Saturday, December 31, 2011

Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional


Akhir-akhir ini ramai dibicarakan Sekolah Bertaraf Internsional atau SBI. Sebuah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya. Icon SBI di mata masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari bilingual sebagai medium of instruction, multi media dalam pembelajaran di kelas, berstandar internasional, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan lain-lain.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai landasan hukum penyelenggaraan SBI, konsep dan karakteristik SBI, maupun analisis kritis terhadap kebijakan SBI.

A. Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1.   Landasan Hukum
  1. UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.[1]
  1. Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
1).  Pemerataan dan Perluasan Akses
2).  Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing. Salah satunya pembangunan sekolah bertaraf internasional untuk meningkatkan daya saing bangsa. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengembangan SBI pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk mengembangkan SD, SMP, SMA, dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.
3).  Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik.[2]
2.   Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
  1. Filosofi Eksistensialisme dan Esensialisme
Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.[3]
Filosofi eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.[4]
  1. SNP + X (OECD)
Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong. [5]
Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum Internasional.
Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia) [6] dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/di-kembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.
Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah untuk memenuhi karakteristik (konsep) Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (X) sebagai indikator kinerja kunci tambahan. Dua cara itu adalah: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsure SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju lainnya.[7]
  1. Karakteristik Sekolah Bertaraf Internasional
1). Karakteristik visi
Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan visi sangat penting sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony Bush&Merianne Coleman menjelaskan visi untuk menggambarkan masa depan organisasi yang diinginkan. Itu berkaitan erat dengan tujuan sekolah atau perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam terma-terma nilai dan menjelaskan arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush&Merianne Coleman mengutip pendapat Block, bahwa visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan. [8]
Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional.[9] Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
2). Karakteristik Esensial
Karakteristik esensial dalam indikator kunci minimal (SNP) dan indikator kunci tambahan (x) sebagai jaminan mutu pendidikan bertaraf internasional dapat dilihat pada table di bawah ini.
Karakteristik Esensial SMP-SBI sebagai Penjaminan Mutu
Pendidikan Bertaraf Internasional[10]

No
Obyek Penjaminan Mutu (unsur Pendidikan dalam SNP)
Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)
Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)
I
Akreditasi
Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah
Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam bidang pendidikan
II
Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi lulusan
Menerapkan KTSP
Sekolah telah menerapkan system administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.
Memenuhi Standar Isi
Muatan pelajaramn (isis) dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.
Memenuhi SKL
Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP

Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, tekno-logi, seni, dan olah raga.
III
Proses Pembelajaran
Memenuhi Standar Proses
·      Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
·      Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.
·      Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
·      Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.
IV
Penilaian
Memenuhi Standar Penilai-an
Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan system/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.
V
Pendidik
Memenuhi Standar Pen-didik
·      Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
·      Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK
·      Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
VI
Tenaga Kependidikan
Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan
·      Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
·      Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah
·      Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
·      Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat
VII
Sarana Prasarana
Memenuhi Standar Sarana Prasarana
·      Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
·      Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
·      Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.
VIII
Pengelolaan
Memenuhi Standar Penge-lolaan
·      Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
·      Merupakan sekolah multi kultural
·      Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri
·      Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain
·      Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah
IX
Pembiayaan
Memenuhi Standar Pem-biayaan
·      Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan


3). Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality Assurance)
a).  output (produk)/lulusan SBI
Adalah memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global.
Ciri-ciri output/outcomes SBI sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjtkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.[11]

b).  proses pembelajaran SBI
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery, (2) menerapkan model pem-belajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6)dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengoimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.[12]
c).  input
      ciri input SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. (4) siswa baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI memeliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.
B.  Analisis Kritis Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
            Tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Kebijakan pemerintah mengenai SBI selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat (3), dan juga - menurut Satria Dharma -, SBI merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.[13]
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam.
Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang SBI tersebut.
1.   SBI lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan Pendekatan Cost Effectivenes (efektivitas biaya).
Pendekatan Cost Effectiveness adalah pendekatan yg menitikberatkan pemanfaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar-benar memberikan keuntungan yang relatif pasti, baik bagi penyelenggara maupun peserta didik.[14]
Konsekwensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di SBI, sebab SBI lebih menekankan efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang memiliki kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.
2.   Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.
      Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).
3.   Konsep SNP+X kurang jelas
            Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional.
            Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga menurut Satria Dharma, mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur. [15]
4.      Potensi terjadi komersialisasi pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.[16]

5.      Tujuan pendidikan yang misleading
Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut  mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.
Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.[17]
6.      Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.[18]
7.      Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL >500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. [19]
8.      Kebijakan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. [20] Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.
C.  Kesimpulan dan Saran
            Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan.
            Dalam perjalanannya, kebijakan SBI mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara konseptual maupun sistem pembelajarannya. Ibarat kata pepatah tiada gading tak retak, maka pemerintah sebaiknya melakukan pelbagai langkah perbaikan konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan melakukan studi/penelitian mendalam sebelum kebijakan tersebut bergulir.




Daftar Pustaka

Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Bush, Tony & Coleman, Merianne. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD.
Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: CV. Grafika Indah.
Haryana, Kir. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara., hal 59
http/www.satriadharma.wordpress.com
http/www.64.203.71.11.com


[1] Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
[2] Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
[3] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama., hal. 37
[4] Ibid., hal. 37-38
[5] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah, hal. 41
[6] Standar Nasional Pendidikan meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.( Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan).
[7] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah, hal. 41
[8] Tony Bush & Merianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD, hal. 363-37.
[9] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah, hal. 43
[10] Ibid., hal. 45
[11] Ibid.,hal. 41
[12] Ibid., hal 42
[13] http/www.satriadharma.wordpress.com
[14] Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara., hal 59
[15] http/www.satriadharma.wordpress.com
[16] Sebagaimana Soelastri Soekirno/ tonny d widiastono mempertanyakan bahwa, apakah sekolah-sekolah yang kabarnya menggunakan standar internasional dan menarik uang masuk mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 60 juta dan uang sekolah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan, masih mengemban misi ingin mencerdaskan bangsa? Entahlah. Namun, fenomena baru yang muncul di masyarakat justru sekolah-sekolah seperti itu yang kini malah laku. Lakunya sekolah seperti itu umumnya karena menggunakan bahasa asing sebagai pengantar, jumlah siswa yang kecil untuk tiap kelas, dan fasilitas yang canggih. (http/www.64.203.71.11.com)
[17] http/www.satriadharma.wordpress.com
[18] Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan.Yogyakarta: CV. Grafika Indah., hal. 211
[19] http/www.satriadharma.wordpress.com
[20] Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan…,hal. 236

No comments: