Thursday, September 29, 2016

Memaknai Kembali Arti Kesejahteraan Guru Perspektif Kesejahteraan Guru Kini

Dalam setiap Peringatan Hari Guru, persoalan kesejahteraan guru selalu menjadi topik yang hangat untuk didiskusikan. Begitu juga dengan Peringatan Hari Guru tahun ini, dapat dipastikan isu kesejahteraan guru akan kembali mengemuka. Walaupun sebagian besar guru telah menikmati berbagai tunjangan yang diberikan oleh pemerintah.
Mulai dari tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus daerah terpencil, tunjangan kinerja, insentif, uang makan dan lain sebagainya, tak urung membuat guru masih merasa kurang sejahtera. Sayangnya, dialog tentang kesejahteraan guru selalu dibingkai dalam arti yang sempit, yaitu terkait kesejahteraan ekonomi atau finansial.
Tuntutan yang selalu disuarakan oleh para guru terkait kesejahteraan adalah adanya peningkatan penghasilan guru. Suara yang disampaikan biasanya adalah terkait percepatan pembayaran tunjangan, tambahan insentif dari APBD atau pengangkatan guru honorer jadi PNS. Kalau sudah jadi PNS akan ada jaminan penghasilan.
 
Guru pun rela melakukan apa saja untuk sertifikasi, memperoleh tunjangan atau menjadi CPNS. Memanipulasi data, menyuap petugas, rekayasa dokumen, memalsukan sertifikat, plagiat karya tulis bahkan dipungli juga mau. Jadilah seorang guru bisa memperoleh tunjangan fungsional dari Depag dan Diknas sekaligus. Atau guru yang baru 1 tahun mengajar dapat ikut sertifikasi. Atau juga guru yang rela mengeluarkan dana jutaan bagi keluarnya tunjangan profesi dan kejadian-kejadian ganjil lainnya.
Turun ke jalan pun dilakoni para guru untuk keluarnya tunjangan profesi. Bermandikan cucuran air mata atau meneteskan darah demi sebuah ritual cap jempol darah pun rela dilakukan asal diangkat jadi PNS. Tetapi kalau diajak untuk memperjuangkan kebebasan berorganisasi, jaminan sosial untuk guru, penghapusan UN yang telah merampas sebagian hak guru atau menuntut keadilan bagi guru-guru yang telah di-PHK lebih banyak yang memberikan dukungan moril berupa titip doa atau titip salam, titip duit pun tidak.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan guru juga sepertinya tak lebih hanya menjawab persoalan penghasilan melalui program sertifikasi dan tunjangan profesi guru. Apakah karena memang tuntutan guru hanya masalah penghasilan atau pemerintah sedang bersiasat untuk tidak memenuhi seluruh komponen kesejahteraan guru?
Hal ini tergambar dari betapa sibuknya pemerintah untuk mengurusi sertifikasi dan tunjangan profesi. Sampai harus melakukan difusi kedirjenan dan melahirkan badan baru serta melakukan beberapa kali revisi mekanisme sertifikasi dan tunjangan profesi setiap tahunnya padahal program sertifikasi hanya tinggal 3 tahun lagi. Seluruh energi dan kemampuan dicurahkan sehingga terkesan menomorduakan urusan-urusan lainnya
Ironisnya, masalah sertifikasi dan tunjangan profesi masih saja menyisakan cerita tak sedap. Mulai dari permainan kuota sertifikasi yang terindikasi ada suap dan manipulasi data sehingga mengakibatkan guru yang sudah bertugas belasan tahun belum tersertifikasi sementara guru yang baru saja selesai kuliah dapat disertifikasi. Terlambatnya pembayaran tunjangan profesi dan terindikasi diselewengkan pejabat terkait, bahkan untuk tahun anggaran 2010 masih banyak guru yang belum menerimanya. Sampai dengan yang paling esensi adalah ternyata pemberian sertifikasi dan tunjangan profesi tidak membuat guru menjadi lebih baik atau profesional, padahal inilah yang menjadi tujuan utama program tersebut.
Perkembangan terakhir, pemerintah juga akan membuat peraturan tentang tenaga honorer di sekolah. Dimana dalam aturan tersebut gaji guru swasta ditetapkan paling sedikit harus di atas upah minimum provinsi. Sebuah kebijakan yang patut disambut dengan gembira. Tetapi dalam konteks kesejahteraan lagi-lagi terjebak dalam bingkai, kesejahteraan adalah penghasilan dan penghasilan adalah kesejahteraan.
Kesejahteraan Guru Sesungguhnya
Dalam sebuah jurnal lawas, Review Educational Research, yang dikeluarkan oleh American Educational Research Association, Percival M. Symonds dan Robert T. Ford (1952) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kesejahteraan guru adalah :
  • Keamanan ekonomi, meliputi penghasilan yang memadai, jaminan sosial untuk kesehatan dan hari tua (pensiun), serta kepastian masa jabatan dalam posisi tertentu;
  • Kemampuan profesional, yaitu mendapat pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi guru dalam jabatan mau pun guru pra jabatan. 
  • Kenyamanan pribadi, yang tidak hanya melibatkan masalah kebebasan akademik dan sosial, tetapi juga hubungan interpersonal yang demokratis dalam situasi belajar atau pun urusan administrasi.
  • Kondisi kerja, termasuk di dalamnya lama kerja dalam satu hari, jumlah siswa yang diajar, karakter tugas, ketersediaan bahan ajar dan karakter umum dari guru lainnya.
Penempatan masalah keamanan ekonomi pada urutan pertama memang menggambarkan betapa pentingnya penghasilan dalam masalah kesejahteraan guru. Tetapi secara kesuluruhan juga tergambar bahwa masalah ekonomi bukan satu-satunya yang mempengaruhi guru menjadi sejahtera. Artinya, masih banyak variabel dan dibutuhkan banyak usaha untuk memenuhi kesejahteraan guru bukan hanya meningkatkan penghasilannya.
Apa yang disampaikan oleh Symonds dan Ford di atas, sebenarnya sudah terakomodir dalam UU Guru dan Dosen (UUGD). Berkaitan dengan keamanan ekonomi telah diatur gaji yang harus di atas kebutuhan hidup minimum, tunjangan profesi bagi guru-guru yang bersertifikat, tunjangan fungsional, tunjangan khusus untuk guru yang bertugas di daerah khusus, maslahat tambahan, jaminan kesejahteraan sosial dan kompensasi finansial bagi guru-guru yang di-PHK.
Juga diatur perlindungan dalam melaksanakan tugas berupa perlindungan hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, kebebasan berorganisasi, kesempatan untuk berperan dalam menentukan kebijakan pendidikan mulai dari sekolah sampai birokrasi pusat, memperoleh penghargaan atas prestasi dan hak untuk cuti tanpa potongan gaji.
Berkaitan dengan pembelajaran diatur tentang beban kerja guru, hak untuk memanfaatkan sarana dan pra sarana di sekolah, kebebasan dalam melakukan penilaian dan penentuan kelulusan, kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dan kualifikasi akademik serta kesempatan memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi.
Jelas sekali bahwa UU Guru dan Dosen tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru bukan sekedar penghasilan. UU Guru dan Dosen bukan hanya sekedar sertifikasi dan tunjangan profesi. Banyak guru terjebak memaknai UU Guru dan Dosen dalam dua bagian itu saja sehingga kalau sudah mendapatkan sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesi maka tamatlah pembicaraan UU Guru dan Dosen.
Catatan Akhir
Penting bagi guru untuk memahami UU Guru dan Dosen secara lebih komprehensif agar tidak keliru dalam memahami arti kesejahteraan guru yang sebenarnya. Dengan pemahaman yang benar juga guru akan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya serta mengerti eksistensi dan konsekuensinya sebagai guru profesional. Tetapi yang sangat disayangkan, jangankan untuk memahami UU Guru dan Dosen, dokumennya saja banyak guru yang tak memiliki. Kalau sudah begini, maka upaya untuk memperjuangkan kesejahteraan guru akan menjadi bualan saja karena guru sendiri tidak memiliki referensi dan tidak mengerti terhadap apa yang diperjuangkan.
Bagi pemerintah sudah bukan zamannya lagi untuk menutup-nutupi keterbatasan dalam pemenuhan kesejahteraan guru. Demi pencitraan atau sekedar popularitas. Apalagi kemudian mencari-cari kesalahan guru untuk menutupi ketidakmampuannya tersebut.
Pemerintah seharusnya mensosialisasikan langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan terkait implementasi UU Guru dan Dosen karena hal ini merupakan indicator sampai sejauhmana kesejahteraan guru itu telah terpenuhi. Pemerintah terkesan menina-bobokan guru dengan sertifikasi dan tunjangan profesi. Pemerintah masih menganggap guru bagai anak kecil yang merengek untuk dibelikan baju, tetapi pemerintah hanya memberinya sebatang coklat karena anak kecil tersebut sudah pasti akan diam dari rengekannya.
Tidak akan ada artinya ruang belajar yang mewah ber-AC atau laboratorium yang canggih dengan fasilitas IT jika guru yang mengajar tidak diperhatikan kesejahteraannya. Akan sia-sia perpustakaan yang lengkap dan media pembelajaran yang modern jika guru yang mengajar tidak dipedulikan kenyamanan dan keamanannya. Tetapi kalau guru sejahtera, nyaman dan aman mengajar maka dengan sendirinya akan tumbuh komitmen, loyalitas, kapasitas dan kreatifitas guru dalam mengajar.
Apapun ceritanya, guru merupakan ujung tombak pendidikan. Mensejahterakan guru adalah sebuah keniscayaan, karena dengan guru yang sejahtera maka kualitas pendidikan akan meningkat.
SUMBER-SUMBER

No comments: