Thursday, December 3, 2020

PENGEMBANGAN BUDAYA DAN IKLIM SEKOLAH

 

Budaya dan iklim organisasi sekolah secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi (cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal produktivitas, kemampuan adaptasi dan keluwesan. Demikian juga halnya, kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset tentang iklim kerja di sekolah telah berkembang dengan mapan dan memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang berhasil. Ditegaskan bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada pencapaian prestasi akademik siswa. Purkey dan Smith (1985) menyatakan bahwa prestasi akademik siswa dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau iklim kerja sekolah. Lebih lanjut Hughes (1991) menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja, yang akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas.

Pembentukan suasana pembelajaran yang kondusif perlu diciptakan dalam seluruh lingkungan sekolah termasuk didalamnya lingkungan kelas. Secara eksplisit faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan pembelajaran baik lingkungan alam, psikososial dan budaya (Depdikbud, 1994). Dapat diartikan disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses kegiatan pembelajaran.

Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim yang kondusif ditandai dengan terciptanya lingkungan belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik. Iklim adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar tercapai peningkatan prestasi kerja (Davis dan Newstrom, 1985). Pandangan ini mengindikasikan kualitas iklim yang memungkinkan meningkatnya prestasi kerja. Iklim tidak dapat dilihat dan disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim dapat mepengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja (Davis dan Newstrom, 1985).

Budaya dan iklim sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain. Hal yang sama dikemukakan oleh Wijaya (2005), yaitu budaya sekolah yang perlu ditumbuhkan berupa suasana saling hormat antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan guru, dan dengan pihak lainnya. Sehubungan dengan itu maka iklim sekolah dapat digolongkan menjadi enam kondisi yaitu: (1) iklim terbuka, (2) iklim bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim parternal, dan (6) iklim tertutup (Halpin & B Croft dalam Burhanunudin, 1994). Selain itu, iklim sekolah yang kondusif mendo­rong setiap personil yang terlibat dalam organisasi sekolah untuk bertindak dan melakukan yang terbaik yang mengarah pada prestasi siswa yang tinggi.

Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dikemukakan berikut ini.

A. Penataan Lingkungan Fisik Sekolah

1.      Perawatan Fasilitas Fisik Sekolah

Salah satu ciri sekolah efektif adalah terciptanya budaya dan iklim sekolah yang menyenangkan sehingga siswa merasa aman, nyaman, dan tertib di dalam belajarnya. Hal ini ditandai dengan fasilitas-fasilitas fisik sekolah terawat dengan baik. Penam­pilan fisik sekolah selalu bersih, rapi, indah dan nyaman. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

a.       Pekarangan dan lingkungan sekolah yang tertata sedemikian rupa sehingga mem­beri kesan asri, teduh, dan nyaman, serta dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan apotik hidup.

b.      Budaya bersih juga senantiasa ditumbuhkan di kalangan warga sekolah dengan membiasakan perilaku membuang sampah pada tempatnya.

c.       Dalam lingkungan sekolah terdapat beberapa kawasan khusus seperti: kawasan wajib senyum, kawasan bebas narkoba dan rokok, dan kawasan wajib bahasa Inggeris (English area).

d.      Adanya pembiasaan-pembiasaan yang bernuansa moral dan akhlak yang mendorong meningkatnya kecerdasan spritual peserta didik, seperti: (a) berdoa sebelum pelajaran dimulai; (b) menumbuhkan budaya relegius dengan membiasakan murid mengucapkan dan membalas salam setiap bertemu; (c) mengadakan pengajian secara rutin; (d) shalat berjamaah pada waktu shalat duhur; dan (e) terdapat juga sekolah yang mengadakan “kultum” setiap hari dan menugaskan siswa berceramah sekali seminggu.

2.      Penataan Ruang Kelas

Kondisi kelas yang menyenangkan perlu diciptakan sehingga tercipta suasana yang mendorong siswa belajar. Penggunaan musik instrumentalia yang lembut dapat lebih menciptakan suasana menyenangkan dan memberi efek penente­raman emosi, baik pada saat siswa belajar di kelas maupun pada saat mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya di luar kelas.

3.      Penggunaan Sistem Kelas Berpindah (Moving-Class)

Moving-class adalah sistem pengelolaan aktivitas pembelajaran di mana kelas-kelas tertentu ditata khusus menjadi sentra pembelajaran bidang studi/mata pelajaran tertentu. Penggunaan sistem moving-class (kelas berpindah) merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk mengefek­tifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam sistem moving-class ini, ruang-ruang kelas tertentu dapat ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan, media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan karaketeristik pembel­ajar­an mata pelajaran tertentu.

4.      Penggunaan Poster Afirmasi

Poster-poster afirmasi, ya­itu pos­ter yang berisi pesan-pesan positif digu­nakan dan dipajang di berbagai tempat strategis yang mudah dan dapat selalu dilihat oleh siswa. Poster afirmasi ini dapat digunakan untuk mensosialisasikan dan menanamkan pesan-pesan spiritual kepada siswa dan warga sekolah.

Pesan-pesan spiritual untuk poster afirmasi dapat berupa petikan ayat Al-Quran, hadist, pesan pujang­ga, atau puisi-puisi spiritual. Yang perlu diperhatikan, adalah peng­adaan dan pe­nem­patan poster afirmasi ini jangan sampai terkesan berlebihan atau menjadi pesan sloganis belaka.

B. Penataan Lingkungan Sosial Sekolah

1.      Penciptaan Keamanan di Lingkungan Sekolah

Sekolah yang efektif perlu memper­ha­tikan keamanan sekitar. Seko­­lah ter­be­bas dari gang­gu­an keamanan ba­ik dari dalam maupun dari luar sekolah. Untuk menjamin keamanan sekolah maka harus didukung adanya tata tertib sekolah yang menjadi acuan dari semua warga sekolah. Tata tertib sekolah dapat terlaksana dengan baik, apabila didukung oleh seluruh penyelenggara sekolah. Karena itu kepala sekolah, guru, dan staf harus menjadi model dan teladan untuk penegakan tata tertib dan disiplin.

2.      Penciptaan Relasi Kekeluargaan dan Kebersamaan

Sekolah menciptakan suasana kekeluargaan dan keber­sa­maan antara kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, dan orangtua, sehingga satu sama lain saling berbagi dan memberi bantuan. Sekolah membangun budaya setara di kalangan warga sekolah. Iklim interaksi antar warga sekolah dibangun atas dasar prinsip ”I Thou Relationship” bukan hubungan yang bersifat ”I-it Relathionsip”.

Dalam hubungan dengan ciri ”I Thou Relationship”, setiap individu memandang dan memperlakukan individu lainnya sebagai subjek, pribadi yang patut dihargai, dihormati, dan memiliki kebutuhan dan kewenangan sendiri untuk menentukan keputusan dan pilihannya sendiri.

Budaya dan iklim sekolah yang bercirikan model hubungan seperti ini akan dapat membangun rasa kebersamaan dan dapat memicu berkembangnya rasa percaya diri dan kreativitas semua warga sekolah, termasuk semua siswa.

Hubungan kekeluargaan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

a.       Orang tua siswa dilibatkan dalam berbagai kegiatan, seperti pembuatan tata tertib, mengontrol perkembangan belajar anaknya, penegakan kedisiplinan di sekolah, pertemuan berkala antara orangtua dan pihak sekolah, memberikan sumbangan dalam bentuk materi.

b.      Prosedur untuk melibatkan orang tua disampaikan secara jelas. Orangtua siswa diberi kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna mengobservasi program pendidikan. Orangtua dan masayarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis di sekolah.

c.       Sekolah senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan orangtua dan masyarakat melalui wadah Komite Sekolah. Keterlibatan komite sekolah secara nyata ditemukan pada semua sekolah dalam berbagai aspek dan kegiatan, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan keamanan sekolah, pengadaan sarana sekolah, ikut serta memutuskan sanksi terhadap pelanggaran di sekolah, mendorong dunia usaha dan industri untuk berpartisipasi dalam pengembangan sekolah, dan memberdayakan orang tua siswa yang memiliki kemampuan finansil atau peran penting di lembaga pemerintah dan swasta dalam berbagai kegiatan sekolah,

d.      Memaksimalkan buku penghubung sebagai alat pengontrol kemajuan siswa sekaligus wadah menjalin komunikasi dengan orang tua.

e.       Pelibatan tokoh masyarakat. Sebaliknya dalam hubungan yang dicirikan dengan ”I-it Relathionsip”, individu tertentu, katakanlah guru tertentu, memandang individu lain (katakanlah siswa) sebagai objek, perlu dituntun, tidak berhak untuk menyatakan kebutuhan dan kepentingannya, dan dapat diperlakukan sesuai kemauan dan determinasi sang guru. Ciri hubungan seperti ini akan mematikan kretivitas dan rasa percaya diri sisiwa, dan cenderung mengembangkan sikap asosial, bahkan anti sosial, pada diri siswa.

C. Penataan Personil Sekolah

1.      Pemberian Ganjaran Positif bagi Karya Terbaik Siswa

Karya-karya cemerlang siswa dipajang di kelas atau ruang kepala sekolah dan diberi ganjaran positif. Ganjaran hendaknya diberikan sesegara mungkin dan diarahkan untuk memberi rasa kebanggaaan dan untuk mempertahankan motivasi siswa yang diberi ganjaran serta menstimulasi siswa lainnya untuk menghasilkan pres­tasi yang sama. Ganjaran juga dibutuhkan untuk mempertahankan motivasi dan gairah berprestasi di kalangan siswa. Ganjaran akan efektif jika diberikan sesegara mungkin dan dilakukan secara kon­sisten pada setiap siswa yang menunjukkan prestasi.

2.      Pengembangan Rasa Memiliki Terhadap Sekolah

Sekolah menciptakan rasa memiliki sehingga guru, staf administrasi dan siswa menunjukkan rasa bangga terhadap sekolahnya. Setiap warga sekolah merasa bertanggung jawab untuk menjaga kondusivitas lingkungan sekolah. Ini bisa dicapai, antara lain dengan memberi tang­gung jawab pengelolaan dan perawatan wilayah tertentu kepada kelompok kelas atau ruang tertentu.

3.      Pemberian Jaminan Atas Kemaslahatan Siswa

Kemaslahatan siswa merupakan kriteria penting yang digunakan dalam pembuatan keputusan tentang mere­ka. Setiap keputusan yang dibuat di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan, kepentingan, dan kondisi khusus siswa. Keputusan yang dibuat hendaknya juga dapat memenuhi prinsip keadilan dan kesetaraan di kalangan siswa, termasuk keadilan dan kesetaraan gender, ras, etnis, kelas sosial, agama, kondisi fisik, ataupun varian-varian latar siswa lainnya.

4.      Akseptabilitas Guru Terhadap Metode Pembelajaran Terbaru

Guru bersedia mengubah metode-metode mengajar, bila metode yang lebih baik diperkenalkan kepadanya. Berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif telah ditawarkan dan disosialisasikan melalui berbagai media, seperti buku, internet, dan pelatihan. Penerapan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang efektif dan telah teruji perlu menjadi bagian yang mencoraki iklim pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, guru perlu mengadopsi dan mencoba menerapkan berbagai metode dan strategi pembelajaran tersebut untuk lebih mengefektifkan proses pembelajarannya.

5.      Harapan yang Tinggi Untuk Berprestasi

Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990) dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi.

Hal ini sejalan dengan teori motivasi-iklim baik dari Herzberg (Hersey dan Blanchard, 1992). Dijelaskan bahwa faktor-faktor motivasi-iklim baik, yaitu: (1) pekerjaan itu sendiri, yang meliputi: (a) prestasi; (b) pengakuan akan keberhasilan; (c) pekerjaan yang menantang; (d) meningkatnya tanggung jawab; (e) pertumbuhan dan perkembangan.Lingkungan, terdiri dari: (a) kebijaksanaan dan administrasi; (b) supervisi; (c) kondiisi kerja; (d) hubungan antar pribadi; (e) penghargaan, status, dan keamanan. Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan dalam meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi akademik mereka. Murphy (1985) seperti dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi dan penjenjang-an, dan (5) pemberian perhatian pribadi kepada siswa perorangan.

 

D. Penataan Lingkungan Kerja Sekolah

1.      Pengaturan Jadwal Acara dan Aktivitas Sekolah

Semua aktivitas di sekolah harus dijadwalkan secara baik, agar kegiatan proses belajar-mengajar tidak terganggu. Sehubungan dengan itu, maka seluruh kegiatan non-teaching yang bersifat regular dan yang bersifat insidental perlu diidentifikasi. Aktivitas bersifat regular dan dilaku­kan setiap semester/tahun di sekolah, misalnya: acara perpisahan sekolah, kegiatan OSIS, porseni, peringatan hari-hari besar, PMR, sebaiknya dijadwal dan disesuaikan dengan kalender pembelajaran agar jadwal proses belajar-mengajar dan implemantasi kurikulum tidak terganggu. Aktivitas yang bersifat insidental dan tidak terjadwal dalam program semester/tahunan, misalnya: penyuluhan tentang anti narkoba, mading, karya tulis remaja, dan lain-lain sedapat mungkin dilaksanakan pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas proses belajar-mengajar. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa semua aktivitas sekolah harus dijadwalkan sehingga kegiatan yang dilaksanakan di sekolah maupun di dalam kelas dapat berjalan lancar. Atau dengan kata lain semua kegiatan baik kegiat­an kurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler, hendak­nya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling tumpang tindih. Pertemuan antara kepala sekolah dengan berbagai pihak, seperti komite sekolah, guru, siswa, sebagai wahana saling mengkomunikasikan ide, rencana, program, dan kegiatan sebaiknya ditata secara baik sehingga tidak saling mengganggu.

1.      Penciptaan Budaya Kerja

Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penciptaan budaya kerja yang positif seperti:

a.       Penerapan disiplin dan tatatertib sesuai dengan mentaati jam kerja yang berlaku di lingkungan sekolah.

b.      Setiap guru bidang studi dan wali kelas senantiasa melakukan pemantauan dan evaluasi secara periodik terhadap peningkatan disiplin dan prestasi belajar siswa

c.       Kepala sekolah, guru dan wali kelas wajib menciptakan iklim kerja dan iklim belajar yang kondusif dalam rangka untuk meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa.

d.      Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa dan masyarakat, kepala sekolah, guru dan staf menyusun mekanisme proses pelayanan yang direncanakan maupun mekanisme pelayanan langsung/spontan berhubungan proses belajar mengajar dan kegiatan yang dapat menunjang kelancaran proses belajar mengajar.

e.       Menyiapkan buku bacaan sekolah di setiap sudut atau ruang sekolah dalam bentuk taman bacaan atau ruang tunggu yang bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus dijaga karena didasari oleh kebutuhan dan kejujuran.

f.       Memberikan kesempatan kepada para guru, staf dan siswa untuk meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas melalui pendidikan dan pelatihan, baik yang bersifat formal maupun informal.

g.      Dalam rangka menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif, menanamkan budaya pengawasan melekat (WASKAT) terhadap seluruh personil sekolah secara intensif.

h.      Senantiasa melakukan pembinaan dan motivasi kepada guru, staf dan siswa dengan menggunakan prinsip pemberian penghargaan mereka yang berprestasi dan penerapan sanksi disiplin untuk mereka yang melakukan pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku di sekolah tidak terkecuali kepada siapapun.

Salah satu bentuk pengembangan budaya kerja yang positif adalah budaya mutu. Filosofi utama budaya mutu adalah “perbaiki proses­nya sebelum hasilnya jelek” (Paine, Turner, Pryke, 1992). Di kalangan bisnis, ternyata 35 persen dari biaya operasionalnya dipakai untuk memperbaiki dan menyelesaikan pekerjaan yang ternyata salah atau keliru dilakukan (Crosby, 1990).

Hal ini membawa implikasi bahwa sekolah perlu didorong untuk tidak hanya melihat aspek input manajemen tetapi jauh lebih penting adalah proses manajemennya, yang dalam konteks pembelajaran berarti perbaikan secara berkelanjutan “proses pembelajaran.” Sehubungan dengan itu maka, yang diartikan sebagai proses manajemen dalam konteks ini adalah manajemen mutu. Penerapan manajemen mutu dalam organisasi nonprofit termasuk sekolah, menurut Brough (1992) perlu memperhatikan hal berikut, yaitu: (1) kualitas adalah pekerjaan setiap orang; (2) kualitas muncul dari pencegahan, bukan hasil dari suatu pemeriksaan atau inspeksi; (3) kualitas berarti memenuhi keinginan, kebutuhan, dan selera konsumen; (4) kualitas menuntut kerja sama yang erat; (5) kualitas menuntut perbaikan yang berkelanjutan; (6) kualitas harus didasarkan atas perencanaan strategik.

Beberapa pandangan Juran yang dikutip oleh Jerome S Arcaro (2005) tentang mutu adalah: (1) meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir (2) perbaikan mutu merupakan proses berkelanjutan, bukan program sekali jalan (3) mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan dan administrator (4) pelatihan merupakan prasyarat mutu, dan (5) setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.

Manajemen mutu terpadu merupakan metode yang dapat membantu sekolah untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintah untuk memastikan apakah para professional sekolah memberikan fokus pada sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan program-program pendidikan di sekolah.

Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan komitmen bersama terhadap mutu oleh komite sekolah, kepala sekolah, guru, staf, siswa, orang tua siswa dan masyarakat. Prosesenya diawali dengan visi dan misi mutu dalam lingkungan sekolah yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan pemakai, mendorong keterlibatan total warga dalam setiap program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan di sekolah, menunjang sistem yang diperlukan oleh guru, staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat program pendidikan di sekolah menjadi lebih baik.

Sekolah yang menerapkan maanjemen mutu terpadu akan membangun budaya dan iklim sekolah yang memungkinkan setiap orang membawa ukuran perbaikan mutu terhadap proses kerjanya yang dapat dinilai bagaimana kontribusinya dalam mengembangkan kompotensi siswa dari segi intelektual, emosional dan spiritual agar lebih siap dalam menghndapi tantangan akademik dan bisnis dimasa yang akan dating.

Sebuah model sekolah bermutu terpadu yang dikembangkan oleh Jarome S. Arcaro (2005) dengan konsep “pilar mutu” menggambarkan kriteria sekolah yang memiliki mutu mulai dari kegiatan di ruang kelas sampai pada perawatan bangunan sekolah sebagaimana digambarkan pada halaman berikut.

Pilar-pilar ini merupakan model penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil dan pilar mutu ini bersifat universal, dapat diterapkan di semua sekolah. Pilar mutu memberikan fokus dan arahan yang diperlukan oleh seluruh personil sekolah untuk setiap prakarsa mutu. Dengan konsep ini memungkinkan bagi guru dan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai tambah parakarsa mutu kepada siswa dan masyarakat. Fokus dan arahan pada setiap pilar tidak dapat dibatasi oleh satu pilar dalam mengembangkan budaya dan iklim mutu dalam lingkungan sekolah. Karena pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan yang diterapkan dalam pilar mutu maka dalam pengembangan budaya dan iklim sekolah yang bermutu maka juga harus berfokus pada semua pilar sekaligus.

Pengembangan budaya mutu antara lain dapat dila­ku­kan melalui penciptaan harapan yang tinggi untuk ber­pres­tasi di kalangan warga sekolah. Yang dimaksud dengan budaya mutu adalah terciptanya kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang positif terutama dalam aspek sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja sekolah yang tinggi.

Sekolah yang memiliki budaya mutu, menyusun standar kinerja yang tinggi bagi guru, staf dan siswa. Guru yang berorientasi budaya mutu memiliki motivasi kerja, komitmen, dan kinerja yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang menodai komitmen terhadap mutu. Siswa yang memiliki budaya mutu memiliki motivasi belajar, komitmen dan kerajinan yang tinggi dan sebaliknya menolak cara-cara yang tidak fair seperti menyontek, dan sebagainya.

Beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah adalah.

a.       Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, di mana para guru percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.

b.      Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling penting untuk bersekolah.

c.       Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.

d.      Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.

Beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah dalam menciptakan budaya mutu di sekolah adalah sebagai berikut.

a.       Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja tinggi baik bagi kepala sekolah, guru, staf administrasi, mapun siswa.

b.      Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orang­tuanya. Standar pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketepatan, keramahan, ketanggapan, dan pemberian jaminan mutu sekolah.

c.       Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.

d.      Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berpres­tasi rendah.

e.       Memampukan warga sekolah untuk secara terus menerus meningkatkan kualitas guna memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).

1.      Peningkatan akuntabilitas

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penciptaan budaya akuntabilitas di sekolah sebagai berikut:

a.       Setiap staf dan guru agar menyusun laporan akuntabilitas secara periodik setiap triwulan

b.      Pemanfaatan sumber dana baik yang bersumber dari APBN maupun APBD ataupun seumber lain dilakukan dengan berlandaskan kepada prinsip efektivitas dan efisiensi, serta berorientasi kepada hasil (output) dan manfaat (outcomes) dari setiap program yang diselenggarakan di sekolah

c.       Setiap orang yang melakukan perjalanan dinas baik ke daerah maupun ke luar negeri wajib melaporkan hasil perjalanan Dinasnya kepada bendahara atau kepala sekolah

Berikut ini dikemukakan contoh-contoh penerapan indicator budaya dan iklim sekolah pada salah satu sekolah.

Contoh Budaya dan iklim Sekolah Bakti Mulya 400

Visi : Menjadi pusat pengembangan pendidikan yang melahirkan kader pemimpin dan intelektual muslim dengan wawasan luas serta tanggap terhadap lingkungan dan mampu bersaing di era globalisasi sehingga mampu memperbaiki kualitas bangsa Indonesia

Misi: Dikembangkan dari visi, kemudian diuraikan dalam beberapa misi sebagai berikut:

1.      Menyelenggarakan pendidikan umum yang bernafaskan Islam.

2.      Menyelenggarakan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi siswa untuk menjadi manusia seutuhnya.

3.      Menghasilkan lulusan yang unggul, kompeten/mampu dan terampil.

4.      Menghasilkan sumber daya manusia yang berguna bagi dirinya, nusa, bangsa dan negara

5.      Menghasilkan lembaga pendidikan yang memiliki predikat sekolah unggul.

Budaya Sekolah:

Untuk merealisasikan visi, misi pendidikan serta sifat-sifat umum siswa Bakti Mulya 400, maka pembinaan siswa dilakukan melalui proses pembinaan sikap dan prilaku sehari-hari di sekolah yang diarahkan kepada terwujudnya budaya sekolah Bakti Mulya 400. Pembiasaan dan tata prilaku dimaksudkan sebagai Budaya Sekolah Bakti Mulya 400 adalah sebagai berikut:

a.       Kegiatan sekolah dilaksanakan pagi hari dengan 5 hari belajar dalam seminggu.

b.      Setiap pagi siswa dilepas pergi ke sekolah oleh kedua orang tua dengan iringan salam dan do’a.

c.       Setibanya di sekolah saat bertemu dengan guru maupun teman berjabat tangan dan memberi salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Demikian halnya bila menerima salam maka segera menjawab salam “Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.

d.      Pada pagi hari membaca “Ikrar” dalam bahasa Arab dan terjemahannya bersama dengan guru, dan juga dilakukan dalam setiap kesempatan suatu acara resmi sekolah.

e.       Dengan bimbingan guru yang mengajar pada jam pertama, siswa melafalkan surat “Al Fatihah” dan “Do’a” sebelum pelajaran dimulai, dan setelah jam pelajaran terakhir membaca surat “Al Ashr” dipimpin guru yang mengajar pada jam terakhir.

f.       Membiasakan menulis dan mengucapkan “Basmallah” setiap memulai pekerjaan dan atau “Hamdallah” setelah selesai melakukan pekerjaan.

g.      Melafalkan dan membiasakan mengamalkan 10 do’a amaliah harian, di antaranya do’a keluar rumah, mengawali dan mengakhiri pekerjaan, do’a untuk kedua orang tua, minta tambah ilmu, sebelum tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi/wc, do’a bercermin, masuk dan keluar masjid

h.      Melakukan 11 amalan yang tercermin dalam “Birrulwalidain” yakni:

1.      Berbakti kepada orang tua

·         Ikhlas beramal

·         Rajin beramal

·         Ramah dalam bergaul

·         Ulet dalam mencapai cita-cita

·         Logis dalam berpikir

·         Waspada terhadap naza

·         Amanah, dapat dipercaya

·         Lemah lembut dalam tutur kata

·         Istiqomah, teguh dalam keyakinan

·         Nadzafah, bersih diri, pakaian dan lingkungan.

2.      Membiasakan menulis tanggal, bulan dan tahun hijriah di samping tanggal, bulan dan tahun masehi.

3.      Membiasakan mengucap kalimat-kalimat thayyibah dan dzikir dalam rangka mendekatkan diri dan mengagungkan Asma Allah SWT.

4.      Membiasakan melaksanakan puasa sunat seperti puasa Senin dan Kamis.

5.      Membiasakan memakmurkan Mushalla dengan kegiatan keagamaan dan shalat Dzuhur/Jumat.

6.      Melaksanakan pesantren kilat setiap awal Bulan Ramadhan.

7.      Melaksanakan khataman pelajaran Al Quran, bagi siswa yang telah menyelesaikan pendidikan pada jenjang SD, SLTP, dan SMU.

8.      Mengikuti pemantapan pelajaran Al Quran dengan metode Iqra, atau yang lainnya.

9.      Menyelenggarakan latihan manasik haji, mejelang datangnya Hari Raya Idul Adha.

10.  Memberangkatkan ibadah haji bagi guru/ karyawan sesuai dengan kemampuan keuangan Yayasan BKSP Bakti Mulya 400.

11.  Menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam, Nasional dan bakti sosial kemasyarakatan (seperti donor darah, khitanan masal, santunan anak yatim, pembagian sembako, pemberian beasiswa).

12.  Menjalin kerja sama yang harmonis dengan orangtua/wali siswa.

13.  Mengenakan pakaian seragam, untuk siswa setiap hari sesuai jadwal.

Dengan pelaksanaan budaya tersebut, diharapkan siswa/siswi Bakti Mulya 400 memiliki sifat-sifat umum, sebagai berikut :

a.       Bertaqwa kepada Allah SWT, serta aktif menjalankan ibadah dan amaliah.

b.      Setiap gerak, langkah dan tindakan di manapun berada dan dalam suasana yang bagaimanapun semata-mata karena ibadah kepada Allah SWT, dengan senantiasa dijiwai ajaran Agama Islam.

c.       Berbudi luhur dan berakhlak mulia.

d.      Sehat jasmani dan rohani.

e.       Memiliki pengetahuan dan keterampilan.

f.       Kreatif dan bertanggung jawab.

g.      Berpengetahuan tinggi dan cerdas.

h.      Demokratis dan penuh tenggang rasa.

i.        Berjiwa gotong royong, mencintai bangsa dan sesamanya.

j.        Disiplin, cinta kebersihan dan keindahan alam sekitar.

k.      Berjiwa pejuang, rendah hati dan berpola hidup sederhana.

l.        Cukup tanggap dan peka terhadap masalah yang ada di lingkungannya.

E. Tugas

Rusmuskan upaya-upaya yang perlu dilakukan di sekolah Anda berkaitan dengan penciptaan budaya dan iklim sekolah menurut empat komponen yang telah dikemukakan: (1) penciptaan lingkungan fisik sekolah, (2) penciptaan lingkungan sosial sekolah, (3) penciptaan lingkungan personil sekolah, dan (4) penciptaan lingkungan kerja sekolah. Gunakan format berikut untuk membantu Anda bekerja.

No comments: