Nama Mahasiswa : Ari
Nugraha
Nomor Peserta PPG :
201503280480
Mapel :
Bahasa Indonesia
Judul Modul |
Modul 2 Semantik dan Wacana |
|
Judul Kegiatan Belajar (KB) |
1.
Hubungan
Bentuk dan Makna 2.
Eufimisme 3.
Wacana 4.
Pragmatik |
|
No |
Butir Refleksi |
Respon/Jawaban |
1 |
Daftar peta konsep (istilah dan definisi) di
modul ini PETA KONSEP |
DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI 1. Jenis Makna Makna adalah konsep abstrak
pengalaman manusia tentang sesuatu, tetapi makna bukan pengalaman setiap
individu (Wijana dan Rohmadi, 2008: 11). Makna digunakan sebagai penghubung
bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan penutur bahasa sehingga
antarindividu dapat saling mengerti (Djayasudarma, 2012: 7). ·
Makna Leksikal Makna leksikal adalah makna
sesungguhnya mengenai gambaran yang nyata tentang konsep yang dilambangkan. ·
Makna Gramatikal Makna gramatikal muncul karena
adanya proses gramatikal. Makna ini terjadi karena adanya hubungan antarunsur
bahasa dalam satuan yang lebih besar, misalnya kata turunan, frasa, atau
klausa. ·
Makna Referensial Referensi berhubungan dengan sumber
acuan. Makna referensial berkaitan langsung dengan sumber yang menjadi acuan.
Makna ini mempunyai hubungan dengan makna yang telah disepakati bersama. ·
Makna Nonreferensial Jika yang menjadi pokok perhatiannya
adalah acuan, maka makna nonreferensial adalah makna yang tidak memiliki
acuan. Misalnya, kata dan, atau, karena termasuk dalam makna nonreferensial
karena tidak memiliki acuan atau referen. ·
Makna Denotatif Makna denotatif adalah makna yang
sesungguhnya, makna dasar yang merujuk pada makna yang lugas atau dasar dan
sesuai dengan kesepakatan masyarakat pemakai bahasa (Suwandi, 2008: 80). ·
Makna Konotatif Konotasi sebagai sebuah leksem,
merupakan seperangkat gagasan atau perasaan yang mengelilingi leksem tersebut
dan juga berhubungan dengan nilai rasa yang ditimbulkan oleh leksem tersebut.
Nilai rasa berhubungan dengan rasa hormat, suka/senang, jengkel, benji, dan
sebagainya (Suwandi, 2008: 83). ·
Makna Literal Makna literal berhubungan dengan makna harfia atau makna lugas. Dalam
makna literal, makna sebuah satuan bahasa belum mengalami perpindahan makna
pada referen yang lain. ·
Makna Figuratif Berbeda dengan makna literal, makna figuratif adalah makna yang menyimpang
dari referennya. Dalam makna figuratif, makna satuan disimpangkan dari
referen yang sesunggunya. ·
Makna Primer Makna tersebut dapat kita ketahui
tanpa bantuan konteks. Wijana dan Rohmadi (2008: 26) menjelaskan bahwa
makna-makna yang dapat diketahui tanpa bantuan konteks disebut makna primer. ·
Makna Sekunder Makna satuan kebahasaan yang baru
dapat didentifikasikan dengan bantuan konteks disebut makna sekunder. 2. Hubungan Bentuk dan Makna ·
Sinonim Kata sinonimi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu onoma ‘nama’ dan syn ‘dengan’. Secara harfiah sinonim berarti ‘nama lain untuk enda atau hal yang sama’. Djayasudarma (2012: 55) menyatakan sinonim sebagai sameness of meaning (kesamaan
arti). Sinonim adalah bentuk bentuk bahasa yang memiliki makna kurang lebih
sama atau mirip, atau sama dengan bentuk lain. Kesamaan makna tersebut berada
pada tataran kata, frasa, klausa, atau kalimat (Kridalaksana, 1984: 179). ·
Antonim Secara etimologi, antonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
terdiri dari kata onoma ‘nama’ dan anti ‘melawan’. Secara harfiah
antonim bermakna ‘nama lain untuk benda lain’. Antonim beraitan dengan oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan (Kridalaksana, 1982). a. Antonim Mutlak Antonim mutlak adalah pertentangan bentuk bahasa yang bersifat mutlak.
Misalnya kata hidup berantonim dengan mati. b. Antonim Bergradasi Antonim bergradasi disebut juga dengan oposisi kutub. Pertentangan
antonim jenis ini tidak bersifat mutlak atau relatif. Misalnya kata besar dan
kecil. c. Antonim Relasional Antonim jenis ini dapat dilihat berdasarkan kesimetrian dalam makna
setiap pasanangannya. Misalnya kata suami dan istri. d. Antonim Hierarkial Antonim jenis ini terdapat dalam satuan waktu, berat, panjang, jenjang
kepangkatan, dan jenjang yang lainnya. Contoh antomin hierarkial adalah kilogram
dan kuintal/ton, hari dan bulan, prajurit dengan letnan,
mayor, jenderal. e. Antonim Resiprokal Antonim resiprokal adalah antonim yang bersifat timbal balik. Makna dalam
antonim ini saling bertentangan, namun secara fungsional keduanya mempunyai
hubungan yang sangat erat dan bersifat timbal balik. Contoh antonym ini
adalah mengajar dan belajar, menjual dan membeli, mengirim
dan menerima. ·
Homonim Sama seperti halnya sinonimi dan antonimi, homonimi berasal dari kata
Yunani kuno onoma ‘nama’ dan homo ‘sama’. Hominimi berarti nama
yang sama untuk benda atau hal yang lain’. Dengan kata lain, homonimi adalah hubungan antara kata yang ditulis dan atau dilafalkan dengan cara yang
sama dengan kata yang lain, tetapi maknanya tidak saling berhubungan
(Kridalakasana, 1984: 68). ·
Polisemi Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki lebih dari satu. Misalnya,
misalnya kata ibu bermakna: 1) wanita yang melahirkan seorang anak, 2)
sapaan untuk wanita yang sudah bersuami, 3) bagian yang pokok;--jari 4) yang
utama di antara beberapa hal yang lain. ·
Ambiguitas Ambiguitas dapat diartikan
dengan ‘makna ganda’. Konsep ini mengacu pada sifat konstruksi
penafsiran makna yang lebih dari satu (Suwandi, 2006: 117). Ambiguitas kadang disamakan dengan polisemi. Lalu apakah sama antara ambiguitas dengan polsemi? Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama memiliki makna lebih dari satu, namun keduanya memiliki perbedaan. Makna dalam polisemi berada pada tataran kata, sedangkan makna dalam ambiguitas berasal dari frasa atau kalimat yang terjadi karena penafsiran yang
berbeda, misalnya berbeda penafsiran dari
sisi gramatikal. ·
Redundansi Istilah redundansi sering diartikan sebagai sesuatu yang belebih-lebihan,
misalnya berlebihan pemakaian unsur segmental dalam kalimat. Istilah
redundansi biasanya dipakai dalam linguistik modern. Istilah ini digunakan
untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen kalimat yang tidak perlu jika
dipandang dari sisi semantik (Suwandi, 2006: 119). |
|
|
1. Perubahan Makna ·
Faktor Penyebab Perubahan Makna a.
Faktor Kebahasaan Perubahan makna karena faktor kebahasan berkaitan dengan cabang
linguistik, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Perubahan makna
karena faktor kebahasaan ini misalnya kata sahaya yang pada mulanya
berhubungan dengan budak. b.
Faktor Kesejarahan Perubahan makna karena faktor kesejarahan berhubungan dengan perkembangan
kata. Misalnya kata wanita berasal dari kata betina. c.
Faktor Sosial Perubahan ini disebabkan karena perkembangan makna kata dalam
penggunaannya di masyarakat. Karena dipengaruhi faktor sosial, makna kata
dapat mengalami perubahan. d.
Faktor Psikologis Karena faktor psikologis penutur, sebuah kata dapat berubah maknanya.
Misalnya kata anjing, babi, monyet pada awalnya kata-kata tersebut
merujuk pada nama-nama hewan. e.
Pengaruh Bahasa Asing Untuk keperluan berkomunikasi, kebutuhan penutur akan kosakata yang
beraneka ragam kadang diperlukan. Tidak menutup kemungkinan penutur akan
mengambil kosakata dari bahasa asing karena dalam bahasa yang biasa digunakan
tidak terdapat konsep tersebut. f.
Kebutuhan Kosakata Baru Walaupun setiap bahasa memiliki ribuan atau jutaan kosakata, namun
kadangkala untuk mengungkapkan suatu konsep baru seorang penutur tidak
menemukan dalam bahasanya. ·
Jenis-Jenis Perubahan Makna a. Perluasan Makna bahasa dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, begitu juga
dengan maknanya. Salah satu perubahan yang terjadi dalam bahasa adalah
perluasan makna. Indikator perluasan makna dapat dilihat bahwa makna sekarang
lebih lusa daripada makna terdahulu. b.
Penyempitan Makna Penyempitan makna berkebalikan dengan perluasan makna. Penyempitan makna
terjadi ketika sebuah kata yang pada awalnya mempunyai makna yang luas
kemudian maknanya berubah menjadi lebih sempit. c.
Peninggian Makna Peninggian makna atau ameliorasi berhubungan dengan nilai rasa yang lebih
baik atau sopan. Perubahan ini akan membuat kosakata atau ungkapan menjadi
lebih halus, tinggi, hormat daripada kosakata pilihan yang lainnya. d.
Penurunan Makna Penurunan makna atau peyorasi berkebalikan dengan ameliorasi. Proses
perubahan makna ini dapat dilihat dari makna kata atau yang mempunyai makna
lebih rendah, kasar, atau kurang sopan. e.
Pertukaran Makna Pertukaran makna disebut sinestesia. Perubahan makna ini disebabkan
karena pertukaran tanggapan indra, seperti pendengaran, pengecapan, dan
penglihatan. f.
Persamaan Makna Persamaan makna disebut juga dengan asosiasi. Persamaan makna yang
dimaksud di sini adalah makna yang berupa perumpamaan karena kesamaan sifat. g.
Metafora Metafora berkaitan dengan pemakaian kata kiasan yang memiliki kemiripan
makna. Metafora digunakan untuk menggambarkan perbandingan analogis pada dua
hal yang berbeda. Kata-kata yang digunakan bukan makna yang sebenarnya. 2. Eufimisme Secara etimologi, eufimisme berasal dari
bahasa Yunani eu bermakna ‘bagus’ dan phemeoo bermakna ‘berbicara’. Dengan
demikian, eufimisme bermakna berbicara dengan menggunakan perkataan yang
halus dan sopan sehingga memberikan kesan yang baik. ·
Referen Eufimisme Referensi eufimisme tidak hanya nama hewan,
tetapi juga mengacu pada referen lainnya, seperti keaadaan, pekerjaan, bagian
tubuh, dan yang lainnya. Berikut ini penjelasan Wijana dan Rohmadi (2008)
terkait apa saja yang menjadi referen eufimisme. a.
Nama Binatang Dalam bahasa Indonesia, ada
beberapa nama binatang yang dihaluskan. Penghalusan nama binatang bisanya
dengan onomatope atau tiruan bunyi. Misalnya, penyebutan anjing diganti
dengan guguk, kambing dengan embek, kucing dengan pus. b.
Nama Benda Selain nama binatang,
penyebutan benda-benda tertentu juga diganti dengan bentuk yang lain.
Benda-benda tersebut biasanya adalah benda-benda kotor yang menjijikan,
misalnya tahi. c.
Organ Vital Manusia Terdapat beberapa organ vital
manusia yang peyebutannya dihaluskan. Bagian-bagian tersebut biasanya
berkaitan dengan aktivitas seksual. d.
Peristiwa Berbagai peristiwa yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan kadang terjadi dalam kehidupan manusia.
Salah satu peristiwa atau musibah yang menyedihkan adalah kematian. Ada
banyak bentuk kebahasaan untuk menyebutkan peristiwa kematian, misalnya mati,
meninggal dunia, berpulang ke rahmatullah, wafat, mangkat. e.
Keadaan Tidak semua orang memiliki
keadaan yang sempurna. Sebagai seorang penutur yang baik dan sopan, sebaiknya
kita menghindari penyebutan yang tidak baik dari keadaan buruk seseorang.
Bentuk kebahasaan yang berkaitan dengan keaadaan buruk, seperti goblok,
tolol, miskin sebaiknya harus dihindari. f.
Profesi Berbagai macam pekerjaan atau
profesi yang dimiliki oleh seseorang di masyarakat sangat beragam. Ada
beberapa profesi yang dianggap oleh masyarakat lebih tinggi dan bergengsi
daripada profesi lainnya. Penyebutan secara langsung profesi yang dianggap
bergengsi tidaklah menjadi permasalahan, seperti guru, dosen, dokter,
direktur, manajer, dan sebagainya. g.
Penyakit Penyakit yang diderita oleh
seseorang beraneka ragam. Ada beberapa penyakit yang dianggap oleh masyarakat
sebagai penyakit kotor dan menjijikkan. Misalnya penyakit kelamin (sipilis),
penyakit yang biasanya diderita oleh orang yang sering berganti pasangan. Penyebutan
penyakit sipilis dianggap kurang sopan sehingga diganti dengan raja
singa. h.
Aktivitas Tidak semua aktivitas memiliki
referen yang baik. Aktivitas yang dianggap menjijikkan penyebutannya
kadangkala tidak secara langsung. Aktivitas membuang kotoran, seperti berak
dapat diganti dengan buang air besar, kencing diganti dengan buang
air kecil. ·
Manfaat Eufimisme a.
Menghaluskan
Tuturan b.
Sarana
Pendidikan c.
Alat
Berdiplomasi d.
Merahasiakan
Sesuatu e.
Penolak
Bahaya 3. Disfemisme Allan dan Burridge (melalui Meilasari,
Nababan, Djatmika, 2016) menjelaskan bahwa eufimisme digunakan oleh seorang
penutur untuk menghindari tuturan yang dapat menyakiti perasaan mitra tutur
karena tuturan tersebut tidak layak untuk diucapkan. Sebaliknya, disfemisme
adalah tuturan yang kasar dan juga menyakitkan mitra tutur. |
|
|
1. Konsep Wacana ·
Dalam kamus bahasa Inggris Webster’s
New Twentieth Century Dictionary (1983: 522) dijelaskan bahwa kata discourse
berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti ‘lari kian-kemari’ (yang
diturunkan dari dis ‘dari’ atau ‘dalam arah yang berbeda’, dan currere
‘lari’). Wacana berarti komunikasi pikiran dengan kata-kata; pengungkapan ide
atau gagasan; konversasi atau percakapan; komunikasi secara umum; terutama
sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah; risalah tulis; disertasi
formal; kuliah; ceramah; khotbah. ·
Kridalaksana (1983: 179) menjelaskan
wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap. Jika dihubungkan dengan
hierarki gramatikal, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau
terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk tulisan yang utuh, seperti
novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya. Wacana dapat terwujud dalam
kalimat atau paragraf yang memiliki amanat yang lengkap. ·
Samsuri (dalam Sumarlam dkk, 2003:
8) mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang
peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat diwujudkan dalam bahasa lisan atau
bahasa tulisan. Wacana dapat bersifat transaksional apabila yang diutamakan
isi komunikasi itu, namun wacana juga dapat bersifat interaksional apabila
komunikasi tersebut bersifat timbal balik. Contoh wacana lisan transaksional
adalah pidato, ceramah, tuturan, deklamasi, dan lain-lain. Wacana tulis
transaksional dapat berupa iklan, surat, cerita, esai, makalah, skripsi, dan
lain sebagainya. Sementara itu, contoh wacana lisan interaksional adalah
percakapan, debat, tanya jawab. Wacana tulisan interaksional dapat berupa
polemik, surat-menyurat antara dua orang, dan lain sebagainya. 2. Kohesi Kohesi merupakan aspek formal dalam sebuah teks. Kohesi digunakan sebagai
penanda hubungan antarkalimat dalam teks. Alwi dkk. (2014: 440) menyatakan
bahwa kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan
secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam
kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Rani, dkk (2004: 94) menyatakan bahwa
hubungan kohesif ditandai dengan penggunaan piranti formal yang berupa bentuk
linguistik yang disebut piranti kohesi. ·
Kohesi Leksikal Alat-alat yang digunakan dalam
kohesi leksikal dapat berupa kata atau frasa bebas yang dapat mempertahankan
hubungan yang kohesif antarkalimat. a.
Repetisi (Pengulangan) Repetisi atau pengulangan
digunakan untuk menghubungkan antara topic kalimat yang satu dengan yang
lainnya. Dengan adanya pengulangan, penulis berusaha untuk menunjukkan bahwa
terdapat hubungan ide atau topik dalam sebuah teks. ü Pengulangan Penuh Pengulangan penuh adalah pengulangan satu bentuk secara utuh. Bentuk yang
diulang tidak mengalami perubahan apapun. Tujuan pengulangan untuk memberikan
tekanan yang merupakan kata kunci. ü Pengulangan Bentuk Lain Pengulangan dalam bentuk lain adalah pengulangan dalam bentuk yang
berbeda. Akan tetapi, bentuk pengulangan tersebut memiliki bentuk dasar yang
sama. ü Pengulangan dengan Penggantian Pengulangan dengan penggantian disebut juga substitusi. Bentuk yang
diulang ditulis dengan bentuk yang berbeda. Misalnya, kata ilmuwan dapat
diganti dengan bentuk lain, yaitu ahli bahasa. ü Pengulangan dengan Hiponim Hiponim adalah hubungan antara makna spesifik dengan makna generik.
Verhar (melalui Suwandi, 2008: 114) menjelaskan bahwa hiponim dapat berupa
kata, frasa, klausa yang maknanya dianggap sebagai bagian dari makna ungkapan
yang lain. b. Kolokasi Kolokasi berkaitan dengan penggunaan
dua kata atau lebih secara bersamasama untuk membentuk kesatuan makna. Dalam
kolokasi, suatu bentuk akan selalu berdekatan atau berdampingan sehingga
membentuk suatu kesatuan. Misalnya, pasien akan berhubungan dengan dokter,
penyakit akan berkolokasi dengan obat, asap akan berkolokasi dengan api. ·
Kohesi Gramatikal Kohesi gramatikal berhubungan
dengan berbagai pemarkah kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah
bahasa. Yuwono (2005: 96) menjelaskan bahwa kohesi gramatikal merupakan
hubungan semantis antarunsur yang ditandai dengan penggunaan alat-alat
gramatikal. a.
Referensi Referensi dalam kajian ilmu
bahasa berkaitan dengan antara kata dan benda yang mewakilinya. Halliday dan
Hasan (1976: 31) menjelaskan bahwa referensi merujuk pada informasi atau
keterangan yang telah dirujuk sebelum atau sesudahnya. Lebih lanjut Lyons
(1981: 404) menjelaskan bahwa hubungan antara kata dengan bendanya adalah
hubungan referensial. ü Referensi Pronomina Persona Referensi pronomina persona
berkaitan dengan peran yang sedang dilakukan oleh pembicara dan pendengar
atau tokoh dalam wacana. ü Referensi Pronomina Demonstratif Referensi pronomina demonstratif digunakan untuk menunjuk orang, benda,
tempat, atau waktu dirujuk secara khusus. Referensi ini mengacu pada lokasi
berdasarkan jarah yang jauh atau dekat (Halliday dan Hasan, 1976: 37). Lyons
(1979) menjelaskan bahwa pronomina demonstratif seperti juga dalam pronominal
persona yang memiliki komponen ketertentuan, yaitu yang ini dan yang
itu. ü Referensi Pronomina Komparatif Referensi pronomina komparatif adalah keterkaitan semantis antara satu
unsur dengan unsur yang lain dengan tujuan membandingkan dua hal. b.
Substitusi Substitusi adalah penggantian
suatu unsur bahasa dengan unsur bahasa yang lain. Substitusi digunakan untuk
menghindari pengulangan bentuk yang sama. Penggantian yang dilakukan dapat
berupa kata, frasa, atau klausa. Substitusi erat kaitannya dengan faktor
gramatikal (Halliday dan Hasan, 1976: 88-89). ü Subsitusi Nomina Substitusi nomina adalah penggantian yang digunakan untuk menggantikan
nomina atau kelompok nomina dengan kata atau kelompok kata lain. ü Substitusi Verba Subsitusi verba adalah penggantian kata atau kelompok kata berkategori
verba dengan kata atau frasa lain. ü Substitusi Klausa Substitusi klausa adalah penyulihan yang menggantikan klausa. Substitusi
ini tidak hanya dapat menggantikan sebagian unsur-unsur tertentu saja dalam
klausa, tetapi untuk menggantikan klausa secara keseluruhan. c.
Konjungsi Salah satu alat kohesi
gramatikal yang memiliki fungsi menghubungkan antara gagasan yang satu dengan
yang lainnya adalah konjungsi. ü Konjungsi Aditif Konjungsi aditif adalah konjungsi yang memiliki fungsi memberikan
keterangan tambahan. Pemberian tambahan tersebut tidak mengubah
keterangandalam kalimat yang sebelumnya. ü Konjungsi Adversatif Untuk menghubungkan dua gagasan yang menyatakan kontras maka dapat
menggunakan konjungsi adversatif. Konjungsi yang dapat digunakan untuk
konjungsi adversatif antara lain: tetapi, namun, meskipun, dan melainkan. ü Konjungsi Kausal Konjungsi klausal dapat digunakan untuk menghubungkan dua gagasan yang
memiliki hubungan sebab dan akibat. Konjungsi karena, sebab, sehingga,
jadi, oleh karena itu, dengan demikian dapat digunakan untuk
menyatakan sebabakibat. ü Konjungsi Temporal Untuk menyatakan hubungan kronologis, konjungsi temporal dapat digunakan.
Hubungan kronologis dapat menyatakan waktu yang sudah terjadi, belum terjadi
atau sedang terjadi. Konjungsi temporal dapat berupa sebelum, sesudah,
ketika, saat, sekarang dan lalu. d.
Elipsis Elipsis berhubungan dengan
pelesapan yang terdapat pada kalimat. Pelesapan yang dilakukan adalah dengan
tidak menyebutkan salah satu bagian dari sebuah kalimat. ü Elipsis Nomina Elipsis nomina adalah penghilangan unsur kalimat yang berkategori nomina. ü Elipsis Verbal Berbeda dengan elipsis nomina, elipsis verbal adalah penghilangan unsur
kalimat yang berkategori verbal. ü Elipsis Klausal Elipsis klausal adalah pelesapan unsur klausa dalam suatu kalimat. 3. Koherensi Koherensi merupakan pertalian atau jalinan antarkata, klausa, atau
kalimat dalam sebuah teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang
berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren, sehingga fakta yang tidak
berhubungan pun dapat bertalian ketika seseorang menghubungkannya. |
|
|
1. Konsep Pragmatik Konsep pragmatik menurut Yule (1996:
3) adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan
ditafsirkan oleh mitra tutur atau pembaca. Pragmatik digunakan untuk
menjelaskan bagaimana mitra tutur dapat menyimpulkan terkait apa yang
dituturkan serta bagaimana mitra tutur dapat menginterpretasi makna yang
dimaksud oleh penutur. 2. Prinsip Kerja Sama Salah satu tujuan seseorang bertutur
adalah untuk melakukan interaksi sosial. Agar proses komunikasi berjalan
dengan baik dan lancar, peserta tutur diharapkan terlibat aktif dalam proses
berkomunikasi tersebut. ·
Maksim Kuantitas (The Maxim of
Quantity) Terdapat dua aturan yang harus
diperhatikan oleh penutur dan mitra tutur dalam maksim kuantitas ini, yaitu
berikan informasi secukupnya dan jangan memberikan informasi melebihi yang
diperlukan. Penutur diharapkan memberikan informasi yang cukup dan
seinformatif mungkin. ·
Maksim Kualitas (The Maxim of
Quality) Maksim kualitas mengatur
penutur untuk tidak mengatakan sesuatu yang menurutnya salah atau keliru.
Selain itu, penutur jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya. Dengan
kata lain, penutur yang terlibat dalam sebuah tuturan tidak boleh berbohong,
tidak ikut terlibat dalam tuturan jika tidak mempunyai bukti yang memadai
terkait apa yang sedang dibicarakan. ·
Maksim Relevansi (The Maxim of
Relevance) Agar komunikasi berjaan dengan
baik dan lancar, peserta tutur diharapkan memberikan informasi yang relevan
dan mudah dimengerti. Dengan kata lain, agar komunikasi berjalan dengan
lancar, tuturan yang satu dengan yang lainnya harus ada keterkaitan satu sama
lain. ·
Maksim Pelaksanaan/ Cara (The
Maxim of Manner) Maksim cara mengatur agar para
peserta tutur menghindari pernyataanpernyataan yang samar, menghindari
ketaksaan, dan mengusahakan agar pernyataan yang disampaikan ringkas,
teratur, tidak berpanjang lebar dan berteletele. 3. Prinsip Kesantunan Brown dan Levinson (1978). Dalam
teorinya, ia mengatakan bahwa kesantunan berbahasa itu berkaitan dengan nosi
muka (face). Nosi ini berkaitan dengan citra diri yang universal dan setiap
orang selalu ingin memilikinya. Muka positif dan negatif di sini bukan
berkaitan dengan baik dan buruk. Muka positif mengacu pada citra diri, yaitu
setiap orang mempunyai keinginan agar apa yang dilakukan, dimiliki, dan
diyakini olehnya diakui oleh orang lain sebagai suatu hal yang baik,
menyenangkan, dan perlu dihargai. ·
Maksim Kearifan (Tact Maxim) Aturan yang terdapat dalam
maksim ini adalah agar penutur meminimalkan kerugian pada atau memberikan
keuntungan kepada orang lain sebesar mungkin. ·
Maksim Kedermawanan (Generocity
Maxim) Maksim kedermawanan disebut
juga maksim kemurahan hati. Dalam kegiatan berkomunikasi, maksim kedermawanan
digunakan untuk menghormati mitra tutur. Salah satu cara
untuk menghormati orang lain adalah mengurangi keuntungan bagi dirinya dan
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Peserta tutur diharapkan membuat
keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan membuat kerugian diri sebesar
mungkin. ·
Maksim Pujian (Approbation Maxim) Salah satu ciri seseorang
dianggap santun dalam berbahasa adalah ketika ia memberikan pujian kepada
mitra tuturnya ketika berkomunikasi. Maksim ini mengatur agar penutur sedikit
memberikan kecaman pada orang lain. ·
Maksim Kerendahan Hati (Modesty
Maxim) Maksim kerendahaan hati
mengatur peserta tutur untuk bersikap rendah hati, yaitu mengurangi pujian
terhadap diri sendiri. Prinsip maksim kerendahan hati adalah pujilah diri
sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. ·
Maksim Kesepakatan/ Kecocokan (Agreement
Maxim) Maksim kesepakan disebut juga
maksim kecocokan. Aturan yang terdapat dalam tuturan ini adalah setiap
peserta tutur berusaha agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain
sebanyak mungkin. Dengan kata lain, peserta tutur harus meminimalkan
ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sekecil mungkin. ·
Maksim Simpati (Symphaty Maxim) Aturan yang terdapat dalam
maksim ini adalah mengurangi antipati antara diri sendiri dan orang lain dan
meningkatkan rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain. Sikap antipati
terhadap perilaku orang lain dianggap sebagai perbuatan yang tidak santun. |
2 |
Daftar materi yang sulit dipahami di modul ini |
1. Hubungan bentuk dan makna 2. Perubahan makna 3. Referensi
eksofora dan endofora 4. Konsep pragmatik |
3 |
Daftar materi yang sering mengalami
miskonsepsi |
1. Pada materi eufimisme dan
disfimisme 2. Dalam materi eufimisme yang
mempunyai konsep hampir sama pada materi pragmatik di bagian prinsip
kesopanan. 3. Ada 4 aturan percakapan/
maksim yang dipandang sebagai prinsip/ dasar kerja sama yaitu maksim
kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan atau cara |
No comments:
Post a Comment