Saturday, January 29, 2022

MATERI PPG BAHASA INDONESIA LK 1 MODUL 2

 

Nama Mahasiswa          : Ari Nugraha

Nomor Peserta PPG       : 201503280480

Mapel                            : Bahasa Indonesia

Judul Modul

Modul 2 Semantik dan Wacana

Judul Kegiatan Belajar (KB)

1.   Hubungan Bentuk dan Makna

2.   Eufimisme

3.   Wacana

4.    Pragmatik

No

Butir Refleksi

Respon/Jawaban

1

Daftar peta konsep (istilah dan definisi) di modul ini

PETA KONSEP

DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI

1.    Jenis Makna

Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia tentang sesuatu, tetapi makna bukan pengalaman setiap individu (Wijana dan Rohmadi, 2008: 11). Makna digunakan sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan penutur bahasa sehingga antarindividu dapat saling mengerti (Djayasudarma, 2012: 7).

·         Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna sesungguhnya mengenai gambaran yang nyata tentang konsep yang dilambangkan.

·         Makna Gramatikal

Makna gramatikal muncul karena adanya proses gramatikal. Makna ini terjadi karena adanya hubungan antarunsur bahasa dalam satuan yang lebih besar, misalnya kata turunan, frasa, atau klausa.

·         Makna Referensial

Referensi berhubungan dengan sumber acuan. Makna referensial berkaitan langsung dengan sumber yang menjadi acuan. Makna ini mempunyai hubungan dengan makna yang telah disepakati bersama.

·         Makna Nonreferensial

Jika yang menjadi pokok perhatiannya adalah acuan, maka makna nonreferensial adalah makna yang tidak memiliki acuan. Misalnya, kata dan, atau, karena termasuk dalam makna nonreferensial karena tidak memiliki acuan atau referen.

·         Makna Denotatif

Makna denotatif adalah makna yang sesungguhnya, makna dasar yang merujuk pada makna yang lugas atau dasar dan sesuai dengan kesepakatan masyarakat pemakai bahasa (Suwandi, 2008: 80).

·         Makna Konotatif

Konotasi sebagai sebuah leksem, merupakan seperangkat gagasan atau perasaan yang mengelilingi leksem tersebut dan juga berhubungan dengan nilai rasa yang ditimbulkan oleh leksem tersebut. Nilai rasa berhubungan dengan rasa hormat, suka/senang, jengkel, benji, dan sebagainya (Suwandi, 2008: 83).

·         Makna Literal

Makna literal berhubungan dengan makna harfia atau makna lugas. Dalam makna literal, makna sebuah satuan bahasa belum mengalami perpindahan makna pada referen yang lain.

·         Makna Figuratif

Berbeda dengan makna literal, makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya. Dalam makna figuratif, makna satuan disimpangkan dari referen yang sesunggunya.

·         Makna Primer

Makna tersebut dapat kita ketahui tanpa bantuan konteks. Wijana dan Rohmadi (2008: 26) menjelaskan bahwa makna-makna yang dapat diketahui tanpa bantuan konteks disebut makna primer.

·         Makna Sekunder

Makna satuan kebahasaan yang baru dapat didentifikasikan dengan bantuan konteks disebut makna sekunder.

2.    Hubungan Bentuk dan Makna

·         Sinonim

Kata sinonimi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma ‘nama’ dan syn ‘dengan’. Secara harfiah sinonim berarti ‘nama lain untuk enda atau hal yang sama’. Djayasudarma (2012: 55) menyatakan sinonim sebagai sameness of meaning (kesamaan arti). Sinonim adalah bentuk bentuk bahasa yang memiliki makna kurang lebih sama atau mirip, atau sama dengan bentuk lain. Kesamaan makna tersebut berada pada tataran kata, frasa, klausa, atau kalimat (Kridalaksana, 1984: 179).

·         Antonim

Secara etimologi, antonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu terdiri dari kata onoma ‘nama’ dan anti ‘melawan’. Secara harfiah antonim bermakna ‘nama lain untuk benda lain’. Antonim beraitan dengan oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat dijenjangkan (Kridalaksana, 1982).

a.    Antonim Mutlak

Antonim mutlak adalah pertentangan bentuk bahasa yang bersifat mutlak. Misalnya kata hidup berantonim dengan mati.

b.    Antonim Bergradasi

Antonim bergradasi disebut juga dengan oposisi kutub. Pertentangan antonim jenis ini tidak bersifat mutlak atau relatif. Misalnya kata besar dan kecil.

c.    Antonim Relasional

Antonim jenis ini dapat dilihat berdasarkan kesimetrian dalam makna setiap pasanangannya. Misalnya kata suami dan istri.

d.    Antonim Hierarkial

Antonim jenis ini terdapat dalam satuan waktu, berat, panjang, jenjang kepangkatan, dan jenjang yang lainnya. Contoh antomin hierarkial adalah kilogram dan kuintal/ton, hari dan bulan, prajurit dengan letnan, mayor, jenderal.

e.    Antonim Resiprokal

Antonim resiprokal adalah antonim yang bersifat timbal balik. Makna dalam antonim ini saling bertentangan, namun secara fungsional keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan bersifat timbal balik. Contoh antonym ini adalah mengajar dan belajar, menjual dan membeli, mengirim dan menerima.

·         Homonim

Sama seperti halnya sinonimi dan antonimi, homonimi berasal dari kata Yunani kuno onoma ‘nama’ dan homo ‘sama’. Hominimi berarti nama yang sama untuk benda atau hal yang lain’. Dengan kata lain, homonimi adalah hubungan antara kata yang ditulis dan atau dilafalkan dengan cara yang sama dengan kata yang lain, tetapi maknanya tidak saling berhubungan (Kridalakasana, 1984: 68).

·         Polisemi

Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki lebih dari satu. Misalnya, misalnya kata ibu bermakna: 1) wanita yang melahirkan seorang anak, 2) sapaan untuk wanita yang sudah bersuami, 3) bagian yang pokok;--jari 4) yang utama di antara beberapa hal yang lain.

·         Ambiguitas

Ambiguitas dapat diartikan dengan ‘makna ganda’. Konsep ini mengacu pada sifat konstruksi penafsiran makna yang lebih dari satu (Suwandi, 2006: 117). Ambiguitas kadang disamakan dengan polisemi. Lalu apakah sama antara ambiguitas dengan polsemi? Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama memiliki makna lebih dari satu, namun keduanya memiliki perbedaan. Makna dalam polisemi berada pada tataran kata, sedangkan makna dalam ambiguitas berasal dari frasa atau kalimat yang terjadi karena penafsiran yang berbeda, misalnya berbeda penafsiran dari sisi gramatikal.

·         Redundansi

Istilah redundansi sering diartikan sebagai sesuatu yang belebih-lebihan, misalnya berlebihan pemakaian unsur segmental dalam kalimat. Istilah redundansi biasanya dipakai dalam linguistik modern. Istilah ini digunakan untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen kalimat yang tidak perlu jika dipandang dari sisi semantik (Suwandi, 2006: 119).

 

 

1.    Perubahan Makna

·         Faktor Penyebab Perubahan Makna

a.    Faktor Kebahasaan

Perubahan makna karena faktor kebahasan berkaitan dengan cabang linguistik, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Perubahan makna karena faktor kebahasaan ini misalnya kata sahaya yang pada mulanya berhubungan dengan budak.

b.    Faktor Kesejarahan

Perubahan makna karena faktor kesejarahan berhubungan dengan perkembangan kata. Misalnya kata wanita berasal dari kata betina.

c.    Faktor Sosial

Perubahan ini disebabkan karena perkembangan makna kata dalam penggunaannya di masyarakat. Karena dipengaruhi faktor sosial, makna kata dapat mengalami perubahan.

d.    Faktor Psikologis

Karena faktor psikologis penutur, sebuah kata dapat berubah maknanya. Misalnya kata anjing, babi, monyet pada awalnya kata-kata tersebut merujuk pada nama-nama hewan.

e.    Pengaruh Bahasa Asing

Untuk keperluan berkomunikasi, kebutuhan penutur akan kosakata yang beraneka ragam kadang diperlukan. Tidak menutup kemungkinan penutur akan mengambil kosakata dari bahasa asing karena dalam bahasa yang biasa digunakan tidak terdapat konsep tersebut.

f.     Kebutuhan Kosakata Baru

Walaupun setiap bahasa memiliki ribuan atau jutaan kosakata, namun kadangkala untuk mengungkapkan suatu konsep baru seorang penutur tidak menemukan dalam bahasanya.

·         Jenis-Jenis Perubahan Makna

a.    Perluasan Makna

bahasa dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, begitu juga dengan maknanya. Salah satu perubahan yang terjadi dalam bahasa adalah perluasan makna. Indikator perluasan makna dapat dilihat bahwa makna sekarang lebih lusa daripada makna terdahulu.

b.    Penyempitan Makna

Penyempitan makna berkebalikan dengan perluasan makna. Penyempitan makna terjadi ketika sebuah kata yang pada awalnya mempunyai makna yang luas kemudian maknanya berubah menjadi lebih sempit.

c.    Peninggian Makna

Peninggian makna atau ameliorasi berhubungan dengan nilai rasa yang lebih baik atau sopan. Perubahan ini akan membuat kosakata atau ungkapan menjadi lebih halus, tinggi, hormat daripada kosakata pilihan yang lainnya.

d.    Penurunan Makna

Penurunan makna atau peyorasi berkebalikan dengan ameliorasi. Proses perubahan makna ini dapat dilihat dari makna kata atau yang mempunyai makna lebih rendah, kasar, atau kurang sopan.

e.    Pertukaran Makna

Pertukaran makna disebut sinestesia. Perubahan makna ini disebabkan karena pertukaran tanggapan indra, seperti pendengaran, pengecapan, dan penglihatan.

f.     Persamaan Makna

Persamaan makna disebut juga dengan asosiasi. Persamaan makna yang dimaksud di sini adalah makna yang berupa perumpamaan karena kesamaan sifat.

g.    Metafora

Metafora berkaitan dengan pemakaian kata kiasan yang memiliki kemiripan makna. Metafora digunakan untuk menggambarkan perbandingan analogis pada dua hal yang berbeda. Kata-kata yang digunakan bukan makna yang sebenarnya.

2.    Eufimisme

Secara etimologi, eufimisme berasal dari bahasa Yunani eu bermakna ‘bagus’ dan phemeoo bermakna ‘berbicara’. Dengan demikian, eufimisme bermakna berbicara dengan menggunakan perkataan yang halus dan sopan sehingga memberikan kesan yang baik.

·         Referen Eufimisme

Referensi eufimisme tidak hanya nama hewan, tetapi juga mengacu pada referen lainnya, seperti keaadaan, pekerjaan, bagian tubuh, dan yang lainnya. Berikut ini penjelasan Wijana dan Rohmadi (2008) terkait apa saja yang menjadi referen eufimisme.

a.    Nama Binatang

Dalam bahasa Indonesia, ada beberapa nama binatang yang dihaluskan. Penghalusan nama binatang bisanya dengan onomatope atau tiruan bunyi. Misalnya, penyebutan anjing diganti dengan guguk, kambing dengan embek, kucing dengan pus.

b.    Nama Benda

Selain nama binatang, penyebutan benda-benda tertentu juga diganti dengan bentuk yang lain. Benda-benda tersebut biasanya adalah benda-benda kotor yang menjijikan, misalnya tahi.

c.    Organ Vital Manusia

Terdapat beberapa organ vital manusia yang peyebutannya dihaluskan. Bagian-bagian tersebut biasanya berkaitan dengan aktivitas seksual.

d.    Peristiwa

Berbagai peristiwa yang menyenangkan atau tidak menyenangkan kadang terjadi dalam kehidupan manusia. Salah satu peristiwa atau musibah yang menyedihkan adalah kematian. Ada banyak bentuk kebahasaan untuk menyebutkan peristiwa kematian, misalnya mati, meninggal dunia, berpulang ke rahmatullah, wafat, mangkat.

e.    Keadaan

Tidak semua orang memiliki keadaan yang sempurna. Sebagai seorang penutur yang baik dan sopan, sebaiknya kita menghindari penyebutan yang tidak baik dari keadaan buruk seseorang. Bentuk kebahasaan yang berkaitan dengan keaadaan buruk, seperti goblok, tolol, miskin sebaiknya harus dihindari.

f.     Profesi

Berbagai macam pekerjaan atau profesi yang dimiliki oleh seseorang di masyarakat sangat beragam. Ada beberapa profesi yang dianggap oleh masyarakat lebih tinggi dan bergengsi daripada profesi lainnya. Penyebutan secara langsung profesi yang dianggap bergengsi tidaklah menjadi permasalahan, seperti guru, dosen, dokter, direktur, manajer, dan sebagainya.

g.    Penyakit

Penyakit yang diderita oleh seseorang beraneka ragam. Ada beberapa penyakit yang dianggap oleh masyarakat sebagai penyakit kotor dan menjijikkan. Misalnya penyakit kelamin (sipilis), penyakit yang biasanya diderita oleh orang yang sering berganti pasangan. Penyebutan penyakit sipilis dianggap kurang sopan sehingga diganti dengan raja singa.

h.    Aktivitas

Tidak semua aktivitas memiliki referen yang baik. Aktivitas yang dianggap menjijikkan penyebutannya kadangkala tidak secara langsung. Aktivitas membuang kotoran, seperti berak dapat diganti dengan buang air besar, kencing diganti dengan buang air kecil.

·         Manfaat Eufimisme

a.    Menghaluskan Tuturan

b.    Sarana Pendidikan

c.     Alat Berdiplomasi

d.    Merahasiakan Sesuatu

e.     Penolak Bahaya

3.    Disfemisme

Allan dan Burridge (melalui Meilasari, Nababan, Djatmika, 2016) menjelaskan bahwa eufimisme digunakan oleh seorang penutur untuk menghindari tuturan yang dapat menyakiti perasaan mitra tutur karena tuturan tersebut tidak layak untuk diucapkan. Sebaliknya, disfemisme adalah tuturan yang kasar dan juga menyakitkan mitra tutur.

 

 

1.    Konsep Wacana

·         Dalam kamus bahasa Inggris Webster’s New Twentieth Century Dictionary (1983: 522) dijelaskan bahwa kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti ‘lari kian-kemari’ (yang diturunkan dari dis ‘dari’ atau ‘dalam arah yang berbeda’, dan currere ‘lari’). Wacana berarti komunikasi pikiran dengan kata-kata; pengungkapan ide atau gagasan; konversasi atau percakapan; komunikasi secara umum; terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah; risalah tulis; disertasi formal; kuliah; ceramah; khotbah.

·         Kridalaksana (1983: 179) menjelaskan wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap. Jika dihubungkan dengan hierarki gramatikal, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk tulisan yang utuh, seperti novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya. Wacana dapat terwujud dalam kalimat atau paragraf yang memiliki amanat yang lengkap.

·         Samsuri (dalam Sumarlam dkk, 2003: 8) mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat diwujudkan dalam bahasa lisan atau bahasa tulisan. Wacana dapat bersifat transaksional apabila yang diutamakan isi komunikasi itu, namun wacana juga dapat bersifat interaksional apabila komunikasi tersebut bersifat timbal balik. Contoh wacana lisan transaksional adalah pidato, ceramah, tuturan, deklamasi, dan lain-lain. Wacana tulis transaksional dapat berupa iklan, surat, cerita, esai, makalah, skripsi, dan lain sebagainya. Sementara itu, contoh wacana lisan interaksional adalah percakapan, debat, tanya jawab. Wacana tulisan interaksional dapat berupa polemik, surat-menyurat antara dua orang, dan lain sebagainya.

2.    Kohesi

Kohesi merupakan aspek formal dalam sebuah teks. Kohesi digunakan sebagai penanda hubungan antarkalimat dalam teks. Alwi dkk. (2014: 440) menyatakan bahwa kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Rani, dkk (2004: 94) menyatakan bahwa hubungan kohesif ditandai dengan penggunaan piranti formal yang berupa bentuk linguistik yang disebut piranti kohesi.

·         Kohesi Leksikal

Alat-alat yang digunakan dalam kohesi leksikal dapat berupa kata atau frasa bebas yang dapat mempertahankan hubungan yang kohesif antarkalimat.

a.    Repetisi (Pengulangan)

Repetisi atau pengulangan digunakan untuk menghubungkan antara topic kalimat yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya pengulangan, penulis berusaha untuk menunjukkan bahwa terdapat hubungan ide atau topik dalam sebuah teks.

ü  Pengulangan Penuh

Pengulangan penuh adalah pengulangan satu bentuk secara utuh. Bentuk yang diulang tidak mengalami perubahan apapun. Tujuan pengulangan untuk memberikan tekanan yang merupakan kata kunci.

ü  Pengulangan Bentuk Lain

Pengulangan dalam bentuk lain adalah pengulangan dalam bentuk yang berbeda. Akan tetapi, bentuk pengulangan tersebut memiliki bentuk dasar yang sama.

ü  Pengulangan dengan Penggantian

Pengulangan dengan penggantian disebut juga substitusi. Bentuk yang diulang ditulis dengan bentuk yang berbeda. Misalnya, kata ilmuwan dapat diganti dengan bentuk lain, yaitu ahli bahasa.

ü  Pengulangan dengan Hiponim

Hiponim adalah hubungan antara makna spesifik dengan makna generik. Verhar (melalui Suwandi, 2008: 114) menjelaskan bahwa hiponim dapat berupa kata, frasa, klausa yang maknanya dianggap sebagai bagian dari makna ungkapan yang lain.

b.    Kolokasi

Kolokasi berkaitan dengan penggunaan dua kata atau lebih secara bersamasama untuk membentuk kesatuan makna. Dalam kolokasi, suatu bentuk akan selalu berdekatan atau berdampingan sehingga membentuk suatu kesatuan. Misalnya, pasien akan berhubungan dengan dokter, penyakit akan berkolokasi dengan obat, asap akan berkolokasi dengan api.

·         Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal berhubungan dengan berbagai pemarkah kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah bahasa. Yuwono (2005: 96) menjelaskan bahwa kohesi gramatikal merupakan hubungan semantis antarunsur yang ditandai dengan penggunaan alat-alat gramatikal.

a.    Referensi

Referensi dalam kajian ilmu bahasa berkaitan dengan antara kata dan benda yang mewakilinya. Halliday dan Hasan (1976: 31) menjelaskan bahwa referensi merujuk pada informasi atau keterangan yang telah dirujuk sebelum atau sesudahnya. Lebih lanjut Lyons (1981: 404) menjelaskan bahwa hubungan antara kata dengan bendanya adalah hubungan referensial.

ü  Referensi Pronomina Persona

Referensi pronomina persona berkaitan dengan peran yang sedang dilakukan oleh pembicara dan pendengar atau tokoh dalam wacana.

ü  Referensi Pronomina Demonstratif

Referensi pronomina demonstratif digunakan untuk menunjuk orang, benda, tempat, atau waktu dirujuk secara khusus. Referensi ini mengacu pada lokasi berdasarkan jarah yang jauh atau dekat (Halliday dan Hasan, 1976: 37). Lyons (1979) menjelaskan bahwa pronomina demonstratif seperti juga dalam pronominal persona yang memiliki komponen ketertentuan, yaitu yang ini dan yang itu.

ü  Referensi Pronomina Komparatif

Referensi pronomina komparatif adalah keterkaitan semantis antara satu unsur dengan unsur yang lain dengan tujuan membandingkan dua hal.

b.    Substitusi

Substitusi adalah penggantian suatu unsur bahasa dengan unsur bahasa yang lain. Substitusi digunakan untuk menghindari pengulangan bentuk yang sama. Penggantian yang dilakukan dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Substitusi erat kaitannya dengan faktor gramatikal (Halliday dan Hasan, 1976: 88-89).

ü  Subsitusi Nomina

Substitusi nomina adalah penggantian yang digunakan untuk menggantikan nomina atau kelompok nomina dengan kata atau kelompok kata lain.

ü  Substitusi Verba

Subsitusi verba adalah penggantian kata atau kelompok kata berkategori verba dengan kata atau frasa lain.

ü  Substitusi Klausa

Substitusi klausa adalah penyulihan yang menggantikan klausa. Substitusi ini tidak hanya dapat menggantikan sebagian unsur-unsur tertentu saja dalam klausa, tetapi untuk menggantikan klausa secara keseluruhan.

c.    Konjungsi

Salah satu alat kohesi gramatikal yang memiliki fungsi menghubungkan antara gagasan yang satu dengan yang lainnya adalah konjungsi.

ü  Konjungsi Aditif

Konjungsi aditif adalah konjungsi yang memiliki fungsi memberikan keterangan tambahan. Pemberian tambahan tersebut tidak mengubah keterangandalam kalimat yang sebelumnya.

ü  Konjungsi Adversatif

Untuk menghubungkan dua gagasan yang menyatakan kontras maka dapat menggunakan konjungsi adversatif. Konjungsi yang dapat digunakan untuk konjungsi adversatif antara lain: tetapi, namun, meskipun, dan melainkan.

ü  Konjungsi Kausal

Konjungsi klausal dapat digunakan untuk menghubungkan dua gagasan yang memiliki hubungan sebab dan akibat. Konjungsi karena, sebab, sehingga, jadi, oleh karena itu, dengan demikian dapat digunakan untuk menyatakan sebabakibat.

ü  Konjungsi Temporal

Untuk menyatakan hubungan kronologis, konjungsi temporal dapat digunakan. Hubungan kronologis dapat menyatakan waktu yang sudah terjadi, belum terjadi atau sedang terjadi. Konjungsi temporal dapat berupa sebelum, sesudah, ketika, saat, sekarang dan lalu.

d.    Elipsis

Elipsis berhubungan dengan pelesapan yang terdapat pada kalimat. Pelesapan yang dilakukan adalah dengan tidak menyebutkan salah satu bagian dari sebuah kalimat.

ü  Elipsis Nomina

Elipsis nomina adalah penghilangan unsur kalimat yang berkategori nomina.

ü  Elipsis Verbal

Berbeda dengan elipsis nomina, elipsis verbal adalah penghilangan unsur kalimat yang berkategori verbal.

ü  Elipsis Klausal

Elipsis klausal adalah pelesapan unsur klausa dalam suatu kalimat.

3.    Koherensi

Koherensi merupakan pertalian atau jalinan antarkata, klausa, atau kalimat dalam sebuah teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren, sehingga fakta yang tidak berhubungan pun dapat bertalian ketika seseorang menghubungkannya.

 

 

1.    Konsep Pragmatik

Konsep pragmatik menurut Yule (1996: 3) adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan ditafsirkan oleh mitra tutur atau pembaca. Pragmatik digunakan untuk menjelaskan bagaimana mitra tutur dapat menyimpulkan terkait apa yang dituturkan serta bagaimana mitra tutur dapat menginterpretasi makna yang dimaksud oleh penutur.

2.    Prinsip Kerja Sama

Salah satu tujuan seseorang bertutur adalah untuk melakukan interaksi sosial. Agar proses komunikasi berjalan dengan baik dan lancar, peserta tutur diharapkan terlibat aktif dalam proses berkomunikasi tersebut.

·         Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)

Terdapat dua aturan yang harus diperhatikan oleh penutur dan mitra tutur dalam maksim kuantitas ini, yaitu berikan informasi secukupnya dan jangan memberikan informasi melebihi yang diperlukan. Penutur diharapkan memberikan informasi yang cukup dan seinformatif mungkin.

·         Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)

Maksim kualitas mengatur penutur untuk tidak mengatakan sesuatu yang menurutnya salah atau keliru. Selain itu, penutur jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada buktinya. Dengan kata lain, penutur yang terlibat dalam sebuah tuturan tidak boleh berbohong, tidak ikut terlibat dalam tuturan jika tidak mempunyai bukti yang memadai terkait apa yang sedang dibicarakan.

·         Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)

Agar komunikasi berjaan dengan baik dan lancar, peserta tutur diharapkan memberikan informasi yang relevan dan mudah dimengerti. Dengan kata lain, agar komunikasi berjalan dengan lancar, tuturan yang satu dengan yang lainnya harus ada keterkaitan satu sama lain.

·         Maksim Pelaksanaan/ Cara (The Maxim of Manner)

Maksim cara mengatur agar para peserta tutur menghindari pernyataanpernyataan yang samar, menghindari ketaksaan, dan mengusahakan agar pernyataan yang disampaikan ringkas, teratur, tidak berpanjang lebar dan berteletele.

3.    Prinsip Kesantunan

Brown dan Levinson (1978). Dalam teorinya, ia mengatakan bahwa kesantunan berbahasa itu berkaitan dengan nosi muka (face). Nosi ini berkaitan dengan citra diri yang universal dan setiap orang selalu ingin memilikinya. Muka positif dan negatif di sini bukan berkaitan dengan baik dan buruk. Muka positif mengacu pada citra diri, yaitu setiap orang mempunyai keinginan agar apa yang dilakukan, dimiliki, dan diyakini olehnya diakui oleh orang lain sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dan perlu dihargai.

·         Maksim Kearifan (Tact Maxim)

Aturan yang terdapat dalam maksim ini adalah agar penutur meminimalkan kerugian pada atau memberikan keuntungan kepada orang lain sebesar mungkin.

·         Maksim Kedermawanan (Generocity Maxim)

Maksim kedermawanan disebut juga maksim kemurahan hati. Dalam kegiatan berkomunikasi, maksim kedermawanan digunakan untuk menghormati

mitra tutur. Salah satu cara untuk menghormati orang lain adalah mengurangi keuntungan bagi dirinya dan memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Peserta tutur diharapkan membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan membuat kerugian diri sebesar mungkin.

·         Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Salah satu ciri seseorang dianggap santun dalam berbahasa adalah ketika ia memberikan pujian kepada mitra tuturnya ketika berkomunikasi. Maksim ini mengatur agar penutur sedikit memberikan kecaman pada orang lain.

·         Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Maksim kerendahaan hati mengatur peserta tutur untuk bersikap rendah hati, yaitu mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Prinsip maksim kerendahan hati adalah pujilah diri sendiri sedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

·         Maksim Kesepakatan/ Kecocokan (Agreement Maxim)

Maksim kesepakan disebut juga maksim kecocokan. Aturan yang terdapat dalam tuturan ini adalah setiap peserta tutur berusaha agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain sebanyak mungkin. Dengan kata lain, peserta tutur harus meminimalkan ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sekecil mungkin.

·         Maksim Simpati (Symphaty Maxim)

Aturan yang terdapat dalam maksim ini adalah mengurangi antipati antara diri sendiri dan orang lain dan meningkatkan rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain. Sikap antipati terhadap perilaku orang lain dianggap sebagai perbuatan yang tidak santun.

 

2

Daftar materi yang sulit dipahami di modul ini

1.    Hubungan bentuk dan makna

2.    Perubahan makna

3.    Referensi eksofora dan endofora

4.    Konsep pragmatik

 

3

Daftar materi yang sering mengalami miskonsepsi

1.    Pada materi eufimisme dan disfimisme

2.    Dalam materi eufimisme yang mempunyai konsep hampir sama pada materi pragmatik di bagian prinsip kesopanan.

3.    Ada 4 aturan percakapan/ maksim yang dipandang sebagai prinsip/ dasar kerja sama yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan atau cara

 

 

No comments: