka melihat perubahan itu secara jelas dari orang-orang yang mudik maka gelombang kaum urban pun tidak terelakkan.
Mengubah Perspektif
Fenomena mudik dan balik setiap Lebaran yang begitu dahsyat dipastikan hanya dikenal atau terjadi di Indonesia. Fenomena ini menjadi cermin sosial paling benderang yang mendeskripsikan bagaimana kondisi masyarakat negeri ini. Ketimpangan ekonomi antara kota dan desa, ketidakmerataan pembangunan di daerah-daerah, otonomisasi daerah yang belum sepenuhnya berhasil, serta ketidakpedulian atau ketidakmampuan pemerintah, terutama pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menangani ledakan sosial kaum urban sebagai efek domino dari ketimpangan dan ketidakmerataan itu, menjadi salah satu faktor utama terciptanya fenomena mudik dan balik. Tahun demi tahun fenomena ini tidak berubah maupun berkurang, tapi justru bertambah.
Pemerintah mestinya bisa membaca fenomena ini secara cermat. Ada kesalahan elementer yang harusnya disadari pemerintah dengan cepat. Kebijakan pembangunan belum berefek besar bagi masyarakat di daerah. Kota-kota masih terus menjadi magnet, karena terus dipercantik, diperindah, bahkan sampai dipersempit. Ambil contoh Jakarta yang merupakan pusat ekonomi (bisnis) dan pemerintahan (ibu kota negara). Pembangunan mal-mal atau sentra-sentra perbelanjaan baru yang besar dan megah selalu terjadi.
Lahan semakin menyempit, ditumbuhi hutan-hutan beton dan baja. Jakarta terus diperkuat magnet dan daya tariknya sebagai sentra ekonomi. Daerah-daerah di luar Jakarta, apalagi di luar Jawa, dibiarkan mengurusi dirinya sendiri dengan kondisi keuangan yang megap-megap atau dikatakan minim. Untuk menggaji pegawai saja kekurangan, bagaimana mungkin membangun daerahnya, hingga ke pelosok? Di sinilah peran pemerintah pusat. Pemerintah harus segera memeratakan pembangunan di daerah, dan menarik masyarakat untuk ikut berperan di dalamnya untuk bersama-sama membangun daerah, agar masyarakat bisa mencari penghidupan secara memadai, di daerahnya sendiri.
Efek Lebaran
Apa pun itu, Lebaran tetaplah momen yang menggembirakan dan membahagiakan, biar pun macet dan merayap di jalanan saat mudik ataupun balik. Bahkan, biar pun nyawa dipertaruhkan di jalanan. Kabarnya, tahun ini ada sekitar 700 orang yang meninggal akaibat kecelakaan di jalan dan kebanyakan adalah pengendara sepeda motor. Selain jumlahnya yang memang sangat banyak, risiko di jalanan bagi pengendara motor memang lebih besar dibandingkan mobil. Kelelahan mengakibatkan hilangnya konsentrasi yang sesungguhnya sangat diperlukan ketika jalanan begitu ramai.
Lebaran, dari tahun ke tahun, entah sampai kapan, akan selalu terisi dengan mudik-balik orang-orang. Jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menjadi favorit orang-orang untuk mencari penghidupan akan terus didatangi kaum urban dari kampung-kampung, sepanjang tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk memeratakan pembangunan di seluruh daerah di penjuru negeri ini. Otonomi daerah mestinya tidak dijadikan sebagai alasan pemerintah pusat mengabaikan perannya di daerah-daerah, karena ternyata tidak semua daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik. Kabarnya, beberapa daerah malah kekurangan dana untuk membayar gaji pegawai negeri.
Dari perspektif sosiologis semacam ini, jelas bahwa faktor ekonomi menjadi inti dari terus meningkatnya jumlah pemudik Lebaran dari tahun ke tahun, di mana jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat ketika balik lagi ke kota. Tidak heran, ada pameo menyebutkan ‘mudik bawa barang, balik bawa orang’. Maksudnya, kaum urban dari kota-kota sentra ekonomi mudik membawa apa yang sudah dihasilkannya; entah itu berupa kendaraan (mobil, motor), entah itu berupa uang, entah itu berupa jajanan atau oleh-oleh makanan yang dibeli di kota, yang katanya di kampung tidak ada, lalu dibawa mudik. Sadar tidak sadar, apa yang dibawa secara sosiologis mencerminkan yang Karl Marx sebut dengan perjuangan kelas sosial dengan pergi ke kota, lalu pulang kampung menyandang status sosial lebih baik, yakni menjadi orang sukses di kota. Tentu saja ukuran ‘sukses’ adalah adanya perbedaan ketika masih di kampung dengan setelah di kota.
Saat balik ke kota, untuk sebagian besar mereka membawa orang, yaitu saudara, kerabat atau teman-temannya. Tidak heran, dibanding jumlah pemudik, jumlah yang balik lagi ke kota bisa dua kali lipat. Kesuksesan sebagai orang yang hidup di kota yang terlihat dengan barang-barang yang mereka bawa telah banyak menarik minat orang-orang kampung lainnya untuk ikut mengalami kesuksesan semacam itu. Hasrat untuk menjadi orang urban semakin besar ketika kampung halaman sudah tidak lagi memberi kesejahteraan. Kampung halaman sudah dianggap sebagai kampung orang-orang tua, orang-orang kolot yang hidupnya begitu-begitu saja, nyaris tidak berubah.
Kalaupun berubah, berbeda jauh dengan perubahan terjadi di kota. Masyarakat kampung, untuk sebagian besar, justru memang menghendaki tidak adanya perubahan. Mereka lebih suka hidup ajeg, dan mereka menikmatinya. Pada hal-hal tertentu, misalnya pendapatan harian mereka yang tidak sebanding dengan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin naik, mereka memang menggerutu, tapi itu tidak lama. Mereka nrimo. Kaum muda, generasi setelah mereka, sebagian besarnya merasa ingin perubahan. Kota-kota besar menjadi magnet yang mereka persepsikan bisa mengubah hidup mereka. Mereka melihat perubahan itu secara jelas dari orang-orang yang mudik maka gelombang kaum urban pun tidak terelakkan.
Mengubah Perspektif
Fenomena mudik dan balik setiap Lebaran yang begitu dahsyat dipastikan hanya dikenal atau terjadi di Indonesia. Fenomena ini menjadi cermin sosial paling benderang yang mendeskripsikan bagaimana kondisi masyarakat negeri ini. Ketimpangan ekonomi antara kota dan desa, ketidakmerataan pembangunan di daerah-daerah, otonomisasi daerah yang belum sepenuhnya berhasil, serta ketidakpedulian atau ketidakmampuan pemerintah, terutama pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menangani ledakan sosial kaum urban sebagai efek domino dari ketimpangan dan ketidakmerataan itu, menjadi salah satu faktor utama terciptanya fenomena mudik dan balik. Tahun demi tahun fenomena ini tidak berubah maupun berkurang, tapi justru bertambah.
Pemerintah mestinya bisa membaca fenomena ini secara cermat. Ada kesalahan elementer yang harusnya disadari pemerintah dengan cepat. Kebijakan pembangunan belum berefek besar bagi masyarakat di daerah. Kota-kota masih terus menjadi magnet, karena terus dipercantik, diperindah, bahkan sampai dipersempit. Ambil contoh Jakarta yang merupakan pusat ekonomi (bisnis) dan pemerintahan (ibu kota negara). Pembangunan mal-mal atau sentra-sentra perbelanjaan baru yang besar dan megah selalu terjadi.
Lahan semakin menyempit, ditumbuhi hutan-hutan beton dan baja. Jakarta terus diperkuat magnet dan daya tariknya sebagai sentra ekonomi. Daerah-daerah di luar Jakarta, apalagi di luar Jawa, dibiarkan mengurusi dirinya sendiri dengan kondisi keuangan yang megap-megap atau dikatakan minim. Untuk menggaji pegawai saja kekurangan, bagaimana mungkin membangun daerahnya, hingga ke pelosok? Di sinilah peran pemerintah pusat. Pemerintah harus segera memeratakan pembangunan di daerah, dan menarik masyarakat untuk ikut berperan di dalamnya untuk bersama-sama membangun daerah, agar masyarakat bisa mencari penghidupan secara memadai, di daerahnya sendiri.