Wednesday, July 31, 2013

IMPLEMENTASI KTSP DI LAPANGAN


A.    PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat terpengaruh oleh perubahan, perubahan sangat cepat. Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita menjadi terdorong masyarakat yang memasuki complex adaptive system yang.
Era reformasi dalam konteks nasional terasa getarannya  seperti perubahan radikal, terasa pula ada penjungkir balikkan nilai-nilai yang telah kita miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.
Kita merasakan krisis multidimensional  melanda kita, dibidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.
Dalam keadaan seperti sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap anti sosial, anti kemapanan dan kontra produktif serta goyah dalam keseimbangan ratio dan emosinya.
Bagi kita bangsa yang masih sadar, sabar dan tawakal perlu melaksanakan diagnosis terhadap sikap dan perilaku yang menyimpang dari norma dan moral  yang kurang terkendali ini. Perlu dipola terapi  yang tepat melalui senyum karakter bangsa dan pendekatan keakraban nasional, mengikuti ungkapan seorang negarawan Amerika Serikat (Edward Kennedy) ” We are one nation in a sorrow”. Mari dalam rasa keprihatinan nasional  sekarang ini kita bersatu padu agar derita dari segala bencana yang menimpa bangsa Indonesia baik fisik maupun mental  terutama dalam kesulitan himpitan ekonomi.


B.     TERAPI MENTAL BANGSA DENGAN JIWA OPTIMIS
Langkah dan upaya penyembuhan dari penyimpangan perilaku fisik  dan mental psikologis bangsa ini kita mulai dengan pendekatan agama, pendidikan dan kesejahteraan material dan spiritual. Yang utama memerlukan perhatian adalah membangkitkan kesadaran jiwa untuk menggairahkan peran hati nurani kita sebagai mahluk Tuhan, sebagai pribadi dan sebagai bangsa Indonesia. Kemudian perbaiki manajemen pendidikan nasional, semua harus sepakat mau dibawa kemana bangsa ini dengan pendidikan, semua berhemat dengan biaya pendidikan. Semua harus jadi pendidik, jadi guru dan sekaligus jadi murid. Inilah revolusi pembelajaran yang inovatif yang dapat mendorong anak didik untuk belajar yang menyenangkan aktif dan produktif.
Dengan demikian diperlukan paradigma baru dalam manajemen pendidikan, mengembangkan interaksi edukatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat agar terbina proses pembinaan pendidikan bagi anak didik dalam tanggung jawab bersama. Kesan nilai edukatif pada jiwa dan intelek anak didik harus yang menjadi kebutuhan dalam menata cita-cita kehidupan yang bermanfaat lahir batin, karena mereka memiliki kesan nilai dan moral kehidupan yang disebut ”The Golden Rules” (Lawrence Kohlberg, 1976).
Paradigma pendidikan masa sekarang yang sangat kita butuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan spirit. Kalau seluruh bangsa berkehendak untuk mengembalikan suasana persatuan dan kesatuan bangsa yang kondusif dan patriotik, maka sangatlah urgen untuk menata kembali politik pendidikan nasional. Tingkatkan dan kembangkan kembali pendidikan politik bangsa yang patriotis, agamis, ideologis dan berjiwa optimis.
Sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan paradigma tersebut, paper ini ingin merekomendasikan untuk mengembangkan : 1. Pendidikan Nilai (Agama, ideologi, dan budaya) bangsa, 2.  Pendidikan Karakter, 3. Menyempurnakan Model penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dalam pelaksanaannya dalam program pembelajaran, dipercayakan kepada sekolah (Kepala Sekolah dan Guru) untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis nilai (value based).

C.    INOVASI PEMBELAJARAN DENGAN MATERI, METODE, MEDIA DAN KURIKULUM
Tiga cara pengayaan
Bagi keseimbangan manfaat dari hasil pembelajaran yang dimiliki peserta didik, maka pengembangan pengayaan materi sangat diharapkan dari peran dan inisiatif kepala sekolah dan guru. Langkah ini merupakan isyarat dan keniscayaan untuk dikembangkan dalam implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); terutama melalui :
1.      Pendidikan Nilai
a.       Dengan kepiawaian guru sebagai the hidden curriculum nilai dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran, apakah nilai keagamaan, nilai ideologi atau nilai budaya.
b.      Dengan kepiawaian guru pula, maka setiap penjelasan, contoh, pemahaman dan tindakan perilaku baik yang berhubungan dengan pelajaran maupun dalam kehidupan tidak bebas nilai (value free).
c.       Dalam keteladanan orang dewasa dihadapan peserta didik, selalu harus memiliki nilai wibawa yang dapat melahirkan nilai etika sebagai sosok anutan yang memiliki ego ideal yang mengesankan anak didik.
Mengenai materi yang bersumber dari agama, ideologi dan budaya ini dapat dikembangkan menjadi alat perekat batin bangsa, melalui hubungan personal, interpersonal dan komunikasi sosial.
Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (axiologi, theory of value), karena nilai merupakan salah satu bidang kajian filsafat. Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Oleh karenanya, maka secara sederhana nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik.
Shaver dan Strong, 1982 (dalam Al Rasyidin (2005:34), memandang nilai sebagai sejumlah ukuran dan prinsip-prinsip yang kita gunakan utnuk menentukan keberhargaan sesuatu. Standar dan prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk menilai  segala sesuatu (baik itu orang, objek, gagasan, tindakan, amupun situasi) sehingga hal-hal tersebut bisa dikatakan baik, berharga, dan layak atau tidak baik, baik berguna dan hina, atau segala sesuatu yang berada di antara titik ekstrim keduanya.
Standar-standar nilai yang dihasilkan adalah standar tentang sesuatu yang dianggap lebih baik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekanto (1983:161) bahwa nilai berkaitan dengan standar-standar tentang sesuatu yang lebih baik yang mencakup tentang baik atau buruk, cantik atau jelek, menyenangkan atau tidak menyenangkan, sesuai atau tidak sesuai.

2.      Pendidikan Karakter
Menurut Bambang Nurokhim (artikel Cakrawala TNI AL, 2007:3), tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan  dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan, tetapi lebih dari itu, yang diutamakan adalah penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
Nilai-Nilai yang Diajarkan dalam Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.
Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu : 1) moral awareness, 2) knowing moral values, 3) perspective taking, 4) moral reasoning, 5) decision making, dan 6) self knowledge.
Moral feeling. Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter yakni :           1) conscience, 2) self esteem, 3) emphaty, 4) loving the good, 5) self control, dan 6) humility.
Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu: Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu : 1)  kompetensi (competence), 2) keinginan (will), 3) kebiasaan (habit).
Untuk itu dalam deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika yang meliputi :
1)      dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),
2)      memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
3)      bertanggungjawab (responsible),
4)      adil (fair),
5)      kasih sayang (caring) dan
6)      warganegara yang baik (good citizen)
Tentang pendidikan karakter inipun, dengan kepiawaian guru dapat dijadikan rujukan untuk bahan pengayaan dalam proses pembelajaran setiap mata pelajaran dan perilaku serta keteladanan orang dewasa, karena pendidikan karakter lebih mendalam tentang pendidikan moral.

3.      Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum ini disebut juga kurikulum 2006 untuk persekolahan, kurikulum ini bersifat terbuka, demokratis, jelas dan mudah dipahami dan dikemangkan oleh guru.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sebagai Paradigma Baru
Dasar hukum munculnya KTSP adalah Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2006. Permendiknas No. 22 adalah tentang SKL (Standar Kompetensi Lulusan) sedangkan No. 23 adalah Standar isi. Permendiknas No. 24 adalah bagaimana cara menjalankan Permendiknas No. 22 dan 23. Dilihat dari konteksnya, KTSP adalah penyempurnaan dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) maupun kurikulum 1994. Dikatakan ”penyempurnaan” dikarenakan :
a.         Pada kurikulum 1994, pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, seperti urutan-urutan materi pelajaran beserta dengan lamanya tatap muka, semuanya ditentukan oleh pemerintah sehingga terjadi kerancuan-kerancuan dalam pelaksanaannya. Kompetensi manusia disamaratakan, seperti halnya pada pedoman kenaikan kelas, rata-rata nilai minimal siswa harus 6,0, padahal Allah SWT menciptakan manusia dengan kompetensi yang berbeda-beda (Waladzi Qodaro Fahada), sehingga muncullah angka-angka 6,0 yang dipaksakan.
b.        Pada kurikulum 2004, KBK, mulai dimunculkan SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal) yang nota bene benar adanya bahwa kompetensi manusia itu diciptakan Allah berbeda-beda. Hanya sayang dalam kurikulum 2004 (KBK) ini masih memunculkan INDIKATOR yang nota bene INDIKATOR tersebut mesti dicapai karena merupakan penjabaran dari SPM (Standar Pelayanan Minimal) sehingga tidak terpikirkan apabila di suatu sekolah yang sarana dan prasarananya belum ada, maka INDIKATOR tersebut tidak mungkin dapat tercapai.
c.         Pada kurikulum 2006, (KTSP) lebih terlihat lagi penyempurnaannya, karena semua komponen diatur/diserahkan kepada guru kecuali untuk STANDAR KOMPETENSI & KOMPETENSI DASAR. Guru diberikan kewenangan membuat urutan-urutan materi pelajaran dan waktu pembelajarannya oleh diri mereka sendiri. SKBM yang muncul di Kurikulum 2004 (KBK) diganti menjadi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang ditentukan dengan tiga kriteria yakni:
1)        Intake (nilai masukan siswa)
2)        Kompleksitas Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
3)        Sarana pendukung.
             KTSP dibagi ke dalam dua dokumen:
1)        Dokumen satu, terdiri dari landasan, kerangka dan struktur yang dibuat oleh Kepala sekolah dan para Wakasek.
2)        Dokumen dua, terdiri dari silabus dan RPP yang harus dibuat oleh semua guru.

No comments: