Akhir-akhir ini ramai dibicarakan Sekolah Bertaraf Internsional
atau SBI. Sebuah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas
pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Icon SBI di mata masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari bilingual sebagai
medium of instruction, multi media dalam pembelajaran di kelas, berstandar
internasional, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama
antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga
tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan
lain-lain.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai landasan hukum
penyelenggaraan SBI, konsep dan karakteristik SBI, maupun analisis kritis
terhadap kebijakan SBI.
A. Kebijakan
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
1. Landasan Hukum
- UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional.[1]
- Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009.
1). Pemerataan dan Perluasan Akses
2). Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing.
Salah satunya pembangunan sekolah bertaraf internasional untuk meningkatkan
daya saing bangsa. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengembangan SBI pada
tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara Pemerintah
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk mengembangkan SD, SMP,
SMA, dan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh
Indonesia.
3). Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan
Pencitraan Publik.[2]
2. Konsep Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI)
- Filosofi Eksistensialisme dan Esensialisme
Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme
dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan
bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik
seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan
yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan
dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.[3]
Filosofi eksistensialisme
berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi
perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya,
baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Filosofi esensialisme menekankan
bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan
individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya,
baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan
globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang
mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi
tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do,
learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga
bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,
mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana,
hingga sampai penilainya.[4]
- SNP + X (OECD)
Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan
dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization
for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama
antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini
biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui
standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia,
Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany,
Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico,
Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain,
Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju
lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan
Hongkong. [5]
Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi
seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada
standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic
Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya
saing di forum Internasional.
Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam
penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan
(Indonesia) [6]
dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/di-kembangkan/diperluas/diperdalam
dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan,
industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge,
IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral
seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.
Ada dua cara yang dapat dilakukan
sekolah/madrasah untuk memenuhi karakteristik (konsep) Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan dan memenuhi delapan
unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (X) sebagai indikator
kinerja kunci tambahan. Dua cara itu adalah: (1) adaptasi, yaitu
penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu
(setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara
maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan,
diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta
lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi,
yaitu penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur
tertentu yang belum ada diantara delapan unsure SNP dengan tetap mengacu pada
standar pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju lainnya.[7]
- Karakteristik Sekolah Bertaraf Internasional
1). Karakteristik visi
Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan
visi sangat penting sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony
Bush&Merianne Coleman menjelaskan visi untuk menggambarkan masa depan
organisasi yang diinginkan. Itu berkaitan erat dengan tujuan sekolah atau
perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam terma-terma nilai dan menjelaskan
arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush&Merianne Coleman mengutip
pendapat Block, bahwa visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang
diinginkan. [8]
Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya
Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional.[9] Visi ini
mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang
cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
2). Karakteristik Esensial
Karakteristik esensial dalam indikator kunci
minimal (SNP) dan indikator kunci tambahan (x) sebagai jaminan mutu pendidikan
bertaraf internasional dapat dilihat pada table di bawah ini.
Karakteristik Esensial SMP-SBI sebagai
Penjaminan Mutu
Pendidikan Bertaraf Internasional[10]
No
|
Obyek Penjaminan Mutu (unsur Pendidikan dalam
SNP)
|
Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)
|
Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)
|
I
|
Akreditasi
|
Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah
|
Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi
sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota
OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam
bidang pendidikan
|
II
|
Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi
lulusan
|
Menerapkan KTSP
|
Sekolah telah menerapkan system administrasi
akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap
siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.
|
Memenuhi Standar Isi
|
Muatan pelajaramn (isis) dalam kurikulum telah
setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul
dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara
maju lainnya.
|
||
Memenuhi SKL
|
Penerapan standar kelulusan yang setara atau
lebih tinggi dari SNP
|
||
|
Meraih mendali tingkat internasional pada
berbagai kompetensi sains, matematika, tekno-logi, seni, dan olah raga.
|
||
III
|
Proses Pembelajaran
|
Memenuhi Standar Proses
|
·
Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan
atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi
pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa
patriot, dan jiwa inovator
·
Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses
pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota
OECD dan/atau negara maju lainnya.
·
Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
·
Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa
Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.
|
IV
|
Penilaian
|
Memenuhi Standar Penilai-an
|
Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan
system/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30
negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.
|
V
|
Pendidik
|
Memenuhi Standar Pen-didik
|
·
Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa
Inggris
·
Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK
·
Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang
program studinya terakreditasi A
|
VI
|
Tenaga Kependidikan
|
Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan
|
·
Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang
program studinya terakreditasi A
·
Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui
oleh Pemerintah
·
Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
·
Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring
internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan
enterprenual yang kuat
|
VII
|
Sarana Prasarana
|
Memenuhi Standar Sarana Prasarana
|
·
Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
·
Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang
memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
·
Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya,
fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.
|
VIII
|
Pengelolaan
|
Memenuhi Standar Penge-lolaan
|
·
Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001,
dst) dan ISO 14000
·
Merupakan sekolah multi kultural
·
Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah
bertaraf/berstandar internasional diluar negeri
·
Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan
seksual, dan lain-lain
·
Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek
pengelolaan sekolah
|
IX
|
Pembiayaan
|
Memenuhi Standar Pem-biayaan
|
·
Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai
target indikator kunci tambahan
|
3). Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality
Assurance)
a). output
(produk)/lulusan SBI
Adalah memiliki kemampuan-kemampuan
bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh
penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang
diperlukan dalam era global.
Ciri-ciri output/outcomes SBI
sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjtkan pendidikan pada satuan
pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar
negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional
dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih mendali tingkat internasional pada
berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.[11]
b). proses pembelajaran
SBI
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan
penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses
pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi,
nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a
joy of discovery, (2) menerapkan model pem-belajaran aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active
learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum
learning; learning revolution; dan contextual learning, yang
kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses
pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran
menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan
teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah
unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6)dalam
penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu
mengoimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO
14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf
internasional di luar negeri.[12]
c). input
ciri
input SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah
negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi
daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan
S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu
berbahasa inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang
program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. (4) siswa
baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian
akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan tes
wawancara. Siswa baru SBI memeliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan
oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.
B. Analisis
Kritis Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Tujuan
utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan
kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia
diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.
Kebijakan pemerintah mengenai SBI
selain didukung secara konstitusi dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 50 ayat (3), dan juga - menurut Satria Dharma -, SBI merupakan proyek
prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah
Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap
sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling
tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.[13]
Sejak dilendingkan kebijakan SBI,
pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI
merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun
kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam.
Ada beberapa hal yang dapat kita
jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah
tentang SBI tersebut.
1. SBI
lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan Pendekatan Cost
Effectivenes (efektivitas biaya).
Pendekatan Cost Effectiveness adalah
pendekatan yg menitikberatkan pemanfaatan biaya secermat mungkin untuk
mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar-benar memberikan
keuntungan yang relatif pasti, baik bagi penyelenggara maupun peserta didik.[14]
Konsekwensi dari pendekatan ini adalah
tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di SBI, sebab SBI lebih menekankan
efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas
maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang memiliki
kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.
2. Potensi
terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.
Penyelenggaraan
SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif
(hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan
ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).
3. Konsep
SNP+X kurang jelas
Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X.
Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau
diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari
salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional.
Faktor
X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep
ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi
standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam?
Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga
menurut Satria Dharma, mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak
dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur. [15]
4.
Potensi terjadi komersialisasi
pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi
pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa
atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada
siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa
sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran
yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih,
bilingual, dan lain-lain.[16]
5.
Tujuan pendidikan yang misleading
Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2
kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus
yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk
mengikuti dua kiblat sekaligus.
Satria Dharma mengatakan bahwa jika
yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output
pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun
IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik
pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan
terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura,
Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar
ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum
sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School
dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.[17]
6.
Konsep SBI cenderung lebih
menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan
SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual
sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses
penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan
pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan
kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita
arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk
hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan
dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan
hidup nyata mereka.[18]
7.
Konsep ini berangkat dari
asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar
dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat
mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL
>500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan
mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum
menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa
Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang
dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance
ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. [19]
8.
Kebijakan SBI bertolak belakang
dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi
untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki
kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru
dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. [20]
Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari
negara lain.
C. Kesimpulan
dan Saran
Dari
kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional
(SBI) merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan
Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah
satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor
kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan.
Dalam
perjalanannya, kebijakan SBI mulai terlihat beberapa kelemahan, baik secara
konseptual maupun sistem pembelajarannya. Ibarat kata pepatah tiada gading
tak retak, maka pemerintah sebaiknya melakukan pelbagai langkah perbaikan
konsep dengan melibatkan pelbagai unsur/stakeholders pendidikan dan
melakukan studi/penelitian mendalam sebelum kebijakan tersebut bergulir.
Daftar Pustaka
Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. WIPRESS
Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional Tahun
2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Bush, Tony & Coleman, Merianne. 2006. Manajemen Strategis
Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD.
Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan.
Yogyakarta: CV. Grafika Indah.
Haryana, Kir. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel).
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
PT Bumi Aksara., hal 59
http/www.satriadharma.wordpress.com
http/www.64.203.71.11.com
[1] Anonim, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. WIPRESS
[2] Anonim, 2006. Rencana Startegis Departemen Pendidikan Nasional
Tahun 2005-2009. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
[3] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional
(artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama., hal. 37
[4] Ibid., hal. 37-38
[5] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah, hal. 41
[6] Standar Nasional Pendidikan meliputi; standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian.( Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan).
[7] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah, hal. 41
[8] Tony Bush & Merianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis
Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD, hal.
363-37.
[9] Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah, hal. 43
[10] Ibid., hal. 45
[11] Ibid.,hal. 41
[12] Ibid., hal 42
[14] Usman, Husaini. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset
Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara., hal 59
[15] http/www.satriadharma.wordpress.com
[16] Sebagaimana Soelastri Soekirno/ tonny d
widiastono mempertanyakan bahwa, apakah sekolah-sekolah yang kabarnya menggunakan
standar internasional dan menarik uang masuk mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 60
juta dan uang sekolah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan, masih mengemban
misi ingin mencerdaskan bangsa? Entahlah. Namun, fenomena baru yang muncul di
masyarakat justru sekolah-sekolah seperti itu yang kini malah laku. Lakunya
sekolah seperti itu umumnya karena menggunakan bahasa asing sebagai pengantar,
jumlah siswa yang kecil untuk tiap kelas, dan fasilitas yang canggih.
(http/www.64.203.71.11.com)
[17] http/www.satriadharma.wordpress.com
[18] Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa
Depan.Yogyakarta: CV. Grafika Indah., hal. 211
[19] http/www.satriadharma.wordpress.com
[20] Djohar. 2006. Pengembangan Pendidikan…,hal. 236