Tuesday, May 1, 2012

Mengatasi Krisis Pendidikan di Indonesia

Ironis. Itulah pikiran yang muncul ketika mengamati dunia pendidikan di negeri ini. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain dalam praktek belajar mengajarnya telah menerapkan hasil-hasil penelitian tentang bagaimana siswa belajar, sehingga siswa larut dalam kegiatan belajar (engaged in the learning activities), pendidikan di Indonesia malah menghasilkan generasi yang suka tawuran dan tidak siap untuk menghadapi tantangan kehidupan. Bukan hanya pada tingkat sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas, bahkan pada tingkat sekolah dasarpun sering terjadi perkelahian siswa.

Berkenaan dengan perkelahian dan tawuran pelajar ini, beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan ada hubungan yang terbalik antara keterlibatan siswa dalam berbagai tindakan anti-sosial dan kejahatan dengan keterlibatan (engagement) siswa dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Semakin tinggi keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar, semakin rendah kemungkinannya terlibat dalam tindakan anti-sosial dan kejahatan. Dan sebaliknya.

Jalan di Tempat

Beberapa teman, ketika mengamati kondisi pendidikan di Indonesia, berkata bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu tentu saja tidak benar. Pendidikan di Indonesia masih sama seperti tiga puluh tahun yang lalu. Itulah masalahnya. Ketika pendidikan di negara-negara yang lain maju dengan pesat, pendidikan di Indonesia masih berjalan di tempat.

Masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia terjadi karena sistem pendidikan masih menerapkan konsep dan praktek-praktek pendidikan yang sudah ketinggalan zaman, yang dikembangkan lebih dari satu abad yang lalu.

Beberapa Masalah Penting

Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis pendidikan di Indonesia:

Pertama, kurikulum yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat. Di sekolah-sekolah di Indonesia siswa diwajibkan untuk mempelajari banyak sekali mata pelajaran yang kadang-kadang tidak ada kaitannya satu sama lain, dan sama sekali tidak relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya, siswa kelas dua SD di Bandung dipaksa mempelajari sebelas mata pelajaran setiap semester. Bandingkan dengan sekolah-sekolah Internasional di mana siswa hanya mempelajari lima sampai enam mata pelajaran. Secara sederhana saja langsung terlihat bahwa siswa di sekolah-sekolah Internasional memiliki waktu dua kali lebih banyak daripada siswa di sekolah-sekolah Indonesia. Penelitian terbaru dalam bidang psikologi kognitif dan neuroscience menunjukkan bahwa bukan banyaknya informasi yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi ahli (expert) dalam suatu bidang, melainkan bagaimana berbagai informasi yang ada disusun dalam suatu skema atau model mental yang mudah diakses ketika diperlukan. Dalam proses penyusunan informasi itu ke dalam suatu skema atau model mental, orang yang ahli biasanya menyingkirkan informasi-informasi yang tidak relevan, dan menyusun ulang informasi-informasi yang relevan saja. Hal ini akan membuat proses mengakses informasi itu menjadi efisien. Hal itulah yang membuat seorang ahli terlihat begitu lancar dan elegan dalam mengerjakan apa yang menjadi keahliannya, seolah-olah dia tidak perlu berpikir lagi dalam melakukannya. Sebaliknya, banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari di sekolah tidak memberi kesempata bagi siswa untuk menyusun skema yang dapat diakses dengan efisien.

Kedua, praktek-praktek pendidikan, seperti perencanaan, pengajaran, dan evaluasi hasil belajar yang tidak sesuai. Kebanyakan guru tidak membuat rencana pengajaran (lesson plan) yang memadai. Beberapa guru yang pernah penulis wawancarai mengakui bahwa mereka hanya membaca kembali bahan yang akan diajarkan keesokan harinya, tanpa mengkaji ulang apakah bahan yang akan diajarkan masih valid dan bagaimana mengantisipasi situasi belajar yang mungkin tidak sesuai dengan rencana. Misalnya, apa yang harus dilakukan oleh guru kalau siswa terlihat kurang termotivasi.

Dari pengamatan yang penulis lakukan di beberapa sekolah juga terlihat bahwa guru sangat bergantung pada metode ceramah ketika menyampaikan pelajaran. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh para guru adalah padatnya pelajaran dan kurangnya waktu untuk menyelesaikan bahan yang sudah ditetapkan oleh DEPDIKNAS. Tetapi dari pengamatan penulis, hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan para guru. Pendapat ini sejalan dengan Darling-Hammond (dalam Woolfolk, 2004) yang meneliti bagaimana kualifikasi guru berhubungan dengan prestasi siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas guru, yang dinilai dari sertifikat mengajar dan gelar kesarjanaan dalam bidang yang diajarnya, memiliki hubungan yang nyata dengan prestasi siswa.

Masalah yang lain adalah penilaian atau evaluasi hasil belajar mengajar. Ada pemikiran bahwa ujian atau evaluasi hasil belajar hanya merupakan sarana untuk menilai kemampuan siswa. Padahal evaluasi hasil belajar seharusnya merupakan sarana untuk menilai keberhasilan guru dan sistem pendidikan dalam membantu anak didik meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Di samping itu, sampai sekarang penilaian hasil belajar siswa kebanyakan dilakukan melalui ujian tertulis, yang biasa disebut paper and pencil test. Hal ini masih diperburuk oleh pelaksanaan ujian akhir nasional, yang memukul rata semua siswa di seluruh wilayah tanah air ini, seolah-olah siswa di Papua tidak ada bedanya dengan siswa di Jawa atau daerah lainnya. Beberapa ahli pendidikan sebenarnya sudah mengusulkan untuk melakukan penilaian berdasarkan portfolio siswa, tetapi dalam prakteknya belum ada sekolah yang melakukannya. Hal ini mungkin disebabkan sulitnya melakukan penilaian berdasarkan portfolio ini, karena setiap individu siswa harus dinilai berdasarkan perkembangannya sendiri. Kebanyakan guru kelihatannya belum mampu untuk melaksanakan cara ini.

Ketiga, pengembangan diri guru yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah pengembangan diri guru merupakan masalah yang klasik. Kebanyakan sekolah tidak memiliki rencana definitif untuk membantu guru mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya mengajar. Karena itu perkembangan kemampuan guru sangat tergantung pada usaha dan kreativitas guru sendiri sebagai individu.

Beberapa Hasil Penelitian:

Banyak penelitian menunjukkan bahwa cara belajar yang paling berhasil adalah yang melibatkan siswa aktif dalam pembelajarannya. Tetapi apa yang terjadi di ruang-ruang kelas sekolah di Indonesia. Anak-anak duduk diam mendengarkan guru. Pembelajaran berjalan membosankan. Memang beberapa tahun yang lalu ada usaha untu mengembangan cara belajar yang melibatkan siswa secara aktif, yang dikenal dengan nama "Cara Belajar Siswa Aktif" (CBSA). Tetapi karena kurangnya dukungan terhadap pelaksanaan cara belajar ini, akhirnya guru sendiri kebingungan untuk menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajarnya, sampai ada beberapa guru yang memplesetkan singkatan CBSA menjadi Catat Bahan Sampai Abis. Pada akhirnya program ini terhenti begitu saja.

Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang berhasil adalah di mana siswa melakukan konstruksi terhadap pengetahuannya. Ini berarti siswa diberi kesempatan untuk memasuki pengalaman belajar yang menantang pemikirannya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan pengetahuan yang didapat dari pengalaman itu. Sesuai dengan itu proses belajar yang paling berhasil adalah di mana siswa berusaha memecahkan masalah, khususnya yang berkaitan dengan kehidupannya. Hal ini akan membuat pembelajaran itu relevan dengan kehidupan siswa.

Untuk memecahkan masalah, sering kali siswa harus bekerja sama dengan siswa yang lain. Tetapi di sekolah-sekolah di Indonesia, siswa yang bekerja sama dianggap curang. Tentu saja siswa yang bekerja sama dianggap curang karena sistem pengujian yang dangkal dan hanya menguji ingatan siswa, tidak memberi kesempatan siswa untuk mengungkapkan pemahaman yang mendalam.

Penelitian-penelitian dalam psikologi pendidikan dan psikologi kognitif menunjukkan bahwa proses belajar akan berlangsung paling baik kalau anak belajar dalam suasana yang menyenangkan. Beberapa penelitian dalam bidang neuroscinece bahkan menunjukkan pembelajaran paling berhasil ketika otak dalam keadaan rileks. Hal ini menjelaskan mengapa apa yang dipelajari di Taman Kanak-kanak (TK) biasanya terus diingat oleh anak sampai dewasa. Pelajaran itu melekat dalam pikiran anak karena dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, yaitu di mana anak belajar sambil bermain. Atau lebih tepat lagi, anak bermain sambil belajar. Proses belajar menjadi bagian dari kegiatan bermain itu.

Bukan hanya untuk anak yang masih kecil, untuk anak yang lebih tuapun prinsip ini berlaku. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa kegiatan belajar yang paling berhasil terjadi dalam suasana bermain, baik untuk anak-anak maupun untuk orang dewasa. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan “No laughing, no learning.” Kalau tidak ada tawa, tidak belajar.

Bandingkan dengan suasana belajar di kebanyakan kelas di sekolah-sekolah, di mana bercanda di dalam kelas dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap otoritas guru. Bagaimana otak yang begitu tegang itu dapat belajar dengan baik? Tentu saja tidak dapat. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa biasanya siswa lupa apa yang dipelajarinya selama satu semester segera setelah dia selesai ujian akhir semester itu.

Penutup:

Kalau mau mengejar ketinggalan yang sangat jauh ini, dunia pendidikan di Indonesia harus mengubah sistem pendidikan yang ada. Dunia pendidikan harus memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang ada.

Ada tiga prinsip umum yang harus dipakai dalam sistem pendidikan. Pertama, kurikulum dan evaluasi harus disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, bahkan harus sesuai dengan masing-masing individu pembelajar kalau mungkin. Kedua, pengajaran harus memakai pendekatan siswa aktif di mana pembelajar diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksinya dengan bahan, dengan pengajar dan dengan sesama siswa. Ketiga, pengajar harus membangun suasana belajar yang menyenangkan di mana siswa dapat bermain sambil belajar.

1 comment:

Ari Nugraha said...

salam kenal juga sob, thanks udah koemtar yach...kapan2 komentar lagi yach..