Manusia sempurna sebagaimana yang diidealisasikan sebagai titik
puncak pendidikan nasional dalam upaya reaktualisasi hakikat kemanusiaan
dan manifestasinya dalam sistem dan struktur sosial perlu adanya
penguatan kembali (revitalisasi). Hal ini seiring dengan
konteks zamannya di mana pendidikan hingga sekarang masih diyakini
sebagai aspek terpenting dalam kehidupan bangsa untuk dijadikan strategi
dalam mengangkat derajat masyarakat Indonesia melalui pemberdayaan SDM
yang ada. (Rembangy, 2008:vii). Secara nasional pendidikan harus
mempunyai arti positif bagi bangsa. Arti positif pendidikan adalah
harapan bersama bangsa Indonesia, bahkan merupakan kesepakatan hukum
yang ditetapkan berdasarkan undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan sebagai Human Investment
Visi pendidikan adalah pembangunan manusia seutuhnya. Manusia yang mempunyai daya saing, penuh kreasi, mandiri, berdaya dan berpartisipasi aktif dalam peningkatan hidup sesama. Selain merupakan fungsi pembangunan bidang ekonomi, persoalan kesejahteraan merupakan aspek penting yang harus dicapai dalam rangka proses pendidikan. Pendidikan yang menyejahterakan adalah pendidikan yang membebaskan, terutama membebaskan dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan, tiga unit masalah yang menjadi kewajiban sektor pendidikan. (Sanusi: 2008).
Kita tahu bahwa modal ekonomi Indonesia berupa kekayaan alam (SDA) yang melimpah tidak berarti ketika tidak diimbangi kualitas SDM yang memadai, maka pendidikan di sini memegang peran penting membangun kualitas SDM. Banyak negara yang memfokuskan ekonominya pada eksploitasi SDA akhirnya gagal membuat rakyatnya sejahtera. Indonesia termasuk dalam deretan negara seperti ini. Untuk konteks Indonesia, kegagalan ini bukan karena kekayaan yang dieksploitasi tidak laku dipasaran, namun akibat SDA yang besar itu tidak dikelola sendiri namun meminta pertolongan kepada pihak luar, sehingga keuntungannya pun tidak sepenuhnya milik Indonesia. Sebaliknya, negara seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang, berbeda jauh dari Indonesia. Meski minim SDA, tetapi SDMnya begitu terlatih dan siap saing, sehingga kesejahteraan yang diraih melebihi negara-negara yang kaya SDA tapi minus kualitas SDM.
Menurut Driyakarya dalam Setiawan (2008:84) pendidikan adalah pilar kemandirian bangsa. Artinya, pendidikan adalah solusi tepat menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tanah air. Malik Fadjar (2005:103) berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan, “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, Negara miskin pun bangkit, tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia”.
Pendidikan sebagai Human Investment
Visi pendidikan adalah pembangunan manusia seutuhnya. Manusia yang mempunyai daya saing, penuh kreasi, mandiri, berdaya dan berpartisipasi aktif dalam peningkatan hidup sesama. Selain merupakan fungsi pembangunan bidang ekonomi, persoalan kesejahteraan merupakan aspek penting yang harus dicapai dalam rangka proses pendidikan. Pendidikan yang menyejahterakan adalah pendidikan yang membebaskan, terutama membebaskan dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan, tiga unit masalah yang menjadi kewajiban sektor pendidikan. (Sanusi: 2008).
Kita tahu bahwa modal ekonomi Indonesia berupa kekayaan alam (SDA) yang melimpah tidak berarti ketika tidak diimbangi kualitas SDM yang memadai, maka pendidikan di sini memegang peran penting membangun kualitas SDM. Banyak negara yang memfokuskan ekonominya pada eksploitasi SDA akhirnya gagal membuat rakyatnya sejahtera. Indonesia termasuk dalam deretan negara seperti ini. Untuk konteks Indonesia, kegagalan ini bukan karena kekayaan yang dieksploitasi tidak laku dipasaran, namun akibat SDA yang besar itu tidak dikelola sendiri namun meminta pertolongan kepada pihak luar, sehingga keuntungannya pun tidak sepenuhnya milik Indonesia. Sebaliknya, negara seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang, berbeda jauh dari Indonesia. Meski minim SDA, tetapi SDMnya begitu terlatih dan siap saing, sehingga kesejahteraan yang diraih melebihi negara-negara yang kaya SDA tapi minus kualitas SDM.
Menurut Driyakarya dalam Setiawan (2008:84) pendidikan adalah pilar kemandirian bangsa. Artinya, pendidikan adalah solusi tepat menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di tanah air. Malik Fadjar (2005:103) berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan, “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, Negara miskin pun bangkit, tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia”.
Anggaran Pendidikan 20 Persen: Harapan dan Tantangannya
Sebagai sebuah amanat konstitusi, kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN memang tidak terlepas dari perdebatan yang panjang. Kenaikan anggaran selalu mengandung risiko, misalnya masalah efisiensi, efektivitas, bahkan korupsi dalam berbagai modusnya. Oleh karena itu, mutlak kiranya kenaikan anggaran diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi.
Terkait anggaran pendidikan 20 persen, menurut Sunaryanto (2008), ada beberapa hal yang perlu dikaji bersama, yakni: Pertama, masalah alokasi pembiayaan (unit cost) bagi operasional unit-unit pendidikan, termasuk rehabilitasi infrastruktur pendidikan yang rusak. Kedua, penguatan kapasitas. Di era desentralisasi pendidikan, sudah sewajibnya sekolah diberi otonomi, termasuk dalam pengelolaan dana, khususnya yang terkait dengan operasionalisasi sekolah. Ketiga, revisi peraturan. Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mempertegas undang-undang tentang kewajiban pemerintah mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan harus dikawal dengan merevisi peraturan yang masih memberikan celah pungutan di masyarakat, misalnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang komite sekolah dan peraturan daerah yang mengadopsinya. Keempat, perluasan partisipasi. Pada prinsipnya, kelembagaan komite sekolah berperan sebagai penyambung aspirasi dan partisipasi masyarakat.
Sebagai sebuah amanat konstitusi, kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN memang tidak terlepas dari perdebatan yang panjang. Kenaikan anggaran selalu mengandung risiko, misalnya masalah efisiensi, efektivitas, bahkan korupsi dalam berbagai modusnya. Oleh karena itu, mutlak kiranya kenaikan anggaran diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi.
Terkait anggaran pendidikan 20 persen, menurut Sunaryanto (2008), ada beberapa hal yang perlu dikaji bersama, yakni: Pertama, masalah alokasi pembiayaan (unit cost) bagi operasional unit-unit pendidikan, termasuk rehabilitasi infrastruktur pendidikan yang rusak. Kedua, penguatan kapasitas. Di era desentralisasi pendidikan, sudah sewajibnya sekolah diberi otonomi, termasuk dalam pengelolaan dana, khususnya yang terkait dengan operasionalisasi sekolah. Ketiga, revisi peraturan. Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mempertegas undang-undang tentang kewajiban pemerintah mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan harus dikawal dengan merevisi peraturan yang masih memberikan celah pungutan di masyarakat, misalnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang komite sekolah dan peraturan daerah yang mengadopsinya. Keempat, perluasan partisipasi. Pada prinsipnya, kelembagaan komite sekolah berperan sebagai penyambung aspirasi dan partisipasi masyarakat.
Kesimpulan
Berpijak pada uraian singkat di atas, sudah tidak diragukan lagi bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan yang berharga untuk kemajuan dan kesejahteraan sumber daya manusia. Logikanya, semakin besar investasi yang ditanamkan hari ini, semakin besarlah peluang memetik keberhasilan dari investasi tersebut di masa mendatang. Seandainya pemerintah menyadari betul efek futuristik pendidikan bagi kesejahteraan rakyat, tentu sektor pendidikan telah dari dulu diperhatikan. Tapi realitanya, bangsa Indonesia harus menunggu sekian tahun untuk benar-benar menikmati besaran anggaran 20% itu. Padahal, biaya besar pendidikan tidak akan terbuang percuma jika benar-benar dilakukan pengawalan dan kontrol yang ketat untuk menutup penyelewengan.
Meski akhirnya pemerintah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebagaimana diamanatkan konstitusi, namun porsi anggaran yang dialokasikan dalam RAPBN 2009 tersebut belum tentu menjamin seluruh warga negara (terutama usia pendidikan dasar) bisa mengikuti pendidikan atas biaya pemerintah. Padahal, jika mengacu pada amanat UUD 1945 amendemen keempat Pasal 31 Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Yang lebih kita mengkhawatirkan lagi adalah ketika nantinya peningkatan anggaran pendidikan nasional yang mencapai 20 persen itu banyak tersedot untuk birokrasi dan rawan penyimpangan. Untuk itu, mutlak kiranya kenaikan anggaran diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi.
Bagaimana dengan mutu guru? Sudah seharusnya anggaran yang disediakan itu harus juga menjadi jaminan untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru yang paling bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan anak bangsa kita. Hal ini dilandasi argumentasi, bahwa guru yang mutunya bertambah baik akan mampu memberikan kepada anak didik bekal ilmu pengetahuan yang diperlukan sebagai kekuatan yang luar biasa untuk bangsa yang maju. Kekuatan ilmu pengetahuan, apabila disertai kemampuan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, akan memberi kemampuan anak bangsa ini mengembangkan berbagai prakarsa dan inovasi pembangunan untuk memajukan pemerataan pembangunan yang berjangkauan luas.
Semoga dengan anggaran 20 persen ini, dunia pendidikan Indonesia akan lebih berkualitas dan dapat bersaing dengan negara-negara lain yang telah lebih dulu menikmati “kejayaannya”. Dengan demikian, maka Indonesia akan menjadi bangsa merdeka yang terpandang di kancah internasional dan semakin diperhitungkan perannya dalam membangun peradaban.
Daftar PustakaBerpijak pada uraian singkat di atas, sudah tidak diragukan lagi bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan yang berharga untuk kemajuan dan kesejahteraan sumber daya manusia. Logikanya, semakin besar investasi yang ditanamkan hari ini, semakin besarlah peluang memetik keberhasilan dari investasi tersebut di masa mendatang. Seandainya pemerintah menyadari betul efek futuristik pendidikan bagi kesejahteraan rakyat, tentu sektor pendidikan telah dari dulu diperhatikan. Tapi realitanya, bangsa Indonesia harus menunggu sekian tahun untuk benar-benar menikmati besaran anggaran 20% itu. Padahal, biaya besar pendidikan tidak akan terbuang percuma jika benar-benar dilakukan pengawalan dan kontrol yang ketat untuk menutup penyelewengan.
Meski akhirnya pemerintah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebagaimana diamanatkan konstitusi, namun porsi anggaran yang dialokasikan dalam RAPBN 2009 tersebut belum tentu menjamin seluruh warga negara (terutama usia pendidikan dasar) bisa mengikuti pendidikan atas biaya pemerintah. Padahal, jika mengacu pada amanat UUD 1945 amendemen keempat Pasal 31 Ayat (1) yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Yang lebih kita mengkhawatirkan lagi adalah ketika nantinya peningkatan anggaran pendidikan nasional yang mencapai 20 persen itu banyak tersedot untuk birokrasi dan rawan penyimpangan. Untuk itu, mutlak kiranya kenaikan anggaran diikuti dengan sistem anggaran yang berpihak pada kepentingan publik, misalnya prinsip alokasi, distribusi, pengawasan, dan akuntabilitas yang tinggi.
Bagaimana dengan mutu guru? Sudah seharusnya anggaran yang disediakan itu harus juga menjadi jaminan untuk meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru yang paling bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan anak bangsa kita. Hal ini dilandasi argumentasi, bahwa guru yang mutunya bertambah baik akan mampu memberikan kepada anak didik bekal ilmu pengetahuan yang diperlukan sebagai kekuatan yang luar biasa untuk bangsa yang maju. Kekuatan ilmu pengetahuan, apabila disertai kemampuan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, akan memberi kemampuan anak bangsa ini mengembangkan berbagai prakarsa dan inovasi pembangunan untuk memajukan pemerataan pembangunan yang berjangkauan luas.
Semoga dengan anggaran 20 persen ini, dunia pendidikan Indonesia akan lebih berkualitas dan dapat bersaing dengan negara-negara lain yang telah lebih dulu menikmati “kejayaannya”. Dengan demikian, maka Indonesia akan menjadi bangsa merdeka yang terpandang di kancah internasional dan semakin diperhitungkan perannya dalam membangun peradaban.
Fadjar, A. Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Redaksi. Mensyukuri Anggaran Pendidikan. Didownload dari http://mimbar-opini.com. Tanggal 10 Desember 2008.
Rembangy, Musthofa. 2008. Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras.
Sanusi, M. 2008. Anggaran Pendidikan. Didownload dari http://pikiranrakyat.com tanggal 13 Desember 2008.
Setiawan. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sunaryanto, Agus. 2008. Quo Vadis 20 Persen Anggaran Pendidikan. Didownload dari http://www.korantempo.com, tanggal 13 Desember 2008.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
No comments:
Post a Comment