Thursday, December 8, 2011

REFORMASI PRODUKSI UNDANG-UNDANG


Sejak awal Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka hukum memang penting. Tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana kita membaca dan memaknai hukumtersebut. Nazi Jerman juga sebuah negara hukum, tetapi membantai jutaan orang Yahudi dengan sengaja dan sistematis. Ternyata tipe negara hukum itu dapat bermacam-macam, demokratis, otoriter, bahkan “monster”.
Pelajaran sejarah tersebut sungguh-sungguh berharga untuk mencerahkan dan mendewasakan kehidupan umat manusia dalam bernegara hukum. Kita menjadi tahu bahwa hukum itu hanya bentuk atau wadah yang di dalamnya dapat diisi dengan seribu macam keinginan dan kepentingan. Bentuk itu tidak berubah dan tidak ada hubungannya dengan isi. Dunia pasca-holocaust yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman tentunya menjadi lebih cerdas. Memang itulah yang kemudian terjadi, seperti pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan moral kemanusiaan yang baru.
Indonesia lahir sesudah pengalaman dunia yang diciptakan para penguasa negara hukum Nazi Jerman. Para arsitek UUD1945 tentunya sangat kuat dibayangi oleh kengerian terhadap genosida yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman. Dengan latar belakang itulah kita membaca pikiran Supomo dan kawan-kawan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum bukan negara kekuasaan semata.
Indonesia tidak boleh mengulangi sejarah dan jatuh sebagai negara yang menggunakan kekuasaanya dengan sewenang-wenang. UUD RI menjawab dengan kata-kata “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pernyataan tersebut bersifat histories dan merupakan jawaban bangsa Indonesia terhadap pembantaian kemanusiaan di dunia yang waktu itu baru saja lewat. Kekuasaan memang penting, tetapi jangan dibiarkan menjadi liar. Hukum bertugas mengendalikan kekuasaan tersebut. Hukum tak dapat mengendalikan kekuasaan, kecuali negara hukum itu memiliki komitmen terhadap moral kemanusiaan.
Dapat dikatakan, negara hukum Indonesia adalah sebuah negara hukum yang komitmen moral kemanusiaan. Ini masih lebih tinggi daripada sebutan negara hukum demokratis. Dengan komitmen seperti itu, sudah sepantasnyalah apabila Indonesia menawar negara hukum macam apa yang akan dibangun di negeri ini.
Bukan kuantitas
Undang-undang itu memang penting, tetapi janganlah diukur dari jumlah yang diproduksi. Kuantifikasi perundang-undangan dapat menjerumuskan kita kepada kediktatoran kalimat undang-undang, padahal UUD 1945 sarat dengan pesan dan kandungan moral. Konstitusi Indonesia layak disebut sebagai “konstitusi partisan” yang memihak kepada bagian bangsa Indonesia yang kurang beruntung. Kata-kata “ sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” adalah sebuah deklarasi moral yang menyentakan.
Sejak UUD 1945 menyusui (nurture) perundang-undangan Indonesia dengan penuh pesan moral kemanusiaan, maka kita belum bernegara hukum dengan benar apabila pesan-pesan tersebut belum diwujudkan dengan nyata di semua lembaga negara.
Di dalam dunia modern undang-undang kita perlukan karena kehidupan sudah menjadi sangat kompleks sehingga membutuhkan panduan yang jelas. Untuk itulah undang-undang diperlukan. Kendati demikian, memahami dan menerima undang-undang sebagai suatu yang final (finite scheme) adalah kesalahan besar. Cacat undang-undang adalah sebuah kemungkinan besar yang dapat terjadi.
Oleh karena itu di muka dikatakan bahwa jangan sampai terjadi kediktatoran perundang-undangan. Hukum sejatinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Di dalam negara hukum Indonesia, seyogyanya paradigma itulah yang kita pegang, yaitu hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya.
Maka sungguh celakalah apabila reformasi itu dimaknai sebagai “reformasi produksi undang-undang” karena bangsa Indonesia tidak akan meningkat kebahagiaannya dengan cara bernegara hukum seperti itu.

No comments: