Dalam era globalisasi, seluruh aspek
kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat
terpengaruh oleh perubahan, perubahan yang sangat cepat. Dalam dunia
pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita
terdorong menjadi masyarakat yang memasuki complex
adaptive system.
Era reformasi dalam konteks nasional
terasa getarannya seperti perubahan
radikal, terasa pula ada penjungkir balikkan nilai-nilai yang telah kita
miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal
ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau
reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.
Kita merasakan krisis multidimensional
melanda kita, dibidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan
keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa
kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa
tersendat, discontinue, unlinier dan
unpredictable.
Globalisasi
mencakup terjadinya peningkatan mobilitas manusia, di mana lebih banyak dan
lebih banyak orang lagi mampu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, bukan
saja sebagai migran yang mencari rumah baru, tetapi sebagai orang-orang yang
singgah, mengunjungi negara-negara yang berbeda, di mana mereka tinggal dalam
waktu yang lebih pendek. Akibatnya bagi banyak negara adalah pertumbuhan
keragaman populasi penduduk dan memberi tekanan yang mendukung pada terjadinya
ketertarikan penduduk untuk tinggal di luar negeri. Model-model demokrasi yang
sudah umum telah dibentuk oleh beberapa generasi terdahulu dan secara memadai
berhasil menanggulangi problem-problem baru yang digerakkan oleh modernisasi
dan globalisasi. Perkembangan yang terjadi menuntut kita akan perlunya berpikir
tentang jalan baru untuk mengorganisasikan demokrasi supaya menjadi lebih
efektif.
Globalisasi
dalam konteks kehidupan manusia menyangkut banyak aspek yang dalam, yang
melintas ke luar batas-batas Negara. Lingkup yang demikian luas telah
memberikan persoalan-persoalan yang kompleks yang berkaitan dengan kedaulatan
suatu Negara dan kewarganegaraannya, perbedaan etnik dan adanya
etno-nasionalisme serta pengaturan-pengaturan hubungan yang terjadi di dalam
tata-cara demokrasi bernegara.
Perbedaan
etnik berhubungan dengan adanya keragaman dan etno-nasionalisme. Konflik etnik
dan nasionalisme merupakan sisa-sisa konflik di masa lalu, yang terjadi
diantara masyarakat yang telah menetap lama di suatu wilayah dengan masyarakat
yang lain. Perbedaan etnik normalnya bukanlah fokus persoalan, meskipun tidak
diragukan hal tersebut sering terjadi dan menimbulkan ketegangan yang
disebabkan oleh persoalan etnik. Masalah yang dihadapi sekarang digerakkan oleh
adanya perbedaan etnik yang berhubungan dengan terjadinya modernisasi dan
globalisasi. Untuk melihat kebenaran hal tersebut kita harus melihat fakta umum
yang ada mengenai perbedaan budaya yang telah ada sejak adanya peradaban
manusia yang memunculkan masalah penduduk perkotaan dan pluralisme etnik.
Modernitas membawa perubahan secara kualitatif berdasar pada sumber legitimasi
untuk memerintah, dan globalisasi memperluas perubahan tersebut di seluruh
dunia. Secara tradisional semua peradaban, anggota dari komunitas yang berbeda
hidup bersama secara simbolik. Konflik besar meletus diantara para elite yang
berkuasa, yang bergantung pada bawahannya, sebagai klien atau
pembantu-pembantunya dengan mengabaikan perbedaan budaya untuk mendukung
perjuangan antar elite.
Masyarakat
tradisional mengenal adanya kasta-kasta, seperti misalnya di India. Modernisasi
telah mengikis hubungan dalam bentuk tersebut dengan berdasar pada akar
prinsip-prinsip persamaan dan individualisme. Dalam konteks ini, perbedaan
budaya telah menjadi lebih bermuatan politik. Anggota dari kelompok masyarakat
mulai mengharapkan kesempatan yang sama dalam hidup dan melihat kelompok
lainnya sebagai rival atau musuh yang potensial. Kebenaran yang di aturkan oleh
raja diganti oleh kebenaran manusia sebagai individu. Transformasi ini terjadi
tidak dalam sekejap, dimulai di Barat dan globalisasi menyebar cepat keseluruh
wilayah di bumi. Konflik fundamental yang terjadi meliputi konflik kedaulatan,
nasionalisme, konflik manajemen dan rancangan konstitusi.
Pergeseran
kedaulatan populer telah meningkatkan pertanyaan mendasar mengenai status Negara
dan kewarganegaraan. Jika orang memiliki kedaulatan maka mereka harus
mengorganisasi dirinya sendiri dan menggunakan kekuasaannya, dan memiliki
perwakilan dan menstabilkan batas-batas Negara tempat pemerintahan dibangun.
Kedaulatan Negara meliputi jurisdikasi ekslusif oleh regime terhadap warganegaranya
dan memiliki kekebalan terhadap intervensi oleh Negara lain.
Pemahaman
yang lebih mendalam mengenai hal tersebut dapat diperoleh dengan mempelajari
proses pergeseran kedaulatan dari raja ke kedaulatan individu, yang terjadi di
dalam masyarakat modern, di mana tiap individu memiliki hak yang sama sebagai
warga negara. Bagaimana legitimasi Negara dengan pemerintahan perwakilan
diperoleh dari penduduknya yang menggunakan kedaulatannya melalui pendelegasian
dalam perwakilan.
Tuntutan
adanya persamaan dalam hukum diantara warganegara memiliki sejarah yang
panjang. Sangat sulit untuk membahas hal tersebut karena istilah warganegara
yang terkait dengan satu Negara banyak (pendatang) yang tidak memiliki status
legal, rasialisme. Rasialisme telah menyebar luas dan memainkan peran penting
di dalam keragaman etnik dan nasionalisme. Rasialisme berlangsung sebagai
prasangka irasional, tetapi sebagian berargumentasi bahwa perbedaan rasial
telah menyediakan legitimasi untuk mengeluarkan suatu komunitas dari kewarganegaraan
suatu Negara.
Orang mampu
menegakkan kedaulatannya hanya ketika mereka memiliki cita rasa yang berdasar
pada adanya kehendak untuk berbagi nilai-nilai dan adat-kebiasaan, dan menjadi
konsep dari bangsa itu sendiri. Di sini Negara diartikan sebagai suatu
komunitas yang anggota-anggotanya memiliki tuntutan untuk dapat membangun
dirinya sendiri. Anggota dari suatu Negara disebut sebagai ‘nationals’ yang didefinisikan sebagai
anggota suatu bangsa.
Pada
prinsipnya suatu Negara harus merepresentasikan suatu bangsa dan tiap bangsa
harus memiliki Negara. Jika idealisme ini akan diaktualisasikan maka akan
menciptakan Negara bangsa (nation-state).
Utopia idealisme membawa pada paradoks pada dua strategi yang berseberangan. Negara
yang sudah ada menuntut menggunakan kedaulatan untuk menciptakan bangsa-bangsa
dengan menghancurkan anggota-anggotanya yang tidak nasional. Sedangkan
kebalikannya komunitas-komunitas lebih berkehendak untuk meningkatkan pengakuan
sebagai bangsa, tetapi tidak menggunakan tuntutan kedaulatan dalam upaya
memperjuangkan status Negara bagian. Kita melihat dampak proses terdahulu
sebagai Negara bangsa (state nations)
dan yang terakhir sebagai Negara etnik (ethnic
nations).
Perbedaan ini
memungkinkan untuk mengidentifikasi perbedaan dua nasionalisme. Negara bangsa (state-nation) mengembangkan nasionalisme
Negara, sedangkan Negara ethnic (ethnic
nation) mengembangkan nasionalisme etnik. Negara nasional umurnya lebih
tua, dan lebih mapan serta di banyak Negara elite yang berkuasa telah
berasimilasi atau mengeliminasi etnik minoritas. Nasionalisme etnik merupakan
fenomena sekarang. Negara baru muncul ditengah keruntuhan kerajaan yang
menyebabkan terjadinya mobilisasi dan permintaan untuk kemerdekaan
komunitas-komunitas dan globalisasi telah mempercepat munculnya bangsa etnik (ethnic-nation) ini.
Memberdayakan
demokrasi untuk etnik minoritas agar berpartisipasi dalam memantapkan proses
pengambilan keputusan, memuaskan permintaan kaum etno-nasionalis yang menolak
kewarganegaraan dan permintaan kemerdekaan bukanlah hal yang mudah.
Pemerintahan parlementer dan mereka yang mengorganisasi dengan dasar pemisahan
kekuasaan (presidentialism), jelas
menunjukkan bahwa yang pertama tampaknya mampu mengelola masalah kewarganegaraan
secara efektif terhadap komunitas minoritas. Dalam masyarakat etnik yang
bermacam-macam mungkin mereka dapat menangani otonomi (atau kemerdekaan) pada
bangsa ethnik, tetapi ini tidak cukup jelas. Demokrasi dapat menguasai
perbedaan etnik dengan anggota distrik pemilihan. Kaum minoritas dapat
mengutarakan suaranya melalui kedudukannya di parlemen, yang juga seringkali
melalui partisipasinya dalam kabinet koalisi.
Argumen
mengenai adanya keragaman dan perwakilan yang proporsional dapat dilihat dalam
dua pertimbangan, yaitu pertimbangan empirik dan pertimbangan teoritik. Pada
pertimbangan empirik kita dapat melihat Negara-negara yang menggunakan sistem
perwakilan proporsional. Sistem perwakilan proporsional menghasilkan sistem
partai yang sifatnya sentrifugal yang memperlihatkan selalu ketidak-berfungsian
dalam memelihara presidentialisme. Lebih dari itu baik presiden maupun kongres
tampaknya memiliki sistem untuk menghadapi dinamika partai. Pada tatanan teori
konklusi yang sama juga muncul. Di dalam pemilihan presiden adalah penting
untuk memobilisasi konsensus dalam mendukung pimpinan yang dapat menjadi
pemimpin dari Negara bagian, sebaik dukungan untuk menjadi kepala pemerintahan.
Di bawah sistem perwakilan proporsional hampir tidak mungkin hal itu terjadi.
Kandidat atau calon utama hanya pilihan kedua atau ketiga bagi banyak pemilih.
Bagi kongres, perwakilan proporsional akan menghasilkan kelipatan jumlah partai
dan meningkatkan kesulitan dalam menjamin mayoritas dalam mendukung legislasi.
Lebih dari itu perwakilan partai kecil akan menemukan dirinya selalu tidak
terpilih dan termarjinalkan yang membawa pada pengasingan dan negativisme.
Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kabinet koalisi
seperti pada pemerintahan parlementer.
Di banyak
pemerintahan demokratik terdapat komunitas-komunitas etnik yang merasakan dirinya
termarjinalkan dan merasakan ketidakpuasan yang mendalam. Pimpinannya
menginginkan pemerintahan sendiri, baik dengan kemerdekaan penuh atau dengan
otonomi konstitusional. Semua Negara yang menciptakan kerajaan industri pada
akhir abad ke-20 melepaskan haknya. Meskipun sangat sulit untuk beberapa Negara
memberikan kemerdekaan penuh pada penduduk yang ada pada daerah-daerah
terisolasi-terpencil. Dalam hal ini Riggs mempercayai bahwa akan lebih mudah
bagi mereka untuk menggunakan sistem konstitusi parlementer dalam menawarkan
otonomi dari pada dalam Negara dengan pemerintahan presedensil. Argumentasi
dapat berdasar pada dasar empirik atau pada dasar teoritis, beberapa kasus yang
ada memperlihatkan bahwa banyak Negara yang menggunakan sistem parlementer, di
mana otonominya memunculkan kemantapan, seperti : The Aaland di Finlandia,
Greenland di Denmark, otonomi Catalonia dan Basque di Spanyol, Tyrol di Italy,
Qubec dan Nunavut di Kanada, Skotlandia dan Wales di Inggris. Irlandia Utara
merupakan pengecualian karena secara internal terpecah antara kaum separatis
dan kaum yang ingin tetap bersatu dengan Inggris, tetapi penguasa di London
telah menyerahkan otoritas untuk pemerintahan sendiri secepatnya jika
golongan-golongan yang ada sudah memiliki kesepakatan atau persetujuan.
Sebaliknya,
di dalam Negara dengan sistem presidensil, kerapkali perjuangan untuk otonomi
dilakukan dengan kekerasan: misalnya kasus Chechnya di Rusia dan Kosovo di
Serbia. Di Amerika Serikat : kemampuan Amerika Serikat untuk mengakui otonomi
Puerto Rico dan Marianas Utara dan banyak reservasi orang Indian Amerika
merupakan pengecualian dan menggambarkan suatu keadaan yang khusus dalam suatu
situasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa dimungkinkan di dalam pemerintahan
presidensil penguasa menyerahkan otonomi pada wilayah-wilayah dalam negaranya,
tetapi mungkin akan lebih sulit, dan untuk melihat lebih jauh hal tersebut kita
perlu melihat lebih dalam pertimbangan konstitusionalnya.
Otonomi
diberikan tidak hanya dengan membuat hukum yang akan diterapkan pada setiap
orang dalam jurisdikasi suatu Negara; di dalamnya termasuk juga memberi contoh
kehidupan dalam wilayah tersebut, dan memberikan kekuasaan pada mereka untuk
menciptakan hukum-hukumnya sendiri. Artinya, dalam kekuasaan presidensil ini
akan menambah dukungan tidak saja dari presiden tetapi juga dari kongres dan
lembaga pengadilan tertinggi dan mungkin juga dari penduduk yang banyak, tentu
saja melalui referendum. Di Amerika Serikat pengambilan keputusan yang melintas
prosedur politik yang normal dengan status konstitusi yang khusus digunakan dalam
penanganan pemerintahan yang ada, termasuk kekuasaan suku-suku di
wilayah-wilayah tertentu.
Di dalam
sistem parlementer, parlemen memiliki otoritas utama untuk membuat keputusan,
termasuk hukum-hukum yang sangat mendasar yang memberi arti pada konstitusi.
Prosedur pengambilan dalam sistem parlementer lebih sederhana dibanding dengan
sistem presidensial yang di dalamnya termasuk memberikan kekuasaan pada
minoritas, bagaimanapun kongres lebih sulit untuk membuat keputusan daripada di
parlemen.
Selain itu,
di dalam sistem presidensil, pembagian kekuasaan memerlukan kongres, dan untuk
membuat kebijakan perlu pengelolaan pada level micro. Sebaliknya pada sistem
parlementer, fusi dari kekuasaan memampukan kabinet, di dalam pembuatan
kebijakan yang fundamental dan tunduk pada persetujuan parlemen. Karena
kepentingan pemerintahan pusat mengesampingkan kepentingan khusus dari para legislatif
lokal, maka akan lebih mudah menyerahkan otoritas pada wilayah-wilayah
tertentu, terutama jika cost/benefit
analysis memperlihatkan suatu keuntungan. Selain itu, pemerintahan kabinet
memungkinkan untuk memproses sejumlah besar keputusan secara terkoordinasi,
menghubungkan staf senior pemerintah yang memiliki kekuatan dengan para
politisi, yang merupakan anggota kabinet yang bertanggung jawab. Adalah suatu
keuntungan buat pemerintah untuk membolehkan non-nasional untuk membangun
pemerintahannya sendiri. Dalam penyerahan otoritas langsung terhadap suatu
wilayah pemerintah harus menghindari terjadinya risiko politik dengan konflik
yang berlangsung terus menerus dan mengurangi pengeluaran biaya administratif
termasuk di dalamnya untuk menjalankan hukum-hukum yang tidak diterima oleh
minoritas para pembangkang. Penyerahan otoritas langsung tidak berarti
kehilangan pengaruh. Orang-orang yang tinggal di dalam wilayah-wilayah tersebut
pasti ingin menjalin hubungan eksternal termasuk perdagangan, perjalanan/wisata
dan komunikasi, dan mereka memerlukan bantuan dari negaranya. Mobilitas orang
yang meningkat, dan penduduk yang memiliki otonomi harus hidup dan bekerja di
daerah di luar batas wilayahnya. Mereka bekerja di bawah kontrol negaranya,
sehingga secara timbal balik, wilayah-wilayah khusus dan Negara induknya akan
saling mendorong terjadinya harmoni diantara dua jurisdikasi.
Untuk membuat
generalisasi tentang apa saja mengenai sistem, kita perlu berpikir mengenai
kasus normal dan menunda keputusan tentang pengecualian. Mengapa kasus Amerika
termasuk dalam pengecualian, kita perlu membuat perbandingan yang ketat antara
kasus ini dengan sistem presidensil. Perbandingan dengan sistem parlementer
tidak dapat memperlihatkan mengapa kasus ini berbeda secara nyata dari kasus di
Negara lain dengan prinsip konstitusi yang sama.
No comments:
Post a Comment