Hal-halal – Kemerdekaan memiliki beragam makna. Proklamasi
17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno tidak secara eksplisit
menerangkan apa makna kemerdekaan
bagi bangsa Indonesia. Ketika Soekarno menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia, tentu yang dimaksudnya adalah kemerdekaan Indonesia dari
penindasan dan penjajahan kaum penjajah.
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang
menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati. Dari sini,
kita bangsa Indonesia dituntut menjadi seseorang yang dapat mengharumkan
bangsa melalui prestasi dan cita-cita yang tinggi.
Lalu, apa arti kemerdekaan menurut Islam? Dalam Al-Quran
ditunjukkan berbagai kisah kemerdekaan orang-orang terdahulu yang dapat
menginspirasi kita sebagai bangsa Indonesia yang telah merdeka.
Pertama, makna kemerdekaan dapat diambil
dari kisah Nabi Ibrahim AS ketia ia membebaskan dirinya dari kehidupan
bangsanya yang sesat. Dalam Surat Al-An`am ayat 76-79 dikisahkan
perjalanan spiritual
Nabi Ibrahim AS dalam mencari Tuhan. Pencarian spiritual tersebut
merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup
yang diyakininya keliru, namun hidup subur dalam masyarakatnya.
Kedua, makna kemerdekaan juga dapat dipetik
dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan
Firaun. Kekejaman rezim Firaun terhadap Bani Israil (bangsa
Israel) dikisahkan dalam berbagai ayat Al-Quran. Rezim Firaun merupakan
representasi komunitas yang menyombongkan diri dan sok berkuasa di muka
bumi.
Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki Bani Israil
(bangsa Israel) dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah
yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya memperoleh kembali kemuliaan
dan martabatnya sebagai manusia. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam
QS Al-A`raf: ayat 127, QS. Al-Baqarah: ayat 49, dan QS. Ibrahim: ayat 6.
Ketiga, kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban Risalah di muka bumi. Allah SWT berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: ayat 3).
Ketika diutus 14 abad silam, Nabi Muhammad menghadapi sebuah
masyarakat yang mengalami tiga penjajahan sekaligus: disorientasi hidup,
penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.
Disorientasi hidup diekspresikan dalam penyembahan patung oleh
masyarakat Arab Quraisy. Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada
umat manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan
tuhan-tuhan yang menurunkan harkat dan derajat manusia. Hal tersebut
dijelaskan dalam QS. Lukman: ayat 13, QS. Yusuf: ayat 108, QS.
Adz-Dzariyat: ayat 56, dan QS Al-Jumuah: ayat 2.
Penindasan ekonomi itu dilukiskan Al-Quran sebagai sesuatu yang
membuat kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja
(QS. Al-Hasyr: ayat 7). Rasulullah SAW juga mengkritik orang-orang yang
mengumpulkan dan menghitung-hitung harta tanpa mempedulikan
kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS. Al-Humazah: ayat 1-4, QS.
Al-Maa`uun: ayat 2-3).
Rasulullah SAW juga mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan
laki-laki dan perempuan dan kesederajatan bangsa-bangsa. Dalam khutbah
terakhirnya di Arafah, saat haji Wada`, beliau menegaskan bahwa tak ada
perbedaan antara kulit hitam, putih, antara Arab dan non-Arab, melainkan
karena ketakwaannya (QS. Al-Hujurat: ayat 13).
No comments:
Post a Comment