BAB
I
PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 2006 dan sampai pertengahan tahun 2007, sebagian besar satuan pendidikan sibuk dengan pekerjaan besar, yaitu menyusun kurikulumnya sendiri yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri. KTSP sebenarnya positif, sebab sekolah diberi otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar Kompetensi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hanya saja, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang dibuat dari "pusat". Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
Pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih baik, karena
guru harus memikirkan perencanaan penyampaian materinya. Penerapan KTSP
memberikan peluang bagi setiap sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, dan
untuk itu tiap guru yang akan mengajar di kelas dituntut memiliki kemampuan
menyusun kurikulum yang tepat bagi peserta didiknya.
Banyak hasil yang diperoleh dari kegiatan penyusunan KTSP
tersebut, tidak saja berupa silabus dan rencana pembelajaran serta keterampilan
menerapkannya, tetapi juga memberi pengalaman baru bagi guru tentang bagaimana
berpikir tentang masa depan pendidikan bagi peserta didiknya. Bekal pengetahuan
dan keterampilan tersebut akan digunakan guru dalam mengimplementasikan KTSP.
Dari sekian macam kegiatan yang dilakukan, guru masih meragukan hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan KTSP antara lain tentang waktu yang diperlukan
peserta didik untuk "tuntas" pada kompetensi dasar tertentu. Hal itu
disebabkan adanya kebiasaan guru yang biasanya selesai diterangkan selama 15
menit, tetapi dengan sistem pembelajaran pada KTSP, guru seolah menjadi repot
dan misalnya butuh waktu lama. Ini berarti bahwa guru masih merasa bahwa
cara-cara yang dilakukan dalam mengajar selama ini diangggap sudah baik dan
guru sudah "hafal" dengan cara-cara tersebut. Apalagi dengan bertambahnya tugas guru dalam melakukan
penilaian terhadap peserta didiknya, karena peserta didik harus dinilai tidak
hanya aspek kognitifnya tetapi juga aspek afektif dan psikomotornya Padahal,
dengan cara-cara seperti yang dilakukannya bertahun-tahun, ¬hasil atau mutu
pendidikan kita sekarang dianggap masih rendah dan¬ peserta didik kita masih
belum dapat bersaing dengan negara lain.
BAB II
PERMASALAHAN
DAN PEMBAHASAN
A.
Keunggulan Dan Kelemahan KTSP
KTSP yang juga. merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan konsep ini, meski
bukan format satu-satunya untuk mengantisipasi permasalahan pendidikan, namun
secara umum, KTSP bisa 'diandalkan' menjadi patokan menghadapi tantangan masa depan
dengan pembekalan keterampilan pada peserta didik. Keunggulan lain, KTSP
memiliki kemampuan beradap¬tasi dengan daerah ,setempat, karena keterampilan
yang diajarkan berdasar¬kan pada lingkungan dan kemampuan peserta didik. Di
samping itu juga adanya penghargaan bagi pribadi peserta didik. Peserta didik
yang mampu menyerap materi dengan cepat akan diberi tambahan materi sebagai
pengayaan, dan peserta didik yang kurang akan ditangani oleh guru dengan penuh
kesabaran dengan mengulang materinya atau memberi remedial. Peserta didik juga
diajak bicara, diskusi, wawancara dan membahas masalah-masalah yang
kontekstual, yang dalam kenyataannya memang diperlukan sehingga peserta didik
menjadi lebih mengerti dan menjiwai permasalahannya karena sesuai dengan keadaan
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Peserta. didik tidak hanya dituntut
untuk menghafal namun yang lebih penting sudah adalah belajar proses sehingga
men dorong peserta didik untuk meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Namun, kesulitan yang
mung¬kin saja timbul dari pelaksanaan KTSP ini adalah diperlukannya waktu yang
cukup oleh pendidik dalam membina perkembangan peserta didiknya, ter¬utama
peserta didik yang berkemam¬puan di bawah rata-rata. Kenyataan membuktikan,
kondisi sosial dan ekonomi yang menghimpit kesejahteraan hidup para guru,
menyebabkan mereka kurang berkonsentrasi dalam proses pembelajaran. Belum lagi
mengingat kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah. Ini artinya, KTSP
menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk
membuat. kurikulum sendiri.
Kendala lain, KTSP menuntut kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran berbasis kompetensi dengan merencanakan sendiri bagaimana strategi yang tepat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah setempat. Di samping masalah fasilitas pendidikan di sekolah yang masih sangat minim. Padahal konsep ini lebih menitikberatkan pada praktek di lapangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dibanding teori semata. Kendala lain yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assessment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengararnya.
Kendala lain, KTSP menuntut kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran berbasis kompetensi dengan merencanakan sendiri bagaimana strategi yang tepat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah setempat. Di samping masalah fasilitas pendidikan di sekolah yang masih sangat minim. Padahal konsep ini lebih menitikberatkan pada praktek di lapangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dibanding teori semata. Kendala lain yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assessment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengararnya.
Berkenaan dengan tidak
ada¬nya target materi dalam KTSP, di satu pihak KTSP menekankan kom¬petensi peserta
didik yang berarti proses belajar harus diperhatikan oleh guru, di pihak lain
materi meskipun tidak diprioritaskan tetapi akhirnya harus diselesaikan juga.
Dengan demikian guru harus berpacu dengan waktu, sementara proses belajar tidak
dapat dipastikan keber¬hasilannya. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil
belajar peserta didik yang dibinanya, yang berujung pada penolakan kebijakan
pemerintah ten¬tang Ujian Nasional (UN) sebagai dasar penentuan kelulusan
peserta didiknya.
B.
Guru Sebagai Fasilitator Dalam Membantu Siswa Membangun Pengetahuan
Salah satu ciri pembelajaran efektif adalah mengembangkan
pemi¬kiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
barunya (Dit-PLP, 2003). Ciri inilah yang dikembangkan dalam pembelajaran KTSP
dan berkaitan dengan filsafat konstruktivisme.
Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di
antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu,
terutama memperoleh penge¬tahuan. Dalam pengertian konstruk¬tivisme,
pengetahuan itu merupakan "proses menjadi", yang pelan-pelan menjadi
lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan
peserta didik itu sendiri yang membentuknya.
Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator atau
moderator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu
peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya. Guru
juga meng¬evaluasi apakah gagasan peserta didik itu sesuai dengan gagasan para
ahli atau tidak. Sedangkan tugas peserta didik aktif belajar, mencerna, dan
memodifikasi gagasan sebelumnya. Dalam KTSP dianut bentuk pem¬belajaran yang
ideal yaitu pem¬belajaran peserta didik aktif dan kritis. Peserta didik tidak
kosong, tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk
ber¬kembang. Maka modelnya adalah model dialogis, model mencari ber¬sama antara
guru dan peserta didik. Peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik
pen¬dapat guru yang dianggap kurang tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya
yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu
nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Dalam KTSP, pendidikan yang benar
harus membebaskan peserta didik untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang.
Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim
pen¬didikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi
setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini
berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktor
atau selalu memberi instruksi dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Guru
dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian
tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang
mam¬pu menghasilkan lulusan yang kompeten.
C. Perlunya Perubahan Paradigma Mengajar
Dengan KTSP, guru mengajar supaya peserta didik memahami
yang diajarkan dan mampu memanfaatkannya dengan menerapkan pemahamannya baik
untuk memahami alami lingkungan sekitar maupun untuk solusi atau pemecahan
masalah sehari-hari. Kegiatan mengajar bukan sekedar mengingat fakta untuk
persediaan jawaban tes sewaktu ujian. Akan tetapi, kegiatan mengajar juga diharapkan
mampu memperluas wawasan pengetahuan, meningkatkan keteram¬pilan, dan
menumbuhkan sejumlah sikap positif yang direfleksikan peserta didik melalui
cara berpikir dan cara bertindak atau berperilaku sebagai dampak hasil
belajamya. Oleh karena itu cara guru mengajar perlu diubah. Ditinjau dari
esensi proses pembelajarannya, perlu adanya pengubahan paradigma
"mengajar" (teaching) men¬jadi "membelajarkan" (learning
how to learn) sehingga proses belajarnya cenderung dinamis dan bersifat praktis
dan analitis dalam dua dimensi yaitu: pengembangan proses eksplorasi dan proses
kreativitas. Proses eksplorasi menjadi titik pijak untuk menggali pengalaman
dan penghayatan khas peserta didik, bukan dari pihak luar, bukan dari apa yang
dimaui orang tua, guru, maupun masyarakat bahkan pemerintah sekalipun. Dari
proses tersebut dikembangkan prakarsa untuk bereksperimen-kreatif,
berimajinasi-kreatif dengan metode belajar yang memungkinkan peserta didik
untuk melatih inisiatif berpikir, mentradisikan aktivitas kreatif, mengem¬bangkan
kemerdekaan berpikir, mengeluarkan ide, menumbuhkan kenikmatan bekerjasama,
memecahkan masalah-masalah hidup dan kehidupan nyata. Karena itu, dalam proses
pembelajaran seharusnya tampak dalam bentuk kegiatan prakarsa bebas
(independent study), komunikasi dialogis antar peserta didik maupun antara
peserta didik dan guru, spontanitas kreatif, yang kadang-kadang terkesan kurang
tertib menurut pandangan pendidikan. Guru perlu menyediakan beragam kegiatan
pembelajaran yang berimplikasi pada beragamnya pengalaman belajar supaya
peserta didik mampu mengembangkan kompetensi setelah menerapkan pemahamannya
pengetahuannya. Untuk itu strategi belajar aktif melalui multi ragam metode
sangat sesuai untuk digunakan ketika akan menerapkan KTSP.
Dalam pendidikan matematika, Marpaung (2003) menyatakan
perlu¬nya melakukan perubahan/ pergeser¬an paradigma dari paradigma meng¬ajar
ke paradigma belajar. Lebih lanjut Marpaung memerinci karakteristik paradigma
belajar, yaitu: peserta didik aktif guru aktif, pengetahuan dikonstruksi,
menekankan proses dan produk, pembelajaran luwes dan menyenangkan, sinergi
pikiran dan tubuh, berorientasi pada peserta didik, asesmen bersifat realistik,
dan kemam¬puan sebagai suatu penguasaan hubungan antar pengetahuan yang
tersusun dalam suatu jaringan. Untuk itu dituntut komitmen guru untuk berubah,
bersikap sabar, bersikap positif, ramah dan memiliki kom¬petensi tinggi.
Bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru tidak hanya berupa
penilaian "tradisional" yaitu hanya melakukan kegiatan ulangan harian
tetapi perlu dikem¬bangkan penilaian "alternatif", antara lain adalah
portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis. Sebagai
penjabarannya antara lain, portofolio; merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan
peserta didik dalam konteks belajar dalam kehi¬dupan sehari-hari. Peserta didik
diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka
memperoleh kebebasan dalam belajar sekaligus memperoleh kesempatan luas untuk
berkembang serta merekapun termotivasi. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan
penilaian angka, melainkan melihat pada proses peserta didik sebagai
pembelajaran aktif. Sebagai contoh, peserta didik diminta untuk melakukan
survei mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
Tugas kelompok, dalam pembe¬lajaran kontekstual berbentuk
pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik
sambil mengakomodasi perbedaan gaya
belajar, minat, serta bakat dari masing-masing peserta didik. Isi dari proyek
akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini
dapat meningkatkan partisipasi peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik
diminta membentuk kelompok projek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai
di lingkungan peserta didik.
Demonstrasi, peserta didik diminta menampilkan hasil
penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Demonstrasi
ini dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas. Di dalam kelas antara lain
dapat dilakukan dalam kegiatan laboratorium IPA, di lapangan olahraga untuk
pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Di luar kelas antara lain peserta
didik diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya
dalam pertunjukan, para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukan peserta
didik.
BAB III
PENUTUP
Guru adalah komponen pokok dalam sistem pendidikan. Oleh
sebab itu suksesnya pelaksanaan KTSP sangat tergantung pada sikap guru alam
mengajar. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat menye¬babkan kreativitas
guru kurang terpupuk, tetapi dengan KTSP, kreativitas guru bisa berkembang.
Menggunakan paradigma lama dalam mengajar untuk menghadapi tantangan baru dan
situasi baru jelas kurang efektif. Agar kualitas pendidikan kita meningkat,
guru perlu melakukan introspeksi dan mau mengubah paradigma mengajar, cara
berpikir serta mempraktekkan pembelajaran dengan menggunakan paradigma belajar.
Guru sebagai ujung tombak pembelajaran sudah sekian lama menggunakan metode
lama, ia menjadi sumber belajar utama. Para¬digma mengajar tersebut itu harus
diubah dengan menggiatkan peserta didik agar dapat mencapai komepetensinya
melalui penguasaan materi ajar.
DAFTAR PUSTAKA
Dit-PLP-Ditjen
Dikdasmen-Depdiknas.(2003). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning). Jakarta.
Marpaung (2003). lnovasi
Pendidikan. Makalah disampaikan pada Penlok Kepala BPG dan Kepala Dinas Kota
Kabupaten serta Widyaiswara Matematika dan Kasi Pelnis BPG di PPPG Matematika
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment