Pendidikan sastra dan bahasa Indonesia
mempunyai peranan yang penting didalam dunia pendidikan. Seperti yang
kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kita harus
mempelajari ilmu pendidikan tentang bahasa dan sastra Indonesia. Agar
kita dapat belajar dan mengetahui bagaimana cara kita menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Terutama bagi calon pendidik,
pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dirasakan memang sangat penting.
Karena ketika seorang pendidik memberikan pengajaran kepada anak-anak
didiknya, ia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Apabila seorang pendidik mengunakan bahasa yang kurang baik, maka
akan dicontoh oleh anak-anak didiknya.
Kemampuan Masyarakat dan Peserta
Didik dalam Berbicara (bahasa lisan).
Kemampuan berbahasa Indonesia adalah
salah satu syarat yang harus dipenuhi masyarakat Indonesia, tidak
terkecuali peserta didik. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran di
sekolah, bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok. Pelajaran
bahasa Indonesia diajarkan berdasarkan kurikulum yang berlaku, yang di
dalamnya (kurikulum pendidikan) tercantum beberapa tujuan pembelajaran.
Salah satu tujuan pokoknya adalah mampu dan terampil berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar setelah mengalami proses belajar mengajar di
sekolah.
Keterampilan berbahasa itu tidak saja meliputi satu aspek, tetapi di dalamnya termasuk kemampuan membaca, menulis, mendengarkan (menyimak), dan berbicara. Dalam proses pemerolehan dan penggunaannya, keterampilan berbahasa tersebut saling berkaitan.
Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan,
khususnya berbagai persoalan yang akan dibahas dalam bab ini. Hal-hal
yang dimaksud adalah bagian-bagian yang terkait dengan berbagai
permasalahan yang terjadi dalam penelitian ini, khususnya kemampuan
peserta didik dalam berbicara (bahasa lisan). Adapun bagian-bagian yang
akan dibahas tersebut adalah :
- struktur ragam bahasa lisan (fonologi, morfologi, leksikal, sintaksis),
- ragam bahasa lisan,
- fungsi bahasa,
- keterkaitan antara penggunaan ragam dan fungsi bahasa,
- isi pesan komunikasi, dan
- pemahaman guru terhadap isi/pesan yang disampaikan oleh peserta didik.
Bahasa Lisan
Ada dua ragam komunikasi yang digunakan
manusia melalui bahasa, yaitu ragam bahasa lisan dan ragam tulisan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Moeliono (Ed.), bahwa ragam bahasa menurut
sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan (1988: 6).
Dalam penggunaannya, kedua ragam ini
pada umumnya berbeda. Penggunaan ragam bahasa lisan mempunyai
keuntungan, yaitu karena bahasa ragam lisan digunakan dengan hadirnya
peserta bicara, maka apa yang mungkin tidak jelas dalam pembicaraan
dapat dibantu dengan keadaan atau dapat langsung ditanyakan kepada
pembicara.
Hal ini menunjukan bahwa peranan
penggunaan bahasa ragam lisan itu penting. Berkaitan dengan ini, Pateda
(1987: 63) menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu
penting dalam komunikasi, yaitu :
- faktor kejelasan, karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar pendengar mengerti apa yang dikatakannya,
- faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan,
- dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi, dan
- faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit. Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan.
Apa yang tidak jelas dalam bahasa
tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi seperti bahasa lisan. Dalam
bahasa lisan, apabila terjadi kesalahan, pada saat itu pula dapat
dikoreksi, sedangkan dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang
lebih besar.
Badudu (1985: 6) menjelaskan pula
perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Menurutnya, bahasa lisan lebih bebas
bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang
memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan
dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kaliamt.
Di samping itu, bahasa lisan yang
digunakan dalam tuturan dibantu pengertiannya, jika bahasa tutur itu
kurang jelas oleh situasi, oleh gerak-gerak pembicara, dan oleh
mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat atau sarana yang memperjelas
pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada. Itulah sebabnya, bahasa
tulis harus disusun lebih sempurna.
Dalam penggunaan bahasa lisan,
saran-saran suprasegmental memberi sumbangan yang berarti terhadap
keberhasilan suatu komunikasi. Saran suprasegmental itu, antara lain
gejala intonasi yang berupa aksen, tekanan kata, tinggi rendahnya nada,
dan keras lembutnya suara. Penggunaan bahasa lisan, meskipun kalimat
yang diucapkan oleh seorang pembicara tidak lengkap, kita dapat
menangkap maknanya dengan melihat lagu kalimatnya serta gerak-gerik
tangan, mata dan anggota badan lainnya.
Dalam hal ini Uhlenbeck dalam Teeuw
(1984: 27) pun menjelaskan bahwa keberhasilan komunikasi tidak
tergantung pada epek sarana-sarana lingual saja, pemahaman pemakaian
bahasa lisan adalah hasil permainan bersama yang subtil dari data
pengetahuan lingual dan ekstra lingual, dari informasi auditif, visual,
dan kognitif (berdasarkan pengetahuan dan penapsiran).
Sejumlah ahli telah melakukan studi
bahasa lisan. Gambaran karakteristik bahasa lisan sebagaimana telah
diungkapkan oleh para ahli yang dimaksud yaitu:
- kalimat bahasa lisan banyak yang kurang terstruktur ketimbang bahasa tulisan, yaitu bahasa lisan berisi beberapa kalimat tidak lengkap, bahkan sering urutan frasa-frasa sederhana, bahasa lisan secara khusus memuat lebih sedikit kalimat subordinat, dan dalam percakapan lisan, kalimat-kalimat pendek dapat diobservasi, dan biasanya berbentuk kalimat deklaratif aktif.
- dalam bahasa tulisan terdapat seperangkat penanda metabahasa untuk menandai hubungan antar klausa (bahwa, ketika), juga, seperti, di samping itu, biarpun, selain itu, yang disebut logical connector. dalam bahasa lisan, penggunaan susunan kalimat dihubungkan oleh dan tetapi, lalu, serta agak jarang jika.
- kalimat bahasa tulisan secara umum berstruktur subjek–predikat, sedangkan dalam bahasa lisan umumnya berstruktur topik komentar.
- dalam tuturan formal, peristiwa konstruksi pasif relatif jarang terjadi.
- dalam obrolan akrab, penutur dapat mempercayakan petunjuk pandangan untuk membantu suatu acuan.
- penutur dapat menjaring ekspresi lawan bicara.
- penutur sering mengulangi beberapa bentuk kalimat.
- penutur sering menghasilkan sejumlah pengisi (filter), misalkan,
baiklah, saya pikir, engkau tahu, tentu, juga (brown dalam yule, 1983:
12).
meskipun penggunaan bahasa lisan itu memiliki banyak kelonggaran bila dibandingkan dengan bahasa tulisan (seperti diuraikan di atas), bukan berarti penggunaan dapat dilakukan seenaknya. dalam menggunakan bahasa lisan perlu diperhatikan oleh setiap penutur mengenai situasi, lawan bicara, dan masalah yang dikemukakan.
Penggunaan Bahasa Ragam Lisan Berbicara
tentang penggunaan bahasa, tentunya tidak terlepas dari penutur-penutur
bahasa itu atau orang yang menggunakan bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat. Penutur-penutur bahasa itu, dalam proses sosialisasinya
dapat berfungsi sebagai pembicara, penulis, pembaca dan pendengar atau
penyimak. Penyimak dan pembaca dalam hal proses berbahasa ini berfungsi
sebagai penerima, sedangkan pembicara dan penulis berfungsi sebagai
orang yang memproduksikan (menghasilkan) bahasa.
Komunikasi di antara pembicara dan
pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan lancar, apabila di
antara kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat bahasa yang sama.
Dengan demikian, setiap bahasa memiliki seperangkat sistem, yaitu sistem
bunyi bahasa, sistem gramatikal (tata bentuk kata, tata bentuk
kalimat), tata makna, dan kosa kata. Perangkat sistem ini ada dalam
benak penutur. Saussure memberinya istilah dengan langue, yaitu
totalitas dari sekumpulan fakta satu bahasa.
Ini sebagai satu gudang segala fakta
kebahasaan yang ada pada setiap orang. Istilah competence (kompetensi)
diartikan sebagai “… the speaker hearers knowledge of his language …”
(Aiwasilah, 1985: 4). Language adalah sesuatu yang ada pada setiap
individu, sama bagi semuanya dan berbeda di luar kemauan penyampainya.
Language adalah suatu sistem yang memiliki susunan sendiri. Langue
merupakan norma dari segala pengungkapan bahasa. Berbeda halnya dengan
penggunaan bahasa, karena penggunaan bahasa bersifat heterogen. Konsep
penggunaan bahasa itu didasari teori Sassure, yaitu diistilahkan dengan
parole.
Parole adalah bahasa sebagaimana ia
dipakai karena itu sangat bergantung pada faktor-faktor linguistik
ekstern (Sassure dan Rahayu, 1988: 88). Kaitannya dengan penelitian ini
penggunaan bahasa yang dimaksud adalah parole. Setiap penutur dapat
dikatakan terampil berbahasa apabila ia memiliki kompetensi atau langue
dari bahasa yang dikuasainya. Keterampilan bahasa yang terdiri dari
berbicara, mendengar, menulis, membaca ini pun pada umumnya jarang
dikuasainya penutur yang sama baiknya.
Ada penutur yang terampil berbicara,
tetapi kurang terampil menulis dan begitu pula halnya dengan
keterampilan yang lainnya. Namun, dengan pemakaiannya keterampilan
penutur dalam menggunakan bahasa sesuai dengan sistem-sistem di atas,
belumlah dapat dikatakan mampu berbahasa dengan baik. Dalam hal ini
Rusyana (1984: 104) menjelaskan bahwa berbahasa dengan baik berarti
bukan saja dapat menguasai struktur bahasa dengan baik, tetapi juga
dapat memakainya secara serasi, sesuai pokok permasalahan, tokoh bicara,
dan suasana pembicaraan.
Dengan demikian, seorang penutur harus
lebih cermat dalam menggunakan bahasanya, supaya apa yang ingin
diungkapkan dapat diterima oleh lawan tuturnya. Untuk itu, setiap
penutur harus menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan
fungsinya. Berkaitan dengan ini Anton Moeliono (Ed.) menguraikan bahwa
orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai
sasarannya, apa pun jenisnya itu disebut berbahasa dengan efektif.
Bahasanya memberikan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau
keadaan yang dihadapinya. Orang yang berhadapan dengan sejumlah
lingkungan hidup memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi
itu.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi
menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut
bahasa yang baik dan tepat (1988: 19). Kenyataan yang terjadi di
masyarakat adalah bahwa bahasa itu terdiri dari berbagai ragam. Ragam
itu ada yang berhubungan dengan pemakaian bahasa dan ada pula yang
berhubungan dengan pemakaiannya. Dalam hal ini Fishman (1972: 149)
membedakan variasi bahasa tersebut menurut penuturnya (user), yang
disebut dengan dialek, dan variasi bahasa menurut penggunaannya (use)
disebut dengan istilah register.
Penggunaan bahasa mengenal berbagai
variasi. Bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda dengan bahasa
yang digunakan oleh orang lain. Kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh
siapa yang berbicara, lawan bicara, situasi, topik pembicaraan, dan
sebagainya. Del Hymas merinci faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian
bahasa menjadi delapan faktor. Kedelapan faktor itu adalah :
- setting and scence, yang mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi,
- participant, yang mengacu kepada peserta komunikasi yang terdiri atas pembicara/pengirim, pendengar/penerima,
- ends (pupose and goals), yang mengacu kepada tujuan dan hasil atau harapan mengadakan komunikasi,
- actsequence, yang mengacu kepada bentuk dan isi pesan komunikasi,
- key, yang mengacu kepada gaya, ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi,
- instrumentalities, yang mengacu kepada sarana atau perantara yang digunakan dalam komunikasi dan bentuk tuturan, bahasa, dialek,
- norms, yang mengacu kepada norma perilaku dalam berinteraksi, interpretasi komunikasi, dan
- genres, yang mengacu kepada bentuk dan jenis bahasa yang digunakan dalam komunikasi, misalnya cerita, prosa puisi (Hymes dalam Bell, 1976: 81).
Untuk mengetahui ragam bahasa apa yang
dipakai oleh seseorang kita dapat mengenalnya melalui :
- pilihan kata atau leksis,
- fonologi,
- morfologi,
- sintaksis, dan
- intonasi (Badudu, 1991: 85). Sejalan dengan pendapat tersebut, Nebaban (1984: 22) menjelaskan bahwa setiap bahasa mempunyai banyak ragam, yang dipakai dalam keadaan atau keperluan/tujuan yang berbeda-beda.
Ragam-ragam itu menunjukan perbedaan
struktural dalam unsur-unsurnya. Perbedaan struktural ini berbentuk
ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis.
Berkaitan dengan pendapat di atas, dalam penelitian ini akan memfokuskan
pada pemakaian bahasa, yang dilihat dari segi fonologi
(pelafalan/pengucapan), morfologi (bentuk kata), leksis (pilihan kata),
kosakata dan sintaksis (kalimat).
Pelafalan (Pengucapan) Masyarakat
Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku, dan masing-masing suku
memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut dipergunakan oleh bangsa
(masyarakat) Indonesia sebagai sarana komunikasi antar suku, dan juga
dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan
masyarakat di Indonesia. Keadaan seperti ini akan berpengaruh terhadap
pemakaian bahasa Indonesia. Pengaruh tersebut beragam.
Ada pengaruh lafal, ada pengaruh bentuk
kata, ada pengaruh makna kata, ada juga pengaruh struktur kalimat. Lagi
pula agaknya pengaruh-pengaruh tersebut sulit untuk dihindari dengan
sepenuhnya. Seperti dikatakan oleh Badudu (1985: 12) bahwa tidak seorang
pun yang dapat melepaskan diri dari pengaruh itu seratus persen. Lebih
lanjut dikatakannya, yang mungkin adalah bahwa pengaruh ini sangat
sedikit, sehingga sukar kita menerka dari suku manakah orang yang
bertutur itu berasal.
Dari beberapa pengaruh tersebut,
tampaknya pengaruh lafal bahasa daerah sering kita dengar. Badudu (1985:
12) menjelaskan bahwa yang sering sukar dihindari adalah pengaruh lafal
bahasa daerah, karena lidah penutur yang sudah “terbentuk” sejak kecil
oleh lafal bahasa daerahnya. Bila kita perhatikan lafal orang Tapanuli
misalnya, kata-kata yang befonem /e/ akan dilafalkan dengan /E/.
Kata-kata seperti mengapa, karena, kemana, diucapkan dengan menggunakan
/e/ benar. Atau orang yang berasal dari Jawa, akhirankan akan diucapkan
dengan /ken/. Demikian pula dengan suku-suku lain misalnya Sunda, Bali,
Aceh, bila berbicara akan diwarnai oleh pengaruh bahasa daerahnya.
Bila seseorang dalam berbahasa Indonesia
(lisan) terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong lafal
nonbaku. Akan tetapi, bila seseorang dalam berbahasa Indonesia tidak
terdengar lafal bahasa daerahnya, maka lafalnya dapat digolongkan kepada
bahasa baku (standar). Mengenai pengertian lafal baku tersebut, Badudu
(1980: 115) menjelaskan bahwa lafal bahasa Indonesia baku adalah lafal
yang tidak memperdengarkan “warna” lafal bahasa daerah atau dialek, juga
tidak memperdengarkan “warna” lafal bahasa asing seperti bahasa
Belanda, Inggris atau Arab. Kemudian, Soemantri (1987: 11) mengemukakan
bahwa lafal bahasa Indonesia yang standar adalah tuturan bahasa
Indonesia yang tidak terlalu menonjol ciri lafal daerah penuturnya.
Struktur Bahasa Ragam Lisan Anak-anak
Dwibahasawan di SD
Dalam wujudnya, bahasa yang kita gunakan terdiri dari unsur bunyi,
bentuk morfologis, sintaksis dan semantik. Unsur-unsur bahasa itu tidak
lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah-pisah. Dalam bahasa lisan,
unsur-unsur tersebut terangkai dalam wujud kalimat yang saling
berkaitan. Kalimat yang pertama pada dasarnya digunakan sebagai acuan
munculnya kalimat yang kedua, kalimat kedua dapat memunculkan kalimat
ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, memahami bahasa lisan seseorang
dapat dilakukan, antara lain dengan cara menganalisis unsur-unsur bahasa
dan aturan yang berlaku dalam bahasa itu.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa
struktur bahasa ragam lisan anak-anak pun dapat dianalisis melalui
unsur-unsur bahasa yang dugunakannya. Di samping itu, aturan-aturan yang
berlaku juga dapat digunakan sebagai tolak ukur baku atau tidaknya
penggunaan bahasa secara keseluruhan.
Penggunaan bahasa lisan banyak
kelonggaran bila dibandingkan dengan bahasa tulisan. Akan tetapi, bukan
berarti penggunaan dapat dilakukan seenaknya. Dalam menggunakan bahasa
lisan perlu diperhatikan oleh setiap penutur mengenai situasi, lawan
bicara dan masalah yang dikemukakan. Kaitan dengan penilaian ini,
struktur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan berupa (1) topik
komentar, (2) kalimat deklaratif aktif lebih banyak daripada konstruksi
pasif, dan (3) lepasnya unsur subjek, predikat, dan objek.
Kenyataan seperti ini juga dijelaskan
oleh Rusyana (1984: 130), bahwa dalam penuturan lisan, pembicara dan
pendengar ada dalam ruang dan waktu yang memberikan kemungkinan untuk
berkontak secara langsung. Situasinya juga diketahui oleh kedua belah
pihak. Andaikan ada yang tidak dipahami, dapat ditanyakan dan kemudian
dijelaskan. Karena itu, walaupun ada yang jika dipandang dari
kalimat-kalimat yang digunakan, tidak begitu jelas, ketidak jelasan itu
mungkin sudah teratasi oleh pemahaman terhadap hubungan dalam peristiwa
pembicaraan atau langsung dijelaskan oleh pembicara.
Dengan demiklian,
penyimpangan-penyimpangan struktur kalimat dan lesapnya unsur-unsur
kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan disebabkan oleh sifat bahasa
lisan itu sendiri.
Kedwibahasaan seseorang di dalam
masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari kemampuannya menggunakan dua
bahasa atau lebih. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih,
yang pertama kali mempengaruhi mendasari bahasa seseorang umumnya adalah
bahasa ibu. Bahasa ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya
diperoleh dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Kecenderungan
pemakaian bahasa ibu atau bahasa pertama sangat tergantung pada bahasa
yang paling dominan dipergunakan di tengah-tengah masyarakat.
Terutama di daerah-daerah pedesaan,
biasanya yang dominan adalah bahasa ibu daerah. Dalam rentang waktu
selanjutnya, sesuai dengan usianya kemudian seseorang akan mempelajari
bahasa kedua. Bagi anak-anak, hal ini akan dialami apabila anak-anak
mulai masuk sekolah. Dari perjalanan waktu dan usia sekolah itulah, maka
akan diperoleh dan dikuasai bahasa kedua, sehingga mereka dapat
menguasai lebih dari satu bahasa.
Sebagian besar masyarakat, termasuk
anak-anak sekolah dasar kebanyakan berbahasa ibu bahasa daerah. Meskipun
anak-anak telah memasuki sekolah, karena sebagian besar masyarakat
menggunakan bahasa daerah, maka pemakaian bahasa daerahlah yang
cenderung dominan dalam berkomunikasi. Hal ini terbukti karena bahasa
daerah lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan bahasa yang lain,
misalnya bahasa Indonesia. Dengan demikian, kita tidak heran bila kalau
bahasa daerah atau bahasa percakapan akan mempengaruhi penggunaan
bahasa Indonesia penuturnya.
Fungsi Bahasa yang Digunakan Anak-anak
Dwibahasawan SD
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai alat komunikasi. Dalam
hal ini berbagai penjelasan mengenai fungsi bahasa telah dapat
dikemukakan para ahli bahasa. Bebereapa pakar memberikan penjelasan
mengenai fungsi bahasa dilihat dari cara pandang masing-masing.
Akan tetapi, penjelasan mengenai fungsi
bahasa tersebut secara keseluruhan memiliki banyak persamaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, secara
konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak dwibahasawan berfungsi
sebagai alat untuk berinteraksi atau interaksional, merupakan alat untuk
diri atau personal, alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan atau
heuristik, dan untuk menyatakan imajinasi dan khayal.
Fungsi untuk menjelaskan informasi atau
materi pelajaran ini terkait secara kontekstual. Dalam konteks itu,
bahasa merupakan unsur kebudayaan yang memungkinkan pengembangan dan
perkembangan kebudayaan. Sekaitan dengan itu, bahasa Indonesia adalah
bahasa yang membuka jalan bagi kita menjadi anggota yang seutuhnya dari
bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1986. Sosiologi
Bahasa. Bandung: Angkasa
Badudu, J.S. 1978. “Morfologi”
Bahan Kuliah pada Penataran Disiplin Ilmu. Bandung: FKSS
IKIP
—————. 1985. Pelik-pelik
Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Moeliono, A. (ed). 1985. Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa.
Jakarta: Jambatan.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik.
Bandung: Angkasa.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa
dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Berbicara
Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Yusuf, Syamsu. dkk. 1993. Dasar-dasar
Pembinaan Kemampuan Proses Belajar Mengajar. Bandung: CV
Andira.
No comments:
Post a Comment