BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah
invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar
baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda
yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan
usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha)
invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa
inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode
yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi
dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah ((Subandiyah
1992:80)
Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan
masalah pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi
(dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan
(implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992:77).
Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum
tidak dapat dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi
pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh
lembaga-lembaga asing cenderung merupakan "Top-Down Inovation".
Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan
mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun
sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebaginya. Inovasi seperti ini
dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan
bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan
bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Ada inovasi yang juga dilakukan oleh guru-guru dan satuan
pendidikan, yang disebut dengan "Bottom-Up Innovation". Model yang
kedua ini bisa dilakukan di institusi pendidikan masing-masing Pembahasan
tentang model inovasi seperti model "Top-Down" dan
"Bottom-Up" telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan para ahli
pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang inovasi pendidikan yang dilakukan
misalnya perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar. White (1988: 136-156)
misalnya menguraikan beberapa aspek yang bekaitan dengan inovasi seperti
tahapan-tahapan dalam inovasi, karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan
sistem pendekatannya.
Makalah ini membahas inovasi dari segi faktor-faktor
penghambat di saat kita melaksanakan sebuah program inovasi dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Apa saja faktor-faktor penghambat dalam inovasi
pendidikan itu? Dan bagaimana cara untuk memecahkannya?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui
apa saja faktor-faktor penghambat dalam inovasi pendidikan itu untuk dijadikan
bahan pertimbangan bagi para pembaca (terutama insan-insan pendidikan) dalam
memecahkan maslah yang timbul di saat mengimplementasikan sebuah produk inovasi
pendidikan.
D. Manfaat Penulisan
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan para pembaca pada umumnya, serta diharapkan makalah ini dapat
dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah selalu memberikan dorongan kepada para
akademisi dan praktisi untuk selalu melakukan inovasi pendidikan.
Semoga makalah ini dapat mengetuk pintu hati dan membuka
mata para pejabat pemerintah, guru-guru, para orang tua serta orang-orang yang
bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor Penghambat Inovasi Pendidikan
Terdapat enam faktor penghambat yang mempengaruhi
keberhasilan usaha inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum antara lain
adalah:
1. Perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi
Di antara ke enam faktor, faktor kurang tepatnya
perencanaan proses inovasi merpakan faktor yang paling penting dan kompleks
sebagai hambatan pelaksanaaan program inovasi. Hambatan yang disebabkan kurang
tepatnya nya perencanaan atau estimasi (under estimating) dalam inovasi yaitu
tidak tepatnya poertimbangan tentang implementasi inovasi, kurang adanya
hubungan antar anggota team pelaksana inovasi, dan kurang adanya kesamaan
pendapat tentang tujuan yang akan dicapai atau kurang adanya kerjasama yang
baik.
Secara terinci item yang termasuk dalam faktor estimasi
yang tidak tepat yaitu tidak adanya koordiansi antar petugas yang berlainan di
bidang garapannya, tidak jelas struktur pengambilan keputusan, kurang adanya
komunikasi yang baik dengan pimpinan politik, perlu sentralisasi data penentuan
kebijakan, terlalu banyak peraturan dan undang-undang yang harus diikuti,
keputusn formal untuk memulai kegiatan inovasi terlambat, tidak tepatnya
perimbangan untuk menghadapi masalah penerapan inovasi, tekanan dari pimpinan
politik (penguasa pemerintahan) untuk mempercepat hasil inovasi dalam waktu
yang singkat.
2. Konflik dan motivasi yang kurang sehat
Hambatan ini muncul karena adanya masalah-masalah pribadi
seperti pertentangan anggota team pelaksana, kurang motivasi untuk bekerja dan
berbagai macam sikap pribadi yang dapat mengganggu kelancaran proses inovasi.
Secara terinci item yang termasuk masalah konflik dan
motivasi ialah: adanya pertentangan antar anggota team, antara beberapa anggota
kurang adanya saling pengertian serta saling merasa iri antara satu dengan yang
lain, orang yang memiliki peranan penting dalam proyek justru tidak menunjukkan
semangat dan ketekunan kerja, beberapa orang penting dalam proyek terlalu kaku
dan berpandangan sempit tentang proyek, bantuan teknik dari luar tidak tepat,
orang yang memegang jabatan penting dalam proyek tidak bersikap terbuka untuk
menerima inovasi, kurang adanya hadiah atau penghargaan terhadap orang yang
telah menerima dan menerapkan inovasi.
3. Lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga
mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan
Hal-hal yang berkaitan dengan macetnya inovasi antara
lain sangat rendahnya penghasilan per kapita, kurang adanya pertukaran dengan
orang asing, tidak mengetahui adanya sumber alam, jarak yang terlalu jauh,
iklim yan g tidak menunjang, kurang sarana komunikasi, kurang perhatian dari
pemerintah, sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Adapun item yang termasuk dalam faktor tidak dapat
berkembangnya inovasi adalah lambatnya pengiriman material yang diperlukan,
material tidak siap tepat waktu, perencanaan dana biasanya tidak tepat walaupun
sudah tidak dipertimbangkan adanya inflasi (underestimate), sistem pendidikan
kolonial yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, orang yang sudah
dilatih untuk menangani proyek tidak mau ditempatkan sesuai kebutuhan proyek,
terjadi inflasi, peraturan kolonial yang tidak sesuai, jauhnya jarak antar
tempat satu dengan yang lain, tenaga pelaksana kurang mampu menangani proyeksesuai
dengan yang direncanakan, terlalu cepat terjadi perubahan penempatan
orang-orang penting dalam proyek sehingga dapat mengganggu kontinuitas.
4. Keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi
Dalam analisa data ini masalah finansial dibedakan dengan
faktor yang menghalangi berkembangnya inovasi secara keseluruhan (faktor yang
ke-3), walaupun keduanya merupakan faktor yang serius menghambat jalannya
proses inovasi.
Adapun item yang ternmasuk dalam faktor finansial adalah
: tidak memadainya bantuan finansial dari daerah, tidak memadainya bantuan
finansial dari luar daerah, kondisi ekonomi daerah secara keseluruhan,
prioritas ekonomi secara nasional lebih banyak pada bidang lain daripada bidang
pendidikan, ada penundaan dalam penyampaian dana, terjadi inflasi.
Tentang bantuan dana untuk suatu proyek inovasi sering
terjadi adanya peraturan bahwa pemerintah akan memberikan bantuan bila
masyarakat setempat (daerah) memiliki dana sendiri (swasembada). Daerah tidak
mempunyai dana maka pemerintah tidak membantu. Dapat hjuga masyarakat tidak mau
mengusahakan dana karena tidak ada bantuan dari pemerintah, jadi merasa berat
dan frustasi. Oleh karena itu bantuan dan perhatian dari pemerintah sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan daerah.
5. Penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi
Faktor ke-lima ini berbeda dengan faktor yang lain dan
memang merupakan penolakan dari kelompok inovasi penentu atau kelompok elit
dalam suatu sistem sosial. Penolakan inovasi ini berbeda dengan keberatan
inovasi karena kurang dana atau masalah personalia dan sebagainhya. Jadi
penolakan ini memang ada kecenderungan muncul dari kelompok penentu.
Adapun item yang termasuk dalam faktor ke- lima ini
adalah : kelompok elit yang memiliki wewenang dalam masyarakat tradisional
menentang inovasi atau perluasan suasana pendidikan, terdapat pertentangan
ideologi mengenai inovasi, proyek inovasi dilaksanakan sangat lambat, peraturan
kolonial meninggalkan sikap masyarkat yang penuh kecurigaan terhadap sesuatu
yang asing, keberatan ternhadap inovasi karena sebab kepentingan kelompok.
6. Kurang adanya hubungan sosial dan publikasi
Faktor terakhir yang juga paling lemah pengaruhnya
terhadap hambatan inovasi adalah faktor yang terdiri dari dua hal yaitu
hubungan antar team dan hubungan dengan orang di luar team.
Item yang termasuk dalam kelompok ini adalah: ada masalah
dalam hubungan sosial antar anggota team yang satu dengan yang lain, ada
ketidakharmoniasan dan terjadi hubungan yang kurang baik antar anggota team
proyek inovasi, sangat kurang adanya suasana yang memungkinkan terjadinya
pertukaran pikiran yang terbuka.
Pada umumnya, faktor penghambat inovasi yang sering
muncul di lapangan adalah berupa penolakan atau resistance dari calon adopter,
misalnya penolakan para guru tentang adanya perubahan kurikulum dan metode
belajar-mengajar, maka perlu kiranya masalah tersebut dibahas.
Menurut definisi dalam kamus John Echol dan
"Cambridge International English Dictionary of English" bahwa
Resistance is to fight against (something or someone) to not be changed by or
refuse to accept (something).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa penolakan (resistance) itu adalah melawan sesuatu atau
seseorang untuk tidak berubah atau diubah atau tidak mau menerima perubahan
tersebut. Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat
diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai
berikut:
1.
Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan
bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut
dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang
lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau
kondisi sekolah mereka.
2.
Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat
sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan
bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Di samping itu sistem yang mereka miliki
dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai
dengan pikiran mereka. Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru
tetap mempertahankan sistem yang ada.
3.
Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama
dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi
yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36)
yang mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice
is important barrier to the success of the innovatory program".
4.
Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat
merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh
pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai
atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak
sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak
para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.
5.
Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan
sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan
kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.
B. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi
Untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di
atas, faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan
adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan.
1. Guru
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan
merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian
dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas
maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak
dicapai.
Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru
antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang
sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses
pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta
masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan,
keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan
pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan
suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka
akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti
diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan
mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka
menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena
itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat
karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua,
sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright
1987).
2. Siswa
Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam
proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses
belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui
penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang
timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa
juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan,walaupun hanya dengan
mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan
sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung
jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam
inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya,
karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada
sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru
Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan
sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka
tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi
resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.
3. Kurikulum
Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah
meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman
dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh
karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak
dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan
inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama
dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum
dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka
inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu
sendiri.
Oleh karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan
itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan
kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil
perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.
4. Sarana dan Prasarana
Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan,
tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam
proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja
fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan
diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi
pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik.
Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan
hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh
karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu
diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah,
laboratorium, bangku, meja dan sebagainya.
5. Lingkup Sosial Masyarakat
Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak
secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa
membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan
pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan
C. Karakteristik Inovasi Pendidikan
Penolakan juga bisa juga muncul karena inovasi yang digulirkan
tidak memenuhi syarat-syarat atau tidak sesuai dengan karakteristik inovasi
pendidikan. Karakteristik Inovasi pendidikan yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Relative advantage (Keunggulan relatif)
Para adopter akan menilai apakah suatu Inovasi itu
relatif menguntungkan atau lebih unggul dibanding yang lainnya atau tidak.
Untuk adopter yang menerima secara cepat suatu inovasi, akan melihat inovasi
itu sebagai sebuah keunggulan.
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih
baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa
segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain.
Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat
inovasi tersebut dapat diadopsi.
2. Compatibility (Kompatibilitas/Konsisten)
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut
dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan
kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu
tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat
diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai
(compatible).Adopter juga akan mempertimbangkan pemanfaatan inovasi berdasarkan
konsistensinya pada nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhannya.
3. Complexity (Kompleksitas/kerumitan)
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai
suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada
yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula
yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka
semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Adopter atau pengguna inovasi juga
akan menilai tingkat kesulitan atau kompleksitas yang akan dihadapinya jika
mereka memanfaatkan inovasi. Artinya bagi individu yang lambat mamahami dan
menguasainya tentu akan mengalami tingkat kesulitan lebih tinggi dibanding
individu yang cepat memahaminya. Tingkat kesulitan tersebut berhubungan dengan
pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk mempelajari istilah-istilah dalam
inovasi itu.
4. Trialability (Kemampuan untuk dapat diuji)
Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu
inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di
uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi,
agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu
menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya. Kemampuan untuk dapat diuji bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian.
Mempunyai kemungkinan untuk diuji coba terlebih dahulu oleh para adopter untuk
mengurangi ketidakpastian mereka terhadap inovasi itu.
5. Observability (Kemampuan untuk dapat diamati)
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu
inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil
dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang
tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan
relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan
kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat
kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
BAB III
KESIMPULAN
Dari ke-enam faktor penghambat inovasi yang disebutkan
pada bab II, kita bisa menyimpulkan bahwa faktor utama hambatan inovasi adalah
kelemahan dalam bidang perencanaan (faktor ke-1), sedangkan faktor ke-2
(masalah personal dan motivasi) merupakan akibat atau rangkaian dari faktor
ke-1.
Dengan adanya perencanaan dan pengorganisasian yang
kurang baik maka dapat menyebabkan kemungkinan timbulnya pertentangn antar
pribadi dan melemahkan motivasi, bahkan mungkin membuikapeluang datangnya
koripsi.
Adapun faktor ke-3 (macetnya inovasi) dapat disebabkan
dari kondisi yang memang kenyataan adanya seperti itu, sehingga dapat
menimbulkan frustasi. Walaupun kemacetan inovasi itu juga dapat disebabkan
karena tidak mengetahui sumber penunjang yang ada di sekitar, atau karena
proyeknya terlalu ideal sehingga sukar untuk mencapainya.
Faktor ke-empat yang berkaitan dengan dana. Tanpa adanya
dana jelas inovasi tidak akan berjalan. Dengan ketepatan pengaturan dana,
sebenarnhya dapat menunjang kelancaran program inovasi.
Faktor ke-lima khusus mengenai adanya kelompok penentu
yang menolak adanya inovasi. Berdasarkan data itu, ada kecenderungan dalam
masyarakat, justru kelompok elit yang berwenang atau mempunyai pengaruh yang
menolak inovasi.
Ke-enam ialah kurang adanhya hubungan sosial yang baik antar anggota team
pelaksana proyek difusi inovasi. Adanya hubungan sosial atau interpersonal yang
kurang baik antar anggota team dapat disebakan karena faktor 1 (perencanaan)
yang kacau atau karena faktor 2 (kurang tepatnya menempatkan atau memilih anggota
team).
Berdasarkan data adanya faktor penghambat dalam inovasi,
dapat kita gunakan untuk menganalisis pelaksanaan inovasi pendidikan di
Indonesia, apakah pelaksanaan inovasi pendidikan lancar, mengapa jika
seandainya tidak lancar, danapa yang harus dilakukan untuk
mengatasainya?Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa
berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya,
seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu,
keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor
saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan
yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti
guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun
pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model
dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena
para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai
pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab
terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.