Wednesday, June 29, 2011

Mahasiswa Hanya Mengejar Gelar

MELIHAT realitas yang terjadi, khususnya di kalangan perguruan tinggi, mayoritas mahasiswa masih belum mampu memahami identitas sosialnya. Yakni, sebagai generasi dengan sikap progresif dan militansi cukup signifikan untuk mendorong perubahan masyarakat.

Kebanyakan mahasiswa hanya sibuk dengan tugas yang diberikan oleh dosen. Mereka jarang terlibat kegiatan-kegiatan di masyarakat, sehingga tidak mengerti perkembangan di masyarakat itu sendiri.

Mahasiswa harus mampu menyeimbangkan diri terhadap kondisi sosial masyarakat, sehingga kegiatan di kampus tidak semata-mata kuliah  dan kemudian pulang mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen. Di balik itu semua, mahasiswa mempunyai tugas dan peran yang penting dalam masyarakat, terutama untuk kemajuan negara Indonesia.

Fakta yang terjadi di kalangan mahasiswa sekarang sangat berlawanan dengan pandangan masyarakat pada umumnya, tidak memiliki harkat dan martabat tinggi. Karena masih banyak lulusan mahasiswa yang sulit mencari kerja dan bertindak anarkis yang kurang mencermikan agen perubahan.

Pembangunan idealisme akan kesadaran kritis bukanlah yang bersifat progresif terhadap realitas. Peran mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah terdegradasi. Padahal mahasiswa adalah harapan rakyat sebagai regenerasi muda bangsa Indonesia. Akan tetapi, apa yang diinginkan oleh mahasiswa tidak sejalan dengan keinginan rakyat, bahkan rakyat menilai jika mahasiswa itu hanya bisa bertindak anarkis saja.

Sebagian besar mahasiswa di era sekarang ini, hanya mengejar gelar. Mahasiswa seakan-akan tidak peduli dengan segala kebutuhan masyarakat tehadap pemerintah. Hanya segelintir mahasiswa yang masih mau menyalurkan amanat dari masyarakat dengan cara yang baik.

Selain itu mahasiswa sekarang yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan. Hal tersebut terjadi karena pengaruh budaya barat yang tidak terkendali telah meracuni pemuda dan mahasiswa.

Kesimpulannya adalah peran mahasiswa sangat besar, namun mereka kurang sadar akan hal tersebut, sehingga mereka hanya dengan mudahnya menyelesaikan persoalan menggunakan emosi. Lepas dari pandangan buruk tentang mahasiswa, masih banyak mahasiswa yang menggunakan intelektualnya untuk ikut serta membangun masyarakat.

Humanisasi Guru dan Kebangkitan Indonesia


Ilustrasi: ist.

ADA satu ciri khas utama dari intelektual generasi pertama, yakni kesungguhannya dalam mendidik. Pada ciri ini, mendidik tidak disempitkan dalam makna memberi ikan untuk langsung dimasak. Akan tetapi, mendidik diartikan sebagai proses memanusiakan dengan mengajarkan, menuntun bagaimana menggunakan pancing dengan benar.

Jacques Rolland mengatakan, “Bertanya adalah suatu proses latihan berpikir.” Pola pendidikan yang cenderung searah tidak mungkin melahirkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki tradisi berpikir kuat.

Maka esensi pendidikan adalah bertanya. Tanpa bertanya, tak ada pencarian. Karena sejatinya berilmu adalah proses pencarian abadi tentang kebenaran. Dan guru adalah tour guide dalam taman pengetahuan.

Kita dapat melihat bagaimana kiprah HOS Tjokroaminoto yang menjadi guru sekaligus pendidik bagi Soekarno, Kartosuwirjo, dan Semaun. Bagaimana Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari telah melahirkan manusia-manusia hebat.

Hari ini kita mendambakan hadirnya guru-guru agung yang menjadikan kegiatan mendidik sebagai jiwa. Bukan sekedar profesi. Guru yang menjadi kawan dialektika murid-muridnya dan juga partner diskusinya.

Makna seorang pendidik diilustrasikan secara cantik oleh Sokrates yang mengatakan, “Aku ini bukan bidan sekedar bidan. Bukan bidan yang hanya melahirkan bayi-bayi manusia. Tapi aku orang yang membidani lahirnya gagasan-gagasan brilian manusia.”

Guru, tidak hanya mengajar, tapi juga menggugah kesadaran murid. Di tengah samudera skeptisisme massal, adalah guru yang menjadi ujung tombak pengembalian optimisme kebangsaan yang dulu pernah Indonesia miliki.

Maka dari itu, miris hati melihat ribuan guru di Jawa Barat belum mendapatkan tunjangan sejak Juli 2010. Tarik menarik antara kepentingan eksekutif dan legistlatif Jawa Barat menjadikan guru sebagai objek kebijakan. Di sisi lain, anggaran tunjangan yang menjadi polemik pembahasan menimbulkan tanya, apakah perlu ditunda mengingat anggaran tunjangan yang semestinya sudah pasti?

Di titik ini, kiranya kita harus mengingatkan agar negara terlebih dulu memanusiakan guru.