Pendahuluan
Kata- kata atau leksem- leksem dalam setiap bahasa dapat
dikelompokan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik
yang memiliki kata- kata itu. Umpamanya, kata-kata kuning,merah,hijau,biru dan
ungu berada dalam satu kelompok, yaitu kelompok warna, sebaliknya, setiap kata
atau leksem dapat pula dianalisis unsur-unsur maknanya untuk mengetahui
perbedaan makna antara kata terdebut dengan kata lainnya yang berbeda dalan
satu kelompok. Misalnya mayat dan bangkai berada dalam satu kelompok, yang
perbedaannya terletak pada bahwa mayat memiliki unsur makna /+manusia/sedangkan
bangkai memiliki unsur makna /manusia/, alias bukan manusia.
Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata
yang berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Sedangkan
usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur-unsur makna yang dimilinya
disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga
analisis ciri-ciri leksikal.
1.1 Medan Makna
Yang dimaksud dengan medan makna
(semantic demain, semantic field) atau medan
leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan
karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta
tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau
nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna. Banyaknya unsur leksikal dalam
satu medan
makna antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama besarnya, karena hal tersebut berkaitan erat
dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Medan warna dalam bahasa
Indonesia mengenal nama-nama merah cokelat, biru, hijau, kuning, abu-abu, putih
dan hitam dengan catatan, menurut fisika, putih adalah campuran berbagai warna
sedangkan hitam adalah tak berwarna untuk menyatakan nuansa warna yang berbeda,
bahasa Indonesia memberi keterangan perbandingan seperti merah darah, merah
jambu dan merah bata. Bahasa Inggris mengenal 11 warna dasar yaitu white, reed,
green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Sedangkan dalam
bahasa hunanco, salah satu daerah di Filipina, hanya terdapat empat warna yaitu
(ma) biru, yakni warna hitam dan warna gelap lainya.(ma) langit,yakni warna
putih dan warna cerah lainya,(ma) rarar, yakni kelompok warna merah; dan (ma)
latuy yakni warna kuning, hijau muda, dan coklat muda.
Jumlah nama atau istilah perkerabatan juga tidak sama banyaknya
antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainya, malah bisa konsep penamaanya
berbeda, dalam bahasa Indonesia dikenal nama kakak dan adik yaitu orang yang
lahir dari orang yang sama bahasa Inggris menyebut orang yang lahir dari ibu
yang sama dengan istilah brother dan sister. Di sini jelas perbedaan konsep
penamaannya: bahasa indonesia berdasarkan usia, lebih tua atau lebih muda;
sedangkan bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin, lelaki atau perempuan dalam
dialek Melayu Jakarta ada kombinasi 2 konsep itu, meskipun tidak lengkap, yakni
disamping ada abang ‘saudara laki-laki yang lebih tua’, ada juga mpo ‘saudara
perempuan yang lebih tua’, dan adik ‘saudara lebih muda baik laki-laki maupun
perempuan’.
Berapa banyak kelompok medan
makna yang dapat dibuat dari setiap bahasa? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab
dengan menyebut jumlah angka yang pasti, sebab pengelompokan kata-kata
berdasarkan medan
maknanya sangat tergantung pada konsep budaya masing-masing masyarakat pemakai
bahasa itu. Di dalam buku Thesaurus of
english word and phrases Clasified and aranged so as to facilitate the
Expression of Ideas and Assist in literacy Composition oleh peter Mark Raget
(1779-1868)terdaftar 1042 kelompok medan makna yang keseluruhannya terdiri
dari 250.000 kata dan frase. Namun, dalam studi medan makna ini, seperti yang dilakukan Nida
(1974 dan 1975 ), kata-kata biasanya dibagi atas 4 kelompok, yaitu kelompok
bendaan (entiti), kelompok kejadian/ peristiwa (event), kelompok abstrak, dan
kelompok relasi. Anggota kelompok bendaan dan peristiwa tampaknya tidak
terbatas, tetapi dua kelompok yang terakhir bersifat terbatas.
Kata – kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan hubungan
semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan
kolokasi dan medan
set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik yang yang dapat antara
kata-kata atau unsur –unsur leksikal itu. Umpamanya, dalam kalimat.
Ø (51) Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai,lalu perahu
itu digulung ombak dan tenggelam beserta segala isinya.
Kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai ombak, dan
tenggelam yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu tempat atau
lingkungan yang sama. Dalam hal ini lingkungan kelautan. Contoh lain, kata-kata
cabe, bawang, terasi, garam, merica, dan lada berada dalam satu kolokasi, yaitu
yang berkenaan dengan bumbu dapur.
Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik, karena sifatnya
yang linear, karena sifatnya yang linear, maka kelompok set menunjuk pada
hubungan paragdimatik, karena kata- kata yang berada dalam satu kelompok set
itu saling bisa disubsitusikan. Sekelompok makna yang merupakan satu set
biasanya mempunyai kelas yang sama, dan tampaknya juga merupakan satu kesatuan.
Setiap kata dalam set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan
anggota-anggota lain dalam set itu. Umpamanya, kata remaja merupakan tahap
perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Sedangkan kata-kata yang satu set
dengan remaja dan sejuk dibagankan adalah menjadi sebagai berikut.
Ø (52) Manula/lansia terik terik
Dewasa panas
Remaja hangat
Kanak-kanak sejuk
Bayi dingin
Pengelompokan kata atas kolokasi dan set ini besar artinya bagi kita
dalam memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa.
Namun, pengelompokan ini sering kurang jelas karena adanya ketumpangtindihan
unsur-unsur leksikal yang dikelompokan itu. Umpamanya, kata candi dapat masuk
kelompok medan makna pariwisata, dan bisa juga
masuk kelompok medan
makna kesejarahan. Selain, itu pengelompokan kata atas medan makna ini tidak memperdulikan adanya
nuansa makna, perbedaan makna denotasi dan konotasi. Umpamanya, kata remaja
dalam contoh diatas hanya menunjuk pada
jenjang usia ,padahal kata remaja itu memiliki juga makna “belum dewasa,
keras kepala, bersikap kaku, suka mengganggu dan membantah, serta mudah berubah
pikiran, sikap, dan pendapat. Jadi, pengelompokan kata atas medan makna ini hanya bertumpu pada makna
dasar, makna denotatif, atau makna pusatnya saja.
1.2 Komponen
Makna
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna.
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang
disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen
makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu ,
berdasarkan “pengertian-pengertian “ yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah
memiliki komponen makna /+manusia/,
/+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/, dan
/+punya anak/; dan kata ibu memiliki komponen makna /+manusia/,
/+dewasa/, /-jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/. Kalau dibandingkan komponen
kata ayah dan ibu adalah tampak sebagai bagan (53) berikut
(53)
NO
|
KOMPONEN
MAKNA
|
AYAH
|
IBU
|
1
|
MANUSIA
|
+
|
+
|
2
|
DEWASA
|
+
|
+
|
3
|
JANTAN
|
+
|
-
|
4
|
KAWIN
|
+
|
+
|
5
|
PUNYA ANAK
|
+
|
+
|
Keterangan : tanda + berarti memiliki
komponen makna tersebut, dan tanda – berati tidak memiliki komponen makna itu
Dari bagan tersebut
terlihat bahwa beda makna ayah dan ibu hanyalah pada
komponen makna/ jantan/: ayah memiliki komponen makna itu, sedangkan ibu tidak
memilikinya untuk lebih jelas, perhatikan analisis komponen makna lima buah kata Inggris
man, woman, boy, girl, dan bull.
(54)
NO
|
KOMPONEN MAKNA
|
MAN
|
WOMAN
|
BOY
|
GIRL
|
BULL
|
1
|
MANUSIA
|
+
|
+
|
+
|
+
|
-
|
2
|
DEWASA
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
3
|
JANTAN
|
+
|
-
|
+
|
-
|
±
|
Tampak terlihat bahwa man, woman, boy, dan girl memiliki komponen
makana/+manusia/, sedangkan bull tidak memiliki komponen makna itu. Lalu, man
dan oman
meiliki kompeonen makna /+dewasa/, sedangkan boy, girl dan bull tidak memiliki
kompoenen makan tersebut. Selanjutnya terlihat bahwa man dan boy memilikomponen
makna /+jantan/, sedangkan woman dan girl tidak memiliki komponen makna
tersebut; dan bull bisa memiliki bisa juga tidak meiliki, sebab bull termasuk
jantan dan betina.
Kalau kita bandaingkan kata Inggris boy, girl, child, dan kata Indonesia
anak, maka akan tampak perbedaan maknanya sebagai mana terpampang pada bagan berikut
:
(52)
NO
|
KOMPONEN MAKNA
|
BOY
|
GIRL
|
CHILD
|
ANAK
|
1
|
MANUSIA
|
+
|
+
|
+
|
+
|
2
|
DEWASA
|
-
|
-
|
-
|
±
|
3
|
JANTAN
|
+
|
-
|
±
|
±
|
Tampak, bahwa boy, girl, child dan anak memiliki komponen makna
/+manusia/; bedanya boy, gilr, dan child memiliki komponen makna /-dewasa/,
sedangkan anak memiliki komponen makna /±dewasa/. Jadi kata anak dalam bahasa
Indonesia bisa dewasa tetapi juga belum dewasa. Beda
lain, boy memiliki komponen makna /+
jantan/, girl memiliki komponen makan
/-jantan/; sedangkan child dan anak
sama-sama memiliki komponen makna /±jantan/. Oleh karena itu, bila kita akan
menerjemahkan kata Inggris boy dan
girl ke dalam bahasa Indonesia ,
maka haruslah pada kata anak itu ditambahkan atribut laki-laki menjadi anak
laki-laki untuk boy; dan ditambah
atribut perempuan menjadi anak perempuan untuk girl. Penambahan ini perlu dilakukan karena kata anak dalam bahasa
Indonesia itu belum memiliki komponen makna/ + jantan/ maupun/ -jantan/.
Bagaimana kalau kita kalau kita harus menerjemahlan kata anak ke dalam bahasa
Inggris? Dalam hal ini haruslah dilihat dari konteksnya; mungkin harus menjadi boy, menjadi girl, atau pun menjadi child.
Analisis komponen
makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang
bersinonim. Umpamanya, kata ayah dan bapak adalah dua buah kata yang bersinonim
dalam bahasa Indonesia .
Lalu, seperti telah dikatakan bahwa dua buah kata yang bersinonim maknanya
tidak persis sama. Oleh karena itu, kata ayah dana
bapak pun, meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya. Di manakah letak bedanya itu? Kalau kita analisis
komponen makna yang dimiliki kata bapak dan ayah akan terlihat sebagai berikut
:
NO
|
|
AYAH
|
BAPAK
|
1
|
MANUSIA
|
+
|
+
|
2
|
DEWASA
|
+
|
+
|
3
|
|
+
|
+
|
4
|
|
-
|
+
|
Dari bagan itu terlihat bahwa kata ayah dan bapak sama-sama memiliki
komponen makna 1 sampai 3; bedanya, lata ayah tidak memiliki komponen nomor 4,
sedangkan kata bapak memiliki komponen makna itu. Dengan demikian, Anda bisa
melihat beda makna kata ayah dan bapak yang hakiki,
yang menyebabkan kata bapak dalam ujaran (57) berikut tidak dapat ditukar
dengan kata ayah.
Ø Kami menghadap Bapak Gubernur Upin di kantornya.
Kegunaan analisis
komponen yang lain ialah untuk menembus prediksi makna-makna gramatikal afiksasi,
reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia . Umpamanya, proses
afikssasi dengan prefiks me- pada nomina yang memiliki komponen makna/ +alat/,
akan mempunyai makna gramatikal ‘melakukan tindakan dengan alat (yang disebut
kata dasarnya)’, seperti terdapat pada menggergaji, memahat, menombak, dan
menggali. Proses afiksasi dengan prefiks me- terhadap nomina yang memiliki
komponen makna/ +sifat, atau cirri khas/, akan mempunyai makna gramatikal
‘menjadi atau berbuat seperti (yang disebut kata dasar)’. Misalnya, membeo,
mematung, membaja, dan membatu. Proses afiksasi dengan prefis me- pada nomina
yang memiliki komponen makan/ +hasil olahan/ akan memiliki makna gramatikal
‘membuat yang disebut kata dasarnya’. Misalnya, menyambal, menggulai, dan
menyate. Sedikit catatan mengenai kata mematung; di dalam buku-buku pelajaran
tata bahasa dikatakan mempunyai makna (1) menjadi atau berlaku seperti patung,
dan (2) membuat patung. Adanya dua makna gramatikal ini karena komponen makna
yang dimiliki kata patung adalah memang (1) memiliki sifat atau cirri khas, dan
(2) hasil olahan. Jadi komponen makna (1) memberikan makna gramatikal (1), dan
komponen makna (2) memberikan makna gramatikal (2)
Bahwa analisis
komponen ini dapat digunakan untuk meramalkan makna gramatikal, dapat juga kita
lihat pada proses reduplikasi dan proses komposisi. Dalam proses reduplikasi,
yang terjadi pada dasar verba yang memiliki
komponen makna/+sesaat/ memberi makna gramatikal ‘berulang-ulang’
seperti pada memotong-motong, memukul-mukul, dan menendang-nendang. Sedangkan
pada verba yang memiliki komponen makna/+bersaat/ akan memberi makna gramatikal
‘dilakukan tanpa tujuan’, seperti pada membaca-baca, mandi-mandi, dan
duduk-duduk. Jadi, dalam proses reduplikasi itu terlihat verba yang memiliki
komponen makna/ +sesaat/ mempunyai makna gramatikal yang berbeda dengan verba
yang memiliki komponen makna/-sesaat/
Dalam proses
komposisi, atau proses penggabungan leksem dengan leksem, terlihat juga bahwa
komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasar yang terlibat dalam prose situ
menentukan juga makna gramatikal yang dihasilkannya. Misalnya, makna gramatikal
‘milik’ hanya dapat terjadi apabila konstituen kedua dari komposisi itu
memiliki komponen makna/ +manusia/, atau /+dianggap manusia/. Misalnya, sepeda
Dika, rumah paman, dan mobil kantor . Jika tidak
memiliki komponen makna itu, maka makna gramatikal ‘milik’ tidak akan
muncul.misalnya, bulu kucing bukan bermakna gramatikal ‘bulu milik kucing’,
melainkan ‘bulu dari kucing’. Dalam buku C.A. Mess (1954) ada konstruksi
lukisan Yusuf yang dikatakan bermakna ganda, yakni (1) lukisan milik Yusuf, (2)
lukisan karya Yusuf, atau Yusuf yang dibuat, dan (3) lukisan wajah Yusuf, atau
Yusuf jadi objek lukisan itu.
Dengan menggunakan analisis komponen makna terhadap kata Yusuf hal
tersebut dapat dijelaskan. Jika kita butiri komponen maknanya, maka dapat
disebutkan bahwa Yusuf memiliki komponen makna /+manusia/; dan mempunyai
kemungkinan memiliki komponen makna /+pelukis/, /+kolektor/, dan /+objek
lukisan/. Disebut mempunyai kemungkinan karena kita tidak mengenal, apakah
Yusuf memang pelukis, memang kolektor, atau memang juga objek lukisan. Kalau
kita bandingkan dengan Basuki Abdullah, maka sudah jelas bahwa Basuki Abdullah
memang memiliki komponen makna /+pelukis/; dan kalau dibandingkan dengan Bung
Karno maka sudah jelas bahwa Bung Karno adalah kolektor lukisan; akhirnya,
kalau kita bandingkan dengan banteng tidak memiliki komponen makna /+pelukis/
dan /+kolektor/. Yang mungkin banteng hanya memiliki kemungkinan makna /+objek
lukisan/. Perhatikan bagan berikut, dengan catatan komponen makna yang mungkin
ditulis dalam tanda kurung.
NO
|
|
YUSUF
|
|
BUNG KARNO
|
BANTENG
|
1
|
MANUSIA
|
+
|
+
|
+
|
-
|
2
|
PELUKIS
|
(+)
|
+
|
(+)
|
-
|
3
|
KOLEKTOR
|
(+)
|
(+)
|
+
|
-
|
4
|
|
(+)
|
(+)
|
(+)
|
(+)
|
Karena konstituen Yusuf dalam komposisi lukisan Yusuf memiliki
kemungkinan bentuk mempunyai komponen makna /+pelukis/, /+kolektor/, /+objek
lukisan/, maka kemungkinan pada lukisan Yusuf untuk bermakna gramatikal
‘milik’, ‘karya’, dan ‘objek’ menjadi mungkin. Konstituen
Basuki Abdullah
pada lukisan Basuki
Abdullah , jelas mempunyai komponen
makna /+pelukis/ karena beliau memang seorang pelukis; tetapi juga mempunyai komponen
makna /+kolektor/ dan /+objek lukisan/. Oleh karena itu, komposisi lukisan Basuki Abdullah
sudah jelas akan memiliki makna gramatikal ‘karya’. Konstituen Bung Karno pada
komposisi lukisan Bung Karno, jelas memiliki komponen makna /+kolektor/, karena
beliau memang terkenal sebagai kolektor lukisan; tetapi di samping itu
mempunyai kemungkinan juga untuk memiliki komponen makna /+pelukis/ dan /+objek
lukisan/. Oleh karena itu, komposisi lukisan Bung Karno jelas akan memiliki
makna gramatikal ‘milki’, meskipun makna ‘karya’ dan ‘objek’ juga mungkin.
Akhirnya, konstituen banteng pada komposisi lukisan banteng jelas hanya akan
memiliki makna gramatikal ‘objek’, sebab konstituen banteng itu hanya mungkin
memiliki komponen makna /+objek lukisan/; dia tidak mempunyai kemungkinan untuk
mempunyai komponen makna /+pelukis/ maupun /+kolektor/.
Sekadar catatan
tambahan, analisis makna dengan mempertentangkan ada (+) atau tidak adanya (-)
komponen makna pada sebuah butir leksikal disebut analisi biner, analisis
dua-dua. Analisis ini berasal dari studi fonologi yang dilakukan Roman Jakobson dan Morris Halle .
Dalam laporan penelitiannya yang berjudul Preliminaries to Appech Analysis: The
Distinctive Features and their Correlates (1951), mereka memberi tanda (+)
untuk bunyi mengandung suatu cirri fonologis, dan memberi tanda (-) untuk yang
tidak mempunyai cirri itu. Umpamanya, bunyi /p/, /b/, /t/, /d/ memiliki
cirri-ciri sebagai tampak dalam bagan berikut.
NO
|
|
p
|
b
|
t
|
d
|
1
|
HAMBAT
|
+
|
+
|
+
|
+
|
2
|
BILABIAL
|
+
|
+
|
-
|
-
|
3
|
BERSUARA
|
-
|
+
|
-
|
+
|
Kemudian, oleh Chomsky (1965) prinsip-prinsip analisi yang dilakuakn Roman Jakobson
dan para ahli antropologi itu digunakan untuk memberi cirri-ciri gramatikal dan
cirri-ciri semantic terhadap semua morfem dalam daftar morfem yang melengkapi
tata bahasa generatif transformasinya. Umpamanya, kata boy oleh Chomsky
diberi cirri /+nomina, +insane, +terhitung, + konkret, +bernyawa/; kata dog
diberi cirri /+nomina, insane, +terhitung, + konkret, -bernyawa-nyawa/; dan kata spirit diberi cirri /+nomina, -insan,
-terhitung, -konkret, -bernywa/. Dengan memberi cirri-ciri seperti itu pada
setiap butir leksikal, maka akan dapat dijelaskan berterima atau tidaknya
sebuah kalimat, baik secara leksikal maupun gramatikal.
Kesesuaian Semantik dan
Sintaktik
Telah disebutkan
bahwa berterima tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal, tetapi
juga masalah semantik. Kalau kita amati keempat
kalimat berikut akan tampat perbedaan ketidakberterimaannya.
Ø (60) Kambing yang Pak
Ipin terlepas lagi.
Ø (61) Segelas kambing minum setumpuk air.
Ø (63) Kambing itu membaca komik.
Ø (64) Penduduk DKI Jakarta sekarang ada 50 juta orang.
Ketidakberterimaan kalimat (60) tersebut adalah karena kesalahan
gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Ipin .
Konjungsi yang tidak dapat menggabungkan nomina dengan nomina; tetapi dapat
menggabungkan nomina dengan ajektifa. Misalnya, menjadi kambing yang besar,
atau kambing yang kurus. Lagi pula dalam konstruksi yang menyatakan milik tidak
perlu menggunakan konjungsi yang maka, kalimat itu menjadi benar kalau
dikatakan seperti kalimat (60a) berikut.
Ø (60a) Kambing Pak Ipin terlepas lagi
Kalimat (61) tersebut tidak berterima bukanlah karena kesalahan gramatikal,
tetapi karena kesalahan persesuaian leksikal. Seharusnya bukan ‘segelas
kambing, melainkan seekor kambing’. Begitu juga bukan ‘setumpuk air, melainkan
segelas air atau seember air’. Jadi kalimat (61) itu akan menjadi berterima
kalau dibuat menjadi kalimat (61a) berikut.
Ø (61a) Seekor kambing minum seember air.
Ketidakberterimaan kalimat (62) tersebut adalah karena tidak ada
persesuaian semantic antara kambing sebagai pelaku dengan kata membaca sebagai
perbuatan yang dilakukan kambing itu. Terakhir, kalimat (63) itu tidak
berterima adalah karena kesalahan informasi. Dewasa ini penduduk DKI Jakarta
hanya ada 8 juta orang, bukan 50 juta orang.
Bagaimanakah dengan
kalimat (62) menurut Chafe (1970) inti sebuah kalimat adalah pada predikat atau
verba. (Karena dalam bahasa Inggris predikat selalu berupa verba, maka Chafe
menganggap predikat sama dengan verba). Menurut teori Chafe, verbalah yang
menentukan kehadiran konstituen lain dalam sebuah kalimat. Kalau verbanya
berupa kata kerja membaca, maka dalam kalimat itu akan hadir sebuah subjek
berupa nomina pelaku dan berkomponen makna /+manusia/. Mengapa? Karena verba
membaca berkomponen makna /+manusia/. Selain itu, juga harus hadir sebuah objek
berupa nomina yang memiliki komponen makna /+bacaan/ atau /+tulisan/, sebab verba
menbaca juga memiliki komponen makna /+bacaan/ atau /+tulisan/. Perhatikan
bagan berikut :
Ø (64) subjek predikat
objek
/+nomina/ membaca /+nomina/
/+manusia/ /+manusia/ /+bacaan/
/+bacaan/
nenek membaca komik
+nomina +verba +nomina
+manusia +manusia +bacaan
+bacaan
Ø (65) kambing membaca komik
+nomina +verba +nomina
-manusia +manusia +bacaan
+bacaan
Ø (66) kambing membaca meja
+nomina +verba +nomina
-manusia manusia -bacaan
+bacaan
Dari bagan tersebut
dapat dilihat bahwa kalimat (64) Nenek membaca komik berterima karena antara
kata nenek dan membaca ada persesuaian semantic, dan antara kata membaca dan
komik juga ada persesuaian semanatis itu. Kalimat kambing membaca komik tidak
berterima, karena antara kata membaca dan kambing tidak ada persesuaian semantic;
membeca berciri makna /+manusia/ sedangkan kambing berciri makna /-manusia/.
Begitu juga dengan kalimat (66) tidak berterima karena tidak ada persesuaian
semantic sama sekali antara kata membaca dan kambing, dan antara kata membaca
dengan meja.
Analisi perseuaian
semantic dan sintaktis ini tentu saja harus memperhitungkan komponen makna kata
secara lebih terperinci. Misalnya, kalimat (67) dan (68) sama-sama dapat
diterima, meskipun seubjeknya yang pertama berciri /+manusia/ dana yang kedua berciri /-manusia/, karena verbanya,
yaitu makan, memiliki komponen makna /+mahluk hidup/, yang bisa berlaku untuk
manusia dan binatang .
Ø (67) Nenek makan dendeng.
Ø (68) Kucing makan dendeng.
Bagaimana dengan kalimat (69) berikut, yang juga bisa diterima,
padahal jelas rumput itu bukan makanan?
Ø (69) Kambing itu makan rumput.
Selain dipergunakan
keterperincian analisis, masalah metafora tampaknya juga perlu disingkirkan,
sebab kalimat-kalimat metaforis seperti (7) dan (71) adalah berterima.
Ø (70) Bangunan itu menelan biaya 100 juta rupiah.
Ø (71) Pak
Lurah kami dituduh makan duit
rakyat.
KESIMPULAN
Yang dimaksud
dengan medan makna (semantic demain, semantic
field) atau medan
leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan
karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam
semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga,
atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna.
Setiap kata,
leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh
setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna),
yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis,
dibutiri, atau disebutkan satu persatu , berdasarkan “pengertian-pengertian “ yang
dimilikinya.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum , Jakarta :
Rineka Citra
Poerwadaminta ,W.J.S, 1976. Kamus Umum
Bahasa Indonesia . Jakarta : Departemen
No comments:
Post a Comment