Ikatan kekerabatan
Francis Fukuyama, dalam Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order), memaparkan bahwa muara atau rahim lahirnya budaya nepotisme adalah familisme. Yakni, ketergantugan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang kemudian melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya. Dan pada tahap lanjutannya, familisme mengarah ke nepotisme (Fukuyama, 1999:45).
Dalam lingkungan birokrasi di sekitar kita, familisme kerap menjadi landasan utama dalam proses rekrutmen. Akibatnya, ketika ada seseorang yang hendak melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia barangkali akan berujar: “Kalau mau lulus dengan mudah, harus ada `orang dalam’ yang bersedia menolong.” Kalau sudah begini, ujian resmi atau tes masuk calon pegawai negeri sipil (CPNS) hanya sekadar formalitas belaka untuk menutupi kebusukan nepotisme.
Mengandalkan “orang dalam” itulah yang menjadi pertimbangan lain bagi para pelamar di samping nilai-nilai kualifikasi yang dimiliki. Akibat nepotisme yang mewabah dalam sistem birokrasi, mereka yang punya kecakapan dan layak direkrut akhirnya tersingkir akibat ulah “orang dalam” yang dengan rasa familismenya memperjuangkan keluarga atau kerabatnya yang sama sekali tidak punya kemampuan yang mumpuni agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri.
Apakah mereka yang punya kecakapan mumpuni tapi tersingkir dalam bursa persaingan akan pasrah seketika? Tentu tidak. Di sinilahsalah satu letak masalah semakin mewabahnya nepotisme. Mereka yang berpendidikan, yang punya kualifikasi dan keahlian memadai, pun akhirnya mencari “orang dalam”-nya sendiri untuk memuluskan langkah. Ini mengindikasikan bahwa nepotisme tidak hanya didukung oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tetapi akibat kultur nepotisme dalam lingkungan birokrasi yang kuat, mereka yang berpendidikan (tinggi) pun akhirnya ikut menyuburkan wabah ini melalui kerja sama kotor dengan “orang dalam”.
Jebakan korupsi
Rose-Ackerman (2006) memaparkan bahwa, sebuah negara akan terus bergelut dengan status negara miskin apabila “terperangkap dalam jebakan korupsi”. Situasi munculnya “jebakan korupsi” adalah ketika dalam sebuah negara terjadi korupsi yang “mendorong timbulnya lebih banyak lagi korupsi”. Tetapi sebenarnya, wabah korupsi itu bisa pula berakar dari budaya nepotisme yang kuat.
Dalam Political Man, Lipset berujar: “Semakin miskin sebuah negara, semakin kuat kecondongan pada nepotisme, yakni mengangkat di kalangan teman-teman atau kerabat pada jabatan-jabatan publik.” Negara miskin tentu belum mampu melakukan modernisasi secara keseluruhan, termasuk dalam hal modernisasi birokrasi. Tentu saja, tidak adanya birokrasi yang modern dalam sebuah negara miskin akan menyebabkan perekrutan pegawai-pegawai negeri dengan cara-cara yang menyalahi prosedur ideal birokrasi modern. Ditambah lagi kecenderungan perilaku korup, misalnya dengan maraknya suap untuk melicinkan kelulusan.
Ketika seorang pegawai negeri yang diangkat melalui jalur nepotisme, ia akan cenderung melanjutkan praktik nepotisme baru, yakni mengupayakan sanak famili atau kerabatnya yang lain agar juga bisa menjadi pegawai negeri. Jadi, nepotisme mendorong munculnya lebih banyak nepotiisme. Hal semacam ini telah menjadikan nepotisme sebagai tradisi turun-temurun dalam sistem birokrasi. Padahal, birokrasi yang baik dan modern tidaklah berciri demikian.
Birokrasi yang modern adalah sistem yang digerakkan oleh aparatur-aparatur yang diangkat atas dasar kualifikasi dan keahlian, bukan atas dasar keturunan. Atau dalam bahasa Fukuyama: “Birokrasi modern (setidak-tidaknya dalam teori) dijalankan bukan oleh anggota keluarga dan teman dekat, melainkan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan kerja yang obyektif atau telah lulus ujian resmi.”
Lalu, bagaimana memotong atau mengakhiri siklus wabah nepotisme? Para teoretisi ilmu sosial yang memuja tatanan sosial yang ditopang budaya individualisme akan menawarkan penghapusan ikatan keluarga yang mendalam. Di satu sisi, kerja sama dalam ikatan keluarga saat menjalankan usaha akan menghasilkan sinergi yang kokoh dan menghasilkan capaian yang baik.
Sementara di sisi lain, akibat buruk akan lahir manakala kerja sama yang dibangun bukan untuk menjalankan sistem agar tetap stabil berdasarkan ikatan harmonis kekeluargaan, namun menghilangkan kesempatan bagi mereka yang bukan anggota keluarga -namun punya keahlian- untuk masuk dalam sistem roda birokrasi. Birokrasi yang dikendalikan oleh pegawai-pegawai minim kecakapan akan menyebabkan pelayanan publik menjadi rendah kualitasnya, bahkan sama sekali buruk.
Namun, mengingat budaya kita yang masih mengedepankan semangant kolektifisme dalam relasi sosial, pembangunan budaya individualisme bukanlah solusi dan wajib ditentang. Lagian, korupsi dalam sistem juga tidak hanya melibatkan aksi kolektif yang sistemik, namun juga sering dilakukan perorangan (individualistik). Memang tidak mudah memerangi nepotisme dalam negara yang budaya familismenya masih berakar, seperti Indonesia. Solusinya, tetap dibutuhkan pemimpin yang mampu dan berani menentang praktik nepotisme yang dapat melemahkan sistem.
Solusi radikal
Dalam sebuah diskusi, saya menawarkan solusi yang lumayan radikal atas mewabahnya nepotisme di lingkungan birokrasi kampus. Saya katakan: “Pecat semua pegawai yang diangkat oleh anggota keluarga atau kerabatnya, lalu lakukan perekrutan ulang secara transparan dengan prinsip kesamarataan kesempatan bagi siapa pun yang memenuhi nilai kualifikasi dan keahlian!”
Francis Fukuyama, dalam Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order), memaparkan bahwa muara atau rahim lahirnya budaya nepotisme adalah familisme. Yakni, ketergantugan yang terlalu besar pada ikatan keluarga, yang kemudian melahirkan kebiasaan menempatkan keluarga dan ikatan kekerabatan pada kedudukan yang lebih tinggi daripada kewajiban sosial lainnya. Dan pada tahap lanjutannya, familisme mengarah ke nepotisme (Fukuyama, 1999:45).
Dalam lingkungan birokrasi di sekitar kita, familisme kerap menjadi landasan utama dalam proses rekrutmen. Akibatnya, ketika ada seseorang yang hendak melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS), ia barangkali akan berujar: “Kalau mau lulus dengan mudah, harus ada `orang dalam’ yang bersedia menolong.” Kalau sudah begini, ujian resmi atau tes masuk calon pegawai negeri sipil (CPNS) hanya sekadar formalitas belaka untuk menutupi kebusukan nepotisme.
Mengandalkan “orang dalam” itulah yang menjadi pertimbangan lain bagi para pelamar di samping nilai-nilai kualifikasi yang dimiliki. Akibat nepotisme yang mewabah dalam sistem birokrasi, mereka yang punya kecakapan dan layak direkrut akhirnya tersingkir akibat ulah “orang dalam” yang dengan rasa familismenya memperjuangkan keluarga atau kerabatnya yang sama sekali tidak punya kemampuan yang mumpuni agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri.
Apakah mereka yang punya kecakapan mumpuni tapi tersingkir dalam bursa persaingan akan pasrah seketika? Tentu tidak. Di sinilahsalah satu letak masalah semakin mewabahnya nepotisme. Mereka yang berpendidikan, yang punya kualifikasi dan keahlian memadai, pun akhirnya mencari “orang dalam”-nya sendiri untuk memuluskan langkah. Ini mengindikasikan bahwa nepotisme tidak hanya didukung oleh mereka yang berpendidikan rendah. Tetapi akibat kultur nepotisme dalam lingkungan birokrasi yang kuat, mereka yang berpendidikan (tinggi) pun akhirnya ikut menyuburkan wabah ini melalui kerja sama kotor dengan “orang dalam”.
Jebakan korupsi
Rose-Ackerman (2006) memaparkan bahwa, sebuah negara akan terus bergelut dengan status negara miskin apabila “terperangkap dalam jebakan korupsi”. Situasi munculnya “jebakan korupsi” adalah ketika dalam sebuah negara terjadi korupsi yang “mendorong timbulnya lebih banyak lagi korupsi”. Tetapi sebenarnya, wabah korupsi itu bisa pula berakar dari budaya nepotisme yang kuat.
Dalam Political Man, Lipset berujar: “Semakin miskin sebuah negara, semakin kuat kecondongan pada nepotisme, yakni mengangkat di kalangan teman-teman atau kerabat pada jabatan-jabatan publik.” Negara miskin tentu belum mampu melakukan modernisasi secara keseluruhan, termasuk dalam hal modernisasi birokrasi. Tentu saja, tidak adanya birokrasi yang modern dalam sebuah negara miskin akan menyebabkan perekrutan pegawai-pegawai negeri dengan cara-cara yang menyalahi prosedur ideal birokrasi modern. Ditambah lagi kecenderungan perilaku korup, misalnya dengan maraknya suap untuk melicinkan kelulusan.
Ketika seorang pegawai negeri yang diangkat melalui jalur nepotisme, ia akan cenderung melanjutkan praktik nepotisme baru, yakni mengupayakan sanak famili atau kerabatnya yang lain agar juga bisa menjadi pegawai negeri. Jadi, nepotisme mendorong munculnya lebih banyak nepotiisme. Hal semacam ini telah menjadikan nepotisme sebagai tradisi turun-temurun dalam sistem birokrasi. Padahal, birokrasi yang baik dan modern tidaklah berciri demikian.
Birokrasi yang modern adalah sistem yang digerakkan oleh aparatur-aparatur yang diangkat atas dasar kualifikasi dan keahlian, bukan atas dasar keturunan. Atau dalam bahasa Fukuyama: “Birokrasi modern (setidak-tidaknya dalam teori) dijalankan bukan oleh anggota keluarga dan teman dekat, melainkan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan kerja yang obyektif atau telah lulus ujian resmi.”
Lalu, bagaimana memotong atau mengakhiri siklus wabah nepotisme? Para teoretisi ilmu sosial yang memuja tatanan sosial yang ditopang budaya individualisme akan menawarkan penghapusan ikatan keluarga yang mendalam. Di satu sisi, kerja sama dalam ikatan keluarga saat menjalankan usaha akan menghasilkan sinergi yang kokoh dan menghasilkan capaian yang baik.
Sementara di sisi lain, akibat buruk akan lahir manakala kerja sama yang dibangun bukan untuk menjalankan sistem agar tetap stabil berdasarkan ikatan harmonis kekeluargaan, namun menghilangkan kesempatan bagi mereka yang bukan anggota keluarga -namun punya keahlian- untuk masuk dalam sistem roda birokrasi. Birokrasi yang dikendalikan oleh pegawai-pegawai minim kecakapan akan menyebabkan pelayanan publik menjadi rendah kualitasnya, bahkan sama sekali buruk.
Namun, mengingat budaya kita yang masih mengedepankan semangant kolektifisme dalam relasi sosial, pembangunan budaya individualisme bukanlah solusi dan wajib ditentang. Lagian, korupsi dalam sistem juga tidak hanya melibatkan aksi kolektif yang sistemik, namun juga sering dilakukan perorangan (individualistik). Memang tidak mudah memerangi nepotisme dalam negara yang budaya familismenya masih berakar, seperti Indonesia. Solusinya, tetap dibutuhkan pemimpin yang mampu dan berani menentang praktik nepotisme yang dapat melemahkan sistem.
Solusi radikal
Dalam sebuah diskusi, saya menawarkan solusi yang lumayan radikal atas mewabahnya nepotisme di lingkungan birokrasi kampus. Saya katakan: “Pecat semua pegawai yang diangkat oleh anggota keluarga atau kerabatnya, lalu lakukan perekrutan ulang secara transparan dengan prinsip kesamarataan kesempatan bagi siapa pun yang memenuhi nilai kualifikasi dan keahlian!”