Sunday, October 2, 2011

MENCERMATI PERAN GURU DALAM MPMBS


( 1 )
Bukan rahasia lagi bahwa permasalahan mendasar dalam setiap jenjang maupun satuan pendidikan di negara kita adalah mutunya rendah, baik untuk pendidikan dasar maupun menengah (tampaknya juga merambah ke dunia pendidikan tinggi). Berbagai upaya telah dicoba untuk dilakukan, namun berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
      Disinyalir ada tiga faktor penentu rendah dan kurang meratanya peningkatan mutu pendidikan di negara kita: a) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen; b) penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik; dan c) peranserta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
      Berangkat dari “kegagalan” tersebut di atas, mutlak perlu ada reorientasi penyelenggaraan pendidikan. Lahirlah kemudian pemikiran untuk mengubah manajemen peningkatan mutu dari yang ‘berbasis pusat’ menjadi yang “berbasis sekolah”. Manajemen tersebut diharapkan lebih bernuansa otonomi dan lebih demokratis.
( 2 )
      Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) adalah model manajemen yang memberikan otonomi (: kewenangan, kemandirian) lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, pegawai administratif, orang tua siswa, masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan (dalam kerangka) pendidikan nasional.
      Secara garis besar MPMBS mempunyai tujuan memandirikan/ memberdayakan sekolah melalui pemberian otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Jika dirinci, tujuan MPMBS adalah: a) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; b) meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; c) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan d) meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
      Faktor-faktor yang mendorong diterapkannya MPMBS adalah: a) sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap dirinya, sehingga sekolah itu dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya; b) sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik; c) pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah mengingat sekolah itu yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya; d) penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif kalau dikontrol oleh masyarakat setempat; e) keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah akan menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; f) sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat pada umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan; g) sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat; dan h) sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
( 3 )
      Esensi MPMBS adalah “otonomi sekolah” dan “pengambilan keputusan partisipatif” untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Yang dimaksud “otonomi sekolah” adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Yang dimaksud “pengambilan keputusan partisipatif” adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan (warga sekolah) yang terbuka dan demokratis.
( 4 )
      Aspek-aspek yang mestinya dicermati (: digarap) oleh sekolah dalam rangka MPMBS adalah: a) perencanaan dan evaluasi program sekolah; b) pengelolaan kurikulum; c) pengelolaan proses belajar-mengajar; d) pengelolaan ketenagaan; e) pengelolaan peralatan dan perlengkapan; f) pengelolaan keuangan; g) pelayanan siswa; h) hubungan antara sekolah dan masyarakat; dan i) pengelolaan iklim sekolah. Mengingat sekolah adalah sebuah sistem, bahwa semua aspek yang ada berada dalam konteks berinteraksi satu dengan yang lain, maka upaya penggarapannya juga harus secara sistemik.
      Untuk mampu mandiri, sekolah harus memiliki sumber-sumber daya (human maupun non-human) yang cukup untuk menjalankan tugas dan fungsi masing-masing, baik dalam konteks input maupun dalam koridor proses. Dalam tulisan kecil ini – tanpa mengurangi arti penting dari aspek-aspek yang harus dicermati tersebut di atas – pembicaraan hanya akan dibatasi pada aspek pengelolaan proses belajar-mengajar. Itu pun, dari berbagai komponen yang ada dalam sistem instruksional -- pencermatan hanya akan difokuskan pada keberadaan sumber daya manusia (SDM) tenaga kependidikan (: guru)-nya saja sebagai salah satu unsur “orang” (di samping unsur siswa, di samping komponen sistem yang lain: pesan, bahan, alat, teknik, lingkungan) yang secara sinergis dan kolaboratif nyata-nyata diperlukan dalam keberhasilan program MPMBS.
( 5 )
      Proses belajar-mengajar (: proses pembelajaran) merupakan kegiatan utama sekolah. Sudah selayaknya jika sekolah diberi dan memberi kebebasan kepada para guru di sekolahnya dalam hal memilih pendekatan (approach), metode (method), teknik (technique) pembelajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru itu sendiri, dan kondisi nyata sumber daya yang ada di sekolah, tanpa melupakan prinsip student centered, sehingga pada gilirannya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif, menyenangkan, mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.
      Kebiasaan-kebiasaan guru yang selama ini cenderung mengabdi pada rutinitas dan monoton, perlu diubah menjadi perilaku yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif, integratif, sinkronis, kooperatif, luwes, dan profesional. Guru sebaiknya memiliki ciri-ciri: pekerjaannya adalah miliknya, bertanggung jawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, tahu/sadar posisi, memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian dari hidupnya.
      Program pembelajaran bukan sekedar proses memorisasi atau me-recall dan menekankan pada penguasaan pengetahuan, melainkan lebih bersifat internalisasi sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani, dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh siswa. Demikian pula, proses pembelajaran yang efektif akan lebih menekankan pada “belajar mengetahui” (learning to know), “belajar bekerja” (learning to do), “belajar hidup bersama” (learning to live together), dan “belajar menjadi diri sendiri” (learning to be).
      Guru harus kompeten dalam bidangnya, profesional dalam tugas dan tanggung jawabnya, berdedikasi tinggi pekerjaannya, di samping memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai prestasi yang optimal/maksimal walaupun dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di sekolah.
      Berangkat dari semua yang tersebut di atas, secara rinci peranan yang seharusnya dimiliki dan diamalkan oleh guru dalam mendukung keberhasilan program MPMBS adalah: a) sebagai informator/komunikator; b) sebagai organisator; c) sebagai konduktor; d) sebagai motivator; e) sebagai katalisator; f) sebagai pengarah (director); g) sebagai pencetus idea; h) sebagai penengah (teacher as ago between); i) sebagai penyebar luas idea; j) sebagai fasilitator; dan k) sebagai evaluator.
( 6 )
     Ketidakoptimalan mutu sekolah tentu dipengaruhi oleh berbagai factor, salah satunya adalah manajemen pendidikan yang ternyata sangat sentralistik sehingga menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, kurang berdaya, kurang mandiri, bahkan terpasung kreativitasnya. Untuk itu, perlu ada reorientasi dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat kpada yang berbasis sekolah.
      Guru sebagai salah satu komponen dalam sistem instruksional – tanpa mengurangi makna dan keberadaan komponen yang lain -- perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang cermat agar mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap keberhasilan program MPMBS, khususnya dalam meningkatkan mutu proses belajar-mengajar.

Daftar Bacaan

Direktorat SLTP-Ditjendikdasmen-Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaannya (Edisi 3: Revisi). Jakarta.

--------------. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 2 Panduan Penyusunan Proposal dan Pelaporan (Edisi 3: Revisi). Jakarta.

--------------. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 3 Panduan Monitoring dan Evaluasi (Edisi 3: Revisi). Jakarta.

---------------. 2001. Kompetensi Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Jakarta.

Prawoto. 1981. Microteaching sebagai Media untuk Meningkatkan Kesiapan Kognitif-Afektif-Psikomotor bagi Mahasiswa Calon Guru. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. 1989. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

Supeno, Hadi. 2002. Pemberdayaan Pendidikan di Daerah dalam Era Otonomi. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Munas IKA UNY 6 Juli 2002.

Taruna, JC Tukiman. 2002. Sepanjang Jalan Kenangan CBSA, Kupeluk MBS. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Munas IKA UNY 6 Juli 2002.

No comments: