Tuesday, November 8, 2011

MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA



Pendahuluan
Kata- kata atau leksem- leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang memiliki kata- kata itu. Umpamanya, kata-kata kuning,merah,hijau,biru dan ungu berada dalam satu kelompok, yaitu kelompok warna, sebaliknya, setiap kata atau leksem dapat pula dianalisis unsur-unsur maknanya untuk mengetahui perbedaan makna antara kata terdebut dengan kata lainnya yang berbeda dalan satu kelompok. Misalnya mayat dan bangkai berada dalam satu kelompok, yang perbedaannya terletak pada bahwa mayat memiliki unsur makna /+manusia/sedangkan bangkai memiliki unsur makna /manusia/, alias bukan manusia.
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Sedangkan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilinya disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga analisis ciri-ciri leksikal.

1.1       Medan Makna
Yang dimaksud dengan medan makna (semantic demain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama  besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Medan warna dalam bahasa Indonesia mengenal nama-nama merah cokelat, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih dan hitam dengan catatan, menurut fisika, putih adalah campuran berbagai warna sedangkan hitam adalah tak berwarna untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda, bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan seperti merah darah, merah jambu dan merah bata. Bahasa Inggris mengenal 11 warna dasar yaitu white, reed, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Sedangkan dalam bahasa hunanco, salah satu daerah di Filipina, hanya terdapat empat warna yaitu (ma) biru, yakni warna hitam dan warna gelap lainya.(ma) langit,yakni warna putih dan warna cerah lainya,(ma) rarar, yakni kelompok warna merah; dan (ma) latuy yakni warna kuning, hijau muda, dan coklat muda.
Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga tidak sama banyaknya antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainya, malah bisa konsep penamaanya berbeda, dalam bahasa Indonesia dikenal nama kakak dan adik yaitu orang yang lahir dari orang yang sama bahasa Inggris menyebut orang yang lahir dari ibu yang sama dengan istilah brother dan sister. Di sini jelas perbedaan konsep penamaannya: bahasa indonesia berdasarkan usia, lebih tua atau lebih muda; sedangkan bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin, lelaki atau perempuan dalam dialek Melayu Jakarta ada kombinasi 2 konsep itu, meskipun tidak lengkap, yakni disamping ada abang ‘saudara laki-laki yang lebih tua’, ada juga mpo ‘saudara perempuan yang lebih tua’, dan adik ‘saudara lebih muda baik laki-laki maupun perempuan’.
Berapa banyak kelompok medan makna yang dapat dibuat dari setiap bahasa? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan menyebut jumlah angka yang pasti, sebab pengelompokan kata-kata berdasarkan medan maknanya sangat tergantung pada konsep budaya masing-masing masyarakat pemakai bahasa itu. Di dalam buku Thesaurus of english word and phrases Clasified and aranged so as to facilitate the Expression of Ideas and Assist in literacy Composition oleh peter Mark Raget (1779-1868)terdaftar 1042 kelompok medan makna yang keseluruhannya terdiri dari 250.000 kata dan frase. Namun, dalam studi medan makna ini, seperti yang dilakukan Nida (1974 dan 1975 ), kata-kata biasanya dibagi atas 4 kelompok, yaitu kelompok bendaan (entiti), kelompok kejadian/ peristiwa (event), kelompok abstrak, dan kelompok relasi. Anggota kelompok bendaan dan peristiwa tampaknya tidak terbatas, tetapi dua kelompok yang terakhir bersifat terbatas.
Kata – kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik yang yang dapat antara kata-kata atau unsur –unsur leksikal itu. Umpamanya, dalam kalimat.
Ø  (51) Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai,lalu perahu itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.
Kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai ombak, dan tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan kelautan. Contoh lain, kata-kata cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada berada dalam satu kolokasi, yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur.
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, karena sifatnya yang linear, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk pada hubungan paragdimatik, karena kata- kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bisa disubsitusikan. Sekelompok makna yang merupakan satu set biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan. Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota lain dalam set itu. Umpamanya, kata remaja merupakan tahap perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Sedangkan kata-kata yang satu set dengan remaja dan sejuk dibagankan adalah menjadi sebagai berikut.
Ø  (52)      Manula/lansia  terik     terik
            Dewasa                       panas
            Remaja                        hangat
            Kanak-kanak               sejuk
            Bayi                             dingin
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita dalam memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa. Namun, pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpangtindihan unsur-unsur leksikal yang dikelompokan itu. Umpamanya, kata candi dapat masuk kelompok medan makna pariwisata, dan bisa juga masuk kelompok medan makna kesejarahan. Selain, itu pengelompokan kata atas medan makna ini tidak memperdulikan adanya nuansa makna, perbedaan makna denotasi dan konotasi. Umpamanya, kata remaja dalam contoh diatas hanya menunjuk pada  jenjang usia ,padahal kata remaja itu memiliki juga makna “belum dewasa, keras kepala, bersikap kaku, suka mengganggu dan membantah, serta mudah berubah pikiran, sikap, dan pendapat. Jadi, pengelompokan kata atas medan makna ini hanya bertumpu pada makna dasar, makna denotatif, atau makna pusatnya saja.

1.2       Komponen Makna
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu , berdasarkan “pengertian-pengertian “ yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah memiliki komponen   makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/, dan  /+punya anak/; dan kata ibu memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /-jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/. Kalau dibandingkan komponen kata ayah dan ibu adalah tampak sebagai bagan (53) berikut  

(53) 
NO
KOMPONEN MAKNA
AYAH
IBU
1
MANUSIA
+
+
2
DEWASA
+
+
3
JANTAN
+
-
4
KAWIN
+
+
5
PUNYA ANAK
+
+

Keterangan   :  tanda + berarti memiliki komponen makna tersebut, dan tanda – berati tidak memiliki komponen makna itu
            Dari bagan tersebut terlihat bahwa beda makna ayah dan ibu hanyalah pada komponen makna/ jantan/: ayah memiliki komponen makna itu, sedangkan ibu tidak memilikinya untuk lebih jelas, perhatikan analisis komponen makna lima buah kata Inggris man, woman, boy, girl, dan bull.
(54)
NO
KOMPONEN MAKNA
MAN
WOMAN
BOY
GIRL
BULL
1
MANUSIA
+
+
+
+
-
2
DEWASA
+
+
-
-
-
3
JANTAN
+
-
+
-
±

Tampak terlihat bahwa man, woman, boy, dan girl memiliki komponen makana/+manusia/, sedangkan bull tidak memiliki komponen makna itu. Lalu, man dan oman meiliki kompeonen makna /+dewasa/, sedangkan boy, girl dan bull tidak memiliki kompoenen makan tersebut. Selanjutnya terlihat bahwa man dan boy memilikomponen makna /+jantan/, sedangkan woman dan girl tidak memiliki komponen makna tersebut; dan bull bisa memiliki bisa juga tidak meiliki, sebab bull termasuk jantan dan betina.
Kalau kita bandaingkan kata Inggris boy, girl, child, dan kata Indonesia anak, maka akan tampak perbedaan maknanya sebagai mana terpampang pada bagan berikut :
(52)
NO
KOMPONEN MAKNA
BOY
GIRL
CHILD
ANAK
1
MANUSIA
+
+
+
+
2
DEWASA
-
-
-
±
3
JANTAN
+
-
±
±

Tampak, bahwa boy, girl, child dan anak memiliki komponen makna /+manusia/; bedanya boy, gilr, dan child memiliki komponen makna /-dewasa/, sedangkan anak memiliki komponen makna /±dewasa/. Jadi kata anak dalam bahasa Indonesia bisa dewasa tetapi juga belum dewasa. Beda lain, boy memiliki komponen makna /+ jantan/, girl memiliki komponen makan /-jantan/; sedangkan child dan anak sama-sama memiliki komponen makna /±jantan/. Oleh karena itu, bila kita akan menerjemahkan kata Inggris boy dan girl ke dalam bahasa Indonesia, maka haruslah pada kata anak itu ditambahkan atribut laki-laki menjadi anak laki-laki untuk boy; dan ditambah atribut perempuan menjadi anak perempuan untuk girl. Penambahan ini perlu dilakukan karena kata anak dalam bahasa Indonesia itu belum memiliki komponen makna/ + jantan/ maupun/ -jantan/. Bagaimana kalau kita kalau kita harus menerjemahlan kata anak ke dalam bahasa Inggris? Dalam hal ini haruslah dilihat dari konteksnya; mungkin harus menjadi boy, menjadi girl, atau pun menjadi child.
            Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim. Umpamanya, kata ayah dan bapak adalah dua buah kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia. Lalu, seperti telah dikatakan bahwa dua buah kata yang bersinonim maknanya tidak persis sama. Oleh karena itu, kata ayah dana bapak pun, meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya. Di manakah letak bedanya itu? Kalau kita analisis komponen makna yang dimiliki kata bapak dan ayah akan terlihat sebagai berikut :
NO
KOMPONEN MAKNA
AYAH
BAPAK
1
MANUSIA
+
+
2
DEWASA
+
+
3
SAPAAN KEPADA ORANG TUA LAKI-LAKI
+
+
4
SAPAAN KEPADA YANG DIHORMATI
-
+
  
Dari bagan itu terlihat bahwa kata ayah dan bapak sama-sama memiliki komponen makna 1 sampai 3; bedanya, lata ayah tidak memiliki komponen nomor 4, sedangkan kata bapak memiliki komponen makna itu. Dengan demikian, Anda bisa melihat beda makna kata ayah dan bapak yang hakiki, yang menyebabkan kata bapak dalam ujaran (57) berikut tidak dapat ditukar dengan kata ayah.
Ø  Kami menghadap Bapak Gubernur Upin di kantornya.
            Kegunaan analisis komponen yang lain ialah untuk menembus prediksi makna-makna gramatikal afiksasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia. Umpamanya, proses afikssasi dengan prefiks me- pada nomina yang memiliki komponen makna/ +alat/, akan mempunyai makna gramatikal ‘melakukan tindakan dengan alat (yang disebut kata dasarnya)’, seperti terdapat pada menggergaji, memahat, menombak, dan menggali. Proses afiksasi dengan prefiks me- terhadap nomina yang memiliki komponen makna/ +sifat, atau cirri khas/, akan mempunyai makna gramatikal ‘menjadi atau berbuat seperti (yang disebut kata dasar)’. Misalnya, membeo, mematung, membaja, dan membatu. Proses afiksasi dengan prefis me- pada nomina yang memiliki komponen makan/ +hasil olahan/ akan memiliki makna gramatikal ‘membuat yang disebut kata dasarnya’. Misalnya, menyambal, menggulai, dan menyate. Sedikit catatan mengenai kata mematung; di dalam buku-buku pelajaran tata bahasa dikatakan mempunyai makna (1) menjadi atau berlaku seperti patung, dan (2) membuat patung. Adanya dua makna gramatikal ini karena komponen makna yang dimiliki kata patung adalah memang (1) memiliki sifat atau cirri khas, dan (2) hasil olahan. Jadi komponen makna (1) memberikan makna gramatikal (1), dan komponen makna (2) memberikan makna gramatikal (2)
            Bahwa analisis komponen ini dapat digunakan untuk meramalkan makna gramatikal, dapat juga kita lihat pada proses reduplikasi dan proses komposisi. Dalam proses reduplikasi, yang terjadi pada dasar verba yang memiliki  komponen makna/+sesaat/ memberi makna gramatikal ‘berulang-ulang’ seperti pada memotong-motong, memukul-mukul, dan menendang-nendang. Sedangkan pada verba yang memiliki komponen makna/+bersaat/ akan memberi makna gramatikal ‘dilakukan tanpa tujuan’, seperti pada membaca-baca, mandi-mandi, dan duduk-duduk. Jadi, dalam proses reduplikasi itu terlihat verba yang memiliki komponen makna/ +sesaat/ mempunyai makna gramatikal yang berbeda dengan verba yang memiliki komponen makna/-sesaat/
            Dalam proses komposisi, atau proses penggabungan leksem dengan leksem, terlihat juga bahwa komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasar yang terlibat dalam prose situ menentukan juga makna gramatikal yang dihasilkannya. Misalnya, makna gramatikal ‘milik’ hanya dapat terjadi apabila konstituen kedua dari komposisi itu memiliki komponen makna/ +manusia/, atau /+dianggap manusia/. Misalnya, sepeda Dika, rumah paman, dan mobil kantor. Jika tidak memiliki komponen makna itu, maka makna gramatikal ‘milik’ tidak akan muncul.misalnya, bulu kucing bukan bermakna gramatikal ‘bulu milik kucing’, melainkan ‘bulu dari kucing’. Dalam buku C.A. Mess (1954) ada konstruksi lukisan Yusuf yang dikatakan bermakna ganda, yakni (1) lukisan milik Yusuf, (2) lukisan karya Yusuf, atau Yusuf yang dibuat, dan (3) lukisan wajah Yusuf, atau Yusuf jadi objek lukisan itu.
Dengan menggunakan analisis komponen makna terhadap kata Yusuf hal tersebut dapat dijelaskan. Jika kita butiri komponen maknanya, maka dapat disebutkan bahwa Yusuf memiliki komponen makna /+manusia/; dan mempunyai kemungkinan memiliki komponen makna /+pelukis/, /+kolektor/, dan /+objek lukisan/. Disebut mempunyai kemungkinan karena kita tidak mengenal, apakah Yusuf memang pelukis, memang kolektor, atau memang juga objek lukisan. Kalau kita bandingkan dengan Basuki Abdullah, maka sudah jelas bahwa Basuki Abdullah memang memiliki komponen makna /+pelukis/; dan kalau dibandingkan dengan Bung Karno maka sudah jelas bahwa Bung Karno adalah kolektor lukisan; akhirnya, kalau kita bandingkan dengan banteng tidak memiliki komponen makna /+pelukis/ dan /+kolektor/. Yang mungkin banteng hanya memiliki kemungkinan makna /+objek lukisan/. Perhatikan bagan berikut, dengan catatan komponen makna yang mungkin ditulis dalam tanda kurung.

NO
KOMPONEN MAKNA
YUSUF
BASUKI ABDULLAH
BUNG KARNO
BANTENG
1
MANUSIA
+
+
+
-
2
PELUKIS
(+)
+
(+)
-
3
KOLEKTOR
(+)
(+)
+
-
4
OBJEK LUKISAN
(+)
(+)
(+)
(+)

Karena konstituen Yusuf dalam komposisi lukisan Yusuf memiliki kemungkinan bentuk mempunyai komponen makna /+pelukis/, /+kolektor/, /+objek lukisan/, maka kemungkinan pada lukisan Yusuf untuk bermakna gramatikal ‘milik’, ‘karya’, dan ‘objek’ menjadi mungkin. Konstituen Basuki Abdullah pada lukisan Basuki Abdullah, jelas mempunyai komponen makna /+pelukis/ karena beliau memang seorang pelukis; tetapi juga mempunyai komponen makna /+kolektor/ dan /+objek lukisan/. Oleh karena itu, komposisi lukisan Basuki Abdullah sudah jelas akan memiliki makna gramatikal ‘karya’. Konstituen Bung Karno pada komposisi lukisan Bung Karno, jelas memiliki komponen makna /+kolektor/, karena beliau memang terkenal sebagai kolektor lukisan; tetapi di samping itu mempunyai kemungkinan juga untuk memiliki komponen makna /+pelukis/ dan /+objek lukisan/. Oleh karena itu, komposisi lukisan Bung Karno jelas akan memiliki makna gramatikal ‘milki’, meskipun makna ‘karya’ dan ‘objek’ juga mungkin. Akhirnya, konstituen banteng pada komposisi lukisan banteng jelas hanya akan memiliki makna gramatikal ‘objek’, sebab konstituen banteng itu hanya mungkin memiliki komponen makna /+objek lukisan/; dia tidak mempunyai kemungkinan untuk mempunyai komponen makna /+pelukis/ maupun /+kolektor/.
            Sekadar catatan tambahan, analisis makna dengan mempertentangkan ada (+) atau tidak adanya (-) komponen makna pada sebuah butir leksikal disebut analisi biner, analisis dua-dua. Analisis ini berasal dari studi fonologi yang dilakukan Roman Jakobson dan Morris Halle. Dalam laporan penelitiannya yang berjudul Preliminaries to Appech Analysis: The Distinctive Features and their Correlates (1951), mereka memberi tanda (+) untuk bunyi mengandung suatu cirri fonologis, dan memberi tanda (-) untuk yang tidak mempunyai cirri itu. Umpamanya, bunyi /p/, /b/, /t/, /d/ memiliki cirri-ciri sebagai tampak dalam bagan berikut.
NO
CIRI PEMBELA
p
b
t
d
1
HAMBAT
+
+
+
+
2
BILABIAL
+
+
-
-
3
BERSUARA
-
+
-
+

Dan bagan tersebut bahwa bedanya bunyi /p/, dan /b/ adalah cirri bersuara; /p/ adalah bunyi tak bersuara, sedangkan /b/ adalah bunyi bersuara. Bedanya bunyi /p/ dan /t/ terletak pada cirri bilabial; /p/ bunyi bilabial, sedangkan /t/ bukan bunyi bilabial. Persamaan dan perbedaaan lainnya dari keempat bunyi itu dapat Anda lihat sendiri dari bagan tersebut.
            Para pakar antropologi pada tahun 50-an juga mengembangkan suatu analisis yang mirip dengan analisis distinctive features dari Morris Halle dan Roman Jakobson itu. Para ahli antropologi menggunakan analisis ini untuk, antara lain, menjelaskan perbedaan dan persamaan dalam istilah perkerabatan. Hanya bedanya mereka tidak selalu terpaku pada ada atau tidaknya suatu cirri makna pada suatu unsure leksikal. Umpamanya, ayah satu tingkat di atas ego; nenek dua tingkat di atas ego; ipar setingkat dengan ego; dan cucu dua tingkat di bawah ego.
            Kemudian, oleh Chomsky (1965) prinsip-prinsip analisi yang dilakuakn Roman Jakobson dan para ahli antropologi itu digunakan untuk memberi cirri-ciri gramatikal dan cirri-ciri semantic terhadap semua morfem dalam daftar morfem yang melengkapi tata bahasa generatif transformasinya. Umpamanya, kata boy oleh Chomsky diberi cirri /+nomina, +insane, +terhitung, + konkret, +bernyawa/; kata dog diberi cirri /+nomina, insane, +terhitung, + konkret, -bernyawa-nyawa/;  dan kata spirit diberi cirri /+nomina, -insan, -terhitung, -konkret, -bernywa/. Dengan memberi cirri-ciri seperti itu pada setiap butir leksikal, maka akan dapat dijelaskan berterima atau tidaknya sebuah kalimat, baik secara leksikal maupun gramatikal.
Kesesuaian Semantik dan Sintaktik
            Telah disebutkan bahwa berterima tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal, tetapi juga masalah semantik. Kalau kita amati keempat kalimat berikut akan tampat perbedaan ketidakberterimaannya.
Ø  (60) Kambing yang Pak Ipin terlepas lagi.
Ø  (61) Segelas kambing minum setumpuk air.
Ø  (63) Kambing itu membaca komik.
Ø  (64) Penduduk DKI Jakarta sekarang ada 50 juta orang.
Ketidakberterimaan kalimat (60) tersebut adalah karena kesalahan gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Ipin. Konjungsi yang tidak dapat menggabungkan nomina dengan nomina; tetapi dapat menggabungkan nomina dengan ajektifa. Misalnya, menjadi kambing yang besar, atau kambing yang kurus. Lagi pula dalam konstruksi yang menyatakan milik tidak perlu menggunakan konjungsi yang maka, kalimat itu menjadi benar kalau dikatakan seperti kalimat (60a) berikut.
Ø  (60a) Kambing Pak Ipin terlepas lagi
Kalimat (61) tersebut tidak berterima bukanlah karena kesalahan gramatikal, tetapi karena kesalahan persesuaian leksikal. Seharusnya bukan ‘segelas kambing, melainkan seekor kambing’. Begitu juga bukan ‘setumpuk air, melainkan segelas air atau seember air’. Jadi kalimat (61) itu akan menjadi berterima kalau dibuat menjadi kalimat (61a) berikut.
Ø  (61a) Seekor kambing minum seember air.
Ketidakberterimaan kalimat (62) tersebut adalah karena tidak ada persesuaian semantic antara kambing sebagai pelaku dengan kata membaca sebagai perbuatan yang dilakukan kambing itu. Terakhir, kalimat (63) itu tidak berterima adalah karena kesalahan informasi. Dewasa ini penduduk DKI Jakarta hanya ada 8 juta orang, bukan 50 juta orang.
            Mari kita lihat kembali kalimat (61) dan kalimat (62). Kedua kalimat itu tidak berterima, bukanlah karena kesalahan semantic. Kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantic diantara konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu. Frase ‘segelas kambing’ pada kalimat (61) tidak berterima karena kata segelas memiliki komponen makna /+satuan wadah/, /+benda cair/, dan /+terhitung/; padahal kata kambing berkomponen makna /-benda cair/ dan /+terhitung/. Jadi, mana mungkin menempatkan benda tidak cair dan terhitung pada wadah untuk benda cair yang tidak terhitung. Begitu juga dengan frase ‘setumpuk air’. Kata setumpuk memilki komponen makna /+satuan hitungan/ dan /+benda padat/; padahal kata cair tidak meiliki komponen benda padat itu.
            Bagaimanakah dengan kalimat (62) menurut Chafe (1970) inti sebuah kalimat adalah pada predikat atau verba. (Karena dalam bahasa Inggris predikat selalu berupa verba, maka Chafe menganggap predikat sama dengan verba). Menurut teori Chafe, verbalah yang menentukan kehadiran konstituen lain dalam sebuah kalimat. Kalau verbanya berupa kata kerja membaca, maka dalam kalimat itu akan hadir sebuah subjek berupa nomina pelaku dan berkomponen makna /+manusia/. Mengapa? Karena verba membaca berkomponen makna /+manusia/. Selain itu, juga harus hadir sebuah objek berupa nomina yang memiliki komponen makna /+bacaan/ atau /+tulisan/, sebab verba menbaca juga memiliki komponen makna /+bacaan/ atau /+tulisan/. Perhatikan bagan berikut :

Ø  (64)    subjek                             predikat                             objek
                /+nomina/                       membaca                           /+nomina/
                /+manusia/                      /+manusia/                         /+bacaan/
                                                       /+bacaan/

                nenek                              membaca                           komik
                +nomina                         +verba                               +nomina
                +manusia                        +manusia                           +bacaan
                                                       +bacaan

Ø  (65)    kambing                         membaca                           komik
                +nomina                         +verba                               +nomina
                -manusia                         +manusia                           +bacaan
                                                       +bacaan

Ø  (66)    kambing                         membaca                           meja
                +nomina                         +verba                               +nomina
                -manusia                         manusia                             -bacaan
                                                       +bacaan
            Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa kalimat (64) Nenek membaca komik berterima karena antara kata nenek dan membaca ada persesuaian semantic, dan antara kata membaca dan komik juga ada persesuaian semanatis itu. Kalimat kambing membaca komik tidak berterima, karena antara kata membaca dan kambing tidak ada persesuaian semantic; membeca berciri makna /+manusia/ sedangkan kambing berciri makna /-manusia/. Begitu juga dengan kalimat (66) tidak berterima karena tidak ada persesuaian semantic sama sekali antara kata membaca dan kambing, dan antara kata membaca dengan meja.
            Analisi perseuaian semantic dan sintaktis ini tentu saja harus memperhitungkan komponen makna kata secara lebih terperinci. Misalnya, kalimat (67) dan (68) sama-sama dapat diterima, meskipun seubjeknya yang pertama berciri /+manusia/ dana yang kedua berciri /-manusia/, karena verbanya, yaitu makan, memiliki komponen makna /+mahluk hidup/, yang bisa berlaku untuk manusia dan binatang .
Ø (67) Nenek makan dendeng.
Ø (68) Kucing makan dendeng.
Bagaimana dengan kalimat (69) berikut, yang juga bisa diterima, padahal jelas rumput itu bukan makanan?
Ø  (69) Kambing itu makan rumput.
Di sini tampak pula bahwa keterperincian analisis lebih diperlukan lagi, sebab ternyata rumput memang bukan makanan untuk manusia, tetapi merupakan makan bagi kambing.
            Selain dipergunakan keterperincian analisis, masalah metafora tampaknya juga perlu disingkirkan, sebab kalimat-kalimat metaforis seperti (7) dan (71) adalah berterima.
Ø  (70) Bangunan itu menelan biaya 100 juta rupiah.
Ø  (71) Pak Lurah kami dituduh makan duit rakyat.


KESIMPULAN

            Yang dimaksud dengan medan makna (semantic demain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna.
            Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu , berdasarkan “pengertian-pengertian “ yang dimilikinya.
 
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Citra
Poerwadaminta ,W.J.S, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
                        Pendidikan da Kebudayaan.
_________,     1973. Ensiklopedia Umum Indonesia. Yogyakarta ; Kanisius


No comments: