Saturday, October 22, 2011

SBI= Berstandard (atau Bertarif???)….. Standard yang Mana???

Saya mengamini ini…dan saya setuju dengan ini…maka saya memposting ini…semoga bermanfaat….MAJULAH PENDIDIKAN DI INDONESIA KU…. ^_^
(MY YOUNGER SISTER IS STUDYING IN THE FIRST YEAR OF SENIOR HIGH SCHOOL WHICH IS BER SBI” juga…and yes I have  a big Q for it)
Bahasa menunjukkan bangsa. Ini merupakan suatu ungkapan yang sering kita dengar dan diterima secara umum. Dari sudut pandang budaya, menurut saya hal ini dapat kita terima. Tetapi dari sudut pandang dunia modern, kekuatan ekonomilah yang menunjukkan suatu bangsa. Apa hubungan antara bahasa dan ekonomi dalam dunia pendidikan.
Tema diatas merupakan suatu topik yang saya angkat untuk mengungkapkan keprihatinan saya terhadap dunia pendidikan di Indonesia , secara khusus menggaris bawahi program RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional/Sekolah Berstandar Internasional).
Berdasarkan pengertian yang dikeluarkan oleh Kemdiknas, RSBI adalah sekolah nasional yang menyelenggarakan pendidikan berdasar standar nasional pendidikan dan mutu internasional sekaligus. Sedangkan SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia berkualitas Internasional dan lulusannya berdaya saing Internasional.
Beberapa karakteristik yang tercantum dalam program RSBI/SBI ini: menerapkan proses pembelajaran dalam bahasa Inggris, mengadopsi buku teks yang dipakai negara maju, penilaian memenuhi standar internasional. Dengan visi dan misi untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional.
Program RSBI/SBI menjadi suatu pertanyaan besar buat saya:
1. Bahasa Inggris negara mana yang dijadikan acuan oleh sekolah RSBI/SBI? Bahasa Inggrisnya British kah atau Inggrisnya Amerika?
2. Kurikulum “internasional” mana yang diacu oleh sekolah RSBI/SBI? Ini berarti mengacu negara maju yang mana?
Negara-negara mana yang disebut sebagai negara-negara maju? Negara-negara maju atau lebih dikenal sebagai top ten most poweful countries yang didefinisikan berdasarkan kekuatan ekonomi dengan indikator GDP (Gross Domestic Product)/GNP (Gross National Product) sebagai faktor utama, ada 10 negara: USA, China, Federasi Rusia, Prancis, Inggris, India, Jepang, Jerman, Brazil, Italy. Beberapa indikator bisa ditambahkan seperti kekuatan militer, pengaruh negara tersebut di panggung politik, kekuatan nuklir negara tersebut, sumber alam, dan penduduk. Tetapi indikator tertinggi merupakan kekuatan ekonomi negara tersebut untuk dapat disebut sebagai negara powerful. Ini yang saya sebut dalam era modern dengan terminologi “kekuatan ekonomilah yang menunjukkan suatu bangsa”.
Dalam konsep yang dituangkan oleh Kemdiknas, tidak dinyatakan secara tegas mengenai kurikulum pendidikan dari negara maju mana yang diadopsi/diacu oleh RSBI/SBI. Karena bila Indonesia menyatakan secara jelas bahwa kurikulum pendidikan internasional yang diadopsi adalah dari negara, misalnya USA, maka akan ada konsekuensi hukum, dll, antara 2 negara USA - Indonesia, dan Indonesia sadar betul konsekuensi ini di dunia internasional apabila serta merta mencomot nama “USA” dalam kurikulum RSBI/SBI.
Berdasarkan karakteristik RSBI/SBI yang mencantumkan bahasa Inggris sebagai pengantar, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa program RSBI/SBI ini lebih cenderung kepada negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utamanya. Jadi ada 2 negara maju yang menjadi acuan, yaitu Inggris dan Amerika. Inipun dalam konsep RSBI tidak ditegaskan pengantar bahasa Ingris yang mana yang sesungguhnya diacu oleh Indonesia , karena ketika mempelajari kedua bahasa ini ada beberapa idiom yang mempunyai arti yang berbeda. Ini seperti analogi antara bahasa Indonesia dan Malaysia , serupa tapi tak sama. Jangankan dari sudut bahasa, antara negara Inggris dan Amerika sendiripun mempunyai konsep pendidikan kurikulum yang berbeda. Yang kemudian pada pembahasan2 selanjutnya di tingkat pejabat kemdiknas mengundang pakar pendidikan dari Cambridge Education, yang merupakan konsultan pendidikan di Inggris, Amerika dan negara lainnya.
Karakteristik RSBI/SBI juga menyebutkan mengadopsi buku teks yang dipakai negara maju, cara pengadopsian buku teks ini pun tidak jelas, apakah memang dengan bahasa Inggris menjadi jembatan agar siswa terbiasa dengan terminologi ilmiah secara internasional, inipun menurut saya agak aneh, karena banyak istilah ilmiah yang digunakan secara internasional bukan dalam bahasa Inggris seperti “oriza sativa” untuk menyebut “beras” dan bukan “rice”. Ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungannya antara hard science dengan kemampuan bahasa Inggris. Sehingga menjadi pertanyaan, tepatkah karakteristik ini dicantumkan dalam program RSBI/SBI?
Praktek yang terjadi dalam program RSBI/SBI adalah guru-guru “dipaksa” belajar bahasa Inggris serba instan, sehingga sang guru tidak bisa berkomunikasi dengan murid karena bahasa pengantarnya yang “gantung” dan materi mata ajaran tidak bisa dicerna oleh murid karena terjadi salah penafsiran antara bahasa pengantar dan bahasa ilmiah.
Penelitian Dr. McGee secara garis besar menyatakan bagaimana menciptakan superstar student. Menurutnya bila siswa di sekolah menengah atas mengalami kesulitan belajar mata pelajaran seperti matematika, penyebabnya bisa jadi bukan terletak pada kemampuan guru atau IQ siswa. Penelitiannya menunjukkan secara sederhana sering karena siswa tersebut tidak pernah diajarkan bagaimana mempelajarinya, sehingga dengan memberikan solusi teknik-teknik belajar, sang siswa dapat menjadi seorang superstar student. Lalu apa yang bisa kita peroleh dari hal ini?
Memaksa program instan belajar bahasa Inggris para guru tidaklah tepat, apalagi secara umum diketahui kemampuan para guru-guru di Indonesia masih dipertanyakan, kebanyakan dari mereka yang jadi pengajar diterima melalui proses perekrutan KKN yang bukan mengutamakan kualitas. Jadi jangan heran bila banyak para guru yang mengeluh dengan program ini (yang di satu sisi mengeluh karena tidak mampu) ditambah proses belajar yang instan. Bila Pemerintah mau bijaksana melihat akar masalah yang perlu dibenahi dalam pendidikan adalah kualitas para guru lebih dahulu, baru bicara kualitas anak didik. Seharusnya para guru dibekali teknik-teknik mengajar seperti apa yang diteliti oleh Dr Mc Gee. Pemerintah harus membenahi KKN yang masih terjadi terhadap proses perekrutan guru, harus membenahi bagaimana guru yang layak diberi sertifikat pengajar sebagai guru yang memang cakap dan tepat untuk suatu mata pelajaran, membenahi sumber pendidikan penghasil para guru.
Banyak pro dan kontra dari para orangtua, siswa dan masyarakat yang bertanya mengapa harus menggunakan bahasa Inggris, negara Jepang setia dengan bahasa Kanji dan mereka sangat maju. Ada juga yang menyatakan, kita harus menggunakan bahasa Inggris, contohnya negara Filipina yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Tagalog, perekonomian negara ini lumayan “maju”. Menjawab hal ini, menurut saya sederhana, jikalau Indonesia punya posisi ekonomi yang kuat (ekspor lebih besar daripada impor, inovasi teknologi dalam negeri yang berbiaya murah maju pesat, dll), dampaknya kita bisa seperti negara Jepang, memposisikan diri dengan negara lain dalam hubungan simbiosis netralisme.
Tetapi saat kita berada dalam posisi saat ini (boleh dikatakan sebagai negara dengan ekonomi sedikit di atas lemah), kita butuh belajar perkembangan nanoteknologi dari Amerika, kita butuh belajar e-commerce trading dari India, kita butuh belajar teknologi mesin dari Jerman, kita masih butuh barang-barang buatan Cina produk inovasi teknologi murah meriah, pilihan dengan kesombongan seperti Jepang dengan mendewakan bahasa nasional bukanlah pilihan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Saya mengatakan sangat penting bahasa Inggris untuk dipelajari, karena kita sangat membutuhkan informasi dan perkembangan ekonomi, teknologi, kesehatan, dll yang bergerak sangat cepat. Informasi ini dan perkembangannya dapat kita peroleh melalui ribuan jurnal/makalah yang hampir semuanya diterbitkan/ditulis dalam bahasa Inggris, dan para ilmuwan/penulisnya pun kebanyakan berasal dari negara-negara maju diatas.
Kekuatan ekonomi tercipta saya ibaratkan secara sederhana seperti triangle: sumber daya (natural dan non natural termasuk sumber daya manusia), manajemen (meliputi kebijakan2, stuktur, dll) dan posisi dalam dunia global ( technical, social, politic thd negara lain). Ketiganya ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Apabila sumber daya alam yang berlimpah di Indonesia, dikelola oleh sumber daya manusia yang ahli dengan memanfaatkan inovasi yang efisien, yang dimanajemen dengan baik lewat kebijakan-kebijakan pemerintah yang penuh tanggung jawab dan produk yang dihasilkan oleh Indonesia dibutuhkan oleh dunia global, maka Indonesia bisa menempatkan diri sebagai negara maju.
Ambil contoh Jepang, negara ini mempunyai komposisi lebih banyak ilmuwan per 1juta penduduk dibanding dengan negara lain. Struktur pemerintahan menganut pola kerja yang baik, minim biaya birokrasi, etika kerja profesional, produk mereka (mobil, komputer, dll) dibutuhkan dunia internasional. Bandingkan dengan Indonesia , tenaga ahli kurang (kalaupun ada kebanyakan kerja di luar Indonesia ), biaya birokrasi mahal, KKN di segala lapisan, produk yang diandalkan cuma pengiriman TKW ke Arab.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, bisa disimpulkan bahwa ternyata hubungan pendidikan berkorelasi positif dengan kekuatan ekonomi dan bahasa. Dimana semakin maju pendidikan suatu negara, maka semakin maju juga kekuatan ekonomi negara tersebut, berkorelasi positif dengan kedudukan bahasa negara tersebut. Contohnya Cina, pendidikan mereka semakin maju akibat adanya gelombang kembalinya para ilmuwan mereka dari negara Amerika dan Eropa, kekuatan ekonomi mereka semakin kuat maka semakin kuat juga kedudukan bahasa (Mandarin) di negara itu.
Sehingga untuk menjawab bagaimana menciptakan kekuatan ekonomi di Indonesia , salah satunya adalah pengelolaan sdm melalui pendidikan. Lalu apakah dengan program RSBI/SBI ini bisa menjawab kebutuhan sdm Indonesia yang lebih baik. Ternyata tidak, prakteknya program inipun menjadi ajang jual beli status bagi pihak sekolah dan para pejabat/pegawai di Kemdiknas. Membuat biaya sekolah yang dibayar orangtua siswa semakin mahal, mutu sekolah dipertanyakan. Di tingkat sekolah, status inipun menjadi ajang jual beli antara pihak sekolah dan orangtua siswa.
Ada sekolah swasta di Indonesia yang dengan tegas menyatakan mengadopsi kurikulum pendidikan negara Australia menghadapi dilema dengan kebijakan dari Kemdiknas. Sekolah ini mempertahankan materi pendidikan dari luar ditambah mata ajaran yang diwajibkan oleh Kemdiknas untuk diberikan ke siswa, bila tidak ijin sekolah ditutup. Kembali yang menjadi korban adalah siswa, beban belajar di sekolah tinggi akibat tuntutan kurikulum pendidikan luar ditambah beban jam lebih lama disekolah karena mata ajaran yang tidak termasuk dalam kurikulum luar harus dipelajari karena diwajibkan oleh Kemdiknas.
Mencermati masalah nomor dua di atas, bila kurikulum RSBI/SBI tidak jelas mengadopsi kurikulum pendidikan salah satu negara maju di atas, apakah memang masih layak disebut sebagai RSBI/SBI? Dan bila memang mengadopsi kurikulum pendidikan RSBI/SBI yang katanya mengacu kepada kurikulum pendidikan Cambridge (yang kenyataannya tidak), maka mata pelajaran seperti PKn Pancasila, Agama, dll seharusnya sudah tidak ada lagi, prakteknya mata pelajaran ini tetap diajarkan di sekolah, dan ini bukan mata pelajaran yang berstandar internasional. Ini menjadi PR bagi dunia pendidikan kita, apakah siap untuk menghapuskan materi pelajaran tersebut guna memenuhi standar pendidikan internasional? Di samping itupun bila ada mengadopsi pendidikan Cambridge , paling tidak sistem penilaian siswa yang ada sekarang dibenahi. Dua siswa sekolah high school yang berbeda disekitar tempat saya tinggal, saya tanya bagaimana pihak sekolah mereka memberikan penilaian buat siswanya, saya simpulkan ternyata mereka menggunakan sistem penilaian distribusi normal. Bandingkan dengan sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan sistem range yang menggunakan nilai 0-10 atau 100, dan membuat batas minimum lulus dari range nilai tersebut. Secara psikologis model penilaian siswa pun ternyata memberi dampak yang berbeda buat siswa. Kembali dipertanyakan apakah sistem pendidikan nasional kita siap dengan model penilaian seperti ini?

Lalu apakah program RSBI/SBI salah? Saya katakan tidak, para orangtua siswa/siswa sendiri pasti menginginkan memperoleh pendidikan dengan kualitas internasional. Tetapi praktek yang terjadi sekarang justru membuang uang negara dengan sia-sia, masa depan negara Indonesia dan masa depan siswa-siswa dikorbankan tanpa output yang jelas.
Bila memang konsep RSBI/SBI tetap dijalankan, menurut saya seharusnya pendidikan Indonesia dengan jelas menyatakan konsep pendidikan internasional (negara maju mana) yang dijalankan. Misalnya, kembali mengacu kepada pendidikan di USA , artinya siswa Indonesia yang bersekolah di RSBI/SBI, nilai-nilai yang diperolehnya diakui untuk melanjutkan studi di universitas di Amerika, tanpa harus menyerahkan nilai GMAT dan TOEFL. Begitu juga dalam dunia kerja, keahlian siswa misalnya lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) SBI memang diakui untuk kerja sesuai keahliannya di negara maju.
Sehingga usaha keras belajar siswa-siswa tidak sia-sia, dan dana negara/orangtua tidak percuma. Bila ini dapat dicapai, maka tepatlah kiranya visi dan misi RSBI/SBI menghasilkan lulusan yang dapat bersaing didunia internasional.
Dari hal-hal di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa RSBI/SBI adalah program yang salah konsep dan salah penerapan di lapangan. Sungguh disayangkan bahwa uang yang dibayarkan oleh para pembayar pajak dibuang sia-sia oleh program Kemdiknas. Anggaran pendidikan semakin besar, tetapi kualitas pendidikan semakin menurun. Pemerintah Indonesia seharusnya memahami betul korelasi antara kekuatan ekonomi dengan dunia pendidikan, sehingga bisa memandang bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang harus dipermainkan dengan program-program yang tidak jelas konsepnya.
Pemerintah melakukan kebohongan publik dengan program ini. Para orangtua dan siswa dibodohi dengan status RSBI/SBI. Menurut saya tidak perlu harus jauh-jauh membayar mahal pakar pendidikan dari Cambridge datang ke Indonesia , mengapa tidak melihat contoh terdekat negara Malaysia . Pendidikan mereka sangat maju.
Saatnya mengatakan tidak kepada Pemerintah dengan program-program yang membuang uang negara. Para orangtua mari bersatu, jangan mau dibutakan dan dibodohi oleh status sekolah. Para guru-guru bersatulah, bicara kepada hati nuranimu jangan mau menjadi korban politik kotor para pejabat di Kemdiknas. Siswa-siswa mari perjuangkan masa depanmu yang sangat berharga, engkau bukan objek suatu program uji coba, engkau adalah subjek penentu masa depan bangsa ini. Semua untuk Indonesia yang lebih baik.

No comments: