Monday, May 20, 2013

Pendidikan Untuk Generasi Muda


Pendidikan Dalam Sekilas Makna
            Istilah pendidikan, secara etimologis --menurut bahasa-- merupakan padanan kata dalam bahasa Indonesia dari istilah education dalam bahasa inggris atau educare dalam bahasa latin yang artinya “mengantar keluar”, dalam istilah bahasa Arab terdapat dua versi dominan yakni sebagian mengatakan Tarbiyah dan yang lainnya lebih suka menyebut ta’dib agar didalamnya mengandung arti adab, keadilan dan ketidak bingungan.
Dalam karyanya yang berjudul Philosophy of education, Ruper C Lodge, mengungkapkan bahwa pendidikan itu adalah kehidupan, dan hidup adalah pendidikan. Ia mendifinisikan”.. The word education is used, sometimes in a wider, sometimes is narrower sense. In the wider sense, all experience is said to be educative …… life is education and  education is life”.
            Apapun sebutannya dan istilahnya, esensi pendidikan adalah suatu epistimologi (istilah) mendasar yang berimplikasi luas dan lebar, yang merupakan proses aktif yang melibatkan seluruh ekponen inhern (perangkat bawaan) manusia berpadu dengan segenap dimensinya --multi dimensional-- yang  diatasnya menjadi tempat dibangunnya suatu  gerak (activity) baik jasmani atau rohani yang tidak lagi kosong nilai. Nilai baik dan buruk, benar dan salah atau pantas dan tidak pantas akan memancar dari aktifitas yang dilahirkan dari proses pendidikan terseabut. Manusia sebagai bagian dari alam, perbuatannya, aktifitasnya, keputusannya secara niscaya akan berimplikasi luas pada alam sekitarnya. Gerak manusia akan membawa dampak terhadap alamnya, komunitasnya dan bahkan pada dirinya sendiri.
Dalam pendidikan Islam, gerak (motoric) yang lahir dari akumulasi proses yang mendasar tersebut menurut Ahmad  Marimba, diharapkan mencerminkan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama, melalui proses (a) pembiasaan (b) pembentukan pengertian, sikap dan minat (c) Pembentukan kerohanian yang luhur.
Pendidikan dan Generasi Islami
Menyoal generasi muda tidak dapat dipisahkan dari persoalan potensi besar yang terpendam dibalik fisik mereka yang relatif difahami lebih kuat dan perkasa. Potensi tersebut tidak seperti yang dimiliki oleh mahluk lain, yang dapat dengan sendirinya terbentuk dan berkembang secara kudrati (natural behaviour) –sunnatullah. Mahluk lain akan menemukan  bentuk karakternya secara mandiri dan bersifat automaticaly begitu ia terlahir – meskipun beberapa kasus binatang tergolong Animal educable -- bahkan beberapa binatang lain memperoleh karakter dari jenis kebinatangannya bersamaan dengan kelahirannya.  Sedangkan manusia, tidak dapat menemukan kemanusiaannya secara niscaya, man’s natural powers bukan hanya butuh proses yang panjang melainkan juga sekaligus harus benar dan terarahkan. Ini menunjukkan bahwa manusia untuk menjadi manusia perlu jedah tertentu untuk dididik -- homo educandum = mahluk yang harus dididik --  secara continum (berkesinambungan) terarah dan secara materi harus terkandung suatu nilai kebenaran. Meskipun kenyataannya pada setiap proses yang sama tersebut dengan individu yang berbeda tidak selalu berakhir dengan hasil yang sama. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam proses pembentukan kemanusiaan pada seorang manusia.
Menurut Dra. Zuhairini, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam kontek ini, generasi muda sebagai manusia selalu berhasrat pada pendidikan, karena memang secara umum tanpa mempersoalkan hirarkinya bahwa kebutuhan dasar manusia adalah (a) Kebutuhan biologis, (b) Kebutuhan psikis, (c) kebutuhan social, (d) Kebutuhan agama (spiritual) dan (e) Kebutuhan paedagogis (intelektual).
Jadi tidak dapat ditawar lagi, bahwa pendidikan memiliki relevansi dan implikasi yang luar biasa dalam wacana pembentukan generasi muda. Oleh karena itu dunia pendidikan Islam harus concern terhadap persoalan generasi muda, sebab pendidikan merupakan proses yang representatif terhadap pembentukan generasi yang Islami, yaitu sebuah generasi yang cinta kepada Allah dan Allah mencintai mereka, lemah lembut terhadap orang yang mu’min, bersikap keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, berjihat di jalan Allah, tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. (QS. Al maidah ayat 54).
Unsur Persoalan Makro
Pendidikan sebagai sebuah sistem, sangat tergantung pada harmonitas antara usaha (kegiatan), pendidik, terdidik, tujuan, dan alat atau sarana pendidikan. Lima unsur dalam proses pendidikan tersebut harus terbentuk dalam sebuah integritas yang sebangun. Sebagai sistem, tidak ada yang tidak penting atau paling penting, bagaimanapun  kecilnya ketidak seimbangan pada salah satu unsur tersebut, akan berakibat tidak tercapainya cita-cita sebuah proses. Lain dari pada itu, sebetulnya cukup banyak sub-ordinasi yang mempengaruhi proses pendidikan, namun kita akan coba berangkat dari persoalan-persoalan makro pendidikan.
Pertama, usaha atau kegiatan pendidikan harus bersifat bimbingan, pertolongan, pembinaan yang dilakukan secara sadar baik oleh pendidik dan atau terdidik. Dalam teori progressivisme kegiatan pendidikan harus bersifat fleksibel atau The liberal road to culture, tidak kaku, toleran, open-minded, corious (ada rasa ingin tahu yang besar dari terdidik).
Dr Jalaluddin dalam bukunya “filsafat pendidikan Islam, konsep dan perkembangan”, mengatakan bahwa secara normatif kegiatan pendidikan islam bertujuan menolong anak didik mengembangkan kemampuan individunya, membiasakan anak didik membentuk sikap diri, membantu anak didik bertindak efektif dan efesien, membimbing aktifitas anak didik
Kedua, Pendidik sebagai sumber informasi harus mampu menguasai metode sekaligus materi pengajaran. Pendidikan tinggi yang berkompeten dengan dunia pendidikan – fakultas keguruan misalnya -- senyatannya lebih banyak menghasilkan pelaku pendidikan yang menguasai metode mengajar dari pada materi yang diajarkan. Sebaliknya fak-fak yang non keguruan menguasai materi namun lemah dalam metode mengajar. Kedua kemampuan tersebuat (menguasai metode dan meteri) harus menjadi kemampuan yang akumulatif dari seorang pendidik.
Ketiga, Terdidik tidak hanya sebagai obyek dan terget yang pasif, tetapi harus menjadi subyek yang aktif, memiliki motivasi yang sama untuk mewujudkan sebuah proses pendidikan. Keberhasilan sistem harus menjadi tanggung jawab semua komponen pendidikan, tidak hanya guru yang bertugas mendisiplinkan murid, tetapi murid harus punya rasa butuh terhadap prilaku disiplin. Bukan hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab terhadap keaktifan guru, tetapi guru harus punya pertalian terhadap apa yang terbaik bagi anak didik dan sekolah. 
Keempat, Pendidikan harus mempunyai dasar dan Tujuan  yan jelas. Menurut faham esensialisme, bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama sehingga memberi kestabilan dan arah yang jelas pula. Bahkan aliran Perennialisme (perennial=Abadi atau kekal) memandang sangat penting berpegang pada nilai-nilai norma-norma yang bersifat kekal abadi,  dalam oxford advanced learner’s dictionary of current English tentang norma yang abadi ditulis”Countinuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time “. Keabadian inilah yang menjadi bidikan dari tujuan pendidikan. Kita perlu melakukan restore to the original form atau merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudyaan yang samasekali baru. Menurut Muhammad Iqbal, Manusia harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur seluruh kehidupannya, karena prinsip yang abadi memberi kita pijakan yang kokoh di dunia yang senantiasa berubah. Orientasi pendidikan kita bukan sekedar selembar ijazah, NEM yang tinggi, lapangan pekerjaan, dan peningkatan statsus atau aktualisasi diri. Tetapi lebih jauh dari itu, yakni menggapai nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan kepribadian berdasarkan nilai keabadian yaitu Qur-an dan Hadits.
Kelima, Alat/sarana yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran. Alat yang memadai tidak diukur dari mahal dan canggihnya, tetapi lebih pada fungsionalisme alat dan sarana sesuai dengan kebutuhan sehingga lebih efesien dalam menunjang proses pendidikan. Namun demikian, dunia pendidikan tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan sarana pendidikan yang serba mutakhir, paling tidak harus mampu memanfaatkan segala sarana yang ada secara optimal. Bahkan karena hasil tehnologi itu bersifat value free (bebas nilai) hampir seluruh perkembangan tehnologi dapat dijadikan sarana pendidikan baik yang bernuasa merusak maupun membangun.
Akhirnya
Akhirnya, dunia pendidikan Islam harus mampu menyusun skala preferensi atau prioritas dan mengkonfirmasikannya dengan ruh Islam. Dalam kontek ini ada dua point yang penting yaitu ijtihat dan jihad. Pendidikan Islam harus menjadi kunci pembuka pintu ijtihat bila telah tertutup. Untuk membuka pintu ini memerlukan parameter waktu dan ruang, bukan taqlid (peniruan) dan taqlif. Tetapi menguasai dengan sempurna warisan Islam dan disiplin ilmu modern. Jihad yang merupakan istilah penting dalam idiologi islam harus difahami secara komprehensif dan membentuk opini yang benar terhadap pengetahuan dunia luar tentang konsep jihad. Jihad harus difahamkan sebagai proses yang berkesinambungan yang berlaku terhadap semua usaha orang-orang islam untuk menegakkan dan memperkokoh kedaulatan (sovereightnity) Allah dalam fikiran dan jiwa manusia, termasuk pendidikan, dengan malaksanakan kewajiban Islam sebagaimana termaktub dalam al Qur-an.
Referensi:
Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia,Ichtiar Baru - Van Hoeve
Syeh Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Mizan, 1980
Nana Sudjana, Dr, Dasar-dasar proses belajar mengajar, Sinar baru, 1989
M Sastrapratedja, Manusia Multi Dimensional, Gramedia, 1983
Zuhairini, Dra., Falsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara dan DEPAG, 1995,92
Joe Park, Selected Readings in the Philosophy of education, New York, Macmillan Publishing Co, 1974

No comments: