BAB I
Pengertian Etika dan Etika Profesi
- Pengertian Etika dan
Etika Profesi
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watakkesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etikaakan berkaitan dengan konsep yang dimiliki olehindividu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai”the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”.
etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat danditerapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial(profesi) itu sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelasakan diperlukan untuk menjaga martabat sertakehormatan profesi, dan di sisi lain melindungimasyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupunpenyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaandari masyarakat, bilamana dalam diri para elitprofesional tersebut ada kesadaran kuat untukmengindahkan etika profesi pada saat mereka inginmemberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakatyang memerlukannya.
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang
berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etikatidak mempersoalkan keadaan
manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundangundangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.
Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundangundangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.
2. Etika dan Etiket
Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Persamaan antara etika denganetiket yaitu: etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilahtersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenaibinatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusiadan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.
Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Persamaan antara etika denganetiket yaitu: etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilahtersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenaibinatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.
Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi norma bagi perilaku manusiadan dengan demikian menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.
3. Perbedaan antara etika
dengan etiket
1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan
manusia. Etiket menunjukkancara yang
tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalamsebuah kalangan
tertentu. Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika
memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah
sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan.
Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjamharus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjamharus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak
sopan dalam sebuahkebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “janganmencuri”
merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
4. Etiket
hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika memandang
manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanyalembut, memegang etiket
namun menipu. Orang dapat memegang etiketnamun munafik sebaliknya seseorang
yang berpegang pada etika tidakmungkin munafik karena seandainya dia munafik
maka dia tidak bersikapetis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang
sungguh-sungguh baik.
4. Etika dan
Ajaran Moral
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapatpada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakanrumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaranmoral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khasyaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moralmelainkan menyelidiki bagaimana pandangan moralyang sebenarnya).
Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapatpada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakanrumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaranmoral. Etika merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khasyaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moralmelainkan menyelidiki bagaimana pandangan moralyang sebenarnya).
5. Pluralisme moral diperlukan karena:
1. Pandangan moral yang berbeda-beda karena
adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam
struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yangakibatnya menantang pandangan moral
tradisional;
3. Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai
penuntun kehidupan, masing-masing denganajarannya sendiri tentang bagaimana manusia
harus hidup.
Etika sosial dibagi menjadi: Sikap
terhadap sesama; Etika keluarga; Etika profesi, misalnya etika untuk
dokumentalis, pialang informasi; Etika politik; Etika lingkungan hidup; serta
Kritik ideologi.
6. Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan
tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia.
Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah
tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada
perbedaan antara kebaikan moral dankebaikan pada umumnya. Kebaikan moral
merupakan kebaikanmanusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya
merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnyasebagai suami
atau isteri. Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun,
segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas
dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau
gabungan dari beberapa sumber.
7. Etika dan Moralitas
Etika bukan sumber tambahan
moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral.
Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif.
Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.
Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif.
Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.
8. Etika dan Agama
Etika tidak dapat menggantikan
agama. Agama merupakan hal yang tepatuntuk memberikan orientasi moral. Pemeluk
agama menemukan orientasidasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu
memerlukanketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan
sekadarindoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:
1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya
rasional. Ia tidak puasmendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia
juga inginmengerti mengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantumenggali
rasionalitas agama.
2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam
wahyu mengizinkaninterpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan masyarakat makaagama menghadapi masalah moral yang secara
langsung tidak disinggungsinggung dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi
manusia dengan gen yang sama.
4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran
moral. Etika mendasarkan diripada argumentasi rasional semata-mata sedangkan
agama pada wahyunya sendiri. Oleh karena itu ajaran agama hanya terbuka pada
mereka yangmengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua
agamadan pandangan dunia.
Istilah
yang Berkaitan
Kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopansantun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompokdengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusiahidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau ditengah hutan. Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnyatidak etis menanyakan usia pada seorang wanita. Ethos artinyasikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapanethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasaryang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalammenjalankan tugasnya.
Kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah ajaran sopansantun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompokdengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusiahidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau ditengah hutan. Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnyatidak etis menanyakan usia pada seorang wanita. Ethos artinyasikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapanethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasaryang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalammenjalankan tugasnya.
BAB II
Kode Etik Jurnalistik
Wartawan adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah
seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah
pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut,
sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:
1. Harus terdapat kebebasan dalam
pekerjaan tadi.
2. Harus ada panggilan dan keterikatan
dengan pekerjaan itu.
3. Harus ada keahlian (expertise).
4. Harus ada tanggung jawab yang
terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal
tersebut.
- Wartawan memiliki kebebasan yang
disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers
menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan
penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi
kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena
maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian, kebebasan
di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat
1).
Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers
sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih
banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para
jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya
pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan
sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list
sejumlah penulis yang tidak disukainya.
- Jam kerja wartawan adalah 24 jam
sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan
bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus
terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan
pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja
dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang
pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan
orang-orang ternama.
- Wartawan memiliki keahlian tertentu,
yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian
dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
- Wartawan memiliki dan menaati Kode
Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam
penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah
Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan
Pers.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali
dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain
menetapkan.
- Berita diperoleh dengan cara yang
jujur.
- Meneliti kebenaran suatu berita atau
keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
- Sebisanya membedakan antara kejadian
(fact) dan pendapat (opinion).
- Menghargai dan melindungi kedudukan
sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang
wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang
yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
- Tidak memberitakan keterangan yang
diberikan secara off the record (for your eyes only).
- Dengan jujur menyebut sumbernya
dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan,
untuk kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi
dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”,
yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan
yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul
selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus
1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan
menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya
mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
- Wartawan Indonesia menghormati hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
- Wartawan Indonesia menempuh tatacara
yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan
identitas kepada sumber informasi.
- Wartawan Indonesia menghormati asas
praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang,
dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
- Wartawan Indonesia tidak menyiarkan
informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak
menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
- Wartawan Indonesia tidak menerima
suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
- Wartawan Indonesia memiliki Hak
Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the
record sesuai kesepakatan.
- Wartawan Indonesia segera mencabut
dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik
yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers
sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers
No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode
Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak
masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa
menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas
wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut
sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang
dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari
semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan
posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi
secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers
adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a.
Independen berarti memberitakan
peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan,
paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai
keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c.
Berimbang berarti semua pihak
mendapat kesempatan setara.
d.
Tidak beritikad buruk berarti tidak
ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
- Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
- Menghormati hak privasi;
- Tidak menyuap;
- Menghasilkan berita yang faktual dan jelas
sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto,
suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;
- Menghormati pengalaman traumatik narasumber
dalam penyajian gambar, foto, suara;
- Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan
hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
- Penggunaan cara-cara tertentu dapat
dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan
publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a.
Menguji informasi berarti melakukan
check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b.
Berimbang adalah memberikan ruang
atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c.
Opini yang menghakimi adalah pendapat
pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat
yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d.
Asas praduga tak bersalah adalah
prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul.
Penafsiran
a.
Bohong berarti sesuatu yang sudah
diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta
yang terjadi.
b.
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar
yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c.
Sadis berarti kejam dan tidak
mengenal belas kasihan.
d.
Cabul berarti penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang
semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e.
Dalam penyiaran gambar dan suara dari
arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
Penafsiran
a.
Identitas adalah semua data dan
informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk
melacak.
b.
Anak adalah seorang yang berusia
kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima
suap.
Penafsiran
a.
Menyalahgunakan profesi adalah segala
tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat
bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b.
Suap adalah segala pemberian dalam
bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi
independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang
tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran
Penafsiran
a.
Hak tolak adalak hak untuk tidak
mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan
keluarganya.
b.
Embargo adalah penundaan pemuatan
atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c.
Informasi latar belakang adalah
segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan
tanpa menyebutkan narasumbernya.
d.
“Off the record” adalah segala
informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau
diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras,
warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat
orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a.
Prasangka adalah anggapan yang kurang
baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b.
Diskriminasi adalah pembedaan
perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a.
Menghormati hak narasumber adalah
sikap menahan diri dan berhati-hati.
b.
Kehidupan pribadi adalah segala segi
kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan
publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a.
Segera berarti tindakan dalam waktu
secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b.
Permintaan maaf disampaikan apabila
kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
Penafsiran
a.
Hak jawab adalah hak seseorang atau
sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan
berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b.
Hak koreksi adalah hak setiap orang
untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain.
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
BAB III
Memahami Etika Jurnalistik
1. Memahami
Etika Jurnalistik
Sebelum kita bicara
tentang etika jurnalistik, perlu kita ulas lebih dulu etika profesi. Hal ini
karena jurnalis atau wartawan, seperti juga dokter dan ahli hukum, adalah
sebuah profesi (profession). Apa yang membedakan suatu profesi dengan
jenis pekerjaan lain?
Profesi menurut Webster's
New Dictionary and Thesaurus (1990)
Adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan
khusus dan seringkali juga persiapan akademis yang intensif dan lama. Seorang
dokter ahli bedah, misalnya, sebelum bisa berpraktek membutuhkan pengetahuan
tentang anatomi tubuh manusia dan pendidikan, sekaligus latihan, cukup lama dan
intensif.
Seorang ahli hukum juga harus belajar banyak tentang
ketentuan hukum sebelum bisa berpraktek. Seorang jurnalis juga perlu memiliki
keterampilan tulis-menulis, yang untuk mematangkannya membutuhkan waktu cukup
lama, sebelum bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Contoh-contoh ini membedakan dengan jelas antara profesi
dengan pekerjaan biasa, seperti tukang becak, misalnya, yang tidak membutuhkan
keterampilan atau pengetahuan khusus.
menambahkan, profesi bukanlah sekadar pekerjaan atau
vocation, melainkan suatu vokasi khusus yang memiliki ciri-ciri:
1. Keahlian (expertise)2. Tanggungjawab
(responsibility)3. Kesejawatan (corporateness).
Sedangkan etika (ethics)
adalah suatu sistem tindakan atau perilaku, suatu prinsip-prinsip moral, atau
suatu standar tentang yang benar dan salah. Dengan demikian secara kasar bisa
dikatakan, etika profesi adalah semacam standar aturan perilaku dan moral, yang
mengikat profesi tertentu.
Etika jurnalistik adalah
standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam
melaksanakan pekerjaannya.Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya
untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis
bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak
masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku
keliru dari si jurnalis bersangkutan.
2.
Perumus Kode Etik
Lalu siapa yang berhak
merumuskan Kode Etik Jurnalistik ini? Kode Etik biasanya dirumuskan oleh
organisasi profesi bersangkutan, dan Kode Etik itu bersifat mengikat terhadap
para anggota organisasi.
Misalnya: IDI (Ikatan
Dokter Indonesia) membuat Kode Etik Kedokteran yang mengikat para dokter
anggota IDI. Begitu juga Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), atau Ikahi (Ikatan
Hakim Indonesia), dan seterusnya.Di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), sebagai salah satu organisasi profesi jurnalis, telah merumuskan Kode
Etik sendiri.
AJII bersama sejumlah
organisasi jurnalis lain secara bersama-sama juga telah menyusun Kode Etik
Jurnalis Indonesia, yang diharapkan bisa diberlakukan untuk seluruh jurnalis
Indonesia.Selain organisasi profesi, institusi media tempat si jurnalis itu
bekerja juga bisa merumuskan Kode Etik dan aturan perilaku (Code of Conduct)
bagi para jurnalisnya.
Harian Media
Indonesia, misalnya, sudah memiliki dua hal tersebut.[3] Isinya cukup
lengkap, sampai ke soal "amplop", praktek pemberian uang dari sumber
berita kepada jurnalis, yang menimbulkan citra buruk terhadap profesi jurnalis
karena seolah-olah jurnalis selalu bisa dibeli.
Meskipun disusun oleh
organisasi profesi atau institusi media yang berbeda-beda, di Indonesia atau
pun di berbagai negara lain, isi Kode Etik pada umumnya bersifat universal dan
tak banyak berbeda.
Tentu saja tidak akan ada
Kode Etik yang membolehkan jurnalis menulis berita bohong atau tak sesuai
dengan fakta, misalnya. Variasi kecil yang ada mungkin saja disebabkan
perbedaan latar belakang budaya negara-negara bersangkutan. Untuk gambaran yang
lebih jelas, sebagai contoh di sini disajikan Kode Etik AJI.
3.
Kode Etik Aliansi
Jurnalis Independen (AJI)
1.
Jurnalis menghormati hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Jurnalis senantiasa
mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan
pemberitaan serta kritik dan komentar.
3.
Jurnalis memberi tempat bagi
pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
4.
Jurnalis hanya melaporkan fakta
dan pendapat yang jelas sumbernya.
5.
Jurnalis tidak menyembunyikan
informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
6.
Jurnalis menggunakan cara-cara
yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
7.
Jurnalis menghormati hak nara
sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan
embargo.
8.
Jurnalis segera meralat setiap
pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
9.
Jurnalis menjaga kerahasiaan
sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku
tindak pidana di bawah umur.
10. Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan,
diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi
seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit
mental, atau latar belakang sosial lainnya.
11. Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa
merugikan masyarakat.
12. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan,
kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
13. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya
untuk mencari keuntungan pribadi.
14. Jurnalis dilarang menerima sogokan.
15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
17. Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang
menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
18. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh
Majelis Kode Etik.
4. Majelis Kode Etik
Anggota Majelis ini
dipilih untuk masa kerja dua tahun. Jumlah dan kriteria anggota Majelis ini ditentukan
oleh Kongres AJI. Jika ada anggota Majelis yang tidak dapat melaksanakan
tugasnya, maka pengisian lowongan anggota tersebut ditetapkan oleh Majelis
dengan persetujuan pengurus AJI Indonesia.
5. Tugas Majelis Kode Etik, antara lain:
1.
Melakukan pengawasan dalam
pelaksanaan Kode Etik
2.
Melakukan pemeriksaan dan
penelitian yang berkait dengan masalah pelanggaran Kode etik oleh anggota AJI.
3.
Mengumpulkan dan meneliti
bukti-bukti pelanggaran Kode Etik.
4.
Memanggil anggota yang dianggap
telah melakukan pelanggaran Kode Etik.
5.
Memberikan putusan
benar-tidaknya pelanggaran Kode Etik.
6.
Meminta pengurus AJI untuk
menjatuhkan sanksi atau melakukan pemulihan nama.
7.
Memberikan usul, masukan dan
pertimbangan dalam penyusunan atau pembaruan Kode Etik.
6. Dewan Pers
Selain Majelis Kode Etik
dari AJI, yang cakupan wewenangnya terbatas hanya untuk anggota AJI, di tingkat
nasional juga kita kenal lembaga Dewan Pers, yang salah satu fungsinya adalah
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dewan Pers adalah lembaga
independen yang dibentuk pada 19 April 2000, berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU
No. 40 Tahun 1999, dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional.
Anggota Dewan Pers
terdiri dari 9 (sembilan) orang, yang mewakili unsur wartawan, pimpinan
perusahaan pers, dan tokoh masyarakat yang ahli di bidang pers.Selain
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
Dewan Pers berfungsi
memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.Dewan Pers juga
memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
7. Tugas Dewan Pers adalah:
1.
Memberikan pernyataan penilaian
dan rekomendasi dalam hal terjadinya pelanggaran Kode Etik, penyalahgunaan
profesi, dan kemerdekaan pers.
2.
Keputusan Dewan Pers bersifat
mendidik dan non-legalistik.
3.
Keputusan atau rekomendasi
Dewan Pers dipublikasikan ke media massa.
Harus diingat dan
digarisbawahi di sini bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa
memasukkan jurnalis pelanggar kode etik atau pemimpin redaksi media massa
bersangkutan ke penjara! Keputusan Dewan Pers bukanlah vonis pengadilan.
Artinya, kalangan
masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetap terbuka untuk
menempuh jalur hukum (lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki kekuatan
hukum. Seperti sudah diutarakan di atas, keputusan Dewan Pers bersifat mendidik
dan non-legalistik.
Jika seseorang menjadi jurnalis atau
wartawan ia diharuskan mematuhi Kode Etik Jurnalistik. Ini diatur dalam ayat
(2) Pasal 7 Bab III UU No.40/1999 tentang Pers yang berbunyi: wartawan memiliki
dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
TANGGAPAN SAYA
- Harus diingat dan digarisbawahi di sini bahwa Dewan Pers
bukanlah lembaga pengadilan, yang bisa memasukkan jurnalis pelanggar kode
etik atau pemimpin redaksi media massa bersangkutan ke penjara! Keputusan
Dewan Pers bukanlah vonis pengadilan.
Artinya,
kalangan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tetap terbuka
untuk menempuh jalur hukum (lewat pengadilan), yang keputusannya memiliki
kekuatan hukum. Seperti sudah diutarakan di atas, keputusan Dewan Pers bersifat
mendidik dan non-legalistik.
- Sebuah tulisan yang sangat bagus untuk profesionalisme
wartawan. Tapi sayang…. saat ini di balik layarnya dunia jurnalistik
tercoreng oleh tindakan OKNUM WARTAWAN yang mencari berita sambil mencari
amplop dan saat ini hal ini masih terjadi, sehingga dapat dijamin mereka
jauh dari yang namanya profesional!
Dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh wartawan tanpa suratkabar (WTS), tapi juga media yang mengaku bernaung di bawah perusahaan besar seperti MetroTV, Kompas Group dan lain sebagainya. Kalau ini tidak segera diberantas, maka profesionalisme akan menjadi, maaf, bulshit…………………. - Saya ingin jawab sedikit unek-unek . Begini Pak “Seorang
wartawan atau yang biasa di sebut dengan insan pers itu adalah manusia
biasa yang banyak kekurangan. Perbuatan seperti persoalan yang Saya sampaikan
diatas jika tindakan wartawannya sudah melampaui batas sebaiknya laporkan
ke pihak Berwajib di sertai dengan bukti-bukti yang atentik dan dapat di
percayai. Sebagai masyarakat yang patuh dengan hukum anda juga bisa
melaporkan kejadian tersebut, pasalnya wartawan itu berasal dari masyarakat
dan untuk masyarakat. Perlu Bapak ketahui bahwa berprofesi sebagai
wartawan kehidupannya belum sepenuhnya sejahtera (masih bnyak beban) dan
serba pas-pasan. Sekali lagi jika Bapak menemukan wartawan yang memeras
pejabat atau seorang pengusaha atau siapa saja silahkan di laporkan ke
pihak berwajib, sebab hal ini adalah tanggung jawab kita bersama.
terimakasih…………..
DAFTAR PUSTAKA
1. http : //www.republika.co.id
2. http : //www.pikiran-rakyat.com
3. http : //www.mediaindo.co.id
4. http : //www.google.com
5. http : //www.metrotvnews.com
6. http : //www.yahoo.com
7. http : //the.arinugraha-centre.blogspot.com
No comments:
Post a Comment