I. Pendahuluan
Ada pameo no such a thing as a
free lunch, tidak ada makan siang gratis. Pameo tersebut penting
untuk direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan gratis yang
cenderung menjadi komoditas politik (Edy
Priyono, Suara Pembaruan Daily).
Dalam kampanye pilkada beberapa
kandidat secara “gagah berani” menjanjikan pendidikan gratis jika terpilih.
Beberapa kepala daerah yang sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan
kebijakan sekolah gratis.
Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak
dilarang, karena sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan. Setiap
kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya, apakah semua pihak
menyadari apa konsekuensi kebijakan tersebut.
Yang dimaksud dengan “pendidikan
gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan
masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional
sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis
sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah.
Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang
diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
Besarnya biaya satuan kemudian harus
dibandingkan dengan dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang sejak 2005
diterima sekolah dari pemerintah (pusat). Untuk 2007, dana BOS bernilai Rp 21.000
per siswa per bulan untuk SD/MI dan Rp 29.500 untuk SMP/MTs.
Pertanyaan pertama, apakah sebelum
mencanangkan atau menjanjikan pendidikan gratis para (calon) pimpinan daerah
sudah menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya satuan di
tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dengan dana BOS, siapa yang akan
menutup kekurangan tersebut?
Kebijakan pendidikan gratis jelas tidak
membebankan kekurangan biaya tersebut kepada masyarakat (orang tua).
Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah (pemda) atau dibiarkan
tanpa satu pihak pun yang menutupnya. Jika pemda yang akan menutup kekurangan
biaya di sekolah berarti diperlukan alokasi APBD sesuai dengan jumlah murid.
Sebagai gambaran, selisih antara biaya satuan dan BOS adalah Rp 15.000 dan di
suatu kabupaten terdapat 200.000 murid SD maka diperlukan tambahan APBD senilai
Rp 3 miliar untuk tingkat SD saja. Semakin besar selisih antara BOS dengan
biaya satuan dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah semakin besar
alokasi APBD yang diperlukan.
Jika pemda tidak mau (atau tidak mampu)
mengalokasikan anggaran yang diperlukan dan tetap konsisten dengan kebijakan
pendidikan gratis, itu artinya sekolah dibiarkan untuk beroperasi dengan dana
yang lebih rendah dari kebutuhannya. Berarti pula sekolah tidak akan mampu
memberikan pelayanan kepada siswa sesuai standar.
Fakta Lapangan
Dalam buku Panduan BOS Tahun 2007
dinyatakan bahwa pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan
operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah untuk
menerima sumbangan dari orangtua yang mampu. Yang dengan tegas harus “gratis”
adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Secara implisit, hal itu menunjukkan
bahwa pengelola BOS menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan operasional di sekolah. Meskipun demikian, tidak semua orang
menyadari hal itu.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
berbagai “model” kebijakan pembiayaan pendidikan di daerah. Pertama, pemda
menganggap BOS tidak cukup, sehingga mengalokasikan dana APBD dalam jumlah
cukup besar sebagai “pendamping BOS”, kemudian menggratiskan pendidikan.
Dalam kasus tertentu, di mana pemda
tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional
sekolah, kebijakan pendidikan gratis justru menjadi perangkap. Kualitas
pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpuruk akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan operasional sekolah. Oleh karena itu, masyarakat harus
cukup cerdas untuk mencermati wacana pendidikan gratis, khususnya yang
dijanjikan oleh para kandidat dalam pilkada. Caranya, antara lain, dengan
menuntut penjelasan yang lebih rinci tentang bagaimana kebijakan tersebut
hendak diimplementasikan.
II. MATERI
Mengapa Pendidikan Gratis
Sudah lebih dari dua puluh tahun, tepatnya
sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat
pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries)
di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia
dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
Terlebih lagi, pembangunan masyarakat
demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global
abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society
atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan.
Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh
hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga
sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory
education) atau universal education yang berarti
pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut
berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration
on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang
menegaskan compulsory education bukan universal education.
Wajib belajar terutama berimplikasi
terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di
berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan
tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu
dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan
pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai
masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib
belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di
negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti
Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan
mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum
mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi
hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah
maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda.
Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada
Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib
belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika
Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan
ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A
Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan
ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya
pendidikan.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya
tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah
benar bahwa saat itu AS dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan AS dalam
perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga
menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata
masih banyak anak di AS yang drop out dari sekolah. AS kemudian
menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir
undang-undang yang terkenal dengan sebutan “No Child Left Behind“. Dengan
undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan
oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi
Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi
komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945
bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan
dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis-
selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang
sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya
telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia
investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk
domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran
produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan
dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara
masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya
tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap
masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat
dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain
negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan
dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau
menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika
pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi
sosial akan berkurang.
Dalam “ketegangan” tersebut, persoalan
sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama
ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat
harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah
sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah
pendidikan.
“Untuk kasus Indonesia, sebenarnya
ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar-
pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika
menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan
bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat.
Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih
baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan,” kata HAR
Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar
gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada
kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya
pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai
pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat
karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada
kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk
menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah
juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai
dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah
setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas
belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas
dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan
dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana
pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran
tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan
kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah
termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta
evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan
kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal
tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity
to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan,
gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini
berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya,
sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan
Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala, setahun dibutuhkan
Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp
500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per
bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP
dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4
triliun.(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0505/03/PendDN/1724964.htm)
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak
dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada
biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu
kesatuan administrasi negara.
Di AS sekolah publik gratis karena ada
pajak sekolah khusus. Warga negara AS yang mempunyai tanah dan rumah harus
membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai
anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60
persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen,
tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis
harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan
pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan
voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri
sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati- hati dalam
menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah
lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan
konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan
kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari
siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih
membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu
disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang
standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi
tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri,
madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus
menyadari pendidikan bahwa itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan,
tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang
kembali kepada niat politik pengambil keputusan: apakah pemegang kekuasaan mau
semua anak Indonesia maju?
III. MASALAH
UU Sisdiknas Mendukung Pendidikan
Gratis
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar
ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan
global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui
DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor
2 Tahun 1989.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam
Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan
desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi,
kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan
yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan
pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa
(ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun
(pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
(pasal 34 ayat 2).
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan
pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap
berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1),
yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan
nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan
nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan
penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah
kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah,
serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Berangkat dari uraian normative diatas, dengan
mencermati fenomena yang berkembang dewasa ini yang sering dijadikan jargon
dalam dimensi politik yaitu “Pendidikan Gratis”. Pendidikan gratis dapat
dimaknai sebagai upaya membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik di
sekolah sebagai perwujudan dari upaya membuka akses yang luas bagi masyarakat
untuk memperoleh pendidikan yang merupakan hak dari setiap warga Negara
sebagaiman anamat UUD 1945 pasal 31. Hal ini diharapkan menjadi salah
satu instrument untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun.
IV. ASPEK MASALAH
Mengapa Pembatasan Anak Usia Sekolah
Pendidikan
Anak Dini Usia (PAUD)
Tahun-tahun pertama kehidupan
anak merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Kesalahan yang
terjadi pada periode kritis akan membawa kerugian yang nyata pada masa depan
bangsa. Investasi untuk perbaikan gizi dan kesehatan serta pembinaan anak usia
dini akan membuat anak lebih siap belajar dengan baik pada saat sekolah.
Investasi tersebut juga mempunyai efek positif yang panjang bagi kehidupan
anak-anak di masa depan. Sehingga pada gilirannya akan berdampak positif sangat
nyata bagi kemajuan bangsa. Produktivitas bangsa di masa depan sangat
ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.
Pengembangan anak usia dini
merupakan pilihan yang bijaksana dalam kaitannya dengan pembangunan SDM guna
membangun masa depan bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan.
Young (1996) mengemukakan paling tidak ada lima alasan pentingnya melakukan
investasi untuk pengembangan anak usia dini (Early Child Development).
Pertama, untuk membangun SDM yang
berkemampuan intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang
baik serta mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh.
Kedua, untuk menghasilkan “Economic
Return” yang lebih dan menurunkan “Social Costs”
di masa yang akan datang dengan meningkatnya efektivitas pendidikan dan menekan
pengeluaran biaya untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, untuk mencapai pemerataan
sosial ekonomi masyarakat, termasuk mengatasi kesenjangan antar gender.
Keempat, untuk meningkatkan efisiensi
investasi pada sektor lain karena intervensi program gizi dan kesehatan pada
anak-anak akan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup anak, sedangkan
intervensi dalam program pendidikan akan meningkatkan kinerja anak dan
mengurangi kemungkinan tinggal kelas.
Kelima, untuk membantu kaum ibu dan
anak-anak. Dengan semakin meningkatnya jumlah ibu bekerja dan rumah tangga yang
dipimpin oleh wanita, pemeliharaan anak yang aman menjadi semakin penting.
Penyediaan wahana untuk itu akan memberi peluang kepada wanita untuk berkarir
dan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya.
Fungsi pendidikan bagi anak
dini usia (golden age) tidak hanya sekedar memberikan berbagai
pengalaman belajar seperti pendidikan pada
orang dewasa, tetapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas
kecerdasannya. Pendidikan disini hendaknya
diartikan secara luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak
terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya
pendidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan
sendiri di lingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan di luar
lingkungan keluarga.
Pembelajaran harus dilakukan
secara menyenangkan yaitu melalui bermain kesenangan yang diperoleh melalui
bermain memungkinkan anak belajar tanpa tekanan, sehingga disamping motoriknya,
kecerdasan anak (kecerdasan kognitif, sosial-emosional, spiritual dan
kecerdasan lainnya) akan berkembang optimal. Lebih penting lagi, dampak dari
jenuh belajar berupa semakin menurunnya prestasi anak di kelas. Kelas yang
lebih tinggi dapat dihindari. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan
pembelajaran yang berpusat pada anak, dimana anak mendapatkan pengalaman nyata
yang bermakna bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya, melalui pendidikan
anak dini usia yang pembelajarannya dilakukan secara menyenangkan akan
membentuk manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai tantangan.
Berdasarkan kajian neurologi
dan psikologi perkembangan, kualitas anak dini usia disamping dipengaruhi oleh
faktor bawaan (nature) juga sangat dipengaruhi oleh
faktor kesehatan, gizi, dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh
karena faktor bawaan harus kita terima apa adanya, maka faktor lingkunganlah
yang harus direkayasa. Kita harus mengupayakannya semaksimal mungkin agar
kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan tersebut dapat kita perbaiki.
Arti Pendidikan Anak Dini Usia
bagi kualitas SDM
Secara konseptual, pembangunan
kualitas sumberdaya manusia harus mencakup semua dimensi baik fisik maupun non
fisik tersebut secara totalitas. Segenap potensi jasmani dan rohani manusia
bisa berkembang secara sempurna dan dapat didayagunakan untuk melakukan
berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan hidup. Kualitas fisik
dicerminkan dengan derajat kesehatan yang prima. Kualitas akal dicerminkan oleh
daya fakir atau kecerdasan intelektual yang berkaitan dengan penguasan ilmu
pengetahuan. Kualitas kalbu diukur dengan derajat keimanan dan ketakwaan,
kejujuran, budi pekerti, moral dan akhlak. Kualitas akal dan kalbu secara
bersama-sama melahirkan daya dzikir dan kesadaran diri yang mendalam akan
hakikat manusia sehingga melahirkan emogensi atau kecerdasan emosional (emotional
intelligence) yang berkualitas.
Pendekatan holistik menekankan
bahwa kualitas sumberdaya manusia ditentukan oleh banyak faktor baik internal
maupun eksternal yang berlangsung dalam keseluruhan siklus hidup, tahap yang
sangat menentukan adalah pada saat janin (pre-natal) sampai usia remaja
(sekitar 15 tahun), dan tahap yang paling kritis adalah sampai umur 5 tahun
(balita). Usia dini, yaitu pada umur balita, adalah tahap yang rentan terhadap
berbagai pengaruh fisik dan non fisik. Faktor-faktor yang menentukan tumbuh
kembangnya anak balita baik fisik, psikologis, dan sosial sangat penting untuk
diperhatikan dan dikendalikan agar dapat menjadi manusia yang berkualitas.
Bagi guru kelas satu, dua,
tiga Sekolah Dasar yang berpengalaman, sudah tidak asing lagi adanya anak yang
cepat mengerti pelajaran dan ada yang lambat, ada yang lebih berminat terhadap
satu atau beberapa pelajaran dari yang lain, bahkan ada anak yang cepat sekali
mengerti suatu pelajaran tertentu dan ada yang bakatnya berbeda-beda. Bakat (aptitude)
dapat dirumuskan sebagai potensi kemampuan yang dibawa sejak lahir (inherent
inner component of ability; Semiawan, C, 1997). Banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan bakat ini dan banyak pula yang dapat dilakukan oleh
lingkungan dalam rangka pengembangan intelektual dan kreativitas anak dini usia
termasuk bermain.
Arti Bermain Bagi Anak Dini
Usia
Bagi anak, bermain adalah
suatu kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui aktivitas bermain,
berbagai pekerjaannya terwujud. Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri
oleh anak, karena menyenangkan, bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian.
Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya.
Bermain adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam
fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif. Bila anak bermain secara
bebas, sesuai kemauan maupun sesuai kecepatannya sendiri, maka ia melatih
kemampuannya.
Permainan adalah alat bagi
anak untuk menjelajahi dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai yang ia
ketahui dan dari yang tidak dapat diperbuatnya, sampai mampu melakukannya.
Jadi, bermain mempunyai nilai dan ciri yang penting dalam kemajuan perkembangan
kehidupan sehari-hari seorang anak.
ü Bermain memiliki arti. Pada
permulaan, setiap pengalaman bermain memiliki unsur risiko. Ada risiko bagi
anak untuk belajar berjalan sendiri, atau naik sepeda sendiri atau berenang,
ataupun meloncat. Betapapun sederhana
permainannya, unsur risiko itu selalu ada.
ü Unsur lain adalah pengulangan. Dengan pengulangan,
anak memperoleh kesempatan mengkonsolidasikan keterampilannya yang harus
diwujudkannya dalam berbagai permainan dengan berbagai nuansa yang berbeda.
Sesudah pengulangan itu berlangsung, anak akan meningkatkan keterampilannya
yang lebih kompleks. Melalui
berbagai permainan yang diulang, ia memperoleh kemampuan tambahan untuk
melakukan aktivitas lain.
ü Fakta bahwa aktivitas
permainan sederhana dapat menjadi kendaraan (vehicle) untuk menjadi hajat permainan
yang kompleks, dapat dilihat dan terbukti pada kala mereka menjadi remaja.
ü Melalui bermain anak secara
aman dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran, umpama;
ia bisa bermain peran sebagai ibu atau bapak yang galak, atau sebagai bayi atau
anak yang mendambakan kasih sayang. Di dalam semua permainan itu ia dapat
menyatakan rasa benci, takut dan gangguan emosional lainnya.
V. SOLUSI
Penuhi Kebutuhan Bermain Anak
Dini Usia
Sering kali cara belajar
formal seperti diuraikan di atas dilakukan demi kebanggaan orang tua. Orang tua
bangga bila anaknya disebut juara di kelas, anak dipacu untuk belajar, belajar
dan belajar, supaya menjadi pintar dan menjadi juara. Selain itu guru hendak
“menghabiskan” kurikulum cepat. Tetapi dampak yang diperolehnya dari cara
belajar seperti ini tidak menguntungkan. Dalam arti dampak yang paling ringan
adalah bahwa anak-anak pintar di TK, mungkin pintar di kelas 1, 2 ataupun 3,
tetapi ternyata menurut penelitian oleh Universitas Indonesia (1981), makin
lama menjadi makin tidak pintar di kelas yang lebih tinggi.
Sedangkan mereka yang
kebutuhan permainannya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan
mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunianya lebih lanjut dan menjadi
manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang sesuai potensi yang
dimilikinya, sehingga menjadi manusia yang bermartabat dan mandiri. Lebih dari
itu, ia terlatih untuk terus-menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan
Dengan memasukkan anak dini usia lebih awal dari
usia sekolah yang dipersyaratkan, hanya akan memasung dan memenjarakan anak
lebih awal, dengan kata lain kesempatan untuk menghabiskan masa bermain
dipangkas oleh keinginan orang tua untuk cepat-cepat melihat anaknya masuk
sekolah dasar, padahal itu mungkin membuat anak sukses tetapi belum tentu
membuat anak-anak bahagia.
VI. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa :
- Program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sungguh merupakan program yang sangat populis dan didambakan oleh masyarakat dalam kondisi multi krisis yang menimpa republik ini.
- Program pendidikan gratis yang dicanangkan tersebut diharapkan tidak hanya dalam bentuk tataran wacana dan program yang manis melainkan yang paling penting adalah kongkritisasi dari program tersebut, Karena itu diperlukan adanya political will, political commitment dan political action. sebab Emile Durkheim mengingatkan bahwa Society not exist by rational agreement but trust. No agreement without trust and no contract without trust.
- Wacana pendidikan gratis tidak berarti hanya bertujuan peningkatan aksesibilitas pendidikan semata, melainkan perlu ditunjang perbaikan mutu yang terus menerus, sehingga tercipta masyarakat Indonesia yang cerdas dan kompetetitf. Oleh karenanya, kebijakan pendidikan juga perlu mengacu pada pendidikan terjangkau dan bermutu.
Pembatasan anak sekolah baik dalam hal pembatasan
usia dan pembatasan jumlah dalam suatu sekolah masih diperlukan pengkajian
mendalam guna melahirkan berbagai kebijakan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
phisikologi anak, psikologi social dan tuntutan perkembangan pendidikan itu
sendiri.
No comments:
Post a Comment