Membaca kreatif bertujuan agar para siswa terampil berkreasi dalam
hal dramatisasi, interpretasi lisan atau musik, narasi pribadi, ekspresi tulis,
dan ekspresi visual.
4.1 Dramatisasi
Pada
tahap pertama para siswa dilatih memberikan ekspresi dramatik terhadap para
tokoh serta ide - ide yang telah mereka temui dalam bacaan mereka. Tahap kedua para
siswa mendramatisasikan tema - tema dari sastra dalam kaitannya dengan
pengalaman - pengalaman mereka sendiri atau situasi - situasi kontemporer. Tahap berikutnya, memberi kesempatan
kepada para siswa untuk mempersonalisasikan serta memberikan ekspresi dramatik
bertahap apa yang telah mereka baca. Agar kita mendapat pandangan yang lebih
luas serta dapat membimbing para siswa dalam hal dramatisasi, maka ada tiga hal
yang harus kita perhatikan :
a)
Prinsip
- prinsip kritik drama
b)
Unsur
- unsur drama
c)
Ienis
- jenis drama
1.1 Prinsip
- prinsip kritik drama
Pada abad ke-18 seorang dramawan Jerman yang
bernama Goethe, memproklamasikan tiga prinsip kritik drama,yang biasa disebut Prinsip Goethe adalah sebagai berikut :
a)
Apakah
yang hendak dilakukan oleh sang seniman ?
b)
Betapabaiknya
dia melakukan hal itu ?
c)
Bermanfaatkah
hal itu dilakukan ?
Apabila kita menjawab pertanyaan pertama, maka kita terutama sekali
menghadapi fakta-fakta. Kita akan sampai pada jawaban – jawaban faktual.
Kalau kita menjawab pertanyaan yang kedua, maka kita akan
mempertimbangkan betapa baikah sang seniman telah memanfaatkan unsur – unsur
drama serta memadunya menjadi satu keseluruhan yang artistik yang efektif.
Dan apabila kita menjawab pertanyaan
yang ketiga, maka kita akan mengemukakan pendapat kita. Kalau kita telah
menjawab pertanyaan pertama dan kedua dengan baik, maka jawaban atas pertanyaan
ketiga dapat diberikan dengan mudah.
1.2 Unsur – unsur
drama
Ada beberapa unsur dalam drama diantaranya :
a)
Alur
atau plot
b)
Karakteristik
atau penokohan
c)
Dialog
atau percakapan
d)
Aneka
sarana kesastraan dan kedramaan
I.
Alur
atau plot.
Eksposisi suatu lakon menentukan aksi dalam waktu
dan tempat; memperkenalkan kita dengan para tokoh; menyatakan suatu sesuatu
lakon, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama lakon
tersebut.
Komplikasi atau bagian tengah lakon, mengembangkan
konflik. Sang pahlawan atau tokoh utama menemui aneka rintangan antara dia dan
tujuannya. Pada bagian inilah kita dapat mengetahui jenis manusia yang
bagaimanakah sang pahlawan itu. Pengarang dapat mempergunakan teknik sorot - balik atau flash - back untuk memperkenalkan kita dengan masa lalu sang pahlawan
menjelaskan sesuatu situasi, atau untuk memberikan motivasi bagi aksi –
aksinya.
Resolusi atau denonement
hendaklah muncul secara logis dari segala sesuatu yang telah mendahuluinya
di dalam komplikasi. Titik balik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi
disebut juga klimaks.
Pada
klimaks itulah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh dan akan
menjadi jelas arah mana yang akan dituju oleh alur lakon tersebut. Dalam
beberapa hal, akhir sesuatu lakon akan berupa yang menyenangkan atau tidak
menyenagkan,happy or unhappy.
II.
Karakterisasi
atau penokohan.
Beberap
tokoh beserta fungsinya dalam suatu lakon adalah sebagai berikut :
a)
Tokoh gagal, tokoh badut, atau the
foil.
Tokoh ini
mempunyai pendirian yang bertentangan dengan tokoh lain; bertindak menegaskan
tokoh lain; dia mungkin merupakan tokoh minor yang hanya berfungsi sebagai
tukan badut; atau dia mungkin pula menerangkan suatu bagian mayor dalam lakon,
yang secara insidental bertindak selaku badut atau foil.
b)
Tokoh idaman atau the
type character.
Tokoh ini dipakai terutama sekali karena dia dapat diberi ciri dengan cepat
dapat dikenal segera. Dia mungkin merupakan wakil suatu daerah atau
jabatan.kehadiran para tokoh idaman membuat tokoh individual yang sebenarnya
semakin lebih hebat , semakin luar biasa.
c)
Tokoh statis atau the
static character.
Tokoh ini pada
hakekatnya tetap sama, tanpa perubahan; pada akhir lakon sama saja dengan pada
awal lakon. Tokoh ini adalah tokoh statis.
d)
Tokoh yang berkembang.
Tokoh ini mengalami perkembangan selama atau di dalam lakon.
III.
Dialog
atau percakapan.
Dalam
setiap lakon, dialog haruslah dapat memenuhi dua tuntutan yaitu :
a)
Dialog
haruslah turut menunjang aksi.
b)
Dialog
yang ditampilkan di atas pentas haruslah ditambah – tambahi serta di lebih –
lebihkan. Maksudnya, haruslah jauh lebih tajam dari terbit dari dari pada
ujaran sehari – hari.
IV.
Aneka
sarana kesastraan dan kedramaan.
a)
Gaya bahasa repetisi,
baik yang berupa kontras
(pertentangan) maupun yang berupa parallel
(kesejajaran).
b)
Gaya bahasa dan suasana yang serasi yang turut menusuk
seakan sesuatu drama haruslah diciptakan sebaik – baiknya.
c)
Perlambang atau simbolisme.
Dengan mempergunakan benda – benda atau hal – hal yang nyata. Seorang
penulis kadang – kadang menyampaikan serta mengemukakan ide – ide yang abstrak.
d)
Empati serta jarak estetik (empathy aesthetic distance). Suatu hal yang harus diperhatikan
dalam sastra adalah yang terdapat antara dua kualitas yang dikenal sebagai
empati atau pemahaman apresiasif terhadap sesuatu lakon apabila dia mengalami
secara emosional apa yang diamatinya. Dia menjaga serta memperhatikan jarak
estetik apabila emosi – emosinya muncul sedemikian rupa yang membuatnya sadar
setiap saat bahwa dia hanyalah seorang pemirsah atau pembaca.
1.3 Jenis
– jenis drama
I.
Tragedi
Tragedi adalah
sejenis drama yang mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :
a)
Sebuah lakon sedih, tragis, harus mengenai suatu subyek
yang serius.
b)
Sang pahlawan, tokoh utama harus merupakan persoalan yang
memiliki sifat – sifat kepahlawanan, gagah berani, herois.
c)
Tiada kepercayaan besar yang harus di letakan pada
kesempatan atau kejadian yang kebetulan saja.
d)
Rasa
kasihan dan rasa takut merupakan emosi – emosi
dasar pada lakon itu :kasihan pada tokoh utama dalam penderitaannya, dan takut
kalau – kalau pencobaan yang sama datang pula kepada kita. Dari kekalahan serta
kegagalan itu timbullah katarsis atau
perasaan terharu.
II.
Komedi
Komedi mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :
a)
Lakon ini mungkin mengenai suatu subjek yang serius
ataupun yang ringan, tetapi senantiasa memperlakukan subyeknya pada taraf dan
nada yang ringan.
b)
Lakon ini mengenai peristiwa – peristiwa yang bertaraf
mungkin atau besar kemungkinan terjadi.
c)
Apa – apa yang terjadi muncul dari tokoh, dan bukan dari
situasi.
d)
Gelak tawa yang ditimbulkan oleh lakon ini adalah sejenis
gelak tawa atau kelucuan yang bijaksana.
III.
Melodrama
Melodrama mempunyai cirri – cirri sebagai berikut :
a)
Mengetengahkan serta menampilkan suatu subyek yang
serius, tetapi para tokohnya tidaklah seotentik para tokoh yang terdapat pada
tragedi.
b)
Unsur kesempatan atau kejadian yang kebetulan, ada masuk
kedalamnya.
c)
Emosi atau rasa kasihan memang ditimbulkan, tetapi
cenderung kearah sentimentalitas.
d)
Sang
pahlawan senantiasa memenangkan perjuangan.
Hal –
hal yang harus di perhatikan ialah bahwa sebagai seorang penilai lakon kita
mengetahui perbedaan antara emosi sejati dengan sentimentalitas.
IV.
Frase
Frase
erat hubungannya dengan komedi. Tokoh – tokoh dan insiden – insiden dalam suatu
frace memang dibesar – besarkan, dilebih – lebihkan, dan penekanan lebih
dititikberatkan pada alur ketimbang tokoh.suatu frace mempunyai cirri – cirri
sebagai berikut :
a)
Peristiwa
– peristiwa dan tokoh – tokoh yang terdapat pada lakon ini memang mungkin ada,
tetapi tidak begitu besar kemungkinannya.
b)
Bersifat
episodik, memerlukan kepercayaan hanya pada saat itu saja.
c)
Segala yang terjadi timbul dari situasi, bukan dari
tokoh.
4.2
Interpretasi lisan atau musik
Agar
para siswa dapat dilatih menginterpretasi sepenggal bacaan sastra dengan tepat
secara lisan dan musik, maka para guru terlebih dahulu harus menguasai teori
musik alakadarnya, terutama sekali nada dan tempo.
Agar
pelisanan atau praktek vocal berhasil baik dengan dalam menyajikan sebuah lagu
atau membaca indah sepenggal karya sastra, ada bebrapa hal yang harus
diperhatikan dan dilatih dengan baik, yaitu :
a)
Mambaca
notasi
b)
Pernafasan
dan sikap
c)
Pemenggalan kalimat atas frase (phrasering)
d)
Pengucapan.
Keterampilan di atas tidak
datang dengan sendirinya tetapi harus disertai dengan latihan yang intensif
yang harus dilakukan dengan sabar, tekun, pantang menyerah.
4.3 Narasi pribadi
Kegiatan ini terutama sekali berhubungan dengan
pengisahan cerita atau storytelling.dengan
kegiatan ini para siswa dituntut banyak membaca cerita serta dapat
menceritakannya kembali dengan kata – kata sendiri, dengan gaya bahasa sendiri. Kian banyak cerita yang
dibaca oleh para siswa maka kian mentap pulalah pengertian serta pemahaman
mereka mengenai bentuk dan isi fiksi. Berdasarkan bentuknya fiksi itu di bagi
menjadi lima
golongan yaitu :
a)
Novel (istilah kita roman, dari bahasa Belanda)
b)
Novelette (istilah kita novel, dari bahasa Belanda novella, dari bahasa perancis nouvele yang berarti hal yang baru).
c)
Short
story (cerita pendek)
d)
Short
short story (dapat kita namakan cerita singkat)
e)
Vignette
(dinamakan begitu karena sangat singkat dan hanya memekan tempat sedikit,
vignette (bahasa Prancis)
Berdasarkan
isinya maka dapatlah kita membagi fiksi itu atas :
1.
Impresionisme
2.
Romantik
3.
Realisme
4.
Realism
sebenarnya
5.
Naturalisme
6.
Ekspresionisme
7.
Simbolisme
4.4 Ekspresi tulis
Kegiatan ini terutama sekali direncanakan untuk
memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengekspresikan diri mereka dalam
karya tulis.pada tahap pertama, para siswa berlatih mempraktekkan ekpresi
kreatif dengan cara menulis kembali cerita – cerita yang telah mereka baca.
Pada tahap kedua, para siswa menulis cerita – cerita
dan lakon – lakon asli yang menghubungkan bebrapa aspek sastra dengan
pengalaman – pengalaman pribadi atau situasi – situasi kontemporer. Pada tahap
ketiga,keterampilan tersebut ditingkatkan serta diperhalus dengan upaya
menyuruh serta mendorong para siswa menulis kembali penggalan –penggalan sastra
dan merubah aspek – aspek yang ada kaitannya dengan suasana hati, nada, gaya , mode, atau dampak
cerita.
Dari uraian tadi dapat kita pahami betapa eratnya
hubungan membaca dan menulis. Kian banyak mambaca maka kian banyak pula
informasi yang diperoleh,dan banyak pula hal- hal yang dapat kita
sampaikan,kita ekspresikan kepada orang lain baik secara lisan maupun secara
tulisan.
4.5
Ekspresi visual
Kegiatan in bermula pada tahap pertama dengan cara
menampakan kegiatan – kegiatan yang mamberi kesempatan kapada para siswa untuk
menciptakan suatu karya visual,seperti gambar, yang manggambarkan suatu adegan,
objek, tokoh, ataupun gagasan yang berasal dari bacaan mereka.
Tahap kedua, para siswa menciptakan gambaran –
gambaran visual yang menghubungkan beberapa aspek bacaan mereka dengan
pengalaman pribadi. Tahap berikutnya parasa siswa merubah aspek bacaan mereka
melalui gambaran – gambaran visual.
4.6
Aneka tujuan
Dengan kegiatan – kegiatan membaca kreatif ini ada
beberapa tujuan yang hendak kita capai diantaranya :
Tujuan Tingkat A – C (kelas 1 – 2 SD)
i.
Mendramatisasikan
tokoh, perasaan, gagasan.
ii.
Memberikan
interpretasi – interpretasi lisan dan music.
iii.
Mengisahkan
atau menuturkan cerita berdasarkan tokoh atau tema.
iv.
Menulis
cerita berdasarkan tokoh atau tema.
v.
Menciptakan
gambaran visual dari suatu adegan, obyek, tokoh,atau gagasan.
Tujuan Tinggkat D – E (kelas 3 – 4 SD)
i.
Mendramatisasikan
tema dari karya sastra dalam hubungannya dengan pengalaman pribadi.
ii.
Menyajikan interpretasi – interpretasi lisan dan musik.
iii.
Menciptakan cerita asli mengenai pengalaman pribadi
berdasarkan karya sastra.
iv.
Menulis
cerita atau lakon yang menghubungkan beberapa aspek sastra dengan pengalaman pribadi.
v.
Menciptakan
gambaran visual yang menerapkantema tertentu dari karya sastra kepada
pengalaman – pengalaman pribadi.
Tujuan Tingkat F – G (kelas 5 – 6 SD)
i.
Memenfaatkan drama untuk merubah isi sastra menjadi mode,
suasana hati, atau sudut pandang yang berbeda.
ii.
Merubah mode, suasana hati, atau sudut pandang melalui
interpretasi – interpretasi lisan dan musik.
iii.
Menciptakan cerita dengan cara mengubah mode, suasana
hati, atau sudut pandang.
iv.
Menulis kembali sepenggal karya sastra dengan merubah
mode, suasana hati, atau sudut pandang seperkunya.
v.
Menciptakan gambaran visual bebrapa aspek sastra yang
mengubahnya menjadi mode, suasana hati, atau sudut pandang yang berbeda dari
semula.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan ; Henry Guntur. 1983.
Membaca Ekspresif. Bandung : Penerbit Angkasa.
No comments:
Post a Comment