Tuesday, January 3, 2012

Konsep Psikologis Manusia


Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan  obyek sekaligus. Menusia berfikir dan merenung, kemudian menjadikan  dirinya sebagai obyek fikiran dan renungan.. Manusia sangat menarik  di mata manusia itu sendiri. Terkadang manusia dipuja, tetapi di kala  yang lain ia dihujat. Secara internal manusia sering merasa bangga dan  bahagia menjadi manusia, tetapi di mata orang lain atau di waktu yang  lain, ia terkadang menyesali diri sendiri, menyesali keberadaannya  sebagai manusia.
Ada manusia yang perilakunya berada di luar batas perikemanusiaan,  tetapi ada juga manusia yang begitu tinggi tingkat kemanusiaannya  sehingga ia disebut sebagai "manusia suci". Pada umumnya manusia  tertarik untuk bertanya tentang dirinya ketika berada dalam puncak- puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keberhasilan dan puncak  kegagalan. Ada kesepakatan pandangan, bahwa betapapun manusia terdiri  dari jiwa dan raga, tetapi penilaian tentang kualitas manusia  terfokus pada jiwanya, terkadang disebut hatinya, karena hakikat manusia adalah jiwanya..
Dalam sejarah keilmuan, lahirnya filsafat, antropologi, psikologi,  ekonomi dan politik sesungguhnya juga merupakan upaya mencari jawaban  tentang manusia, tetapi khusus tentang jiwa manusia, ia dibahas  oleh filsafat, psikologi dan agama.
Psikologi sebagai disiplin ilmu baru lahir pada akhir abad 18 Masehi,  tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitif  ummat manusia. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya,  tubuhnya hanya sekedar alat saja. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa  adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adalah fungsi dari  mata. Hinga kini sekurang-kurangnya ada empat mazhab psikologi, yakni  (1)Psikoanalisa, (2) Behaviorisme, (3) Kognitif dan (4) Humanisme.  Empat mazhab itu menggambarkan adanya dinamika pemahaman terhadap  manusia yang sifatnya trial and error.
Freud dengan teori psikoanalisanya memandang manusia sebagai homo  volens, yakni makhluk yang perilakunya dikendlikan oleh alam bawah  sadarnya. Menurut teori ini, perilaku manusia merupakan hasil  interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni  komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani,  intelek dan moral.
Teori ini dibantah oleh Behaviorisme yang memandang perilaku manusia  bukan dikendalikan oleh factor dalam (alam bawah sadar) tetapi  sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak,y ang terukur,  dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut  sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang  bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh  factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak  dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa  dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami
atau yang dipersiapkan untuknya.
Teori ini dibantah lagi oleh teori Kognitif yang menyatakan bahwa  manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa  aktif bereaksi secara aktif terhadap lingkungan dengan cara  berfikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapi dan  merespond dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori  Kognitif, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir.
Teori Kognitif dilanjutkan oleh teori Humanisme. Psikologi Humanistik  memandang manusia sebagai eksistensi yang positip dan menentukan.  Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki cinta, krestifitas, nilai  dan makna serta pertumbuhan pribadi. Oleh karena itu teori Humanisme  menyebut manusia sebagai homo ludens, yakni manusia yang mengerti  makna kehidupan. Psikologi Humanistik sudah mulai meraba-raba wilayah yang  sumbernya dari wahyu, yakni disamping membahas kecerdasan intelektual  dan emosional, juga dibahas kecerdasan spiritual.

Konsep Manusia dalam Al-Qur’an
Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas. Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Dalam tulisan ini benar-salah kedua konsep itu tidak dibahas secara intens. Tulisan ini akan lebih menakankan konsep manusia dalam al-Qur’an (konsep kedua), dan sedikit memberi ruang penjelasan untuk konsep manusia melalui teori evolusi, sekedar analisa perbandingan saja. Dari sini korelasi kedua konsep ini akan sedikit sekali diperlihatkan.
Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S Al-Baqarah:34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa.
Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian,
ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.

Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah………….” (Q.S Al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didayagunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan.
Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…….” (Q.S Al-Baqarah : 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka. Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.

Unsur-unsur dalam diri manusia
Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (Q.S As-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an
Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang, “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?” Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.

Kesimpulan
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Atau mengabaikan potensialitas itu dengan menuruti hawa nafsu dalam dirinya.
Allah selalu mengingatkan hamba-Nya untuk selalu berbakti kepada-Nya. Dan sangatlah merugi jika manusia mensia-siakan waktunya untuk tidak berbakti kepada Allah SWT. Karena bagaimanapun fitrah manusia terletak di situ. “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukakankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Seungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhaadap ini (keesaan Tuhan).’” (al-A’raf ayat 172. Manusia hidup dan mati pada akhirnyapun akan menuju Allah SWT. Semua yang ada pada manusia tetap menjadi milik Allah SWT, dan jika manusia melupakan ini maka, merugilah ia.

No comments: