Tuesday, December 27, 2011

Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan, melalui manajemen sekolah (School Based Management).
Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. Pengertian
Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management dapat didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.
2. Esensi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.
Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.
Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian din dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan- masa depan yang lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.
Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju MBS’dapat digambarkan sebagai berikut.
Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju MBS dapat digambarkan sebagai berikut
Pola lama
Menuju
Pola baru
- Subordinasi
——>
- Otonomi
- Pengambilan keputusan terpusat
——>
- Pengambilan keputusan partisipasi
- Ruang gerak kaku
——>
- Ruang gerak luwes
- Pendekatan birokratik
——>
- Pendekatan Profesional
- Sentralistik
——>
- Desentralistik
- Diatur
——>
- Motivasi diri
- Overregulasi
——>
- Deregulasi
- Mengontrol
——>
- Mempengaruhi
- Mengarahkan
——>
- Memfasilitasi
- Menghindar Resiko
——>
- Mengelola resiko
- Gunakan uang semuanya
——>
- Gunakan yang seefisien mungkin
- Individu yang cerdas
——>
- Informasi terbagi
- Informasi terpribadi
——>
- Pemberdayaan
- Pendelegasian
——>
- Organisasi datar
- Organisasi herarkis


Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut di atas, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya.
Selanjutnya,melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut :
1.      Pengelolaan sekolah akan lebih desentaristik
2.      Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
3.      Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
4.      Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi.dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
5.      Akan mengalami peningkatan manajemen.
6.      Dalam bekerja, akan menggunakan team work
7.      Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah
8.      Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, maka:
1.      Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.
2.      Dengan demikian sekolah dapat mengoptimal kan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
3.      Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik,
4.      Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada, umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasarn mutu pendidikan yang telah direncanakan.
5.      Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah yang lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah
2.      Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko)
3.      Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.
4.      Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
5.      Komitmen yang tinggi pada dirinya.
6.      Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Pekerjaan adalah miliknya
2.      Bertanggung jawab
3.      Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya
4.      Mengetahui poisisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya
5.      Pekerjaan merupakan bagian hidupnya.
Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:
1.      Visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal.
2.      Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.
3.      Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.
4.      Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal.
5.      Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.
Kesimpulan dan Saran
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertehtu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring dengan bergulirnya era dtonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melaJui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS. MBS bukan sekedar mengubah penedekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.
Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai. ^
Daftar Pustaka
1. Depdiknas; Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 dan 2; Jakarta; Depdiknas
2. Dadi Permadi; Artikel Pikiran Rakyat; tanggal 17 Pebruari 2001



No comments: