Wednesday, July 31, 2013

GLOBALISASI, KERAGAMAN ETNIK DAN EFORIA REFORMASI TANTANGAN DEMOKRASI


Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat terpengaruh oleh perubahan, perubahan yang sangat cepat. Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita terdorong menjadi masyarakat yang memasuki complex adaptive system.
Era reformasi dalam konteks nasional terasa getarannya  seperti perubahan radikal, terasa pula ada penjungkir balikkan nilai-nilai yang telah kita miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.
Kita merasakan krisis multidimensional  melanda kita, dibidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.
          Globalisasi mencakup terjadinya peningkatan mobilitas manusia, di mana lebih banyak dan lebih banyak orang lagi mampu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, bukan saja sebagai migran yang mencari rumah baru, tetapi sebagai orang-orang yang singgah, mengunjungi negara-negara yang berbeda, di mana mereka tinggal dalam waktu yang lebih pendek. Akibatnya bagi banyak negara adalah pertumbuhan keragaman populasi penduduk dan memberi tekanan yang mendukung pada terjadinya ketertarikan penduduk untuk tinggal di luar negeri. Model-model demokrasi yang sudah umum telah dibentuk oleh beberapa generasi terdahulu dan secara memadai berhasil menanggulangi problem-problem baru yang digerakkan oleh modernisasi dan globalisasi. Perkembangan yang terjadi menuntut kita akan perlunya berpikir tentang jalan baru untuk mengorganisasikan demokrasi supaya menjadi lebih efektif.
          Globalisasi dalam konteks kehidupan manusia menyangkut banyak aspek yang dalam, yang melintas ke luar batas-batas Negara. Lingkup yang demikian luas telah memberikan persoalan-persoalan yang kompleks yang berkaitan dengan kedaulatan suatu Negara dan kewarganegaraannya, perbedaan etnik dan adanya etno-nasionalisme serta pengaturan-pengaturan hubungan yang terjadi di dalam tata-cara demokrasi bernegara.
          Perbedaan etnik berhubungan dengan adanya keragaman dan etno-nasionalisme. Konflik etnik dan nasionalisme merupakan sisa-sisa konflik di masa lalu, yang terjadi diantara masyarakat yang telah menetap lama di suatu wilayah dengan masyarakat yang lain. Perbedaan etnik normalnya bukanlah fokus persoalan, meskipun tidak diragukan hal tersebut sering terjadi dan menimbulkan ketegangan yang disebabkan oleh persoalan etnik. Masalah yang dihadapi sekarang digerakkan oleh adanya perbedaan etnik yang berhubungan dengan terjadinya modernisasi dan globalisasi. Untuk melihat kebenaran hal tersebut kita harus melihat fakta umum yang ada mengenai perbedaan budaya yang telah ada sejak adanya peradaban manusia yang memunculkan masalah penduduk perkotaan dan pluralisme etnik. Modernitas membawa perubahan secara kualitatif berdasar pada sumber legitimasi untuk memerintah, dan globalisasi memperluas perubahan tersebut di seluruh dunia. Secara tradisional semua peradaban, anggota dari komunitas yang berbeda hidup bersama secara simbolik. Konflik besar meletus diantara para elite yang berkuasa, yang bergantung pada bawahannya, sebagai klien atau pembantu-pembantunya dengan mengabaikan perbedaan budaya untuk mendukung perjuangan antar elite.
          Masyarakat tradisional mengenal adanya kasta-kasta, seperti misalnya di India. Modernisasi telah mengikis hubungan dalam bentuk tersebut dengan berdasar pada akar prinsip-prinsip persamaan dan individualisme. Dalam konteks ini, perbedaan budaya telah menjadi lebih bermuatan politik. Anggota dari kelompok masyarakat mulai mengharapkan kesempatan yang sama dalam hidup dan melihat kelompok lainnya sebagai rival atau musuh yang potensial. Kebenaran yang di aturkan oleh raja diganti oleh kebenaran manusia sebagai individu. Transformasi ini terjadi tidak dalam sekejap, dimulai di Barat dan globalisasi menyebar cepat keseluruh wilayah di bumi. Konflik fundamental yang terjadi meliputi konflik kedaulatan, nasionalisme, konflik manajemen dan rancangan konstitusi.
          Pergeseran kedaulatan populer telah meningkatkan pertanyaan mendasar mengenai status Negara dan kewarganegaraan. Jika orang memiliki kedaulatan maka mereka harus mengorganisasi dirinya sendiri dan menggunakan kekuasaannya, dan memiliki perwakilan dan menstabilkan batas-batas Negara tempat pemerintahan dibangun. Kedaulatan Negara meliputi jurisdikasi ekslusif oleh regime terhadap warganegaranya dan memiliki kekebalan terhadap intervensi oleh Negara lain.
          Pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal tersebut dapat diperoleh dengan mempelajari proses pergeseran kedaulatan dari raja ke kedaulatan individu, yang terjadi di dalam masyarakat modern, di mana tiap individu memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Bagaimana legitimasi Negara dengan pemerintahan perwakilan diperoleh dari penduduknya yang menggunakan kedaulatannya melalui pendelegasian dalam perwakilan.
          Tuntutan adanya persamaan dalam hukum diantara warganegara memiliki sejarah yang panjang. Sangat sulit untuk membahas hal tersebut karena istilah warganegara yang terkait dengan satu Negara banyak (pendatang) yang tidak memiliki status legal, rasialisme. Rasialisme telah menyebar luas dan memainkan peran penting di dalam keragaman etnik dan nasionalisme. Rasialisme berlangsung sebagai prasangka irasional, tetapi sebagian berargumentasi bahwa perbedaan rasial telah menyediakan legitimasi untuk mengeluarkan suatu komunitas dari kewarganegaraan suatu Negara.
          Orang mampu menegakkan kedaulatannya hanya ketika mereka memiliki cita rasa yang berdasar pada adanya kehendak untuk berbagi nilai-nilai dan adat-kebiasaan, dan menjadi konsep dari bangsa itu sendiri. Di sini Negara diartikan sebagai suatu komunitas yang anggota-anggotanya memiliki tuntutan untuk dapat membangun dirinya sendiri. Anggota dari suatu Negara disebut sebagai ‘nationals’ yang didefinisikan sebagai anggota suatu bangsa.
          Pada prinsipnya suatu Negara harus merepresentasikan suatu bangsa dan tiap bangsa harus memiliki Negara. Jika idealisme ini akan diaktualisasikan maka akan menciptakan Negara bangsa (nation-state). Utopia idealisme membawa pada paradoks pada dua strategi yang berseberangan. Negara yang sudah ada menuntut menggunakan kedaulatan untuk menciptakan bangsa-bangsa dengan menghancurkan anggota-anggotanya yang tidak nasional. Sedangkan kebalikannya komunitas-komunitas lebih berkehendak untuk meningkatkan pengakuan sebagai bangsa, tetapi tidak menggunakan tuntutan kedaulatan dalam upaya memperjuangkan status Negara bagian. Kita melihat dampak proses terdahulu sebagai Negara bangsa (state nations) dan yang terakhir sebagai Negara etnik (ethnic nations).
          Perbedaan ini memungkinkan untuk mengidentifikasi perbedaan dua nasionalisme. Negara bangsa (state-nation) mengembangkan nasionalisme Negara, sedangkan Negara ethnic (ethnic nation) mengembangkan nasionalisme etnik. Negara nasional umurnya lebih tua, dan lebih mapan serta di banyak Negara elite yang berkuasa telah berasimilasi atau mengeliminasi etnik minoritas. Nasionalisme etnik merupakan fenomena sekarang. Negara baru muncul ditengah keruntuhan kerajaan yang menyebabkan terjadinya mobilisasi dan permintaan untuk kemerdekaan komunitas-komunitas dan globalisasi telah mempercepat munculnya bangsa etnik (ethnic-nation) ini.
          Memberdayakan demokrasi untuk etnik minoritas agar berpartisipasi dalam memantapkan proses pengambilan keputusan, memuaskan permintaan kaum etno-nasionalis yang menolak kewarganegaraan dan permintaan kemerdekaan bukanlah hal yang mudah. Pemerintahan parlementer dan mereka yang mengorganisasi dengan dasar pemisahan kekuasaan (presidentialism), jelas menunjukkan bahwa yang pertama tampaknya mampu mengelola masalah kewarganegaraan secara efektif terhadap komunitas minoritas. Dalam masyarakat etnik yang bermacam-macam mungkin mereka dapat menangani otonomi (atau kemerdekaan) pada bangsa ethnik, tetapi ini tidak cukup jelas. Demokrasi dapat menguasai perbedaan etnik dengan anggota distrik pemilihan. Kaum minoritas dapat mengutarakan suaranya melalui kedudukannya di parlemen, yang juga seringkali melalui partisipasinya dalam kabinet koalisi.
          Argumen mengenai adanya keragaman dan perwakilan yang proporsional dapat dilihat dalam dua pertimbangan, yaitu pertimbangan empirik dan pertimbangan teoritik. Pada pertimbangan empirik kita dapat melihat Negara-negara yang menggunakan sistem perwakilan proporsional. Sistem perwakilan proporsional menghasilkan sistem partai yang sifatnya sentrifugal yang memperlihatkan selalu ketidak-berfungsian dalam memelihara presidentialisme. Lebih dari itu baik presiden maupun kongres tampaknya memiliki sistem untuk menghadapi dinamika partai. Pada tatanan teori konklusi yang sama juga muncul. Di dalam pemilihan presiden adalah penting untuk memobilisasi konsensus dalam mendukung pimpinan yang dapat menjadi pemimpin dari Negara bagian, sebaik dukungan untuk menjadi kepala pemerintahan. Di bawah sistem perwakilan proporsional hampir tidak mungkin hal itu terjadi. Kandidat atau calon utama hanya pilihan kedua atau ketiga bagi banyak pemilih. Bagi kongres, perwakilan proporsional akan menghasilkan kelipatan jumlah partai dan meningkatkan kesulitan dalam menjamin mayoritas dalam mendukung legislasi. Lebih dari itu perwakilan partai kecil akan menemukan dirinya selalu tidak terpilih dan termarjinalkan yang membawa pada pengasingan dan negativisme. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kabinet koalisi seperti pada pemerintahan parlementer.
          Di banyak pemerintahan demokratik terdapat komunitas-komunitas etnik yang merasakan dirinya termarjinalkan dan merasakan ketidakpuasan yang mendalam. Pimpinannya menginginkan pemerintahan sendiri, baik dengan kemerdekaan penuh atau dengan otonomi konstitusional. Semua Negara yang menciptakan kerajaan industri pada akhir abad ke-20 melepaskan haknya. Meskipun sangat sulit untuk beberapa Negara memberikan kemerdekaan penuh pada penduduk yang ada pada daerah-daerah terisolasi-terpencil. Dalam hal ini Riggs mempercayai bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk menggunakan sistem konstitusi parlementer dalam menawarkan otonomi dari pada dalam Negara dengan pemerintahan presedensil. Argumentasi dapat berdasar pada dasar empirik atau pada dasar teoritis, beberapa kasus yang ada memperlihatkan bahwa banyak Negara yang menggunakan sistem parlementer, di mana otonominya memunculkan kemantapan, seperti : The Aaland di Finlandia, Greenland di Denmark, otonomi Catalonia dan Basque di Spanyol, Tyrol di Italy, Qubec dan Nunavut di Kanada, Skotlandia dan Wales di Inggris. Irlandia Utara merupakan pengecualian karena secara internal terpecah antara kaum separatis dan kaum yang ingin tetap bersatu dengan Inggris, tetapi penguasa di London telah menyerahkan otoritas untuk pemerintahan sendiri secepatnya jika golongan-golongan yang ada sudah memiliki kesepakatan atau persetujuan.
          Sebaliknya, di dalam Negara dengan sistem presidensil, kerapkali perjuangan untuk otonomi dilakukan dengan kekerasan: misalnya kasus Chechnya di Rusia dan Kosovo di Serbia. Di Amerika Serikat : kemampuan Amerika Serikat untuk mengakui otonomi Puerto Rico dan Marianas Utara dan banyak reservasi orang Indian Amerika merupakan pengecualian dan menggambarkan suatu keadaan yang khusus dalam suatu situasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa dimungkinkan di dalam pemerintahan presidensil penguasa menyerahkan otonomi pada wilayah-wilayah dalam negaranya, tetapi mungkin akan lebih sulit, dan untuk melihat lebih jauh hal tersebut kita perlu melihat lebih dalam pertimbangan konstitusionalnya.
          Otonomi diberikan tidak hanya dengan membuat hukum yang akan diterapkan pada setiap orang dalam jurisdikasi suatu Negara; di dalamnya termasuk juga memberi contoh kehidupan dalam wilayah tersebut, dan memberikan kekuasaan pada mereka untuk menciptakan hukum-hukumnya sendiri. Artinya, dalam kekuasaan presidensil ini akan menambah dukungan tidak saja dari presiden tetapi juga dari kongres dan lembaga pengadilan tertinggi dan mungkin juga dari penduduk yang banyak, tentu saja melalui referendum. Di Amerika Serikat pengambilan keputusan yang melintas prosedur politik yang normal dengan status konstitusi yang khusus digunakan dalam penanganan pemerintahan yang ada, termasuk kekuasaan suku-suku di wilayah-wilayah tertentu.
          Di dalam sistem parlementer, parlemen memiliki otoritas utama untuk membuat keputusan, termasuk hukum-hukum yang sangat mendasar yang memberi arti pada konstitusi. Prosedur pengambilan dalam sistem parlementer lebih sederhana dibanding dengan sistem presidensial yang di dalamnya termasuk memberikan kekuasaan pada minoritas, bagaimanapun kongres lebih sulit untuk membuat keputusan daripada di parlemen.
          Selain itu, di dalam sistem presidensil, pembagian kekuasaan memerlukan kongres, dan untuk membuat kebijakan perlu pengelolaan pada level micro. Sebaliknya pada sistem parlementer, fusi dari kekuasaan memampukan kabinet, di dalam pembuatan kebijakan yang fundamental dan tunduk pada persetujuan parlemen. Karena kepentingan pemerintahan pusat mengesampingkan kepentingan khusus dari para legislatif lokal, maka akan lebih mudah menyerahkan otoritas pada wilayah-wilayah tertentu, terutama jika cost/benefit analysis memperlihatkan suatu keuntungan. Selain itu, pemerintahan kabinet memungkinkan untuk memproses sejumlah besar keputusan secara terkoordinasi, menghubungkan staf senior pemerintah yang memiliki kekuatan dengan para politisi, yang merupakan anggota kabinet yang bertanggung jawab. Adalah suatu keuntungan buat pemerintah untuk membolehkan non-nasional untuk membangun pemerintahannya sendiri. Dalam penyerahan otoritas langsung terhadap suatu wilayah pemerintah harus menghindari terjadinya risiko politik dengan konflik yang berlangsung terus menerus dan mengurangi pengeluaran biaya administratif termasuk di dalamnya untuk menjalankan hukum-hukum yang tidak diterima oleh minoritas para pembangkang. Penyerahan otoritas langsung tidak berarti kehilangan pengaruh. Orang-orang yang tinggal di dalam wilayah-wilayah tersebut pasti ingin menjalin hubungan eksternal termasuk perdagangan, perjalanan/wisata dan komunikasi, dan mereka memerlukan bantuan dari negaranya. Mobilitas orang yang meningkat, dan penduduk yang memiliki otonomi harus hidup dan bekerja di daerah di luar batas wilayahnya. Mereka bekerja di bawah kontrol negaranya, sehingga secara timbal balik, wilayah-wilayah khusus dan Negara induknya akan saling mendorong terjadinya harmoni diantara dua jurisdikasi.
          Untuk membuat generalisasi tentang apa saja mengenai sistem, kita perlu berpikir mengenai kasus normal dan menunda keputusan tentang pengecualian. Mengapa kasus Amerika termasuk dalam pengecualian, kita perlu membuat perbandingan yang ketat antara kasus ini dengan sistem presidensil. Perbandingan dengan sistem parlementer tidak dapat memperlihatkan mengapa kasus ini berbeda secara nyata dari kasus di Negara lain dengan prinsip konstitusi yang sama.

No comments: