A.
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi, seluruh aspek
kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat
terpengaruh oleh perubahan, perubahan sangat cepat. Dalam dunia pendidikan,
proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita menjadi terdorong
masyarakat yang memasuki complex adaptive
system yang.
Era reformasi dalam konteks nasional
terasa getarannya seperti perubahan
radikal, terasa pula ada penjungkir balikkan nilai-nilai yang telah kita
miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal
ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau
reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.
Kita merasakan krisis
multidimensional melanda kita, dibidang
politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar,
nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula
pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.
Dalam keadaan seperti sekarang ini sering
tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi
rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap anti sosial,
anti kemapanan dan kontra produktif serta goyah dalam keseimbangan ratio dan
emosinya.
Bagi kita bangsa yang masih sadar, sabar
dan tawakal perlu melaksanakan diagnosis terhadap sikap dan perilaku yang
menyimpang dari norma dan moral yang
kurang terkendali ini. Perlu dipola terapi
yang tepat melalui senyum karakter bangsa dan pendekatan keakraban
nasional, mengikuti ungkapan seorang negarawan Amerika Serikat (Edward Kennedy)
” We are one nation in a sorrow”.
Mari dalam rasa keprihatinan nasional
sekarang ini kita bersatu padu agar derita dari segala bencana yang
menimpa bangsa Indonesia baik fisik maupun mental terutama dalam kesulitan himpitan ekonomi.
B.
TERAPI MENTAL BANGSA DENGAN JIWA OPTIMIS
Langkah dan upaya penyembuhan dari
penyimpangan perilaku fisik dan mental
psikologis bangsa ini kita mulai dengan pendekatan agama, pendidikan dan
kesejahteraan material dan spiritual. Yang utama memerlukan perhatian adalah
membangkitkan kesadaran jiwa untuk menggairahkan peran hati nurani kita sebagai
mahluk Tuhan, sebagai pribadi dan sebagai bangsa Indonesia. Kemudian perbaiki
manajemen pendidikan nasional, semua harus sepakat mau dibawa kemana bangsa ini
dengan pendidikan, semua berhemat dengan biaya pendidikan. Semua harus jadi
pendidik, jadi guru dan sekaligus jadi murid. Inilah revolusi pembelajaran yang
inovatif yang dapat mendorong anak didik untuk belajar yang menyenangkan aktif
dan produktif.
Dengan demikian diperlukan paradigma baru
dalam manajemen pendidikan, mengembangkan interaksi edukatif antara keluarga,
sekolah dan masyarakat agar terbina proses pembinaan pendidikan bagi anak didik
dalam tanggung jawab bersama. Kesan nilai edukatif pada jiwa dan intelek anak
didik harus yang menjadi kebutuhan dalam menata cita-cita kehidupan yang
bermanfaat lahir batin, karena mereka memiliki kesan nilai dan moral kehidupan
yang disebut ”The Golden Rules” (Lawrence Kohlberg, 1976).
Paradigma pendidikan masa sekarang yang
sangat kita butuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan
spirit. Kalau seluruh bangsa berkehendak untuk mengembalikan suasana persatuan
dan kesatuan bangsa yang kondusif dan patriotik, maka sangatlah urgen untuk
menata kembali politik pendidikan nasional. Tingkatkan dan kembangkan kembali
pendidikan politik bangsa yang patriotis, agamis, ideologis dan berjiwa
optimis.
Sebagai sumbangan pemikiran bagi
pelaksanaan paradigma tersebut, paper ini ingin merekomendasikan untuk
mengembangkan : 1. Pendidikan Nilai (Agama, ideologi, dan budaya) bangsa,
2. Pendidikan Karakter, 3.
Menyempurnakan Model penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang dalam pelaksanaannya dalam program pembelajaran, dipercayakan kepada
sekolah (Kepala Sekolah dan Guru) untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis
nilai (value based).
C.
INOVASI PEMBELAJARAN DENGAN MATERI,
METODE, MEDIA DAN KURIKULUM
Tiga cara pengayaan
Bagi keseimbangan manfaat dari hasil pembelajaran
yang dimiliki peserta didik, maka pengembangan pengayaan materi sangat diharapkan
dari peran dan inisiatif kepala sekolah dan guru. Langkah ini merupakan isyarat
dan keniscayaan untuk dikembangkan dalam implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP); terutama melalui :
1. Pendidikan Nilai
a. Dengan kepiawaian guru sebagai the hidden curriculum nilai dapat
diintegrasikan dengan mata pelajaran, apakah nilai keagamaan, nilai ideologi
atau nilai budaya.
b. Dengan kepiawaian guru pula, maka setiap
penjelasan, contoh, pemahaman dan tindakan perilaku baik yang berhubungan
dengan pelajaran maupun dalam kehidupan tidak bebas nilai (value free).
c. Dalam keteladanan orang dewasa dihadapan
peserta didik, selalu harus memiliki nilai wibawa yang dapat melahirkan nilai
etika sebagai sosok anutan yang memiliki ego ideal yang mengesankan anak didik.
Mengenai materi yang bersumber dari agama,
ideologi dan budaya ini dapat dikembangkan menjadi alat perekat batin bangsa,
melalui hubungan personal, interpersonal dan komunikasi sosial.
Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas
dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (axiologi, theory of value), karena nilai
merupakan salah satu bidang kajian filsafat. Filsafat sering juga diartikan
sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat
dipakai untuk menunjukkan kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau
kebaikan. Oleh karenanya, maka secara sederhana nilai dapat diartikan sebagai
sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta
dianggap baik.
Shaver dan Strong, 1982 (dalam Al Rasyidin
(2005:34), memandang nilai sebagai sejumlah ukuran dan prinsip-prinsip yang
kita gunakan utnuk menentukan keberhargaan sesuatu. Standar dan prinsip-prinsip
tersebut digunakan untuk menilai segala
sesuatu (baik itu orang, objek, gagasan, tindakan, amupun situasi) sehingga
hal-hal tersebut bisa dikatakan baik, berharga, dan layak atau tidak baik, baik
berguna dan hina, atau segala sesuatu yang berada di antara titik ekstrim
keduanya.
Standar-standar nilai yang dihasilkan
adalah standar tentang sesuatu yang dianggap lebih baik, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soekanto (1983:161) bahwa nilai berkaitan dengan
standar-standar tentang sesuatu yang lebih baik yang mencakup tentang baik atau
buruk, cantik atau jelek, menyenangkan atau tidak menyenangkan, sesuai atau
tidak sesuai.
2. Pendidikan Karakter
Menurut Bambang Nurokhim (artikel
Cakrawala TNI AL, 2007:3), tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga
dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu,
perlu menyambung kembali hubungan dan educational
networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan
berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan
keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga
sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus
lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali
menjadi school of love, sekolah untuk
kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan
kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah). Sedangkan pendidikan
karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan, tetapi
lebih dari itu, yang diutamakan adalah penanaman moral, nilai-nilai etika,
estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Selanjutnya menerapkan
pendidikan berdasarkan karakter (character
base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping
mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran Agama,
Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
Nilai-Nilai yang Diajarkan dalam Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona (1992)
menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa
didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebajikan.
Moral
Knowing. Terdapat enam hal
yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu : 1) moral awareness, 2) knowing moral values, 3) perspective
taking, 4) moral reasoning, 5) decision making, dan 6) self knowledge.
Moral
feeling. Terdapat enam hal
yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk
menjadi manusia yang berkarakter yakni : 1) conscience, 2) self esteem, 3)
emphaty, 4) loving the good, 5) self
control, dan 6) humility.
Moral
Action.
Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa
yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter
yaitu: Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing
yaitu : 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will), 3) kebiasaan (habit).
Untuk itu dalam deklarasi Aspen dihasilkan
enam nilai etik utama (core ethical
values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di
Amerika yang meliputi :
1) dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),
2) memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
3) bertanggungjawab (responsible),
4) adil (fair),
5) kasih sayang (caring) dan
6) warganegara yang baik (good citizen)
Tentang pendidikan karakter inipun, dengan
kepiawaian guru dapat dijadikan rujukan untuk bahan pengayaan dalam proses
pembelajaran setiap mata pelajaran dan perilaku serta keteladanan orang dewasa,
karena pendidikan karakter lebih mendalam tentang pendidikan moral.
3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum ini disebut juga kurikulum 2006
untuk persekolahan, kurikulum ini bersifat terbuka, demokratis, jelas dan mudah
dipahami dan dikemangkan oleh guru.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Sebagai Paradigma Baru
Dasar hukum munculnya KTSP adalah
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2006. Permendiknas No. 22 adalah tentang
SKL (Standar Kompetensi Lulusan) sedangkan No. 23 adalah Standar isi.
Permendiknas No. 24 adalah bagaimana cara menjalankan Permendiknas No. 22 dan
23. Dilihat dari konteksnya, KTSP adalah penyempurnaan dari KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) maupun kurikulum 1994. Dikatakan ”penyempurnaan”
dikarenakan :
a.
Pada
kurikulum 1994, pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan
kebijakan-kebijakannya, seperti urutan-urutan materi pelajaran beserta dengan
lamanya tatap muka, semuanya ditentukan oleh pemerintah sehingga terjadi
kerancuan-kerancuan dalam pelaksanaannya. Kompetensi manusia disamaratakan,
seperti halnya pada pedoman kenaikan kelas, rata-rata nilai minimal siswa harus
6,0, padahal Allah SWT menciptakan manusia dengan kompetensi yang berbeda-beda
(Waladzi Qodaro Fahada), sehingga
muncullah angka-angka 6,0 yang dipaksakan.
b.
Pada
kurikulum 2004, KBK, mulai dimunculkan SKBM (Standar Ketuntasan Belajar
Minimal) yang nota bene benar adanya bahwa kompetensi manusia itu diciptakan
Allah berbeda-beda. Hanya sayang dalam kurikulum 2004 (KBK) ini masih
memunculkan INDIKATOR yang nota bene INDIKATOR tersebut mesti dicapai karena
merupakan penjabaran dari SPM (Standar Pelayanan Minimal) sehingga tidak
terpikirkan apabila di suatu sekolah yang sarana dan prasarananya belum ada,
maka INDIKATOR tersebut tidak mungkin dapat tercapai.
c.
Pada
kurikulum 2006, (KTSP) lebih terlihat lagi penyempurnaannya, karena semua
komponen diatur/diserahkan kepada guru kecuali untuk STANDAR KOMPETENSI &
KOMPETENSI DASAR. Guru diberikan kewenangan membuat urutan-urutan materi
pelajaran dan waktu pembelajarannya oleh diri mereka sendiri. SKBM yang muncul
di Kurikulum 2004 (KBK) diganti menjadi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang
ditentukan dengan tiga kriteria yakni:
1)
Intake
(nilai masukan siswa)
2)
Kompleksitas
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
3)
Sarana
pendukung.
KTSP
dibagi ke dalam dua dokumen:
1)
Dokumen
satu, terdiri dari landasan, kerangka dan struktur yang dibuat oleh Kepala
sekolah dan para Wakasek.
2)
Dokumen
dua, terdiri dari silabus dan RPP yang harus dibuat oleh semua guru.
No comments:
Post a Comment