Sunday, October 2, 2011

Bulan (Provokasi) Bahasa Indonesia

Bulan Oktober telah ditetapkan pemerintah sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.  Namun gaung even tahunan ini tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.  Ironisnya lagi, kecuali Pusat Bahasa, institusi pendidikan pun tidak banyak yang turut serta berpartisipasi mensosialisasikan “hari jadi” bahasa Indonesia ini melalui berbagai kegiatan kebahasaan atau apresiasi sastra yang diperuntukkan bagi pelajar atau mahasiswa.
Kritik pedas Taufik Ismail mengenai buta sastra di negeri ini memang ironi memalukan.    Pelajaran bahasa Indonesia diperlakukan sebatas syarat mendapatkan nilai dan lulus ujian.  Tanpa ada provokasi untuk menciptakan gairah bahasa, gairah nalar, dan gairah imajinasi dalam proses pengajaran.  Sastra Indonesia pun layu bahkan sekarat dalam dunia pendidikan kita.
Jika alasan keterbatasan waktu dan dana menjadi penghalang untuk ikut serta memeriahkan bulan bahasa, maka para pendidik tidak perlu memaksakan diri untuk menyelenggarakan lomba menulis cerpen atau musikalisasi puisi di sekolah.  Tapi keterbatasan ini pun hendaknya tidak menciutkan niat para pendidik memprovokasi pelajar di sekolah untuk cinta bahasa dan “melek” sastra.
Usaha minimal yang dapat kita lakukan saat belajar bahasa Indonesia di dalam kelas adalah membangkitkan kembali memori kolektif para pelajar tentang peristiwa 28 Oktober 1928.  Sempatkan waktu barang setengah jam saja untuk menceritakan semangat nasionalisme pemuda kala itu yang berani berikrar menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ceritakan juga tentang peristiwa yang jauh terjadi sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan, yakni saat Jahja Datoek Kajo dan Agus Salim dengan lantang berani berpidato dalam Volksraad (saat ini DPR) dengan menggunakan bahasa Indonesia  (“Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939”, Azizah Entek dkk).  Peraturan pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskan berbahasa Belanda saat berpidato di meja Volksraad, tidak dihiraukan oleh pemuda-pemuda pemberani itu.  Kesadaran tentang bahasa persatuan pula yang menginspirasi mereka membangun Rumah Bahasa, sebuah rumah yang digunakan untuk merangkum segala bahasa di kepulauan nusantara.
Bulan bahasa tidak semata-mata dimaknai dengan berbagai lomba dan sayembara menulis.  Usaha membangkitkan kembali memori kolektif sejarah bahasa Indonesia pun sangat berguna bagi masyarakat bangsa ini untuk sembuh dari amnesia berkepanjangan.  Kesalahan sistemik dunia pendidikan yang semakin meminggirkan sejarah bahasa Indonesia harus segera dihentikan.
Jadikan momen bulan bahasa ini untuk memprovokasi pelajar dan masyarakat “melek” sejarah bahasa dan sastra Indonesia.  Tentu saja ini bukan sebuah proses provokasi yang mudah ditengah kondisi masyarakat kita yang terpuruk secara ekonomi dan sosial. Tapi bukankah, selalu ada awal untuk sebuah perjuangan namun tak pernah ada akhir?

No comments: