Thursday, March 8, 2012

Indikator & Pemanfataannya


1. Kebijakan Pembangunan Pendidikan
Pengalaman menunjukkan bahwa kebodohan dan kemiskinan merupakan musuh terbesar dalam setiap upaya pembangunan suatu bangsa. Keduanya saling terkait bagaikan dua sisi mata uang. Kebodohan dapat menjadi sumber kemiskinan, dan kemiskinan dapat menjadi sumber kebodohan. Dalam kehidupan dunia yang penuh kompetisi, lebih-lebih menghadapi era pasar bebas, kebodohan dan kemiskinan harus secepatnya diberantas, dan oleh karena itu pula dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah ” mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan ini hanya akan dapat dicapai melalui pendidikan, oleh karena itu pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa: setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan kemudian dalam ayat 2 ditegaskan: setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah Indonesia mengatur penyelenggaraan pendidikan melalui undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Pendidikan di Indonesia diselenggarakan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU No. 2 tahun 1989 yang tidak memadai lagi serta perlu disempurnakan sesuai amanat perubahan UUD ’45. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan UUD dan Pancasila yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sisdiknas dimaksudkan sebagai arah dan strategi pembangunan nasional bidang pendidikan.

Dalam melaksanakan pembangunan pendidikan nasional Repelita VI sesuai GBHN 1993, telah disusun serangkaian kebijakan meliputi pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun; pembinaan pendidikan menengah umum dan kejuruan; pembinaan pendidikan tinggi; pembinaan pendidikan luar sekolah; pembinaan guru dan tenaga kependidikan lainnya; pengembangan kurikulum; pengembangan buku, pembinaan sarana dan prasarana pendidikan; peningkatan peran serta masyarakat termasuk dunia usaha, dan peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Kebijakan pemerataan pendidikan dimaksud untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan, dan yang dikelola secara efisien. Dengan demikian, program kesempatan belajar akan berhasil jika mutu, relevansi, dan efisiensi ditingkatkan pula pada waktu yang sama.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun pelaksanaannya dimulai pada tahun pertama Repelita VI dan diselesaikan selambat-lambatnya dalam tiga Repelita sesuai dengan kemampuan pemerintah dan masyarakat. Alasan yang melatarbelakangi pencanangan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
a. Sekitar 73,7 persen angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992/1993 hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah.
b. Pendidikan dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas SDM yang dapat memberi lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.
c. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin besar peluangnya untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-sektor ekonomi industrial.
d. Peningkatan wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberi kematangan yang lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan.
e. Usia minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 12 tahun menjadi 15 tahun.

Dalam kaitan dengan Wajar Diknas 9 tahun ini dilakukan antara lain, pembebasan SPP secara bertahap, penghapusan syarat masuk dari SD ke SLTP, pengembangan kurikulum dan metode belajar, peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, pengembangan prasarana pendidikan.
Pemerataan kesempatan pendidikan diupayakan melalui penyediaan sarana dan prasarana belajar seperti gedung sekolah baru dan penambahan tenaga pengajar mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Relevansi pendidikan merupakan konsep ‘link and match’, yaitu pendekatan atau strategi meningkatkan relevansi sistem pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Kualitas pendidikan adalah menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan efisiensi pengelolaan pendidikan dimaksudkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna.

2. Kebutuhan Informasi untuk Kebijakan Pembangunan
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang berperan meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Dalam pengertian sehari-hari pendidikan adalah upaya sadar seseorang untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, serta memperluas wawasan. Pada dasarnya pendidikan yang diupayakan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat dan keluarga. Secara nasional pendidikan yang menekankan pengembangan sumber daya manusia menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Analisis situasi pembangunan manusia mengidentifikasi latar belakang atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status pembangunan manusia. Semua faktor sosial ekonomi dapat beragam dari level individual (produksi individual, tradisi/norma/prilaku), level rumah tangga (pendapatan/kekayaan) maupun komunitas.

Mengidentifikasi faktor penyebab suatu keadaan harus mempertimbangkan kemungkinan adanya rangkaian pengaruh antar variabel. Rendahnya taraf pendidikan penduduk di suatu kabupaten, misalnya kemungkinan terjadi karena rendahnya partisipasi sekolah. Partisipasi sekolah kemungkinan dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain penilaian orang tua terhadap nilai pendidikan anak. Di lain pihak, rendahnya penilaian itu kemungkinan berkaitan dengan tipologi daerah dimana mayoritas penduduk bertempat tinggal; andaikan saja, mayoritas penduduk berusaha sebagai petani di kawasan yang agak terpencil.

Seorang anak bersekolah atau tidak bersekolah, berhasil atau gagal dipengaruhi oleh determinan sosial budaya dan ekonomi antara lain: faktor orang tua, pengaruh lingkungan, pembiayaan dan nilai pendidikan.
Dalam rangka mengevaluasi hasil-hasil pembangunan dan mengidentifikasi masalah untuk menetapkan sasaran pembangunan dan kebijakan pembangunan pendidikan dibutuhkan data statistik. Tingkat pencapaian program pembangunan pendidikan dalam meningkatkan taraf pendidikan masyarakat secara umum, biasa diukur melalui perubahan dan perkembangan yang berhasil dicapai masyarakat pada waktu tertentu. Hasil pembangunan pendidikan dapat dilihat melalui monitoring pencapaian pendidikan antara lain; angka partisipasi sekolah, angka buta huruf, dan rata-rata lama sekolah.

3. Indikator Pendidikan
Strategi pokok yang dituangkan dalam Repelita VI dirumuskan karena masih ditemukannya masalah mendasar dalam bidang pendidikan. Angka putus sekolah yang masih cukup tinggi, kesenjangan mendapatkan kesempatan pendidikan antar kelompok penduduk dan antar daerah, serta kualitas pendidikan yang belum bisa memenuhi kebutuhan lapangan kerja yang semakin kompetitif, merupakan beberapa permasalahan mendasar pendidikan. Tetapi untuk bisa melihat dengan lebih jelas dan terarah dalam mengimplementasikan program pendidikan diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Indikator pendidikan paling sedikit dapat dibagi menjadi tiga kelompok: indikator input, indikator proses, dan indikator output/dampak.

1. Indikator Input
Indikator ini merupakan informasi atau keterangan dasar dan penunjang yang diperlukan dalam perencanaan program pendidikan. Pada umumnya indikator input lebih banyak diperoleh melalui sumber data pembuat program pendidikan dan instansi teknis terkait. Tetapi sumber data dari sensus atau survei dengan pendekatan rumahtangga masih bisa menginformasikan keterangan dasar.

a. Jumlah Penduduk menurut Kelompok Usia Sekolah (Rujukan Indikator)
Indikator ini sebenarnya lebih tepat dikategorikan sebagai statistik atau informasi dasar karena belum dipersentasekan atau dibandingkan dengan variabel pendidikan lain. Tetapi data dasar ini bisa digunakan untuk memperkirakan kebutuhan sarana pendidikan seperti gedung sekolah, bangku, dan kebutuhan lain. Kelompok umur yang dipilih bisa ditentukan sesuai dengan kebutuhan analisis. Kelompok umur untuk usia Sekolah Dasar 7-12 tahun, SLTP 13-15 tahun, SM 16-18 tahun, dan perguruan tinggi di atas 18 tahun.
b. Jumlah Sarana Pendidikan Umum
Angka statistik ini bisa menggambarkan sarana pendidikan yang tersedia di masyarakat, seperti gedung sekolah, tenaga pengajar, kelas, gedung perpustakaan, dan lain-lain. Bila angka ini digabungkan dengan jumlah penduduk menurut kelompok umur, misalnya dengan bentuk rasio, maka hasilnya merupakan indikator input yang informatif. Misalnya dibuat rasio secara pendidikan per kelompok umur tertentu bila hasilnya kurang dari 1 (satu) maka masih dibutuhkan penambahan sarana pendidikan sejumlah tertentu yang dapat diketahui. Kelemahan indikator ini adalah informasinya tidak bisa mendeteksi kualitas sarana pendidikan, karena yang dihitung bersifat kuantitas untuk mengetahui apakah sarana mencukupi atau tidak. Selain itu data sarana pendidikan harus dikumpulkan dari berbagai informasi seperti Depdiknas dan instansi terkait.
c. Rasio Murid-Guru
Rasio ini diperoleh dengan menghitung perbandingan antara jumlah murid pada suatu jenjang sekolah dengan jumlah sekolah yang bersangkutan. Indikator ini digunakan untuk menggambarkan beban kerja guru dalam mengajar. Indikator ini juga dapat digunakan untuk melihat mutu pengajaran di kelas karena semakin tinggi nilai rasio ini berarti semakin berkurang tingkat pengawasan atau perhatian guru terhadap murid sehingga mutu pengajaran cenderung semakin rendah.
Contoh:
Rasio murid-guru SD di Jawa Barat pada tahun ajaran 1991/1992 sekitar 29 murid per guru. Angka tersebut merupakan angka paling tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di propinsi-propinsi lainnya, juga jika dibanding dengan angka nasional yang hanya 23 murid per guru. Sebaliknya, di Bali rasio murid dan guru tercatat paling rendah yaitu hanya 16 murid per guru.

d. Rasio Murid-Kelas
Rasio murid-kelas diperoleh dengan perbandingan jumlah murid dengan jumlah kelas pada suatu jenjang pendidikan tertentu. Angka yang diperoleh merupakan indikator kepadatan kelas pada suatu jenjang pendidikan.
Contoh:
Rasio murid per kelas di SD pada tahun ajaran 1991/1992 menurut propinsi sangat bervariasi. Rasio tertinggi terdapat di DKI Jakarta yang mencapai 36 murid per kelas, sedangkan terendah di Propindi Sulawesi Utara, yaitu hanya 19 murid per kelas. Secara nasional rasio murid SD per kelas mencapai 27 murid per kelas.

e. Rasio Murid-Sekolah
Rasio murid-sekolah diperoleh dengan perbandingan jumlah murid dengan jumlah sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu. Angka yang diperoleh merupakan gambaran rata-rata daya tampung per sekolah. Jumlah murid per sekolah merupakan salah satu indikator input yang sangat penting dalam kaitannya untuk menentukan bahwa suatu sekolah baru dibangun di suatu wilayah.

f. Angka Shift
Angka ini diperoleh dari perbandingan jumlah rombongan belajar dengan jumlah ruangan kelas (lokal) pada suatu jenjang pendidikan tertentu. Angka yang diperoleh memberikan gambaran tentang waktu penyelenggaraan sekolah. Penafsiran dari indikator ini adalah apabila > 1, maka waktu penyelenggaraan proses belajar mengajar tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, yaitu lebih dari satu kali. Artinya bahwa sebagian murid melakukan proses belajar mengajar pada waktu pagi, misalnya pukul 07:00 - 12:00, sedangkan sejumlah murid yang lain melakukan proses belajar-mengajar pada pukul 13:00-18:00. Dengan cara demikian, maka lama waktu belajar setiap mata pelajaran tidak lagi 45 menit tetapi berkurang menjadi 40 menit.

g. Persentase rumah tangga yang mempunyai jarak sama dengan atau kurang dari 5 km ke SD/SLTP/SM
Indikator ini menunjukkan kedekatan jarak antara rumah dengan gedung sekolah (SD/SLTP/SM). Jarak 5 km dianggap batas maksimum (terjauh) suatu jarak yang disebut dekat dan mudah dijangkau.
h. Persentase rumahtangga yang waktu tempuh sama dengan atau kurang dari 15 menit ke SD/SLTP/SM
Indikator ini merupakan persentase jumlah rumahtangga yang jaraknya ke gedung sekolah (SD/SLTP/SM) ditempuh tidak lebih dari 15 menit. Dengan waktu tempuh sesingkat itu berarti akses ke gedung sekolah dianggap tidak masalah.
i. Persentase Pengeluaran Pendidikan terhadap Total Pengeluaran
Indikator ini memperlihatkan berapa bagian dari pengeluaran total rumah tangga yang digunakan untuk membiayai pendidikan anggota rumah tangganya. Semakin tinggi nilai persentase semakin mahal biaya pendidikan dibandingkan dengan tingkat pendapatan masyarakat.
j. Persentase Pengeluaran Biaya Kursus terhadap Total Pengeluaran
Hampir sama dengan pengeluaran untuk pendidikan, indikator ini menunjukkan berapa bagian dari pengeluaran rumah tangga digunakan untuk membiayai kursus
2. Indikator Proses
Indikator jenis ini menunjukkan keadaan proses pendidikan atau bagaimana program pendidikan yang diimplementasikan terjadi di masyarakat. Sumber data yang dipakai bisa dari sensus atau survey dengan pendekatan rumahtangga atau data administratif instansi terkait.

-- Angka Partisipasi Kasar (APK)
Indikator ini mengukur proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Tetapi indikator ini lebih banyak bercerita tentang keberhasilan sistem pendidikan dalam mendidik anak dan remaja, bukan pada penduduk dewasa. APK memberikan gambaran secara umum tentang banyaknya anak yang sedang/telah menerima pendidikan pada jenjang tertentu. APK biasanya diterapkan untuk jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA.

a. Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar (APK SD)
Angka partisipasi kasar SD diperoleh dengan membagi jumlah murid SD dengan penduduk yang berusia 7-12 tahun. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi sekolah (kotor) penduduk pada jenjang pendidikan SD.
Contoh:
Menurut data Susenas 2003 jumlah penduduk Indonesia yang berumur 7 - 12 tahun sebanyak 27.563.445 orang. Sedangkan jumlah murid SD keseluruhan sebanyak 29.168.495 orang. Dengan demikian APK SD di Indonesia sebesar 105,82 yang berarti 6 persen anak umur kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun duduk di bangku Sekolah Dasar.

b. Angka Partisipasi Kasar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (APK SLTP)
Angka partisipasi kasar SLTP diperoleh dengan membagi jumlah murid SLTP dengan penduduk usia SLTP yaitu 13 – 15 tahun. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi sekolah (kotor) penduduk pada jenjang pendidikan SLTP. Ini juga dapat menunjukkan kemampuan pendidikan SLTP dalam menyerap penduduk usia 13 – 15 tahun.
Contoh:
Menurut data Susenas 2003 penduduk Indonesia yang berumur 13-15 tahun sebanyak 12.726.745 orang. Sedangkan jumlah murid SLTP keseluruhan sebanyak 10.319.843 orang. Dengan demikian APK SLTP di Indonesia sebesar 81,1 yang berarti jumlah murid SLTP yang ada baru merupakan 81 persen penduduk berumur 13- 15 tahun.

c. Angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah (APK SM)
Angka partisipasi kasar SM diperoleh dengan membagi jumlah murid SM dengan penduduk usia 16 - 18 tahun. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi sekolah (kotor) penduduk pada jenjang pendidikan SM.
Contoh:
Menurut data Susenas 2003 jumlah penduduk Indonesia yang berumur 16 – 18 tahun sebanyak 12.894.979 orang. Sedangkan jumlah murid SM keseluruhan sebanyak 6.562.252 orang. Dengan demikian APK SM di Indonesia sebesar 50,9 yang berarti dari jumlah murid SM yang ada baru merupakan 51 persen anak berumur 16 – 18 tahun.
Catatan:
Nilai APK suatu jenjang pendidikan bisa lebih dari 100 persen (terutama pada jenjang pendidikan SD) karena masih terdapatnya murid diluar batasan usia sekolah (baik yang lebih muda atau yang lebih tua) yang bersekolah pada jenjang pendidikan tersebut.
-- Angka Partisipasi Murni (APM)
Indikator ini menunjukkan proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya. Menurut definisi, APM selalu lebih rendah dibanding APK karena pembilangnya lebih kecil (sementara penyebutnya sama). APM membatasi usia murid sesuai dengan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil karena menunda saat mulai bersekolah, murid tidak naik kelas, berhenti/keluar dari sekolah untuk sementara waktu, dan lulus lebih awal. Seperti halnya APK, APM juga bisa diterapkan untuk jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SM.
d. Angka Partisipasi Murni Sekolah Dasar (APM SD)
Angka partisipasi murni adalah persentase penduduk berumur 7 – 12 tahun yang bersekolah di SD. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (murni) sekolah penduduk usia 7 – 12 tahun.
Contoh:
Menurut data Susenas 2003 jumlah penduduk Indonesia berumur 7-12 tahun sebanyak 27.563.445 orang. Sedangkan jumlah penduduk berumur 7-12 tahun yang sekolah di SD sebanyak 25.509.590 orang. Dengan demikian APM SD di Indonesia adalah 92,6 persen, yang berarti sekitar 93 persen anak berumur 7-12 tahun terserap di SD.

e. Angka Partisipasi Murni Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (APM SLTP)
Angka partisipasi murni SLTP adalah persentase penduduk berumur 13 – 15 tahun yang bersekolah di SLTP. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi sekolah (murni) penduduk usia sekolah SLTP.
Contoh:
Menurut data Susenas 2003 jumlah penduduk Indonesia yang berumur 13-15 tahun sebanyak 12.726.745 orang. Sedangkan jumlah penduduk yang berumur 13-15 tahun yang bersekolah di SLTP sebanyak 8.079.893 orang. Dengan demikian APM SLTP di Indonesia adalah 63,5 persen, yang menunjukkan sekitar 64 persen penduduk berumur 13- 15 tahun telah terserap di SLTP.

f. Angka Partisipasi Murni Sekolah Menengah (APM SM)
Angka partisipasi murni SM adalah persentase penduduk berumur 16-18 tahun yang bersekolah di SM. Indikator ini digunakan untuk mengetahui besarnya tingkat partisipasi (murni) sekolah penduduk usia sekolah SM.
Contoh:
Menurut data Susenas 2003 jumlah penduduk Indonesia berumur 16 – 18 tahun sebanyak 12.894.979. Sedangkan jumlah penduduk berumur 16 – 18 tahun yang sekolah di SM sebanyak 5.229.654 orang. Dengan demikian APM SM di Indonesia adalah 40,56 persen yang berarti baru sekitar 41 persen penduduk berumur 16 – 18 tahun terserap di SM.

Catatan:
Nilai APM yang mendekati 100 persen menunjukkan semakin banyaknya penduduk yang sekolah tepat waktu sesuai dengan usiannya.
g. Persentase Anak Usia 5 – 14 tahun Sekolah sambil Bekerja
Indikator ini menunjukkan kondisi banyaknya anak Sekolah Dasar yang terpaksa sekolah sambil bekerja. Dilihat dari ketenagakerjaan, angka ini bisa dikatakan sebagai eksploitasi anak-anak akrena mereka belum mencukupi usia bekerja.
3. Indikator Output atau Dampak
Hasil-hasil yang dapat dicapai oleh masyarakat setelah melalui proses pendidikan dapat dilihat dalam indikator output. Berikut ini disampaikan beberapa indikator output yang bisa didapat dari data Susenas.
a. Persentase Melek Huruf (PMH)
Persentase melek huruf diperoleh dengan membagi banyaknya penduduk usia 10 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dengan seluruh penduduk berumur 10 tahun ke atas. Indikator ini menggambarkan mutu sumber daya manusia yang diukur dalam aspek pendidikan. Semakin tinggi nilai indikator ini semakin tinggi mutu sumber daya manusia suatu masyarakat. Untuk mempertajam analisis, batasan umur bisa dirubah sesuai kebutuhan, misalnya 7 atau 8 tahun.
b. Kemampuan Berbahasa Indonesia (KBI)
Indikator ini digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan penduduk berkomunikasi lisan dalam Bahasa Indonesia. Indikator ini juga menggambarkan mutu sumber daya manusia, keberhasilan pemasyarakatan Bahasa Indonesia, dan tingkat akses masyarakat terhadap media yang menggunakan bahasa nasional. Kemampuan masyarakat berbicara dalam bahasa nasional sangat penting karena dengan kemampuan ini akan meningkatkan penggunaan fasilitas pelayanan yang dibangun pemerintah.
Pendidikan yang Ditamatkan
Indikator ini menunjukkan keterkaitan sistem pendidikan dalam mendidik sub kelompok penduduk dewasa.

c. Persentase Penduduk Berpendidikan SD ke Atas (TP SD)
Indikator ini adalah persentase penduduk berusia 13 tahun ke atas yang minimal tamat SD. Angka yang diperoleh digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan penduduk dengan menggunakan pendidikan dasar sebagai batasan minimal. Dengan demikian semakin besar persentase penduduk tamat SD ke atas semakin tinggi kualitas pendidikan penduduk.
Contoh:
Jumlah penduduk berumur 13 tahun ke atas pada tahun 2003 sebanyak 159.397.904 orang. Di antaranya sebanyak 95.273.046 orang telah menamatkan SD ke atas. Dengan demikian persentase penduduk yang berpendidikan SD ke atas sebesar 60 persen.

d. Persentase Penduduk Berpendidikan SLTP ke Atas (TP SLTP)
Indikator ini merupakan persentase penduduk berusia 16 tahun ke atas yang minimal berpendidikan SLTP. Angka yang diperoleh digunakan untuk menge-tahui tingkat kualitas pendidikan penduduk dengan menggunakan pendidikan dasar menengah sebagai batasan minimal.
Contoh:
Jumlah penduduk berumur 16 tahun ke atas pada tahun 2003 sebanyak 146.671.159 orang. Di antaranya sebanyak 47.890.994 orang telah menamatkan SLTP ke atas. Dengan demikian persentase penduduk yang berpendidikan SLTP ke atas sebesar 33 persen.

e. Persentase Penduduk Berpendidikan SM ke Atas (TP SM)
Indikator ini diperoleh dengan menghitung persentase penduduk berusia 19 tahun ke atas yang minimal berpendidikan SM. Angka yang diperoleh digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas pendidikan penduduk terutama yang telah menamatkan jenjang SM ke atas.
Contoh:
Jumlah penduduk berumur 19 tahun ke atas pada tahun 2003 sebanyak 133.776.180 orang. Di antaranya sebanyak 25.646.722 orang telah menamatkan SM ke atas. Dengan demikian persentase penduduk yang berpendidikan SM ke atas sebesar 19 persen.

Angka Putus Sekolah
Indikator ini menunjukkan tingkat kegagalan sistem pendidikan menurut jenjangnya. Kelemahannya tidak bisa megetahui secara jelas penyebab putus sekolah tersebut.

f. Angka Putus Sekolah SD (APS SD)
Angka putus sekolah SD menunjukkan tingkat putus sekolah di SD. Indikator ini menggambarkan kemampuan penduduk usia SD untuk menyelesaikan pendidikan jenjang SD.
Contoh:
Di daerah A pada tahun 2001, jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang putus SD adalah 8.000 orang, jumlah penduduk usia 7-12 tahun yang masih sekolah SD adalah 230.000 orang dan yang tidak sekolah lagi di SD 10.000 orang, sehingga angka putus sekolah SD adalah 3,33 persen.

g. Angka Putus Sekolah SLTP (APS SLTP)
Angka putus sekolah SLTP mengukur tingkat putus sekolah di SLTP. Indikator ini menggambarkan kemampuan murid SLTP dalam menyelesaikan pendidikan SLTP.
h. Angka Putus Sekolah SLTA (APS SM)
Angka putus sekolah SM digunakan untuk mengetahui tingkat putus sekolah di SM.
i. Persentase Penduduk yang Ingin Melanjutkan Sekolah
Indikator ini memperlihatkan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan.
4. Pemanfaatan Indikator
Pemanfaatan indikator antara lain digunakan untuk kebijakan global selain kebijakan nasional. Kebijakan global baik Deklarasi Dakar maupun MDG menetapkan tahun 2015 semua anak akan mampu menyelesaikan pendidikan dasar.

a. Kesepakatan Dakar :
Pendidikan adalah hak asasi manusia sebagai mana tercantum pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Ini adalah kunci untuk pembangunan dan perdamaian serta stabilitas yang berkelanjutan di dalam dan antar negara, dan oleh karena itu suatu cara yang sangat diperlukan untuk berperan serta dengan efektif di dalam masyarakat dan ekonomi abad 21 yang dipengaruhi oleh globalisasi yang pesat. Upaya untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua tidak boleh lagi ditunda. Kebutuhan belajar dasar dari semua orang dapat dan harus dipenuhi adalah masalah yang mendesak. Atas pertimbangan tersebut maka Forum Pendidikan Dunia di Dakar mengesahkan dan menerimanya sebagai kerangka program aksi untuk diterjemahkan oleh masing-masing negara. Kerangka Aksi Dakar (The Dakar Framework for Action) tersebut berisi kesepakatan untuk: (1) memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama anak-anak yang sangat rawan dan tidak beruntung; (2) menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan yang sulit dan mereka yang termasuk etnis minoritas, mempunyai akses untuk menyelesaikan pendidikan dasar yang berkualitas baik; (3) menjamin agar kebutuhan belajar generasi muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan pendidikan keterampilan hidup yang sesuai; (4) menurunkan tingkat buta huruf orang dewasa sebesar 50 persen dari keadaan sekarang menjelang tahun 2015, terutama kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa; (5) menghapus disparitas jender di pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2015 terutama bagi kaum perempuan, sehingga mempunyai akses dan prestasi yang sama dalam pendidikan dasar dengan kualitas baik; (6) memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua orang, terutama di bidang keaksaraan, angka dan keterampilan (life skills).

b. MDG’s Goals:
Beberapa program pembangunan sumber daya manusia berkaitan pula dengan pencapaian sasaran program Millenium Development Goals (MDGs). Millenium Development Goals (MDGs) mulai populer pada sidang umum PBB pada September 2000. Terget dari agenda global meliputi: pemberantasan kemiskinan, perbaikan sanitasi, penghapusan buta huruf, penanganan kelaparan, kerusakan lingkungan, dan masalah diskriminasi pada tahun 2015. Salah satu agenda penting yang terkait dalam MDGs yaitu bidang pendidikan.
Program pembangunan SDM dalam Repeta 2003 yang terkait dengan pencapaian sasaran MDGs yaitu bidang pendidikan meliputi: Pendidikan Dasar dan Prasekolah, Program Pendidikan Menengah, Program Pendidikan Tinggi, Program Pendidikan Luar Sekolah, Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional, Program Penelitian, Peningkatan Kapasitas, dan Pengembangan Sumber Daya, Program Peningkatan kemandirian dan keunggulan IPTEK.

Berikut adalah indikator-indikator pokok yang umumnya digunakan untuk monitoring maupun evaluasi kebijakan. Indikator disertai definisi, interpretasi, kegunaan, teknik penyajian maupun contoh-contohnya.

Indikator yang digunakan1. Angka Partisipasi Sekolah (APS)
2. Persen tamat SD dan SLTP
3. Angka Melek Huruf Orang Dewasa (AMH)
4. Angka Buta Huruf Orang Dewasa (ABH)
5. Angka Putus Sekolah (APTs)
6. Rata-rata Lama Sekolah

Definisi Indikator
a) APS dan Persen tamat SD dan SLTP
1. Angka Partisipasi Sekolah adalah proporsi dari keseluruhan penduduk dari berbagai kelompok usia tertentu (7-12 tahun, 13-15 tahun, 16-18 tahun, dan 19-24 tahun) yang masih duduk dibangku sekolah.
2. Persen tamat SD dan SLTP adalah mereka yang pernah sekolah sampai tamat di Sekolah Dasar atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.

b) Angka Melek Huruf dan Buta Huruf
1. Angka Melek Huruf Orang Dewasa adalah persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin.
2. Angka Buta Huruf Orang Dewasa adalah persentase penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin atau lainnya dihitung dengan cara 100 dikurang dengan angka melek huruf (dewasa)

c) Angka Putus Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah
1. Angka Putus Sekolah : proporsi dari penduduk berusia antara 7 hingga 15 tahun yang tidak terdaftar pada berbagai tingkatan pendidikan dan tidak menyelesaikan Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Tingkat Pertama
2. Rata-rata Lama Sekolah : rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun keatas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani.

Interpretasi
a. Angka partisipasi sekolah dan persen anak yang tamat SD dan SLTP mencerminkan pemerataan akses bagi pendidikan dasar formal atau yang sederajat untuk anak laki-laki dan perempuan. Semakin tinggi angka partisipasi persen anak yang tamat Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama semakin banyak anak-anak yang mempunyai peluang untuk menikmati pendidikan selanjutnya, hal ini menggambarkan semakin banyak keluarga yang sadar dan mampu menyekolahkan anaknya, setidaknya sampai lulus SD dan SLTP sesuai dengan wajib belajar 9 tahun. Semakin rendah angka partisipasi sekolah dan persen anak yang lulus SD dan SLTP menggambarkan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat, hal ini dapat terlihat di rumah tangga miskin ternyata memiliki angka partisipasi pendidikan yang rendah.
Angka partisipasi sekolah juga dipengaruhi oleh sebab mendasar, diantaranya adalah kebijakan pemerintah mengenai wajib belajar, ketersediaan sarana sekolah, kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya dan pandangan sosial budaya di masyarakat mengenai arti pendidikan (terutama anak perempuan).

b. Angka melek huruf dan buta huruf orang dewasa dapat memberikan gambaran tentang kemajuan pendidikan suatu bangsa, serta adanya pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Semakin besar angka melek huruf orang dewasa, berarti semakin banyak penduduk yang mampu dan mengerti baca tulis yang akan berpengaruh terhadap penerimaan informasi dan ilmu pengetahuan yang lebih banyak. Pendidikan merupakan karakterisitk penting yang mempengaruhi berbagai perilaku demografi dan kesehatan, pengetahuan mengenai perilaku fertilitas, pemakaian kontrasepsi, kesehatan anak, dan praktek kesehatan lainnya, berkaitan dengan tingkat pendidikan anggota rumah tangga.
Sebab-sebab langsung yang mempengaruhi angka melek huruf dan buta huruf orang dewasa adalah ketersediaan sarana belajar di masyarakat antara lain tersedianya sekolah, koran, televisi, dan media massa lainnya yang dapat dijadikan sebagai sarana belajar bagi masyarakat. Sebab-sebab tidak langsung yang mepengaruhi melek huruf orang dewasa adalah status sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya kesadaran masyarakat akan arti dan makna melek huruf. Selain itu sebab-sebab mendasar yang mempengaruhi melek huruf orang dewasa adalah kebijakan politis dari pemerintah (misalnya program Paket A).

c. Angka Putus Sekolah dan rata-rata lama sekolah ; angka putus sekolah menggambarkan kemampuan penduduk usia SD, SLTP atau SM untuk menyelesaikan pendidikan dijenjang pendidikan SD, SLTP atau SM.
Rata-rata lama sekolah menggambarkan tingkat pencapaian setiap penduduk dalam kegiatan bersekolah. Semakin tinggi angka lamanya bersekolah semakin tinggi jenjang pendidikan yang telah dicapai penduduk.

Kegunaan
a. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat ialah dengan cara melihat penduduk yang telah atau sedang menjalani pendidikan, karena pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk mengembangkan kepribadian dan penalaran masyarakat dewasa yang mandiri.

b. Pendidikan dasar berguna memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa dalam mengembangkan kehidupannya dan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Indikator ini berguna untuk monitoring dan bahan masukan bagi pengambil kebijakan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk pemerataan akses di bidang pendidikan.

c. Diperoleh angka buta huruf dapat diketahui kelompok/daerah/jenis kelamin yang perlu mendapatkan perhatian dibidang pendidikan

d. Perencanaan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) melalui Televisi atau surat kabar.

Teknik Penyajian a. Untuk melihat proporsi anak yang dapat mendaftar dan bersekolah dasar dibandingkan dengan seluruh anak yang berumur wajib sekolah dasar, sebaiknya digunakan pie diagram.

b. Untuk melihat perbedaan tingkat partisipasi sekolah antar kelompok umur atau rata-rata lamanya bersekolah antar daerah atau anak yang putus sekolah sebaiknya menggunakan grafik batang.

c. Untuk melihat kecenderungan peningkatan atau penurunan persentase anak yang terdaftar di sekolah atau kecenderungan dari tahun ke tahun jumlah orang dewasa yang melek huruf atau buta huruf sebaiknya menggunakan grafik garis.

d. Proporsi orang dewasa yang melek huruf atau buta huruf berdasarkan kelompok umur dapat ditampilkan dalam bentuk tabel atau pie diagram

Angka Harapan Hidup Sekolah

1. Indikatora. Nama: Angka harapan hidup sekolah
b. Definisi ringkas: Perkiraan rata-rata banyaknya tahun bagi seorang murid untuk tetap terdaftar di lembaga pendidikan.
c. Unit pengukuran: Jumlah tahun.
2. Letak di dalam kerangka kerja
a. Agenda : Promosi pendidikan, Kepedulian Publik, dan Pelatihan.
b. Tipe Indikator: Keadaan.

3. Relevansi Kebijakan
a. Tujuan: Indikator ini menyediakan perkiraan banyaknya tahun pendidikan yang diharapkan bisa dilalui oleh seorang anak untuk tetap terdaftar di sekolah. Indikator ini dapat digunakan untuk mengukur keseluruhan tingkat pengembangan dan kinerja suatu sistem pendidikan, dalam hal rata-rata durasi partisipasi pendidikan setiap anak yang terdaftar di sekolah.

b. Relevansi Terhadap Pembangunan Berkelanjutan/Tak Berkelanjutan: Pendidikan merupakan suatu proses dimana manusia dan masyarakatnya mencapai potensi secara penuh. Pendidikan adalah hal yang penting untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas penduduk untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Pendidikan dasar (SD dan SLTP) memberi tiang pondasi bagi lingkungan dan pembangunan pendidikan, yang terakhir perlu digabungkan sebagai bagian yang esensial dari pembelajaran. Ia juga penting untuk mencapai rasa kepedulian, nilai, ketrampilan, dan perilaku yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Selama di tingkat sekolah dasar inilah sebaiknya kepedulian akan nilai-nilai dan pengetahuan mengenai pembangunan berkelanjutan diberikan. Diyakini bahwa semakin lama orang-orang muda dididik di dalam suatu sistem pendidikan, semakin gemar pula ia belajar tentang pembangunan berkelanjutan dan untuk membentuk perilaku yang kondusif untuk mengimplementasikannya di masa datang.

c. Kaitan dengan Indikator lain: Pendidikan terkait erat dengan indikator lain yang merefleksikan kebutuhan dasar, peningkatan kemampuan, informasi dan sains, serta peran kelompok-kelompok utama. Indikator ini berkaitan erat dengan angka partisipasi sekolah menurut tingkat pendidikan.

d. Target: Semakin tinggi angka harapan hidup sekolah secara umum mengakibatkan anak-anak lebih terbuka wawasannya dan semakin banyak pengetahuannya. Sangatlah dianjurkan bahwa harapan hidup sekolah sebaiknya paling sedikit 10 atau 12 tahun sesuai dengan jumlah lamanya bersekolah di SD dan SLTP. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa indikator ini tidak mengukur banyaknya tingkat/kelas lengkap tetapi banyaknya tahun siswa bersekolah.

e. Konvensi dan Kesepakatan Internasional: tidak ada.
4. Deskripsi Metodologi dan Definisi Pokok
a. Definisi dan Konsep Pokok: Angka harapan hidup sekolah didefinisikan sebagai jumlah tahun bersekolah yang diharapkan dapat diterima oleh seorang anak yang terdaftar, dengan asumsi peluang ia tetap terdaftar di sekolah pada usia tertentu di masa depan sama dengan angka partisipasi sekolah di usia sekarang.
b. Indikator Dalam Kerangkakerja Tekanan-Dampak-Respon/TDR: Indikator ini fokus pada pentingnya pendidikan bagi proses pembangunan berkelanjutan. Ia mewakili suatu ukuran mengenai keadaan pendidikan dalam kerangka kerja TDR.
c. Keterbatasan Indikator: Indikator ini membutuhkan data murid dan penduduk menurut umur tunggal, yang di beberapa negara telah dikumpulkan dengan basis yang sistematis. Perkiraan banyaknya tahun bersekolah tidak selalu merefleksikan jumlah tingkat dari sistem pendidikan lengkap reguler. Di samping, karena ia lebih didasarkan oleh data lintas seksi menurut tingkat pendidikan di suatu titik waktu dari pada data deret waktu dalam jangka panjang, maka ia tidak mempertimbangkan perbedaan di antara cohort sekolah yang sukses dari waktu ke waktu.
d. Definisi Alternatif: Indikator alternatif untuk melihat efektivitas pendidikan di suatu daerah bisa digunakan angka putus sekolah (drop-out rates), kelas demi kelas.

5. Penilaian terhadap Ketersediaan Data
Data yang diperlukan untuk penghitungan indikator ini adalah data jumlah murid dan penduduk menurut umur tunggal yang berkaitan dengan seluruh tingkatan pendidikan.
Data murid biasanya dicatat oleh Departemen Pendidikan atau Dinas Pendidikan Daerah, sedangkan data penduduk usia tunggal bisa diperoleh dari hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS.

Tuesday, March 6, 2012

ICT DAN INOVASI PEMBELAJARAN


PENDAHULUAN

Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi menjadi “pengkhutbah” yang terus berceramah dan memberikan banyak teori kepada peserta didik. Sudah bukan zamannya lagi anak diperlakukan bagai “keranjang sampah” yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, kelas perlu didesain sebagai “masyarakat mini” yang mampu memberikan gambaran bagaimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya. Dengan kata lain, kelas harus mampu menjadi “magnet” yang mampu menyedot minat dan perhatian peserta didik untuk terus belajar, bukan seperti penjara yang mengurung kebebasan mereka untuk berpikir, berbicara, berpendapat, mengambil inisiatif, atau berinteraksi.
Tidak bisa pungkiri lagi bahwa guru memiliki peran yang amat vital dalam proses pembelajaran di kelas. Guru yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak lanjut. Dalam konteks demikian, gurulah yang akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan peserta didik dalam mengadopsi dan menumbuhkan nilai-nilai kehidupan hakiki.
Ketika sang guru masuk kelas dan menutup pintu, di situlah sang guru akan menjadi pusat perhatian peserta didiknya. Mulai model potongan rambut, busana yang dikenakan, hingga sepatu yang dipakai akan disoroti oleh murid-muridnya. Belum lagi bagaimana gaya bicara sang guru, caranya berjalan, atau kedisiplinannya dalam mengajar. Di mata peserta didik, guru seolah-olah diposisikan sebagai pribadi perfect yang nihil cacat dan cela. Harus diakui tugas guru memang berat. Mereka tidak hanya dituntut untuk melakukan aksi “lahiriah” dalam bentuk kegiatan mengajar, tetapi juga harus melakukan aksi “batiniah”, yakni mendidik; mewariskan, mengabadikan, dan menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada peserta didik. Ini jelas tugas dan amanat yang amat berat ketika nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah demikian jauh merasuk dalam dimensi peradaban yangchaos dan kacau.
Apabila proses pembelajaran berlangsung monoton dan seadanya ( guru cenderung bergaya indoktrinatif dan dogmatis seperti orang berkhotbah ), upaya penyemaian nilai-nilai luhur hakiki akan sulit berlangsung dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Apalagi, kalau peserta didik hanya diperlakukan sebagai objek yang pasif, tidak diajak untuk berdialog dan berinteraksi. Maka, kegagalan penyemaian nilai-nilai luhur kepada peserta didik hanya tinggal menunggu waktu. Dalam konteks demikian, guru perlu mengambil langkah dan inisiatif untuk mendesain proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Guru memiliki kebebasan untuk melakukannya di kelas. KTSP sangat leluasa memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan berbagai gaya dan kreativitasnya dalam kegiatan pembelajaran.
Melalui kegiatan pembelajaran yang inovatif, atmosfer kelas tidak akan terpaku dalam suasana yang kaku dan monoton. Para peserta didik perlu lebih banyak diajak untuk berdiskusi, berinteraksi, dan berdialog sehingga mereka mampu mengkonstruksi konsep dan kaidah-kaidah keilmuan sendiri, bukan dengan cara diceramahi. Para murid juga perlu dibiasakan untuk berbeda pendapat sehingga mereka menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Tentu saja, secara demokratis, tanpa melupakan kaidah-kaidah keilmuan, sang guru perlu memberikan penguatan-penguatan sehingga tidak terjadi kesalahan konsep yang akan berbenturan dengan nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Melalui suasana pembelajaran yang kondusif dengan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bebas berpendapat dan bercurah pikir, guru akan lebih mudah dalam menanamkan nilai-nilai luhur hakiki. Dengan cara demikian, tugas guru sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik diharapkan bisa terimplementasikan dengan baik. Meskipun korupsi, manipulasi, dan berbagai jenis “penyakit sosial” menyebar di tengah-tengah kehidupan masyarakat, melalui proses rekonstruksi konsep yang dibangunnya, anak-anak bangsa negeri ini akan memiliki benteng moral yang tangguh dalam gendang nuraninya sehingga pantang untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan bangsa dan negara.
Tidak seragamnya dan masih rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah. Salah satu indikatornya, misalnya tingkat kelulusan UAN masih rendah. Dari yang lulus, nilau UAN yang diperoleh siswa juga masih rendah.
Salah satu indikator penyebab rendahnya mutu pendidikan dinegara kita adalah, kurangnya tingkat pemanfaatan ICT di sekolah (Digital Divide). Masih sedikit sekolah yang mempunyai sarana ICT (misalnya komputer dan internet), kalaupun ada penggunaanya kurang optimal.
Kendala pendidikan tersebut diantaranya disebabkan oleh faktor geografis (kondisi alam, penduduk yang sebagian besar tinggal di pedesaan, bahkan terpencil, sehingga sulit dijangkau transportasi dan komunikasi), dan faktor sosial ekonomi (rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak karena masalah kesejahteraan hidup), serta rendahnya mutu SDM.
Kendala tersebut dapat diatasi melalui penggunaan teknologi. Teknologi merupakan solusi tepat bagi masalah pendidikan Indonesia yang akan mengatasi kendala geografis, sosial ekonomi dan SDM.
Akselerasi pemerataan kesempatan belajar dan peningkatan mutu pendidikan yang sulit diatasi dengan cara-cara konvensionalPeningkatan kualitas SDM melalui pengembangan dan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi.

A. PENGERTIAN BELAJAR
Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi para pelajar atau mahasiswa kata belajar merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka. Kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal. Kegiatan belajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan kemungkinan, entah malam hari, siang hari, sore hari ataupun pagi hari. Namun dari semua itu, tidak setiap orang mengetahui apa itu belajar. Sebenarnya dari kata ”belajar” itu ada pengertian yang tersimpan di dalamnya. Pengertian dari kata ”belajar” itulah yang perlu kita ketahui dan hayati, sehingga tidak melahirkan pemahaman yang keliru masalah belajar.
Masalah pengertian belajar ini, para ahli pendidikan mengemukakan rumusan yang berlainan sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Tentu saja mereka dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah.
James O. Whittaker (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2008:12) misalnya, merumuskan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah memlaui latihan atau pengalaman.
Dalam pengertian yang sangat luas, Anita E. Woolfolk, 1993 (dalam Conny R. Semiawan, 1999 : 245) menegaskan bahwa belajar terjadi ketika pengalaman menyebabkan suatu perubahan pengetahuan dan perilaku yang relatif permanen pada individu.
Abidin Syamsudin, 1981 ( dalam Conny R. Semiawan, 1999 : 245 ) mendefinisikan bahwa belajar adalah perbuatan yang menghasilkan perubahan perilaku dan pribadi.
Jika dirumuskan secara komprehensif, bahwa belajar merupakan aktivitas atau pengalamana yang menghasilkan perubahan pengetahuan, perilaku dan pribadi yang bersifat permanen. Perubahan itu dapat bersifat penambahan atau pengayaan pengetahuan, perilaku atau kepribadian. Mungkin juga dapat mengurangi atau reduksi pengetahuan, perilaku atau kepribadian yang tidak dikehendaki.
B. INOVASI PEMBELAJARAN
1. Pengertian Inovasi
Ketika mendengar kata inovasi, yang muncul di benak kita barangkali sesuatu yang baru, unik dan menarik. Kebaruan, keunikan dan yang menarik itu pada akhirnya membawa kemanfaatan. Pendapat tersebut nampaknya tidak salah, dalam arti manusia sebagai makhluk sosial yang dinamis dan tak puas dengan apa yang sudah ada akan selalu mencoba, menggali dan menciptakan sesuatu yang “ baru “ atau “ lain “ dari biasanya. Begitu pula masalah inovasi yang erat kaitannya dengan proses pembelajaran. Di mana proses pembelajaran melibatkan manusia (siswa dan guru) yang memiliki karakteristik khas yaitu keinginan untuk mengembangkan diri, maju dan berprestasi.
Secara epistemologi, inovasi berasal dari kata latin, innovation yang berarti pembaruan dan perubahan. Kata kerjanya innovo yang artinya memperbarui dan mengubah. Inovasi ialah suatu perubahan yang baru menuju ke arah perbaikan; yang lain atau berbeda dari yang ada sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan berencana. ( Fuad Ihsan, 2003 : 191 )
Menurut Suprayekti ( 2004 : 2 ), inovasi adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan dirasakan sebagai hal yang baru oleh seseorang atau masyarakat, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupannya.
2. Pengertian Pembelajaran
Menurut Hera Lestari Mikarsa ( 2007 : 7.3 ), ada dua istilah yang berkaitan erat dengan pembelajaran, yaitu pendidikan dan pelatihan. Pendidikan lebih menitik beratkan pada pembentukan dan pengembangan kepribadian, jadi mengandung pengertian yang lebih luas. Sedangkan pelatihan lebih menekankan pada pembentukan keterampilan. Pendidikan dilaksanakan dalam lingkungan sekolah, sedangkan pelatihan umumnya dilaksanakan dalam lingkungan industri. Namun demikian, pendidikan kepribadian saja kurang lengkap. Para siswa perlu juga memiliki keterampilan agar dapat bekerja, berproduksi, dan menghasilkan berbagai hal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kedua istilah tersebut hendaknya tidak dipertentangkan melainkan perlu dipadukan dalam suatu sistem proses yang lazim disebut pengajaran.
Menurut Oemar Hamalik, 1999 ( dalam Hera Lestari Mikarsa, 2007 : 7.3 ) dalam pengajaran, perumusan tujuan merupakan hal yang utama dan setiap proses pengajaran senantiasa diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu, proses pengajaran harus direncanakan agar dapat dikontrol sejauh mana tingkat pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut. Itulah sebabnya, suatu sistem pengajaran selalu mengalami dan mengikuti tiga tahap, yakni :
a. Tahap analisis untuk menentukan dan merumuskan tujuan,
b. Tahap sintesis, yaitu tahap perencanaan proses yang akan ditempuh,
c. Tahap evaluasi untuk menilai tahap pertama dan kedua.
Makna pembelajaran merupakan suatu sistem yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi pencapaian tujuan pembelajaran. Manusia yang terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material yang meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape, serta material lainnya. (Oemar Hamalik, 1999, dalam Hera Lestari Mikarsa 2007 : 7.3 )
Rumusan makna pembelajaran tersebut mengandung isyarat bahwa proses pembelajaran tidak terbatas dilaksanakan dalam ruangan saja, melainkan dapat dilaksanakan disembarang tempat dengan cara membaca buku, informasi melalui film, surat kabar, televisi, internet tergantung kepada organisasi dan interaksi berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan siswa.
  1. Inovasi Pembelajaran
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi batasan, inovasi sebagai pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya baik berupa gagasan, metode atau alat (KBBI, 1990 : 330). Dari pengertian ini nampak bahwa inovasi itu identik dengan sesuatu yang baru, baik berupa alat, gagasan maupun metode.Dari uraian di atas, maka inovasi pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu upaya baru dalam proses pembelajaran, dengan menggunakan berbagai metode, pendekatan, sarana dan suasana yang mendukung untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Hasbullah, 2001 (http://penadenikurniawan.co.cc/2009/07/19/inovasi-pembelajaran/)berpendapat bahwa “baru” dalam inovasi itu merupakan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima inovasi.
C. ALASAN PERLUNYA INOVASI DALAM PEMBELAJARAN
Masalah pendidikan kita memang kompleks. Faktor geografis (kondisi alam, penduduk yang sebagian besar tinggal di pedesaan, bahkan terpencil, sehingga sulit dijangkau transportasi) merupakan contoh sebab terjadinya kesenjangan mutu pendidikan antara daerah perkotaan dengan pedesaan/terpencil. Masalah lain diantaranya adalah susahnya akses komunikasi dan informasi di daerah, rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak (karena masalah kesejahteraan hidup), guru yang kurang memadai, serta sarana dan prasarana sekolah yang sangat minim.
Masalah tersebut dapat terbantu teratasi melalui penggunaan teknologi, khususnya ICT. Sudah saatnya kita harus mulai menggunakan ICT untuk mempercepat pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini dituntut adanya political will dari pemerintah, sehingga bisa tercipta suasana yang kondusif. Melalui ICT, kita dapat melaksanakan pendidikan dengan materi/bahan ajar yang di samping memenuhi standar mutu pemerintah juga tersedia merata dan mudah diakses di seluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, peserta didik harus diberikan fasilitas untuk kemudahan akses materi/bahan ajar, tanpa harus dibatasi oleh kendala ruang dan waktu, juga kendala sosial ekonomi. Di daerah terpencil yang tidak dapat menerima siaran radio dan televisi, misalnya, pemerintah dapat menyediakan secara cuma-cuma antena parabola untuk akses pendidikan melalui satelit, sehingga mereka dapat belajar melalui siaran radio, TV pendidikan, internet, dan dari modul dan kaset audio/video (e-Learning). E-Learning perlu untuk digalakkan mengingat dari beberapa survey di internet menunjukkan bahwa e-Learning terbukti mampu meningkatkan mutu pendidikan dibanding cara-cara konvensional.
Semua itu harus dilakukan secara sinergi oleh beberapa pihak terkait. Pemerintah pusat sebagai motor penggerak, diharapkan akan mampu untuk melibatkan pihak swasta dan Pemerintah Daerah, untuk dapat terlaksananya pendidikan yang bermutu, tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia (mudah diperoleh) dan murah (terjangkau). Pendidikan yang maju dan tersebar merata serta mudah diakses akan mampu meningkatkan mutu SDM yang pada gilirannya akan mampu memajukan bangsa dan negara Indonesia sekaligus akan meningkatkan kemampuan kita untuk menang bersaing di era global sekarang ini.
D. ICT SEBAGAI INOVASI DALAM PEMBELAJARAN
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa inovasi pembelajaran adalah suatu upaya baru dalam pembelajaran yang dilakukan guna menunjang peningkatan mutu pendidikan. Berbagai inovasi yang ada dalam pembelajaran, seperti pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, alat peraga pembelajaran, metode pembelajaran, kurikulum, pengelolaan kelas, maupun pembelajaran yang berbasis teknologi atau yang dikenal dengan ICT.
Alasan ICT dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi pembelajaran karena adanya kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi yang selanjutnya merubah konsep pembelajaran dari konvesional (tradisonal) menjadi pembelajaran yang berbasis teknologi, informasi dan komunikasi. Penerapan teknologi informasi ini adalah sebagai sarana untuk mengoptimalkan belajar siswa dengan mengkonstruksi pengetahuan, informasi dan nilai-nilai yang dapat dimanfaatkan siswa dalam kehidupan nyata sesuai dengan perkembangan zaman.
KESIMPULAN
Inovasi pembelajaran merupakan sesuatu yang penting dan mesti dimiliki atau dilakukan oleh guru. Hal ini disebabkan karena pembelajaran akan lebih hidup dan bermakna. Berbagai inovasi tersebut diharapkan dapat memberikan motivasi kepada siswa agar lebih giat dan senang belajar.
Seperti yang telah dipaparkan, pada hakekatnya sifat inovasi itu amat relatif, dalam arti inovasi yang kita lakukan sebenarnya barangkali sudah tidak asing bagi orang lain. Tetapi sebagai seorang guru yang setiap hari berinteraksi dengan anak, maka tidaklah salah apabila terus-menerus melakkukan inovasi dalam pembelajaran.
Kemauan guru untuk mencoba menemukan, menggali dan mencari berbagai terobosan, pendekatan, metode dan strategi pembelajaran merupakan salah satu penunjang akan munculnya berbagai inovasi-inovasi baru yang segar dan mencerahkan.
Tanpa didukung kemauan dari guru untuk selalu berinovasi dalam pembelajarannya, maka pembelajaran akan menjenuhkan bagi siswa. Di samping itu, guru tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Inovasi akhirnya menjadi sesuatu yang harus dicoba untuk dilakukan.
Daftar Pustaka
__________ . 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Conny R. Semiawan. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Depdikbud
Fuad Ihsan. 1995. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Hera Lestari Mikarsa, dkk. 2007. Pendidikan Anak di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Suprayekti, dkk. 2004. Pembaharuan Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Syaiful Bahri Djamarah. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta
Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta