Sunday, December 4, 2011

Peran Guru dalam Hubungan dengan Guru-guru Lain dan Kepala Sekolah


Sebagai pegawai negeri dan anggota KORPRI tiap guru harus menaati segala peraturan kepegawaian dalam melakukan tugasnya. Bagi guru ini berarti bahwa ia harus hadir pada tiap pelajaran agar jangan merugikan murid. Seorang pegawai administrasi masih dapat mengejar ketinggalannya dengan mengerjakannya di rumah di luar jam kantor.
Selain peraturan umum bagi pegawai tiap-tiap sekolah mempunyai peraturan-peraturan khusus tentang berbagai tugas lain yang harus dilakukan oleh guru seperti membantu administrasi sekolah, tugas piket, membimbing kegiatan ekstrakulikuler, menjadi anggota HUT sekolah, menjadi wali kelas dan sebagainya.
Sebagai pengajar ia harus membuat persiapan, memberi dan mememriksa ulangan, mengabsensi murid, mengahdiri rapat guru, dan sebagainya. Dalam segala tugas kewajuban ia senangtiasadi bawah pengawasan kepala sekolah yang harus memberi conduite yang baik agar memperoleh kenaikan tingkat. Dengan sendirinya guru akan mematuhi tiap peraturan dan intruksi dari atasannya.
Berdasarkan kekuasaan yang dipegang oleh kepala sekolah terbuka kemungkinan baginya untuk bertindak otoriter. Sikap ini dapat menjelma dalam sikap otoriter guru terhadap murid. Namun pada umumnya guru menginginkan kepala sekolah yang demokratis yang mengambil keputusan berdaarkan musyawarah, walaupun dalam situasi tetentu diinginkan pimpinan yang berani bertindak tegas dengan penuh otoritas.
Guru-guru cenderung bergaul dengan sesame guru. Guru terikat oleh norma-norma menurut harapan masyarakat yang dapat menjadi hambatan untuk mencari pergaulan dengan golongan lain yang tidak dibebani oleh tuntutan-tuntutan tentang kelakuan tertentu. Guru dan sesame guru mudah saling memahami dan dalam pergaulan antara sesama rekan dapat memelihara kedudukan dan peranannya sebgai guru. Itu sebabnya guru-guru akan membantu cliquenya sendiri.
Perkumpulan guru juga menggambarkan peranan guru. PGRI misalnya bersifat professional yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sekalipun juga disebut perbaikan nasib guru, namun guru-guru pada umumnya kurang dapat menerima perkumpulan guru sebagai serikat buruh. Mengajar dan mendidik sejak dulu dipandang sebagai profesi kehormatan yang tidak semata-mata ditunjukan kepada keuntungan material. Memperjuangkan nasib melalui perkumpulan guru dengan menonjolkan soal upah bertentangan dengan hati sanubari guru, sekalipun ia turut merasa kesulitan hidup sehari-hari.
Lagi pula usaha menggunakan perkumpulan guru sebgai alat memperjuangkan perbaikan nasib mungkin akan terbendung bila pengurus perkumpulan itu terpilih dari kalangan kepala sekolah atau mereka yang telah mempunyai kedudukan yang cukup tinggi karena tidak ingin mendapat teguran dari atasan itu. Danya perkumpulan guru memberi kesempatan bagi guru untuk lebih mengidentifikasikan dirinya dengan profesinya.

No comments: