BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Bangsa Indonesia menyadari adanya berbagai kekurangan dan kejanggalan dalam konstitusinya, khususnya tentang sistem pemerintahan. Selain seluruh jalan menuju perbaikan terhadap UUD 1945 telah ditutup sedemikian rupa oleh penguasa, baik jalur konstitusional maupun legal, juga karena sebagian masyarakat telah “dininabobokkan” dengan kenyamanan kesejahteraan, khususnya ekonomi meski bersifat sementara dan semu. Kebuntuan tersebut mencair setelah terjadi penolakan rakyat terhadap pemerintahan Presiden Soeharto pada Mei 1998 melalui “the people’s power” yang berakhir dengan tumbangnya Orde Baru setelah berkuasa selama 32 tahun. Reformasi pun dimulai, baik melalui penataan pelaksanaan pemilu, partai politik, serta susunan dan kedudukan ( susduk ) MPR, DPR, dan DPRD, maupun reformasi yang lebih mendasar yakni reformasi konstitusi.[1]
Perlahan tapi pasti, seiring dengan nada reformasi, paradigma lama yang terkubur selam 32 tahun terangkat kembali. Otonomi daerah mengangkat paradima pertama, pemisahan kekuasan diantara legislative, eksekutif dan yudikatif, dan desentralisasi kekuasaan kepada daerah otonom merupakan pra kondisi penhomatan kepada budaya local (local knowledge) maupun kejeniusan local (local genius) tidak salah akan menjamin pluralisme budaya tetapi juga mendorong integrasi nasional. Dan kedua, desentralisasi sumber pendapatan dan penggunaan pendapatan nasional kepada daerah otonom lebih mampu menjamin pemerataan dan keadilan sosial. Otonomi daerah seluas-luasnya dalam bidang politik, ekonomi dan budaya justru akan mendorong integrasi nasional. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah disusun berdasarkan paradigma baru ini.[2]
Gelombang otonomi daerah yang mulai didengungkan setelah tumbangnya kekuasaan orde baru telah menghasilkan beberapa perubahan mendasar terhadap beberapa kewenangan baik yang berupa atribusi, delegasi maupun mandat kepada daerah, sehingga daerah mulai menggeliat untuk berupaya membangun daerahnya sesuai dengan potensi daerah yang ada, yang salah satu tujuannya adalah terciptanya iklim sosial politis, sosial ekonomi, sosial kultural dan kamtibnas yang sesuai dengan kearifan lokal daerah.
Ada tiga agenda perubahan besar yang sedang berlangsung dan masih terus harus diperjuangkan di Indonesia dewasa ini yang tercakup dalam tema reformasi menyeluruh. Ketiga agenda besar itu mencakup penataan kembali semua institusi umum, baik pada tingkat supra struktur kenegaraan maupun pada tingkat infra struktur kemasyarakatan; pembaruan dan pembentukan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan baru pada semua tingkatannya; dan kebutuhan untuk reorientasi sikap sikap mental, cara berpikir, dan metode kerja yang melanda hampir setiap pribadi warga masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Soal yang pertamadapat kita sebut sebagai agenda reformasi institusional (institutional reform) yang terus menerus perlu dilanjutkan penataannya sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal. Soal kedua kita sebut dengan reformasi instrumental (instrumental reform) yang menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke peraturan-peraturan pada tingkatan terendah seperti Peraturan Daerah Kabupaten dan Peraturan Desa. Dan soal yang ketiga kita namakan dengan reformasi budaya (cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan di masa mendatang.
Ketiga agenda besar itu, suka atau tidak suka, sekarang ini sedang berlangsung dengan sangat intensif. Tetapi, tingkat kecepatannya antara satu bidang dengan bidang yang lain tidak sama, di samping itu tidak semua orang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang sama, baik mengenai soal-soal besarannya maupun apalagi dalam soal-soal rincian yang harus dikembangkan dalam kerangka agenda reformasi itu. Karena itu, pada sebagian orang, agenda reformasi itu baru sampai pada tingkat retorika yang antara lain tercermin dalam kegairahan memperkembangkan pola-pola permainan ‘wacana’ tanpa menyadari pentingnya efektifitas agenda aksi di lapangan. Akibatnya, tema reformasi menjadi sesuatu yang terasa elitis sifatnya dan tidak terasa maknanya yang berdampak langsung terhadap upaya perbaikan nasib dan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, diperlukan obor penentu arah bagi perjalanan agenda reformasi yang bersifat menyeluruh itu yang sudah seyogyanya diperankan oleh kaum intelektual yang menyadari peranannya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan awal eksistensi pemerintah daerah dalam membangun serta menciptakan pelayanan, peran serta masyarakat, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah yang lainnya.
Terdapat beberapa isu utama yang dijadikan dasar arah kebijakan politik hukum pemerintahan daerah diarahkan untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan daerah lokal. Pertama adalah untuk meningkatkan kwalitas pelayanan bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan daerah, kedua ditujukan untuk memberdayakan peran serta masyarakat baik dalam proses pembentukan, maupun pelaksanaan kebijakan publik di daerah, ketiga untuk meningkatkan daya saing daerah guna tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan lokal akan terwujud resultant keunggulan daya saing nasional.[3]
Secara umum dapat diurai tentang urusan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Pertama dalam bidang legislasi yakni atas prakarsa sendiri membuat Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah yang meliputi Perda Propinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan Peraturan Kepala Daerah meliputi Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota, keduamasalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan ketiga dalam perencanaan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan betapa luasnya cakupan urusan yang menjadi prioritas daerah.
Boleh dikatakan bahwa tantangan utama yang dihadapi pemerintahan daerah di Indonesia (juga negara-negara berkembang lain) adalah bagaimana menciptakan sebuah tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government). Tantangan tersebut muncul karena banyaknya persoalan nyata yang dihadapi oleh pemerintahan daerah dan masyarakat yang belum dapat diselesaikan. Masalah pengangguran, kemisikinan, rendahnya mutu dan kesempatan memperoleh pendidikan, serta rendahnya tingkat kesehatan warga adalah beberapa contoh permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah.
Banyaknya persoalan yang belum dapat diatasi tersebut sebagian disebabkan oleh absennya fungsi tata pemerintahan yang baik, yang berimbas pada buruknya sistem manajemen pengelolaan pemerintahan. Pemerintahan kabupaten/kota (Pemkab) seharusnya dapat menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, dan kebijakan yang diambil bersifat terbuka (transparan), sehingga pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik bersifat objektif dan wajar. Dalam masalah ini, legalisasi transparansi menemukan urgensinya.
Terdapat beberapa permasalahan terutama berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam program legislasi daerah atau pembentukan Peraturan Daerah (Perda). Permasalahan-permasalahan terutama berkaitan dengan proses pengajuan, perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan maupun dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda). Kerancuan yang ada bukan hanya dipicu oleh peraturan perundang-undangan yang kurang memberikan pengertian dan respon bagi legislator di daerah, akan tetapi juga dipicu oleh kurangnya pemahaman legislator daerah dalam mengartikan perundang-undangan atau bahkan mempolitisasi makna/arti ketentuan perundang-undangan yang ada, disamping karena memang kurangnya pengetahuan tentang teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Yang tak kalah pentingnya adalah persoalan kewenangan wakil Bupati yang semakin tidak jelas kewenangannya dalam bidang apa saja, mengingat pemegang otoritas kekuasaan biasanya terpusat pada Bupati, padahal kalau melihat pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dilakukan bersama-sama antara keduanya akan tetapi memiliki kewenangan yang cukup signifikan diantara keduanya.
Wakil Bupati Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kasim, SH mengundurkan diri dari jabatannya. Pasalnya, sejak dilantik jadi wakil bupati Oktober 2001 lalu, tidak pernah diberi wewenang oleh Bupati Buton Ir Sjafei Kahar, untuk menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Hal itu menjadi contoh kecil dari kesekian wakil kepala daerah yang merasa belum puas dengan adanya kewenangan yang dimilikinya yang kadang berada kuat di tangan Kepala Daerah.
Di Kabupaten Bangkalan kewenangan Wakil Bupati menjadi tidak jelas dengan adanya terpusatnya kekuasaan yang berada pada Bupati sebagai Kepala Daerah, sehingga tugas dan fungsi wakil Bupati menjadi kurang jelas peran sertanya selama ini. Untuk itu seringkali kewenangan dan pekerjaan Wakil Bupati hanya sebagai ban serep kalau dimungkinkan ditunjuk oleh Bupati dalam kewenangannya sebagai kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan dalam kesehariannya.
Kewenangan yang menjadi kewenangan Wakil Bupati akan menjadi tidak jelas dan kabur dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan Wakil Bupati yang ada di daerah. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk magang sekaligus untuk meneliti kewenangan Wakil Bupati yang terdapat di Kabupaten Bangkalan.
1.2. Rumusan Permasalahan
a. Bagaimana Kedudukan Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan?
b. Apa saja tugas dan wewenang Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan?
1.3. Tujuan
- Untuk mengetahui kedudukan Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan
- Untuk mengetahui sekaligus menganalisis wewenang Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan.
1.4. Kegunaan
- Dapat dijadikan acuan bagi Wakil Bupati dalam melaksanakan tugas da fungsinya sebagai wakil Bupati sesuai dengan peraturan perundang-undangan
- Agar tercipta sinergitas antara peran dan fungsi Bupati dan Wakil Bupati
1.5 Data dan Fakta
Adapun data yang terdapat dalam proses kami melakukan magang diantaranya:
a. Data yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur secara spesifik tentang tugas dan weweenang Wakil Bupati.
b. Data berupa Perauran Daerah kabupaten Bangkalan nomor 23 tahun 2000 tentang Susunan organisasi sekretariat daerah Kabupaten Bangkalan.
c. Data dan fakta barupa wawancara langsung dengan Wakil Bupati Kabupaten Bangkalan yakni Drs. K.H. Syafi’ Rofii
d. Sedangkan fakta yang ada tidak terdapat peraturan daerah yang mengatur secara komprehensif tentang tugas dan wewenang Wakil Bupati.
Sedang mengenai susunan organisasi dan tata kerja sekretariat daerah kabupaten Bangkalan diatur dalam peraturan daerah kabupaten Bangkalan nomor 23 tahun 2000. Susunan organisasi sekretariat daerah, terdiri dari :
- Sekretriat daerah
- Asisten, terdiri dari :
1 Asisten tata praja
2 Asisten ekonomi dan pembangunan
3 Asisten administrasi
- Kelompok jabatan fungsional
Asisten tata praja sebagaimana dimaksud membawahi :
- Bagian tata pemerintahan, terdiri dari:
1 Sub bagian tata pemerintahan umum
2 Sub bagian otonomi daerah
3 Sub bagian perangkat daerah
4 Sub bagian perangkat dan administrasi desa
5 Sub bagian pendapatan dan kekayaan desa
- Bagian hukum, terdiri dari:
1 Sub bagian peraturan perundang-undangan
2 Sub bagian bantuan hukum
3 Sub bagian dokumentasi hukum
- Bagian organisasi, terdiri dari:
1 Sub bagian kelembagaan
2 Sub bagian ketatalaksanaan
3 Sub bagian analisis dan formasi jabatan
Asisten ekonomi dan pembangunan sebagaimana dimaksud membawahi:
a. Bagian perekonomian, terdiri dari :
1 Sub bagian sarana perekonomian
2 Sub bagian peningkatan kegiatan perekonomian
3 Sub bagian pengendalian kegiatan perekonomian
4 Sub bagian pembangunan
b. Bagian sosial, terdiri dari:
1 Sub bagian kesejahteraan
2 Sub bagian kerukunan umat beragam
3 Sub bagian pemuda dan olahraga
4 Sub bagian pemberdayaan perempuan
c. Bagian inventaris kekayaan milik daerah (IKMD) terdiri dari:
1 Sub bagian analisa kebutuhan
2 Sub bagian pengadaan
3 Sub bagian penyimpanan dan distribusi
Asisten administrasi sebagaimana dimaksud membawahi:
a. Bagian kepegawaian, terdiri dari :
1 Sub bagian umum
2 Sub bagian mutasi I
3 Sub bagian mutasi II
4 Sub bagian pengembangan pegawai
5 Sub bagian pendidikan dan latihan pegawai
b. Bagian keuangan, terdiri dari:
1 Sub bagian anggaran
2 Sub bagian pembukuan
3 Sub bagian perbendaharaan
4 Sub bagian verifikasi
c. Bagian umum terdiri dari:
1 Sub bagian tata usaha sekretariat daerah
2 Sub bagian rumah tangga
3 Sub bagian humas dan protokol
Sub bagian sandi dan telekomunikasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Tentang Kekuasaan
Konsep tentang kekuasaan sebenarnya muncul pada saat masa Yunani. Setelah runtuhnya peradaban Yunani maka pada saat itu. Muncullah peradaban Romawi yang membuat suatu konsep baru yaitu munculnya Senat sebagai perwakilan berfungsi sebagai pengawas dan Caesar sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan perwakilan rakyat dibidang pemerintahan. Setelah Romawi runtuh maka muncul negara-negara monarki yang menjadikan satu orang (raja) sebagai pusat dari pemerintahan, sehingga dapat diartikan bahwa wakil rakyat adalah raja. Penyerahan kewenangan mengatasnamakan rakyat dari rakyat ke lembaga negara. Dan kemudian lembaga negara mempunyai otoritas untuk memerintah rakyat merupakan suatu hal yang terjadi dalam proses politik dinegara manapun.
Dan menurut Robert Paul Wolf peran lembaga negara yang mengatasnamakan negara itu, diartikan sebagai ”suatu kelompok orang yang mempunyai otoritas tertinggi dalam wilayah tertentu terhadap penduduk tertentu “[4].
Setelah adanya negara di jaman modern, maka merumuskan kembali kedaulatan menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski bahwa:
“ the modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance which need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control”[5].
Terjemahan bebas: Negara modern adalah negara yang mempunyai kedaulatan. Hal ini untuk independen dalam menghadapi komunitas lain. Dan akan mempengaruhi substansi yang akan diperlukan dalam kekuasaan internal dan kekuasaan eksternal. Hal ini lebih jauh merupakan kekuasaan yang tertinggi atas wilayahnya.
Jelas disini kedaulatan merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh negara yang ingin independen atau merdeka dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara.
Menurut Jean Bodin dikenal sebagai bapak teori kedaulatan yang merumuskan kedaulatan bahwa kedaulatan adalah suatu keharusan tertinggi dalam negara:
“Suatu keharusan tertinggi dalam suatu negara, dimana kedaulatan dimiliki oleh negara dan merupakan ciri utama yang membedakan organisasi negara dari organisasi yang lain di dalamn negara. Karena kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan orang-orang lain dalam wilayahnya”[6].
Muncullah teori-teori kedaulatan yang mencoba merumuskan siapa dan apakah yang berdaulat dalam suatu negara[7]:
1. Kedaulatan Tuhan.
2. Kedaulatan Raja.
3. Kedaulatan Rakyat.
4. Kedaulatan Negara.
5. Kedaulatan Hukum.
Bentuk kedaulatan yang 2 terakhir menunjukkan kedaulatan yang tidak dipegang oleh suatu persoon.
3.1.1.Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan dimana kekuasaan yang tertinggi ada pada Tuhan,jadi didasarkan pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di dunia barat tapi juga di timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan teokrasi dimiliki oleh hampir seluruh negara pada beberapa peradaban. Apabila pemerintah negara itu berbentuk kerajaan ( monarki) maka dinasti yang memerintah disana dianggap turunan dan mendapat kekuasaannya dari Tuhan. Misalnya jika Tenno Heika di Jepang dianggap berkuasa sebagai turunan dari Dewa matahari.[8]
3.1.2.Kedaulatan Raja
Teori kedaulatan bahwa kekuasaan yang tertinggi ada pada raja hal ini dapat digabungkan dengan teori pembenaran negara yang menimbulkan kekuasaan mutlak pada raja/satu penguasa[9]. Teori-teori kekuasaan jasmani atau teori-teori perjanjian dari Thomas Hobbes. Dan kemudian muncul menjadi negara adalah raja. L’etat cest moi yang diungkapkan oleh Louis XVI yang menjadi sumbu dari pergerakan Revolusi Perancis.
3.1.3 Kedaulatan Rakyat
Teori ini lahir dari reaksi pada kedaulatan raja. Yang menjadi bapak dari ajaran ini adalah JJ. Rousseau yang pada akhirnya teori ini menjadi inspirasi Revolusi Perancis[10]. Teori ini menjadi inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, dan dapat disimpulkan bahwa trend dan simbol abad 20 adalah tentang kedaulatan rakyat.
Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi beberapa kekuasaan yang diberikan pada pemerintah, ataupun lembaga perwakilan. Tetapi karena pada saat dilahirkan teori ini banyak negara yang masih menganut sistem monarki, maka yang berkuasa adalah raja atau pemerintah. Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut “ volonte generale” oleh Rousseau[11]. Apabila Raja memerintah hanya sebagai wakil, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu.[12]
3.1.4. Kedaulatan Negara
Teori ini juga sebagai reaksi dari kedaulatan rakyat, tetapi melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat. Menurut paham ini, Negaralah sumber dalam negara. Dari itu negara (dalam arti government=pemerintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty dan property dari warganya. Warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena itu adalah kehendak negara.[13]
Hal ini terutama diajarkan oleh madzhab Deutsche Publizisten Schule, yang memberikan konstruksi pada kekuasaan raja Jerman yang mutlak, pada suasana teori kedaulatan rakyat. Kuatnya kedudukan raja karena mendapat dukungan yang besar dari 3 golongan yaitu:
1. Armee (angkatan perang)
2. Junkertum (golongan idustrialis)
3. Golongan Birokrasi ( staf pegawai negara).
Sehingga praktis rakyat tidak mempunyai kewenangan apa-apa dan tidak memiliki kedaulatan. Oleh karena itu menurut sarjana-sarjana D.P.S kedaulatan bulat pada rakyat. Tetapi wewenang tertinggi tersebut berada pada negara. Sebenarnya negara hanyalah alat, bukan yang memiliki kedaulatan. Jadi ajaran kedaulatan negara ini adalah penjelamaan baru dari kedaulatan raja. Karena pelaksanaan kedaulatan adalah negara, dan negara adalah abstrak maka kedaulatan ada pada raja.[14]
3.1.5. Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum timbul sebagai penyangkalan terhadap teori kedaulatan negara dan dikemukan oleh Krabbe. Teori ini menunjukkan kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja (teori kedaulatan raja) juga tidak pada negara (teori kedaulatan negara). Tetapi berada pada hukum yang bersumber pada kesadaran hukum pada setiap orang.[15]
Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit dari kesadaran hukum manusia. Dan hukum merupakan sumber kedaulatan. Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang tidak adil.[16]
Teori ini dipakai oleh Indonesia dengan mengubah Undang-Undang Dasarnya, dari konsep kedaulatan rakyat yang diwakilkan menjadi kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum tercantum dalam UUD 1945 “Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar[17].
Berangkat dari teori Rosseau mengenai Demokrasi Perwakilan. Menurut Rousseau maka rakyatlah yang berdaulat dan kemudian mewakili kedaulatannya kepada suatu lembaga yaitu pemerintah ( siapa yang memerintah untuk menjalankan kedaulatan tersebut). Konsep demokrasi rakyat seperti ini menjadi suatu hal yang diminati pada saat Renaissance [18], dan menjadi konsep yang sering dipakai pada saat ini.
Pada dahulu kekuasaan cukup diwakilkan kepada raja sehingga raja dengan pemerintahannya dapat mengatasnamakan negara. Raja bertindak atas nama negara dengan tujuan melaksanakan kedaulatan rakyat.
Akan tetapi hal ini membawa kekhawatiran tentang kekuasaan yang diberikan kepada satu lembaga. Seperti yang dikatakan oleh Montesquieu
“When the legislative and executive powers are united in the same persons or body, there can be no liberty, because apprehensions may arise lest the same monarch or senate should enact tyrannnical laws, to enforce them in tyrannical manner.....Were the power of judging joined with the legislature, the life and liberty of the subject would then be exposed to arbitrary control, for the judge would then be the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with all the violence of an opressor”.[19]
Terjemahan bebas: “Ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif bersatu dalam satu orang atau lembaga, berarti kemungkinan akan tidak ada kebebasan, karena kesanggupan akan muncul dengan membuat perundang-undangan yang tiran dan dilakukan oleh pemerintahan monarki atau senat, dan lembaga tersebut akan berbuat tirani..... Dan ketika kekuasaan mengadili bersatu dengan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan dari pengadilan tersebut akan kemudian terkena kontrol yang sepihak dimana hakim tersebut menjadi legislatif. Dan ketika kekuasaan mengadili digabung dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan bertindak dengan segala kekerasan sebagai penindas”.
Muncullah berbagai teori tentang bagaimana seharusnya dalam menjalankan kedaulatan. Yang sering dipakai dalam jaman modern adalah demokrasi, pemerintahan yang berdasarkan rakyat. Antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari, lazimnya berkembang atas 2 teori, yaitu : [20]
1. Teori Demokrasi Langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya.
2. Teori Demokrasi tidak langsung (representative democracy).
Representasi disini sangat diperlukan bagi eksistensi otoritas politik di samping beberapa hal pokok lainnya. Bagi para ahli politik tentang kekuasaan, bahwa ia juga sangat tergantung pada beberapa tuntutan lain. Dan biasanya berhubungan dengan konstitusionalisme: pembatasan kekuasaan pemerintah dan kebebasan politik warga negara.[21]
Kemudian perkembangan lembaga perwakilan di duniapun menjadi beragam dan berkembang. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman dan dilekatkan pada kekuasaan membuat undang-undang.[22]
2.2 Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak diperlukan dalam negara demokrasi. Otonomi tidak hanya dapat diartikan sebagai pemencaran wewenang (spreding van bevoegdheid), tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) unutk mengatur susunan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal itu disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.[23]
Desentralisasi merupakan pengotomian yakni proses pemberian otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentaralisasi dan otonomi daerah seperti itu terlukis dalam pernyataan Genald Maryanov, yang mengatakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi mata uang.[24]
Istilah otonomi atau “autonomy” secara etimologis berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti sendiri dan “nomous” yang berarti hukum dan peraturan. Menurut encyclopedia of social science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Dalam kaitan dengan dengan politik dan pemerintahan, otonomi daerah berartiself government atau condition of living under one’s own laws. Dengan demikian otonomi daerah yang memiliki legal self sufficiencyyang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws.
Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi ataszelfwetgwving (membuat undang-undang sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri), dan zelfpolitie (menindaki sendiri).[25]
Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandingheid) tetapi bukan kemerdekaan(onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua unsur yaitu:[26]
- pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya
- pemberian kepercayaan berupa kewenagan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.
Pada bagian lain Bagir Manan[27] menyatakna otonomi adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid)satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur da mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.
Sementara Bhenyamin Hoessein[28] mengartikan otonomi hampir paralel dengan pengertian “demokrasi”, yaitu pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada diluar pemerintah pusat. Bahkan otonomi dapat diberi arti luas atau dalam arti sempit. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan (medebehind, coadministration), sebab baik otonomi maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankannya.[29]
Apabila otonomi diartikan sebagai segala tugas yang ada pada daerah atau dengan kata lain apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah daerah, di dalamnya melekat kewenangan yang meliputi kekuasaan (macht, bevoegdheiden), hak (rech), atau kewajiban(plicht) yang diberikan kepada daerah dalam menjalankan tugasnya.
Secara teoritik dan praktik dijumpai lima jenis sistem otonomi atau sistem rumah tangga yaitu:[30]
- Otonomi organik (rumah tangga organik)
- Otonomi formal (rumah tangga formal)
- Otonomi Material (rumah tangga materiil/subtantif)
- Otonomi riil (rumah tangga riil)
Otonomi nyata, bertanggung jawab dan dinamis
Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.
Sekarang, berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR dan UU, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah dan UU No.23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Prinsip-prinsip dasar itu dapat disarikan sebagai berikut :
1. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.[31]
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.[32]
2. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.
Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’[33], timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusatn justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.
4. Otonomi dan ‘Federal Arrangement’
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan (unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7 UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya) justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu Pasal 18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa dalam naskah Perubahan UUD ini digunakan perkataan “‘memberikan’ otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 UU No.32 Tahun 2004 tertulis ‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18 ayat (8) UUD 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih harus diteliti sejauhmana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah[7], dan bahwa pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR tentang Pemisahan TNI dan POLRI No. VI/MPR/2000 memang telah dipisahkan secara tegas, merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara peran tentara dan kepolisian.
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten serta kota tidak lagi bersifat subordinatif, melalinkan hanya koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri penting sistem federal.[34] Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi daerah perlu segera diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap skeptis ataupun yang masih berusaha mencari formula lain sehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai daerah, seyogyanya juga menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tersebut. Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan struktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat menyukseskan agenda otonomi daerah ini, sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur kepentingan-kepentingan umum. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah daya jangkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat disebut sebagai ‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam hubungan antara ‘state and civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan masyarakat madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-fungsi organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani oleh pemerintah sajalah yang tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian dan keprakarsaan masyarakat sendiri, bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan tanggungjawab pemerintah karena didasarkan atas sikap yang tidak bertanggungjawab ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sektor masyarakat secara keseluruhan.
Pemerintah daerah merupakan bagian dari Negara,yang diberikan kekuasaan atau kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan tertentu di daerah.terdapat cirri-ciri pemerintah daerah. Pertama, pemerintah daerah merupakan bagian politik dari suatu bangsa atau negara; Kedua, berskala lokal yakni memiliki basis geografis tertentu yang merupakan bagian dari suatu negara; Ketiga, memiliki populasi yang memadai, Keempat, mempunyai organisasi yang memadaiuntuk menyelenggarakan kepentingan tertentu; Kelima, menjalankan fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Keenam, memiliki kemampuan menyediakan pembiayaan untuk menyelenggarakan kepentingan atau menjalankan fungsi pelayanan masyarakat.[35]
Pemerintah Daerah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pemerintah daerah admnistratif (local state goverment) dan pemerintah daerah yang mengurus urusan pemerintahannya sendiri (local state government).[36] Pemerintah Daerah Administratif merupakan wakil dari Pemerintah pusat di daerah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintah pusat di daerah dan bertangggung jawab kepada pemerintah pusat.
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dilakukan dengan penerapan strategi dibawah ini:[37]
Pertama, peningkatan Pelayanan. Pelayanan badang pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial guna mendorong atau menunjang dinamika interaksi kehidupan mesyarakat baik sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik. Bentuk-bentuk pelayanan masyarakat tersebut, antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, hak berusaha, surat keterangan kependudukan, dan sebagainya.
Kedua, Pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Konsep pembangunan dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreativitas masyarakat baik pengusaha, perancana, pengusaha jasa, pengembang, dalam menyusun konsep strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada mefasilitasi dan mediasi. Disamping itu, dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara memeberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat khususnya partai politik untuk memberikan pendidikan politik rakyat guna meningkatkan kesadaran bernegara dan berbangsa guna tercapainya tujuan nasional dalam wadah NKRI.
Ketiga, Peningkatan Daya Saing Daerah. Penngkatan daya saing daerah ini, guna tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan ini secara nasional akan terwujud resultant keunggulan daya saing nasiosal. Disamping itu, daya saing nasional akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu pada strategi kebijakan perekonomian kerakyatan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Wakil Bupati Menurut Peraturan Perundang-Undangan
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang ini adalah reformasi hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum di bawah sistem konstitusi yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan negara dan kehidupan nasional sehari-hari. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumberdaya manusia dan kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.
Semangat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang diusung Indonesia adalah diantaranya terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Resstrukturisasi kelembagaan Negara merupakan agenda penting amandemen demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Good Governant). Aspek penting lainnya dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah hal yang berkaitan dengan Pemilu, Hak Asasi Manusia dan Pemerintah Daerah yang masih menjadi perdebatan. Pada aspek kelembagaan Negara dapat dilihat dalam konstitusi bahwa terdapat lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daearah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) serta lembaga-lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesemuanya itu merupakan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga Negara yang sederajat yang saling mengimbangi (check and balance).[38]
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[39]
Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.
Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum-seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan—sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.
Bersamaan dengan itu, organisasi pemerintahan daerah juga sedang mengalami perubahan mendasar. Secara prinsipil, basis otonomi daerah di masa depan, telah ditentukan berada di daerah kabupaten atau kota. Meskipun demikian, untuk tahap-tahap persiapan ystem itu, peranan propinsi masih diakui besar dan menentukan, terutama dalam membantu mempersiapkan daerah kabupaten/kota menyelenggarakan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Dalam UU No.32/2004, ditegaskan bahwa hubungan antara daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota, tidak lagi bersifat hirarkis. Bupati dan Walikota dianggap bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungannya dengan para Bupati dan Walikota itu hanya bersifat koordinatif belaka. Di samping itu, jangkauan kekuasaan organ ystem atau pemerintahan, dibatasi pula hanya sampai ke tingkat kecamatan. Desa-desa di bawah kecamatan, diakui sebagai daerah‘self governing communities’ (zelf bestuurende gemeenschap) yang bersifat otonom. Itu sebabnya, orgnasasi pemerintahan desa juga ditata kembali sesuai dengan tuntutan reformasi. Dalam UUD dan UU yang baru, baik kelembagaan desa maupun perangkat hukum di desa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang atas dasar tradisi kebudayaan masyarakat setempat. Ciri-ciri yang tumbuh dan berkembang di daerah yang bersifat khas dapat diwadahi dalam bentuk organ desa dan dalam bentuk Peraturan Desa yang berbeda dari organisasi dan peraturan desa lain. Dengan demikian, di masa depan, ystem hukum yste dan ystem kelembagaan pemerintahan desa mendapat kesempatan terbuka untuk berkembang kembali sesuai kebutuhan zaman.
Otonomi Daerah yang mempunyai tujuan utama untuk menyejahterakan rakyat justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga memicu berbagai konflik karena tidak dibarengi good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Ciri-ciri good governance yang sangat mendasar adalah partisipasi masyarakat. Good governance menurut Lembaga Administrasi Negara mengandung dua pengertian sekaligus sebagai orientasinya; Pertama, nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan ystem. Kedua,aspek-aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.[40]
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi juga harus menjamin keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah ystem dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan rangka mewujudkan tujuan Negara.
Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai “Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik”. Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.
Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di ystem itu, diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, ystemre, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk dapat melaksanakan hal itu maka diperlukan seorang pemimpin yang mampu mengkoordinir dan memanejerial segala aktivitas yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Selain itu diperlukan produk hukum sebagai landasan yang kuat dalam melaksanakan segala bentuk aktivitas dalam lingkungan pemerintahan daerah baik yang berupa Undang-Undang atau peraturan daerah sebagai legitimasi kekuasaan. Dalam hal ini sebenarnya telah diatur tentang Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Wakil Bupati diantaranya tertuang dalam pasal Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi:
4. Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
- membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
- membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
- memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
- memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
- memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
- melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
- melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(3) Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
Dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan tentang kewajiban Wakil Kepala Daerah:
4. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:
- memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- meningkatkan kesejahteraan rakyat;
- memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
- melaksanakan kehidupan demokrasi;
- menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan;
- menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
- memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
- melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
- melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;
- menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;
- menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada aya t(1), kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sedangkan larangan bagi wakil Kepala Daerah diantaranya tertuang dalam pasal Pasal 28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi:
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
- membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bag diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;
- turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
- melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik
- secara langsung. Maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
- melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
- menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasai 25 huruf f;
- menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
- merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa tugas dan wewenang Wakil Bupati sangatlah minim dan hampir tergantung pada kearifan Kepala Daerah untuk memberikan tugas dan wewenang kepada Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tidak diatur secara jelas tentang hal-hal apa saja yang dapat di berikan oleh Kepala Daerah kepada Wakil Kepala Daerah, untuk itu seringkali dijadikan alasan bagi Kepala Daerah agar Wakil Kepala Daerah tidak diberikan peran-peran yang strategis dalam pemerintahan.
Wakil Kepala Daerah dapat dikatakan hanya sebagai ban serep yang sewaktu-waktu dapat digunakan atau malah tidak diberi peran yang signifikan oleh Kepala Daerah. Hal ini yang menjadi permasalahan tarik ulur antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hingga hal ini pernah muncul dalam Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) para wakil kepala daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama memperjelas peran Wakil Kepala Daerah.[41]
3.2. Tugas dan Wewenang Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan
Sebagai wilayah bagian integral dari Indonesia Kabupaten Bangkalan merupakan unit pemerintahan daerah yang mencoba memberikan pelayanan kepada masyarakat yang didukung oleh aparatur pemerintahan yang komprehensif dan dapat melakukan aktivitasnya secara konsisten sehingga hasil yang diharapkan adalah terciptanya pemerintahan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Adapaun mengenai hal yang sesuai dengan pembahasan yakni tentang tugas Wakil Bupati secara sosiologis yang terjadi di Kabupaten Bangkalan adalah diantaranya:
a. Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah
Dalam proses melaksanakan pembantuan tugas yang dilaksanakan oleh Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan adalah hal-hal yang bersifat administratif saja. Hal-hal yang menyangkut kebijakan-kebijakan strategis yang ada dan akan dilaksanakan relatif kecil peran Wakil Bupati dalam proses pengeluaran kebijakan yang strategis, untuk itu seringkali kurang koordinasi anatara Bupati dan Wakil Bupati, akibatnya tidak ada sinkronisasi antara kebijakan yang akan di keluarkan dengan hal-hal yang akan dilaksanakan di lapangan.
b. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa.
Dalam melakukan pemantauan ini Wakil Bupati hanya bersifat administratif, artinya pemantauan biasanya sudah dilakukan dan dilaksanakan oleh bagian-bagian terkait, serta berdasarkan laporan dari berbagai macam instansi atau kecamatan yang ada. Disini terdapat hubungan vertikal antara Wakil Bupati dengan pemerintahan yang ada di wilayah tingkatan kecamatan dan di tingkatan pedesaan, untuk itu dapat dikatakan hanya bersifat administratif saja dan pada akhirnya kebijakan ada pada Bupati selaku pemegang otoritas penuh.
4. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah
Dalam hal ini Wakil Bupati jarang sekali dilibatkan dalam mekanisme dimintai saran oleh Bupati, untuk itu seringkali Wakil Bupati merasa dapat dikatakan tidak ada. Dalam permasalahan saran yang di berikan oleh Wakil Bupati seringkali tidak atau bahkan tidak dihiraukan oleh Bupati selaku kepala daerah. Dalam pelaksanaannya justru muncul Bupati yang seringkali memberikan saran kepada Wakil Kepala daerah (wakil Bupati). Untuk itu sebenarnya semangat kerjasama antara Bupati dan wakil bupati sangat diperlukan dalam rangka penciptaan pemerintahan yang komprehensif yang didukung oleh masyarakat luas. Sehingga tercipta pelayanan publik yang baik.
d. Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah
Dalam hal tugas yang diberikan oleh bupati kepada Wakil Bupati hanya hal-hal yang bersifat administratif, misalkan hanya bersifat pementauan penyelenggaraan pemerintahan desa dan ditingkatan kecamatan. Dalam hal menyangkut tugas yang relatif sangat besar dan akan menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka seringkali wakil bupati tidak diikutkan secara langsung, untuk itu sangat ironis sekali apaila yang terjadi seperti ini.
e. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan
Dalam hal Bupati berhalangan, maka Wakil Bupati yang melaksanakan tugas dan wewenang Bupati. Dalam hal ini yang terjadi di Kabupaten Bangkalan terjadi pada saat Bupati terdapat kunjungan atau sedang mlaksanakan undangan ke luar kota, maka Wakil Bupati yang melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagaimana Bupati pada umumnya, namun sedikit sekali peran yang dimiulikinya, karena hampir setiap kebijakan-kebijakan yang dimilikinya sudah dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh Wakil Bupati.
3.3 Partisipasi Publik Sebagai Alternatif Pelaksanaan Good Governance di Daerah
Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai “Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik”.[42] Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.
Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.
Tetapi, cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk UU dapat membuat UU yang sewenang-wenang. Berbagai UU yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain.
Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum-seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan-sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.
Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi ystem, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan ystem yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.
Berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan pemerintahan yang baik seperti:responsible, accountable, ystemrency, ystemrency, limitable dan lain sebagainya.
Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya.
Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hukum.
Karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum.
Pelayanan yang dipanjang-panjangkan atau bertele-tele (birokratisasi), bukan hanya memperlambat, tetapi menjadi suatu fungsi “komersial”, karena melahirkan sistem “uang pelicin”, “hadiah” yang tidak lain dari suatu bentuk suap. Hal serupa terjadi pada penegakkan hukum . Keadilan yang ditentukan oleh kemampuan tawar-menawar menurut hukum tawar-menawar.
Berdasarkan keadaan diatas, secara praktis usaha mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari pemerintahan yang bersih, memberikan kemudahan dan berbagai jaminan bagi rakyat banyak. Dan mengingat sentuhan langsung kepada masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan yang baik tidak lain dari upaya pembaharuan sistem adminstrasi negara (birokrasi) dan tata cara penegakkan hukum.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau pun tidak, tidak semata-mata terjadi karena ketentuan hukum yang tidak jelas, manajemen pemerintahan yang kurang baik atau berbagai faktor tata laksana pemerintahan lainnya.
Tatanan politik yang berlaku dapat mempengaruhi bahkan menentukan baik, kurang, atau tidak baik penyelenggaraan pemerintahan. Politisasi birokrasi untuk mendukung regim politik yang berkuasa, menjadi salah satu contoh terjadinya segala bentuk sistem perkoncoan menuju pada korupsi, kolusi dan nepotisme. Lebih lanjut, politisasi birokrasi menyebabkan administrasi tidak berorientasi kepada kepentingan masyarakat, tetapi pada kekuasaan. Birokrasi menjadi tertutup dan tidak dapat terkontrol secara wajar.
Faktor lain yang mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah kepastian dalam penegakkan hukum. Di masa Orde Baru ada semacam praktik yang ganjil, apabila seorang pejabat diketahui melakukan tindakan pidana korupsi, maka secara internal ia ditawari untuk mengembalikan hasil-hasil korupsi, namun pejabat korup ini tidak dihukum. Pengembalian hasil korupsi tersebut dianggap meniadakan sifat pidana dengan alasan negara atau pemerintah tidak mengalami kerugian. Perlindungan atas berbagai penyelewengan tersebut dilakukan antara lain demi “menjaga kewibawaan” satuan atau pejabat yang bersangkutan.
Faktor manajemen pemerintahan juga ikut menentukan, termasuk sistem sentralisasi yang mengabaikan penyelenggaraan pemerintah dalam satu sistem otonomi yang akan memungkinkan daerah dapat ambil bagian secara wajar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sentralisasi yang berjalan terutama 40 tahun terakhir selain melahirkan birokratisasi mahal, juga pada saat ini melahirkan berbagai tuntutan dari berbagai daerah untuk melepaskan diri dari ikatan RI.
Tidak kalah penting adalah sumber daya manusia. Mulai dari rekuitmen (untuk sebagian dilakukan dengan dasar koncoisme atau suap) menyebabkan sumber daya manusa tidak selalu memiliki kualifikasi sebagai pengemban penyelenggara pemerintahan yang baik. Selain dasar-dasar hubungan primordial, ketentuan-ketentuan yang mengatur ystem promosi tidak jarang menjadi hambatan memperoleh tenaga yang masih berpotensi melaksanakan tugasnya dengan baik.
Berbagai faktor diatas merupakan sebagian kenyataan yang menyebabkan sulitnya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Sebenarnya baik secara ilmiah maupun berbagai bentuk kebijakan telah banyak disusun konsep untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Tetapi tidak terlaksana sebagai mestinya, bila karena faktor-faktor politik maupun kurangnya kemauan dari pengelola pemerintahan.
Demokrasi dan juga supremasi hukum seyogyanya menjadi pangkal tolak mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Berdasarkan prinsip demokrasi dan supremasi hukum dapat diharapkan unsur-unsur seperti keterbukaan, dapat diawasi, akuntabilitas dan lain sebagainya. Usaha untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat dilakukan seperti cara di bawah ini.
Pertama, melanjutkan pembaharuan politik. Peraturan perundang-undangan di bidang politik yang menjadi dasar pembentukan pemerintahan baru, dapat diperbaharui. Ketentuan-ketentuan mengenai sistem pemilu, susunan MPR, DPR, dan DPRD, KPU yang independen dan lain-lain perlu ditata kembali.
Kedua melanjutkan pembaharuan UUD. Pembahruan ini tidak hanya mengenai jabatan kepresidenan, tetapi perbaikan keseluruhan termasuk menyusun kembali badan perwakilan menuju sistem dua kamar. Demikian pula mengenai lembaga negara lain, disamping ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi dan lain sebagainya.
Ketiga, melanjutkan pembaharuan kekuasaan kehakiman seperti sistem pemilihan hakim Agung, pertanggungjawaban hakim yang melanggar hukum, wewenang menguji tindakan pemerintahan dan peraturan perundangan dibawah UUD, masa jabatan haik dan lain sebagainya.
Keempat, pembahruan administrasi negara. Melanjutkan pembebasan administrasi negara dari segala pengaruh politik. Penyusunan kembali organisasi administrasi negara. Menyiapkan daerah untuk menjalankan tatanan otonomi baru yang meletakkan titik berat penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam kaitan dan pemikiran bentuk negara federal, perlu dibentuk Komisi Nasional untuk menyelidiki masalah federal dan juga otonomi. Usaha merampingkan administrasi negara untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perlu ditingkatkan tanpa mengurangi asas kehati-hatian dan tidak sewenang-wenang. Memperbesar gaji pegawai dapat lebih memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya.
Kelima, ketegasan dalam menjalankan prinsip dan ketentuan hukum untuk menjamin kepastian, ketertiban dan keadilan hukum.
Keenam, Melakukan evaluasi terhadap segala produk hukum masa lalu, dalam rangka membangun satu tertib hukum yang utuh dan harmonis satu sama lain. Tugas ini seyogyanya dijalankan Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan mengikutsertakan para ahli dan juga praktisi dari kalangan kampus.
Ketujuh, menata kembali pemerintahan desa agar mampu menjalankan pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan rakyat banyak. Penataan ini dapat mencakup kemungkinan penggabungan desa-desa agar lebih managable dan mandiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
- Kedudukan, tugas dan wewenang Wakil Bupati dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah tidak diatur secara jelas, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan pertentangan antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
- Tugas dan wewenang Wakil Bupati di Kabupaten Bangkalan tidak terlalu signifikan peran dan fungsinya, hal itu dikarenakan peran dan fungsinya lebih dominan berada di tangan Bupati, sehingga peran Wakil Bupati menjadi tidak jelas.
4.2 Saran
- Diharapkan terdapat revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terutama yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Wakil Kepala Daerah.
- Diharapkan Bupati di Kabupaten Bangkalan tidak mendominasi tugas dan wewenang yang ada, akan tetapi mendelegasikan kepada Wakil Bupati.
DAFTAR PUSTAKA
Wiratma I Made Leo, Purifikasi Sistem Presidensiil, Percetakan Kanisius Jogjakarta, 2006, Hal 37.
Abdiel, Partisipasi Publik, Percetakan Kanisius Jogjakarta, 2006 Hal 17.
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Carol C.Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, h.229
Harold J Laski, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin LTD, London ,1938 h. 44
Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996 hal. 153
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1987 h. 41
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, h.59
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, h.12
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Jakarta, 1999, h.162
Harold J Laski, A Grammar Of Politics, (Terjemahan) George Allen & Unwin LTd, London, 1938. h. 297
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Kelembagaan Negara di Indonesia, Konnpress, Jakarta, 2005, h. 70
April Carter, Otoritas Dan Demokrasi, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, h. 65
AV, Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, (Terjemahan) Mc. Millan Education LTD, London, 1959, h. lxi
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSHFH UII, Yogyakarta, 2001: Hal. 174
Benyamin Hoessein, Membangun Visi dan Persepsi yang Sama Antara Daearah dan Pusat dalam Memantapkan Otonomi Daerah, Makalah, Bandung, 1998: Hal.17
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999: Hal. 33
Ateng Syarifudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah UNPAR Bandung, 1983: Hal.18
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISIKA, Krawang, 1993. Hal.2
SH. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, PustakaSinar Harapan, Jakarta, 1999: Hal.38,
Bandingkan juga dengan Josef Riwo Kaho, Prospek Otonomi Daerah, Rajawali Perss, Jakarta, 1991: Hal. 15
Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hal. 35
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2002, Hal. 25
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 2006, Hal. 78
Hermanto Rudi,Implementasi Desentralisasi di Jawa Barat: Kasus pemerintah Kota Bandung dan Propinsi Jawa Bara, Yogyakarta,Kanisius,2006,Hal 113.
Siswanto Sunarno,. Hukum Pemerintaha Daerah di Indonesia.Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Hal 3.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35
Josef Riwo Kaho, Otonomi Luas dan Desentralisasi, Grafitti, Jakarta, 1989, Hal. 12
Sumadi, Membangun Komonikasi Publik Yang Kuat “Menciptakan Good Governance
Harian Umum Pelita, tanggal 19 Juni 2007
Philipus M. Hadjon, Hukum Admistrasi di Indonesia, UGM Press, 2002, Hal. 37
[1] Wiratma I Made Leo, Purifikasi Sistem Presidensiil, Percetakan Kanisius Jogjakarta, 2006, Hal 37.
[2] Abdiel, Partisipasi Publik, Percetakan Kanisius Jogjakarta, 2006 Hal 17.
[3] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[4] Carol C.Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1993, h.229
[5] Harold J Laski, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin LTD, London ,1938 h. 44
[6] Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996 hal. 153
[7] Ibid, h 154
[8] M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1987 h. 41
[9] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, h.59
[10] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, h.12
[11] Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, Jakarta, 1999, h.162
[12] Solly Lubis, Op.Cit, h.42
[13] Ibid, h..42
[14] Padmo Wahjono, Op.Cit, h, 156
[15] Ibid, h.156
[16] M.Solly Lubis, Op, Cit, h. 41
[17] Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1ayat 2
[18] Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatianyang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru.
[19] Harold J Laski, A Grammar Of Politics, (Terjemahan) George Allen & Unwin LTd, London, 1938. h. 297
[20] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Kelembagaan Negara di Indonesia, Konnpress, Jakarta, 2005, h. 70
[21] April Carter, Otoritas Dan Demokrasi, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, h. 65
[22] AV, Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, (Terjemahan) Mc. Millan Education LTD, London, 1959, h. lxi
[23] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSHFH UII, Yogyakarta, 2001: Hal. 174
[24] Benyamin Hoessein, Membangun Visi dan Persepsi yang Sama Antara Daearah dan Pusat dalam Memantapkan Otonomi Daerah, Makalah, Bandung, 1998: Hal.17
[25] Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999: Hal. 33
[26] Ateng Syarifudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah UNPAR Bandung, 1983: Hal.18
[27] Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISIKA, Krawang, 1993. Hal.2
[28] Bhenyamin Hoessein, Op Cit. Hal. 18
[29] Bagir Manan, Op Cit. Hal. 4
[30] SH. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan ke Daerah, PustakaSinar Harapan, Jakarta, 1999: Hal.38, Bandingkan juga dengan Josef Riwo Kaho, Prospek Otonomi Daerah, Rajawali Perss, Jakarta, 1991: Hal. 15
[31] Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hal. 35
[32] Siswanto, Ibid, Hal 45
[33] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2002, Hal. 25
[34] Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 2006, Hal. 78
[35] Hermanto Rudi,Implementasi Desentralisasi di Jawa Barat: Kasus pemerintah Kota Bandung dan Propinsi Jawa Bara,Yogyakarta,Kanisius,2006,Hal 113.
[36] Lihat Sarundajang, Opcit, hal 25-29
[37] Siswanto Sunarno,. Hukum Pemerintaha Daerah di Indonesia.Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Hal 3.
[38] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35
[39] Josef Riwo Kaho, Otonomi Luas dan Desentralisasi, Grafitti, Jakarta, 1989, Hal. 12
[40] Sumadi, Membangun Komonikasi Publik Yang Kuat “Menciptakan Good Governance” Makalah LK II HMI Cabang ciamis,26 Desember 2004, Hal ;2-3
[41] Harian Umum Pelita, tanggal 19 Juni 2007
[42] Philipus M. Hadjon, Hukum Admistrasi di Indonesia, UGM Press, 2002, Hal. 37
No comments:
Post a Comment