Saturday, November 26, 2011

JADWAL PERTANDINGAN BARU TIM PERSIB BANDUNG DI ISL TAHUN 2011-2012

Berikut adalah draft jadwal pertandingan Persib di ISL:
Putaran I
03 Des 2011 PERSIB vs Persiram
07 Des 2011 PERSIB vs Sriwijaya FC
12 Des 2011 Deltras vs PERSIB 
17 Des 2011 Persidafon vs PERSIB 
03 Jan 2012 PERSIB vs PSMS
07 Jan 2012 PERSIB vs PSAP
14 Jan 2012 Mitra Kukar vs PERSIB 
17 Jan 2012 Persisam vs PERSIB 
23 Jan 2012 PERSIB vs PSPS
29 Jan 2012 PERSIB vs Persija
05 Feb 2012 Pelita Jaya vs PERSIB 
15 Feb 2012 Persiwa vs PERSIB 
20 Feb 2012 Persipura vs PERSIB 
11 Mar 2012 PERSIB vs Persela
15 Mar 2012 PERSIB vs Arema
19 Mar 2012 Gresik United vs PERSIB 
24 Mar 2012 Persiba vs PERSIB 
Putaran II
10 Apr 2012 PERSIB vs Gresik United
14 Apr 2012 PERSIB vs Persiba
29 Apr 2012 Persela vs PERSIB 
03 Mei 2012 Arema vs PERSIB 
07 Mei 2012 PERSIB vs Persiwa
11 Mei 2012 PERSIB vs Persipura
03 Jun 2012 PERSIB vs Pelita Jaya
10 Jun 2012 Persija vs PERSIB 
14 Jun 2012 PSPS vs PERSIB 
22 Jun 2012 PERSIB vs Mitra Kukar
26 Jun 2012 PERSIB vs Persisam
07 Jul 2012 PSAP vs PERSIB 
09 Jul 2012 PSMS vs PERSIB 
14 Jul 2012 PERSIB vs Deltras
18 Jul 2012 PERSIB vs Persidafon
24 Jul 2012 Persiram vs PERSIB 
29 Jul 2012 Sriwijaya FC vs PERSIB 
(jadwal sewaktu-waktu bisa berubah)

Menulis Artikel dengan Bahasa Efektif


Atas nama kebutuhan untuk melakukan aktualisasi diri, seseorang mempunyai keinginan untuk berkomunikasi dengan sesame dan lebih jauh lagi, ingin menunjukan potensi dirinya kepada orang lain. Banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah menulis sehingga hasil pemikirannya bisa ditumpahkan dan diketahui orang lain. Berdasarkan penelitiannya, Abraham Maslow mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan (need) untuk mengaktualisasikan dirinya terhadap lingkungan sekitar.
Sementara itu, ahli psikologi kepribadian AS, David Clarence McCelland (1917-1998) mengungkapkan teori kebutuhan (Theory of Need). Dalam teori itu dikemukakan tiga kebutuhan manusia, yakni need of achievement (N-Ach), need for affiliation (N-Affil), dan need for power (N-Pow), yang masing-masing berarti kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi (menjalin hubungan antarpersonal), dan kebutuhan untuk berkuasa. Dalam N-Ach, setiap orang ingin mendapat tantangan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang lebih sulit dan tentu pada tingkat yang lebih tinggi.
Senada dengan teori-teori itu, tentu sangat wajar bila kalangan terpelajar, termasuk dosen dan mahasiswa, berkeinginan mengemukakan pandangan-pandangan ilmiahnya terhadap suatu fenomena sehingga jalan pikiran dan idenya bisa diketahui masyarakat luas. Salah satu caranya adalah dengan menulis artikel di surat kabar.
Aktual dan Efektif
Terdapat perbedaan antara menulis laporan ilmiah dan menulis artikel atau opini di surat kabar. Karakter bahasa yang terlalu serius dalam laporan ilmiah tidak sejajar dengan karakter bahasa artikel atau opini yang cenderung lebih “cair” sehingga bisa dimengerti dengan mudah oleh para pembaca. Namun demikian, bukan berarti istilah-istilah ilmiah tidak boleh muncul dalam artikel. Yang perlu diperhatikan adalah takarannya tidak terlalu besar. Istilah-istilah ilmiah itu pun hendaknya disertai penjelasan yang diperlukan sehinnga pembaca mudah memahaminya.
Sementara itu, aktualitas permasalahan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena pada umumnya pembaca memiliki minat yang lebih besar terhadap artikel ataupun ulasan-ulasan di surat kabar yang membahas masalah-masalah terkini (actual). Bisa dikatakan, aktualitas menempati posisi tertinggi dalam strategi penulisan artikel, terutama opini, di surat kabar.
Agar ide dan pandangan penulis bisa sampai kepada pembaca secara efektif, tentu diperlukan pemahaman yang komprehensif menyangkut bidang atau isu yang akan dikupas secara mendalam. Tanpa pengulasan materi, bisa dipastikan artikel atau kupasan opini akan terasa “kering”, tidak komprehensif, dan tentu saja tidak menarik untuk dibaca.
Optimalisasi kualitas penulisan artikel harus dilakukan karena bagaimanapun tulisan seorang intelektual di media massa akan menjadi sarana komunikasi yang efektif dengan khalayak. Hal ini tentu akan melengkapi kiprah yang bersangkutan dalam penulisan jurnal-jurnal ilmiah di lingkungan kampus atau lingkungan akademis.
Bila jurnal atau laporan ilmiah di kampus hanya dibaca kalangan terbatas, artikel ataupun opini di surat kabar akan dibaca kalangan yang lebih luas. Namun yang perlu digarisbawahi, setiap tulisan akan menjadi catatan sejarah dalam kehidupan seorang intelektual (scoholar). Bahkan cukup banyak ahli, dosen, bahkan professor yang memiliki kliping tulisan-tulisannya yang dimuat di surat kabar selama berpuluh-puluh tahun. Tulisan-tulisan itu tentu layak untuk diabadikan.
Fackor Bahasa
Semua proses dan strategi penulisan artikel akan bertumpu pada satu hal utama, yakni bahasa. Bahasa berperan sebagai perantara utama sehinnga ide ataupun pandanganpenulis mudah dipahami dan lebih dari itu, enak dibaca. Dengan bahasa yang baik, tuturan-tuturan dalam opini  ataupun artikel akan menjadi sesuatu yang pantas dinikmati. Penulis dengan penguasaan bahasa yang baik, biasanya selalu diingat oleh para pembaca. Tidak hanya nama lengkapnya, tetapi juga asosiasinya (organisasi tempat si penulis bekerja atau mengebdi, bahkan dengan bidang keahliahliannya). Ambil contoh, almarhum Otto Soemarwoto adalah seorang ilmuwan yang piawai menulis artikel di surat kabar. Bahkan Pak Otto memiliki “penggemar” fanatic yang selalu siap “ melahap” tulisan-tulisannya. Selain memiliki wawasan yang sangat luas, Otto mampu menuliskan ide atau gagasan dengan bahasa yang runtut dan mudah dimengerti, termasuk oleh orang awam sekalipun. Dan satu hal yang perlu dicatat, walaupun mengetahui banyak hal, saat menulis artikel dia membatasi dirinya pada bidang yang benar-benar dikuasainya, yakni masalah lingkungan hidup. Sampai sekarang, public mengenang Otto Soemarwoto sebagai penulis masalah lingkungan yang andal.
Dalam penulisan artikel, penguasaan bahasa Indonesia merupakan syarat mutlak. Bila tidak bisa menguasai bahasa Indonesia secara komprehensif, seseorang penulis hendaknya mampu menggunakan kata-kata secara tepat sehingga ide atau pendapatnya bisa sampai kepada pembaca secara efektif, dan tulisan enak dibaca. Bahasa yang digunakan dalam artikel pun tentulah bahasa yang akrab dan mudah dimengerti oleh khalayak.
Saat seorang penulis menyusun artikel atau opini, perlu ada cara yang bisa dijadikan pegangan agar tulisan tersusun dengan baik, mudah dimengerti, dan menarik minat pembaca. Hal-hal yang perlu diperhatikan itu antara lain :
a)      Berani Memulai
Bagi pemula, terkadang ada keraguan untuk memulai menulis artikel ataupun opini. Perasaan ini hendaknya dibuang jauh-jauh. Bila ada ketertarikan untuk mengupas atau menganalisis suatu peristiwa dan dat sudah ada, mulailah menulis. Artikel atau opini bisa dimulai dengan kata apa saja. Kalau belum bisa langsung menulis secara ringkas, tuliskanlah dulu semua ide dalam paparan. Bila kemudian diketahui paparan itu terlalu panjang dan “melambung”, potonglah bagian-bagian yang tidak mendukung keutuhan alur karena sesungguhnya setiap kalimat dan paragraf harus memili ikatan yang kuat.
b)     Morfem Terikat
Dalam bahasa Indonesia, ada kata-kata penggunaannya harus selalu dalam posisi rapat (dirapatkan) dengan kata yang mengikutinya. Kata-kata itu disebut morfem (bentuk) terikat, misalnya anti (antikorupsi), super (supermarket), pasca (pascasarjana, pascabayar, pascapembunuhan), sub (subkomite, subdinas, subdivisi), pra (prasejarah, prasejahtera, prabayar), dan lain-lain. Kata “makro” hanya dijadikan morfem terikat bila mendahului kata lain (misalnya makroekonomi), sedangkan bila berada setelah kata lain, “makro” bukanlah morfem terikat, misalnya ekonomi makro.
c)      Cermati Kata-kata yang Sering Dipersepsi Salah
Ada beberapa kata yang sering dipersepsi secara salah sehingga penulisannya pun salah, misalnya dipungkiri (seharusnya dimungkiri karena kata dasarnya mungkir), jor-joran (seharusnya jorjoran karena tak ada kata dasar jor), was-was (seharusnya waswas karena tidak ada kata dasar was), taupun blak-blakan ( seharusnya blakblakan karena tidak kata dasar blak).
d)     Julukan Negara atau Negeri
Nama julukan negara atau negeri ditulis dengan huruf kecil, kecuali bentuk sapaan. Misalnya, negeri tirai bambu (Cina) ataupun negeri gajah putih (Thailand). Sementara yang berbentuk sapaan ditulis seperti nama orang, misalnya negeri Paman Sam (Amerika Serikat).
e)      Tidak Semua Bahasa Asing Dicetak Miring
Dalam fungsi kata biasa (generic), kata-kata bahasa asing memang harus dicetak miring dalam teks artikel atau diberi tanda petik bila berada dalam posisi judul. Namun, aturan ini tidak berlaku bila kata-kata bahasa asing itu mengacu ke nama jabatan, nama alat, ataupun nama perusahaaan. Nama-nama seperti itu tetap ditulis dengan huruf tegak.
f)       Terjemahkan Bahasa Daerah atau Bahasa Khusus
Mengingat kemajemukan pembaca, penulis sebaiknya mencantumkan terjemahan dari kalimat berbahasa daerha atau istilah khusus yang hanya dimengerti sebagian kecil pembaca. Tanpa terjemahan atau penjelasan khusus, pembeca yang tidak mengerti kata atau istilah tertentu akan mengalami kesulitan mencerna makna dari tulisan yang disajikan. Ini tentu saja harus dihindari.
g)      Gunakan Tanda Koma Secara Efisien
Dalam laras bahasa jurnalistik, tanda baca koma diminimalisasi karena jumlah koma yang terlalu banyak justru akan menggangu kelancaran membaca. Gunakan tanda koma hanya pada posisi yang benar-benar penting, dengan tujuan utama mempermudah pembaca menangkap makna. Antara jabatan dan nama orang tidak perlu ada tanda koma, misalnya Gubernur Jawa Barat H. Danny Setiawan meresmikan kantor instansi baru di lingkungan Pemkab Sumedang. Pembaca tidak akan dipusingkan dengan ketiadaan tanda koma pada kalimat itu. Berbeda halnya dengan ketiadaan tanda koma justru akan memusingkan pembaca, misalnya pada kalimat contoh (fiktif), Pengacara terdakwa Endang Rahmat Sanusi mengajukan banding. Pembaca akan bingung siapa nama pengacara itu. Untuk menghindari kesulitan seperti ini, kalimat tersebut harus ditulis, Pengacara Endang Rahmat, Sanusi mengajukan banding. Dengan tanda koma ini, kini menjadi jelas bahwa pengacara itu bernama Sanusi.
h)     Perhatikan Prinsip Kesejajaran
Prinsip kesejajaran bisa menyangkut bentuk aktif dan pasif, atau menyangkut penulisan jabatan. Kesejajaran akan sangat bermangfaat untuk memudahkan pembaca menangkap pesan dari kalimat yang disajikan.
Contoh yang salah 1 : Dia sendiri yang menganyam tikar dan menjualnya di pasar. Seharusnya : Dia sendiri yang menganyam tikar dan menjualnya di pasar.
Contoh yang salah 2   : Pelatih itu diikuti para asisten pelatih Persib, Djajang Nurdjaman, Robby Darwis, Anwar Sanusi, Zaenal Arief (striker). Seharusnya : Pelatih itu diikuti asisten pelatih Persib, Djajang Nurdjaman, Robby Darwis, Anwar Sanusi, dan striker Zaenal Arief.
Jadi sejajar, karena semua predikat atau jabatan disimpan di depan nama sehingga pembaca tidak akan sulit memahaminya.
i)        Cermati Kata-kata Baru
Seiring dengan perkembangan bahasa yang pesat, Pusat Bahasa meluncurkan kata-kata baru, termasuk terjemahan. Mungkin tujuaanya untuk meredam penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, di berbagai bidang kehidupan. Langkah ini juga dilakukan agar bahasa Indonesia memiliki kosakata yang semakin lengkap sehingga bisa menempati posisi terhormat, termasuk dalam percaturan internasional. Kata-kata baru yang kini mulai banyak digunakan, antara lain pemangku kepentingan (stakeholder), pelantang (pengeras suara/mikrofon), penyintas (orang yang selamat dalam musibah yang menelan korban jiwa/ survivor), uang kerahiman (uang untuk menebus kedukaan/ atonement money), cakram padat (CD/ compact diss), piranti pengondisi udara (AC), laman (website), pos-el (surat elektronik/ e-mail), sel punca (sel indul/ stem cells).
j)       Lambang Bilangan
Sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1993), lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, ditulis dengan huruf, kecuali dengan lambang-lambang bilangan itu ditulis secara berurutan (dalam perincian).
Contoh : 1. Rapat itu hanya diikuti sepuluh pejabat.
Contoh : 2. Mereka menyebarkan dua ribu undangan unutk pesta pernikahan.
Contoh : 3. Para peserta seminar adalah 50 dokter umum, 50 dokter gigi.
Lambang bilangan yang berada di awal kalimat juga ditulis dengan huruf.
Contoh : Dua ratus anak balita mendapat imunisasi.
k)     Gunakan Kata Kerja
Untuk menjelaskan langkah penting, gunakan kata kerja, bukan kata benda. Selain untuk menegaskan sikap, hal ini juga penting untuk memperoleh kalimat yang tepat dan singkat sesuai dengan prinsip ekonomi kata.
Contoh            : Presiden mengambil keputusan untuk menaikan harga BBM. Seharusnya : Presiden memutuskan untuk menaikan harga BBM.
l)        Singkatan Bahasa Latin
Ada beberapa singkatan kosakata bahasa Latin yang sring digunakan dalam bahasa Indonesia, antara lain c.s. (cum suis / dan kawan-kawan), i.e. (id est / yakni), id. (idem), jo. (juncto / berkaitan dengan), c.q. (casu quo / menurut hal, bilamana perlu), i.c. (in casu / dalam hal ini).
m)   Kata yang Diperdebatkan
Dinamika bahasa terkadang juga menimbulkan perdebatan menyangkut kata-kata tertentu dalam bahasa Indonesia. Salah satunya adalah kata memerhatikan yang dibentuk dari kata dasar perhati pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga serta mendapat awalan me- dan akhiran –kan. Kemudian beberapa pengamat bahasa mempermasalahkan lema perhati pada kamus tersebut. Mereka menganggap lema yang tepat adalah hati sehingga bentuknya adalah memperhatikan, yakni yakni kata dasar hati mendapat awalan memper- dan akhiran –kan. Kabarnya, pengubahan lema perhati penjadi hati (untuk kata bentukan memperhatikan) akan dilakukan secara resmi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat yang akan diluncurkan Oktober 2008. Bila itu benar-benar terjadi, kata bentukan yang dipakai adalah memperhatikan (dengan pola bentukan seperti dikemukakan di atas).
Berbeda dengan memperhatikan yang dibentuk dari kata dasar perhati yang mendapat awalan me- dan akhiran –kan. Berdasarkan asas legalitas, kata memerhatikan masih dianggap benar samapi terbitnya KBBI edisi keempat yang mengembalikan lema hati sebagai kata dasar untuk kata berimbuhan memperhatikan tersebut. 

            Terima kasih banyak atas kunjungannya ke blog saya semoga bermanfaat, jangan lupa kasih komentar yach?

Thursday, November 24, 2011

Memilih Jabatan Guru


Siapakah yang memilih jabatan sebagai guru? Pekerjaan guru mempunyai cirri-ciri tertentu. Apakah orang yang menjadi guru mempunyai kepribadian yang sesuai untuk pekerjaan itu? Misalnya apakah yang menjadi guru orang-orang cinta kepada anak-anak, yang suka bergaul dengan mereka? Ataukah justru orang yang merasa rendah diri dan ingin mencari kompensasi dengan melampiaskan keinginan berkuasa terhadap anak-anak? Apakah orang yang menjadi guru mereka yang tidak cukup inisiatif, kreativitas, agresivitas untuk melakukan pekerjaan yang penuh tantangan dan lebih cenderung untuk mengikuti perintah dan melakukan pekerjaan rutin?
Sukar memperoleh data yang objektif tentang pribadi calon guru dan alasan untuk memilih pekerjaan sebagai guru. Bila calon-calon ditanyakan tentang mereka memilih pekerjaan sebagai guru, biasanya mereka menjawab bahwa pilihan itu sesuai dengan cita-cita untuk berbakti kepada nusa dan bangsa dengan mendidik generasi muda. Kita tidak tahu berpa diantara mereka yang sebenarnya tidak berhasil memasuki perguruan tinggi lain yang lebih mereka prioritaskan. Bila kita tanyakan murid-murid SMA yang ada yang ingin menjadi guru.
Memilih jabatan sering tidak dilakukan secara rasional. Lulusan SMA atau sederajat tidak bebas memilih dan memperoleh jurusan atau fakultas menurut keinginan masing-masing. Karena keterbatasan tempat dan banyaknya clon maka seorang menerima apa saja yang diperoleh dan meresa beruntung walaupun tempat itu tidak sesuai dengan keinginan atau bakatnya. Studi khusus yang mendalam perlu dilakukan untuk meneliti riwayat hidup dan motivasi individu yang bersangkutan.
Dalam penelitian tentang latar belakang social mereka yang memiliki profesi guru ternyata bahwa kebanyakan berasal dari golongan rendah atau menengah-rendah seperti anak petani, pegawai rendah, saudagar kecil, walaupun ini tidak berarti bahwa semua anak-anak golongan ini akan memilih jabatan sebagai guru.
Profesi keguruan, khususnya pada tingkat SD, makin lama makin banyak dipegang oleh kaum wanita, bahkan di USA atau Jepang dengan guru tingkat SD selalu dimaksud ibu guru. Lambat laun guru-guru wanita juga mengajar pada tingkat SMA bahkan perguruan tinggi. Bila guru terdiri atas kebanyakan wanita seperti di SD maka jabatan guru akan diidentifikasikan dengan pekerjaan wanita sehinnga kaum pria akan menjauhinya bila terbuka pekerjaan itu.
Dalam kenyataan dilihat bahwa guru-guru menunjukan kepribadian tetentu sesuai dengan jabatannya. Apakah mereka memiliki kepribadian itu sebelum memasuki lembaga pendidikan guru, jadi memilih jabatan sesuai dengan bakatnya ataukah kepribadian guru itu terbentuk selama menjalani pendidkan atau setelah mereka bekerja sebagai guru dan menyesuaikan diri dengan norma kelekuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat, jadi dalam interaksi social?
Apakah keterikatan guru pada norma-norma tertentu membuatnya kurang mampu untuk bergaul dengan kalangan di luar guru dan juga kurnag mampu untuk melakukan pekerjaan nonguru? Di Amerika Serikat ternyata banyak guru, khususnya pria, yang menggunakan pekerjaan guru sebagai batu loncatan. Juga di negara kita pada waktu revolusi banyak kesempatan untuk pindah pekerjaan yang banyak digunakan oleh guru-guru. Mereka yang terdidik sebagai guru, khususnya lulusan IKIP banyak mencari pekerjaan di luar keguruan yang rasanya memberi kepuasan yang lebih besar.
Di atas diajukan pertanyaan apakah mereka yang mencari kompensasi atas rasa infentoritas cenderung memilih pekerjaan sebagai guru. Dalam kelas guru memegang posisi yang sangat berkuasa. Ia dapat menegur dan menghukum tiap pelanggaran. Guru pribadi buruk dapat menyalahgunakan kekuasaannya dalam bentuk sadisme yang sangat merugikan anak dan dirinya sendiri. Maka karena itu larangan memberikan hukuman fisik harus dipertahankan. Orang yang mempunyai gangguan mental hendaknya jangan menjadi guru.
Tak dapat disangkal kebanyak guru bekerja dengan dedikasi dengan menunjukan kesediaan yang tinggi untuk berbakti kepada pendidikan anak dan masyarakat. Sekalipun guru tidak menonjolkan upah financial ia juga manusia biasa yang harus menghidupi keluarganya. Maka sudah selayaknya nasib guru senangtiasa mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat.

Tuesday, November 22, 2011

Ketegangan dalam Profesi Guru


Tiap pekerjaan mengandung aspek-aspek yang dapat menimbulkan ketegangan, apakah pekerjaan sebagai diplomat, penerbang, sopir, dokter atau guru. Ketegangan itu tidak hanya ditentukan oleh sifat pekerjaan itu akan tetapi juga bergantung pada orang yang melakukannya. Tiap orang ingin mencari kepuasan dalam pekerjaannya, akan tetapi tak selalu kepuasan itu diperolehnya karena ada yang menghalanginya. Ketegangan timbul sebagai akibat hambatan untuk mencapai kepuasan yang dicari individu dari kedudukannya. Sifat ketegangan itu bergantung pada apa yang ingin seseorang dalam pekerjaaannya atau keterlibatannya dalam pekerjaan itu. Kepuasan yang dicari oleh berbagai individu berbeda-beda. Pekerjaan yang dapat memberi kepuasan kepada seseorang belum tentu akan memberi kepuasan kepada orang lain. Apa yang menimbulkan ketegangan bagi seseorang mungkin tidak mempunyai pengaruh terhadap orang lain.
Jabatan guru tidak dapat dikaitkan menjadi idaman atau panggilan bagi kebanyakan pemuda. Walaupun tugas itu mulia, akan tetapi tidak selalu memberi kepuasan yang dicari orang dalam jabatannya. Apa yang diharapkan guru dari jabatannya? Antara lain :
ü  Keuntungan ekonomis, imbalan, financial, gaji atau uang. Gaji yang tinggi memberi kesempatan untuk menabung, mendirikan rumah, membiayai pendidikan anak, dan sebagainya. Pendapatan yang cukup memberi rasa aman untuk masa depan baginya dan bagi keluarganya.
ü  Status, kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, penghargaan yang mempertinggi harga diri dihadapan orang lain.
ü  Otoritas, kewibawaan, kekuasaan atas orang lain, mengatur orang lain, merasa diri sebagai “bos”, dapat memerintah orang lain, dalam hal ini murid-murid.
ü  Status, professional, merasa diri memiliki kesanggupan yang khas yang diperoleh berkat pendidikan yang tidak dimiliki orang lain.
Gaji pekerja atau pegawai pada umumnya tidak tinggi dibandingkan dengan gaji orang di negara-negara yang maju, atau dibandingkan dengan guru di Malaysia atau Singapura. Walaupun gaji guru tidak lebih rendah dari gaji resmi pegawai-pegawai lain namun pendapatannya pada umumnya lebih rendah. Secara financial jabatan guru tidak akan membuat orang menjadi kaya. Bukan hanya di negara kita, juga di negara-negara lain, guru banyak mengeluh tentang gajinya. Di USA misalnya gaji buruh kasar sering melebihi gaji guru.
Guru-guru pada umumnya tidak begitu melibatkan diri dalam usaha hal mencari uanga, namun menginginkan adanya jaminan ekononis, agar dapat menutupi biaya kehidupan sehari-hari menurut keperluanya. Untuk mencari jaminan itu guru atau anggota keluarganya sering mencari sumber-sumber finalsial lain. Jadi aspek finansila dapat menimbulkan ketegangan di kalangan guru.
Mengenai status guru di dalam masyarakat, dapat kita selidiki pendapat orang banyak. Seorang peneliti meminta menilai status guru dari daftar yang berisi 90 macam pekerjaan. Pada waktu itu guru menduduki tempat ke-36, sedikit di atas rata-rata. Jadi status guru tidak ditetapkan orang pada tempat yang tinggi dan juga tidak pada tempat yang rendah. Peneliti serupa itu dapat kita lakukan juga di negara kita tentu perlu dibedakan berbagai tingkat guru seperti guru SD, SMP, SMA, dosen Perguruan Tinggi atau guru besar.
Guru sendiri tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai statusnya di tengah-tengah jabatan lain. Bila ia beranggapan bahwa guru yang melakukan tugas yang begitu mulia itu mempunyai kedudukan yang tinggi, mungkin ia akan mengalami ketegangan dan frustasi melihat kenyataan bahwa guru itu memang dihormati tetapi tidak diberikan status yang tinggi dibandingkan dengan jabatan lain. Mungkin pertimbangan orang banyak didasarkan atas asfek finasial dan bukan hakikat pekerjaan guru.
Guru banyak berasal dari golongan rendah atau menengah-rendah dan memandang jabatan sebagai guru sebagai jalan untuk mendapatkan status yang lebih tinggi. Status guru yang tidak begitu tinggi dalam mata masyarakat dan status yang tidak jelas bagi guru sendiri mungkin akan mengecewakannya dan dapat mengganggu kestabilan kepribadiannya. Status guru yang tidak jelas ini dapat menjadi sumber ketegangan bagi arang yang mencari kenaikan statusnya melalui jabatannya.
Sunber ketegangan lain bagi guru ialah otoritas guru untuk menghukum atau memberi penghargaan kepada murid. Tidak selalu sama pendapat masyarakat apa yang harus dihargai atau dihukum, sehingga dapat menimbulkan ketegangan. Semua orang tua menginginkan adanya disiplin, akan tetapi jika anaknya diberi hukuman karena terlambatsedikit, atau terdapat merokok, ada orang tua yang menganggap hukuman itu terlampau keras atau tidak pada tempatnya. Sebaliknya ada orang tua yang menginginkan agar anaknya diberi hukuman yang keras bahkan kalau perlu diberi hukuman jasmani yang tidak dapat diterima oleh guru. Demikian guru berada pada titik silang berbagai harapan dan tuntutan yakni dari pihak ornag tua dan msayarakat, dari pihak kepala sekolah dan atasan dari tuntutan profesi keguruan yang dipengaruhi oleh berbagai aliran. Guru diharapkan agarmematuhi berbagai tuntutan dan berusaha melayani berbagai permintaan berbagai pihak yang mungkin saling bertentangan sehinnga dapat menimbulkan ketegangan pada guru.
Ketegangan juga dapat ditimbulkan oleh persoalan apakah pekerjaan guru dapat diakui sebagai profesi. Tanpa melalui pendidikan keguruan seorang dapat mengajar, hal yang tidak mungkin terjadi dengan profesi kedokteran atau hukum. Diadakannya akata V dapat dipandang sebagai pengakuan atas perlunya pendidikan khusus keguruan agar dapat mengajar dengan tanggung jawab.
Sember ketegangan juga terletak dalam pekerjaan guru di dalam kelas. Di situ diuji kemampuannya dalam profesinya, kesanggupannya untuk mengatuer proses belajar mengajar agar berhasil baik sehingga memuaskan bagi setiap murid. Gangguan disiplin, kenakalan, kemalasan, ketidakmampuan, atau kebodohan anak dapat menjadi sumber ketegangan dan frustasi guru yang benar-benar melibatkan diri dalam prose situ.
Macam-macam hal lain yang dapat menjadi sumber ketegangan menjadi bagi guru. Dirasakan ada tidaknya ketegangan bergantung kepada kepuasan yang dicari seorang guru dalam profesinya. Keberhasilan guru dalam membantu anak dalam pelajarannya akan memberi kepuasan bagi guru yang menjunjung tinggi profesi keguruannya dan kurang menghiraukan penghargaan financial yang diperolehnya dari jabatannya. Kegagalan dalam hal ini akan menimbulkan frustasi yang dapat mempengaruhi kepribadiannya.

Sunday, November 20, 2011

Kesinoniman dan Pengajaran Bahasa Indonesia


1. Pendahuluan
Pada hakikatnya manusia selalu ingin mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya dan menyebarluaskan apa yang telah diketahuinya. Untuk itu manusia selalu ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Media komunikasi yang paling penting adalah bahasa. Dengan demikian, kemampuan berbahasa menjadi bagian penting untuk dapat berkomunikasi dengan baik.
Salah satu tujuan berkomunikasi adalah menyampaikan informasi (gagasan/pesan/ amanat) kepada sasaran komunikasi. Untuk dapat mendukung tujuan terseebut dibutuhkan kemampuan menggunakan kata-kata secara cermat. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan mencari ungkapan-ungkapan yang tepat untuk suatu konsep tertentu atau dalam konteks-konteks tertentu.
Pengetahuan tentang kesinoniman kiranya dapat menunjang kemampuan di atas karena sesungguhnya kesinoniman merupakan sumber yang sangat berharga bagi setiap penulis (Ullman, 1983: 151). Jika hal ini dikaitkan dengan pemasukan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia maka guru juga perlu mengajarkan kesinoniman, dalam hal-hal praktis, untuk membantu meningkatkan kemampuan pragmatik siswanya.

2. Kesinoniman
Pada umumnya sinonim diartikan sebagai ungkapan-ungkapan yang mempunyai arti sama. Lyons (1981: 50) berkeberatan dengan definisi tersebut karena dapat memberikan kemungkinan bahwa suatu leksem simpleks dapat mempunyai arti yang sama dengan suatu leksem kompleks.
Verhaar (1982:132) membedakan kesinoniman menurut taraf di mana bentuk tersebut terdapat, yaitu pada antarmorfem, antarkata, antarfrasa, dan antarkalimat. Pertanyaan yang dapat diajukan terhadap pembedaan tersebut adalah: (a) Apakah itu berarti juga ada kesinoniman antarwacana?; (b) Apa tidak mungkin suatu kata bersinonim dengan suatu frasa atau bahkan kalimat?; (c) Bagaimana menguji kesinoniman dalam antarfrasa, antarmorfem, atau antarkalimat? Pembedaan seperti ini mungkin saja ada tetapi tentunya perlu adanya penjelasan yang memadai. Oleh karena itu dalam tulisan ini hanya dibahas tentang kesinoniman yang terdapat dalam antarleksem (antarkata).
Dalam kenyataan berbahasa, dua leksem yang memiliki arti yang persis sama memang amat jarang kecuali dalam persitilahan. Sehubungan dengan hal itu dibedakan antara sinonim mutlak dengan near-synonym ‘sinonim dekat’ atau homoionym, pseudo-synonym. Sinonim dekat berarti ungkapan-ungkapan yang mempunyai arti lebih kurang sama, tetapi tidak identik (Lyons, 1981:50).
Lyons memakai istilah partial synonymy ‘kesinoniman separa’ untuk sinonim dekat. Perbedaan antara sinonim mutlak dengan sinonim separa ditentukan oleh syarat-syarat sebagai berikut (Lyons, 1981:50-51): (a) sinonim itu bersinonim penuh (full), jika dan hanya jika semua artinya identik atau memiliki tingkat arti yang sama; (b) sinonim itu bersinonim keseluruhan (total), jika dan hanya jika, bersinonim dalam semua konteks atau tingkat kekolokasian ungkapan; (c) sinonim itu bersinonim sempurna (complete), jika dan hanya jika, identik pada semua dimensi arti yang relevan atau leksem tersebut mengandung makna deskriptif, ekspresif, dan sosial yang sama. Sinonim mutlak adalah ungkapan-ungkapan yang bersinonim penuh, keseluruhan, dan sempurna sedangkan sinonim separa adalah sinonim yang bukan sinonim mutlak.
Syarat-syarat di atas sebenarnya mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada dua kata yang benar-benar bersinonim. Hal ini dikemukakan Palmer (1981:89-91) dengan memberikan cara-cara melihat perbedaan yang terdapat dalam sinonim. Perbedaan di antara sinonim dapat juga disebut sebagai sebab-sebab terjadinya sinonim, yaitu: (a) akibat perbedaan dialek, misalnya warung yang banyak dipakai di Jawa dan kedai untuk daerah Sumatera; (b) karena adanya berbagai laras bahasa yang ditentukan oleh pemakai bahasa dan bidang pemakaian, seperti mangkat untuk raja dan meninggal untuk orang biasa, evaluasi yang dipakai di bidang pendidikan untuk penilaian; (c) karena konotasi, beberapa kata bersinonim tetapi berbeda karena nilai rasa/arti emotif/arti evaluatif, misalnya babu yang karena mempunyai nilai rasa tertentu muncul sinonimnya, yaitu pramuwisma; (d) terjadi pembatasan karena kolokasi, sinonim yang muncul secara sintagmatis atau berdampingan yang dianggap wajar oleh kaidah kolokasi, misalnya ayu, anggun, cantik untuk wanita berdampingan dengan kacak, lampai, tampan untuk pria; (e) banyak kata yang mempunyai arti begitu dekat atau arti kata tersebut tumpang tindih, misalnya kata bagus dengan indah, perintah dengan suruh, cantik dengan molek/anggun/ ayu/comel. Cara lain untuk melihat perbedaan antarkata yang bersinonim adalah dengan menyusunnya ke dalam suatu seri sehingga terlihat keperbedaan artinya, misalnya dalam pecah, hancur, remuk, luluh, lebur (Ullman, 1983:144).
Untuk menentukan dua atau lebih kata itu bersinonim satu sama lain diperlukan suatu cara menguji kesinoniman antarkata. Cara yang pertama adalah dengan penyulihan (substitution), yaitu dengan menyulihkan suatu kata dengan kata yang lain. Jika dalam penyulihan didapat informasi yang sama dan tetap wajar maka dapat dikatakan sinonim. Jika kata bagus dapat saling menyulihkan dengan kata indah dalam rumpang rumah itu …. maka bagus dan indah dapat dianggap sinonim. Cara yang kedua adalah dengan mencari “lawan kata” dari dua atau lebih kata yang dianggap sinonim. Pintar dan pandai dianggap sinonim karena keduanya dapat “dilawankan” dengan bodoh. Cara ketiga adalah dengan melihat perbedaan dalam konotasi (arti emotif). Staf, karyawan, buruh, dan kuli mengacu kepada denotata yang sama tetapi masing-masing mempunyai konotasi yang berbeda, itu berarti kata-kata tersebut dapat dianggap sinonim (Palmer, 198:91-93).

3. Konotasi
Dalam pembicaraan tentang kesinoniman di atas, istilah konotasi telah dua kali disinggung. Pembicaraan mengenai konotasi cukup menarik jika dikaitkan dengan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Tujuan utama pengajaran Bahasa Indonesia adalah agar siswa dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Hal ini ditunjang dengan dimasukkannya pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Pragmatik ditentukan oleh, salah satunya, ada tidaknya konotasi sebab konotasi lebih banyak berkaitan dengan pemakaian bahasa. Konotasi terjadi karena interaksi antara suatu satuan bahasa dengan subjektivitas (pertautan pikiran atau perasaan) pemakai bahasa.
Wilayah penerapan konotasi berbeda karena perbedaan pemakai bahasa. Pemakai bahasa di sini meliputi perseorangan, kelompok, atau masyarakat. Kata kamu bagi pemakai bahasa di Jawa pada umumnya berkonotasi negatif, sedangkan bagi pemakai bahasa di daerah Sumatera pada umumnya dapat berkonotasi positif atau hormat atau paling tidak netral.
Satuan bahasa yang mengacu kepada hal-hal yang bersifat pribadi, seperti soal pembiakan dan hal-hal yang berhubungan dengan pencernaan, biasanya sarat dengan konotasi. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa ingin atau lebih suka mengungkapkan sesuatu yang bersifat pribadi secara pribadi atau khusus. Apabila ungkapan khusus tersebut lambat laun menjadi umum, maka pemakai bahasa cenderung untuk mencari ungkapan lain untuk acuan yang sama. Misalnya untuk kata bersetubuh, kata lain yang muncul setelah itu adalah bersanggama, hubungan kelamin, bersebadan, dan sambung raga. Konotasi juga terjadi karena pertautan satuan bahasa dengan status atau strata sosial tertentu, seperti dalam babu, pembantu rumah tangga, dan pramuwisma.
Konotasi dalam pengajaran bahasa setakat kini biasanya disamakan dengan kiasan atau majas. Hal ini disebabkan kesalahpengertian terhadap pengertian konotasi. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SLTP atau SMU dan buku-buku kebahasaan lainnya yang memberikan pengertian konotasi sebagai makna tambahan/sampingan (Rumadi & Barung, 1989:2; Suparni, 1988:134; Pateda, 1986:62). Pengertian makna tambahan inilah yang mungkin menyesatkan. Penambahan ini bukannya penambahan makna (konsep). Dalam kenyataannya, penambahan ini berupa pemindahan makna (konsep), seperti contoh yang terdapat dalam buku-buku tersebut: kutu buku = rajin membaca, makan garam = banyak pengalaman, amplop = uang sogok, dan kursi = jabatan/kedudukan.
Salah satu buku yang cukup berwibawa dan banyak dipakai oleh para guru sebagai acuan, yaitu buku Pengajaran Semantik oleh Tarigan (1980), ternyata juga masih terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dalam hal ini yang berkaitan dengan konotasi. Penulis ini setuju dengan pengertian konotasi yang merupakan responsi-responsi emosional yang timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya (Tarigan, 1980:56-81). Pada pembicaraan selanjutnya Tarigan menyebut makna konotatif sebagai makna tambahan yang dinyatakan secara tidak langsung oleh kata tersebut. Yang dapat dicatat dari kedua pengertian itu adalah bahwa kedua pengertian tersebut mengacu kepada dua hal yang berbeda, yang satu berhubungan dengan pemakai bahasa yang lainnya dengan kata itu sendiri. Kesimpangsiuran pengertian mengenai onotasi tersebut tergambar juga melalui contoh-contoh yang diberikannya. Kata langsing dan kurus diuraikan konotasinya tetapi kurang diperhatikan bahwa langsing dan kurus mengacu kepada denotata yang berlainan. Pengalihan denotata semacam ini berhubungan dengan pembicaraan tentang majas. Hal yang sama tergambar dalam pembicaraan ragam konotasi berbahaya, dengan contoh-contoh seperti pencuri = panjang tangan, tikus = putri, hantu = nenek, raja hutan = singa, dan lain-lain.

4. Kesinoniman dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran Bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam Kurikulum 1994, adalah untuk mengembalikan pengajaran Bahasa Indonesia kepada fungsi komunikasi. Oleh karena itu, orientasi belajar-mengajar harus didasarkan pada tugas dan fungsi komunikasi. Pengajaran secara pragmatik merupakan perwujudan konsep tujuan pengajara seperti tersebut di atas. Pemasukan pragmatik dalam Kurikulum 1994 dimaksudkan untuk menajamkan pengertian tentang keterampilan berbahasa yang selama ini hanya diartikan secara umum dengan berbicara, menyimak, menulis, dan membaca.
Pengertian pragmatik, menurut Levinson (1983), adalah kajian pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakan dengan konteksnya. Pragmatik merupakan suatu keterampilan menggunakan bahasa dalam berbagai situasi untuk berbagai keperluan (Nababan, 1983). Jika fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik mempelajari struktur bahasa secara internal maka pragmatik mempelajari unsur-unsur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996). Dalam hal pengkajian makna bahasa, pragmatik dan semantik memiliki kedekatan pengkajian di samping juga adanya perbedaan. Perbedaan tersebut adalah
Pengetahuan tentang kesinoniman memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan yang sesuai dengan situasi dan konteks pembicaraan atau penulisan. Dalam hal lain, pengetahuan kesinoniman akan memungkinkan siswa membuat variasi dalam menginformasikan sesuatu.
Berdasarkan hal di atas, cukup beralasan jika guru memperhatikan kesinoniman sebagai salah satu penunjang pengajaran pragmatik. Dalam pengajaran di kelas, kesinoniman tudaklah harus diajarkan secara khusus tetapi dapat mengikut dalam materi yang lain, misalnya pragmatik atau keterampilan berbahasa yang lain. Pengetahuan kesinoniman dan bagaimana menggunakannya untuk mengungkapkan gagasan/konsep yang sesuai atau sebagai variasi diksi diajarkan melalui (a) tugas pencarian sinonim sejumlah kata dengan jumlah yang tida terlalu banyak tetapi berkesinambungan dan (b) melatih menggunakan kata-kata yang bersinonim dalam kalimat dengan tujuan membiasakan siswa mengungkapkan gagasan atau informasi dengan kata yang tepat.
Cara mengajarkan kesinoniman seperti di atas bertujuan mengupayakan siswa untuk lebih banyak beraktivitas. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman belajar yang diterima siswa bersifat langsung dan bukan karena lebih banyak diberitahu guru, walaupun guru wajib menjelaskan keterangan yang meragukan siswa.

5. Penutup
Kemampuan guru mengembangkan pengajaran secara kreatif akan membangkitkan minat dan gairah siswa, dan ini amat menentukan keberhasilan pengajaran. Apa pun materinya, apa pun metodenya jika siswa tidak berminat pelajaran akan berjalan dengan kaku dan membosankan. Pengajaran kesinoniman yang selama ini lebih banyak memperhatikan kata-kata yang diserap dari bahasa asing yang kemudian dicarikan sinonimnya dalam Bahasa Indonesia sebaiknya dikurangi, kalau perlu dihindari, karena hal ini akan mengurangi sikap positif siswa terhadap Bahasa Indonesia. Untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap Bahasa Indonesia, salah satunya, adalah dengan cara menghadapkan siswa kepada kenyataan bahwa kosa kata Bahasa Indonesia itu begitu kaya, misalnya dalam pengungkapan cara.
Guru tidak perlu mengajar tentang kesinoniman tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana menggunakan kesinoniman dalam berbahasa yang sesungguhnya. Dengan kata lain, guru berupaya agar pemahaman tentang kesinoniman dapat memberikan manfaat bagi siswa untuk dapat menggunakan kata-kata secara cermat, yang pada tahap selanjutnya dapat membantu siswa menajamkan keterampilan berbahasanya.

Daftar Pustaka
Kemposon, Ruth, M. 1977. Semantic Theory. Cambridge: Cambridge UP.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge UP.
Lyons, John. 1981. Language, Meaning, and Context. London: Fontana.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik, Teori dan Penerapannya. Jakarta: P2LPTK.
Palmer, F.R. 1981. Semantics. Cambridge: Cambridge UP.
Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Ende-Flores: Nusa Indah.
Suparni. 1988. Penuntun Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Ganeca Exact.
Tarigan, Henry G. 1980. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Ullman, Stephen. 1983. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. London: Basil Blackwell.
Verhaar, J.W.M. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.