Revolusi
di bidang teknologi komunikasi dan informasi ternyata telah
mempengaruhi hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia modern,
termasuk dalam dunia pendidikan dengan munculnya istilah-istilah seperti
e-learning, e-book sampai e-education. Revolusi ini juga
berpengaruh pada paradigma pendidikan akan “tempat” belajar, dimana
gedung sekolah yang berdiri tegak dengan atap dan dinding akan semakin
tak populer karena manusia bisa belajar di mana saja dengan bantuan
teknologi. Di sini yang terpenting adalah interaksi manusia itu dengan
materi pelajaran dan proses terusannya, pemahaman dan penguasaan ilmu.
Di mana (sekolah?) atau kapan (pagi atau siang?) tidak lagi menjadi
pertanyaan penting sebab otak manusia sekarang sudah terbiasa dengan
konsep ruang dan waktu yang bersifat relatif.
Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Belajar
adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang
mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap,
dan berbuat (W. Gulö, 2002: 23). Menurut James O. Whittaker –sebagaimana
dikutip oleh Max Darsono (2000: 4)– belajar dapat diartikan sebagai
proses yang menimbulkan atau merubah perilaku melalui latihan atau
pengalaman. Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh sebuah perubahan
tingkah laku yang menetap, baik yang dapat diamati maupun yang tidak
dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan
atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan (Roziqin, 2007:
62).
Beberapa
pengertian tersebut di atas menunjukkan bahwa belajar bukan hanya
sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang
terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan
perilaku. Aktifitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu
dengan lingkungan yang disadari. Selain itu, Proses belajar pada
hakekatnya juga merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat.
Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar
tidak dapat disaksikan. Manusia hanya mungkin dapat menyaksikan dari
adanya gejala-gejala perubahan perilaku yang tampak. Oleh karena itu,
George R. Knight (1982: 82) menganjurkan lebih banyak kebebasan untuk
berekspresi bagi peserta didik dan lingkungan yang lebih terbuka
sehingga peserta didik dapat mengerahkan energinya dengan cara yang
efektif. Lebih lanjut, peserta didik harus dianggap sebagai makhluk yang
dinamis, sehingga harus diberi kesempatan untuk menentukan harapan dan
tujuan mereka dan guru (pendidik) lebih berperan sebagai penasehat,
penunjuk jalan, dan rekan seperjalanan. Guru bukanlah satu-satunya orang
yang paling tahu. Oleh karena itu, pembelajaran harus berpusat pada
peserta didik (child centered), tidak tergantung pada text book atau metode pengajaran tekstual.
Beberapa
definisi tentang belajar tersebut di atas adalah definisi belajar dalam
arti yang luas. Adapun pengertian belajar yang secara khusus adalah
pengertian belajar yang dikemukakan oleh ahli-ahli yang menganut aliran
psikologis tertentu, dimana para penganut aliran psikologi ini setuju
bahwa hakekat belajar adalah perubahan (Darsono, 2000: 5).
Secara
umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka
pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh
guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke
arah yang lebih baik (Darsono, 2000: 24). Adapun yang dimaksud dengan
proses pembelajaran adalah sarana dan cara bagaimana suatu generasi
belajar, atau dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu secara
efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda dengan proses belajar yang
diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan
mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128).
Berangkat
dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembelajaran
membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh antara guru dan
peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses pembelajaran oleh
peserta didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching)
(Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada
fokus pembelajaran yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik
sehingga proses yang terjadi dapat menjelaskan sejauh mana tujuan-tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh peserta didik.
Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja,
tetapi juga dari segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja
yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan
besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya dengan peserta
didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di
dalam dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9).
Makna Pembelajaran Era Digital
Ketika
ilmu pengetahuan masih relatif terbatas dan penemuan hasil-hasil
teknologi belum berkembang hebat seperti sekarang ini, peran utama guru
di sekolah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan sebagai warisan
kebudayaan masa lalu yang dianggap berguna sehingga harus dilestarikan.
Kondisi demikian ini menjadikan guru lebih berperan sebagai sumber
belajar (learning resources) bagi peserta didik dan mereka akan belajar apa yang keluar dari mulut guru.
Pertanyaannya
sekarang adalah apakah kondisi demikian itu masih tetap dapat
dipertahankan? Apakah ilmu pengetahuan sebagai warisan masa lalu itu
hanya dapat dipelajari dari mulut guru? Tentu saja tidak. Hal ini
dikarenakan dalam abad teknologi dan informasi seperti sekarang ini
peserta didik dapat belajar dimana saja dan kapan saja serta dari
berbagai sumber, sehingga sudah bukan saatnya lagi model banking concept of education, dimana peserta didik dianggap sebagai bejana kosong yang lantas diisi dengan ilmu pengetahuan oleh guru (Freire, 2002: x).
Kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi memang sangat pesat dan telah
merambah banyak aspek kehidupan manusia, namun bukan berarti peran guru
dapat digantikan oleh hebatnya kemajuan teknologi. Bahkan sebaliknya,
peran guru dalam proses pembelajaran menjadi jauh lebih penting, apalagi
ketika manusia begitu memuja teknologi dan sering mengaburkan perbedaan
antara yang nyata dan yang semu (Naisbitt, 2001: 23).
Peran
guru tetap menjadi penting karena seorang guru tidak hanya bertanggung
jawab mengajarkan saja tetapi dalam proses pembelajaran ini seorang guru
juga harus memiliki pengetahuan tentang psikologi peserta didiknya guna
membantu peserta didik dalam menjalani proses belajar. Bukan hanya
dalam mengasah kemampuan peserta didiknya, tetapi juga dalam menelaah
pelajaran, menganalisa, memahami dan memberikan keputusan atas setiap
persoalan. Kondisi demikian ini berarti guru berperan sebagai
fasilitator dan bukan sebagai pihak yang dianggap sebagai sumber ilmu
yang mengerti segalanya sebab peserta didik dapat belajar dari berbagai
sumber yang tersebar tanpa batas, baik dalam dunia nyata maupun dalam
dunia maya (internet).
Melihat
kenyataan tersebut di atas –meskipun zaman telah berubah dan teknologi
informasi juga berkembang pesat– tampaknya secara prinsip tidak ada yang
berubah dari proses pembelajaran kontemporer –seperti misalnya e-learning (pembelajaran elektronik)– bila dibandingkan dengan proses pembelajaran konvensional. Memang ada perbedaan antara praktek e-learning dengan
proses pembelajaran konvensional, tetapi itu hanya sebatas pada media
yang digunakan saja dan bukan pada hal-hal yang prinsip. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih terdapatnya komponen pembelajaran diantara kedua
model pembelajaran tersebut, seperti masih adanya pembelajar,
instruktur/guru/dosen, materi pembelajaran, dan media pembelajaran.
Bahkan kalau dikaji secara mendalam, praktek e-learning yang
dilakukan dengan “saling tukar informasi” antara instruktur/dosen dengan
pembelajar dan antar pembelajar hanya mampu memintarkan (visi
pengajaran) dan membuat orang menjadi lebih terampil (visi pelatihan). E-learning sama sekali tidak membuat manusia menjadi lebih bermoral dan berkarakter atau berbudi pekerti luhur. E-learning hanya
menyentuh dimensi intelektual (kognitif) dari pembelajar serta sedikit
aspek psikomotor, dan belum sampai menyentuh dimensi emosional (afektif)
apalagi dimensi spiritual.
Sebagai sebuah alat, e-learning –karena didukung oleh jaringan internet– merupakan alat yang ampuh dan (telah dan akan) mengubah sikap hidup[1]
banyak orang, terutama karena kemampuannya mempercepat proses-proses
pengajaran (transfer pengetahuan) dan pelatihan. Akan tetapi agaknya
tidak ada fakta dan data yang dapat meyakinkan bahwa hal itu akan
berdampak pada proses pembelajaran yang mengubah hidup[2]
manusia secara keseluruhan (Harefa, 2004: 102). Hal demikian ini
mengingat tujuan dari pembelajaran adalah membantu para peserta didik
agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah
laku peserta didik dapat bertambah, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Tingkah laku yang dimaksud adalah pengetahuan, keterampilan,
dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan
perilaku peserta didik (Darsono, 2000: 26).
Terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki model e-learning, harus pula diakui bahwa e-learning
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan model belajar
konvensional (sekolah/madrasah/pesantren), diantaranya keleluasaan
waktu, kebebasan tempat dan pemilihan bahan yang dipelajari.
Pengembangan e-learning sangat diperlukan untuk menunjang
pembelajaran konvensional serta menyiapkan media untuk menciptakan
lingkungan belajar yang fleksibel, mudah untuk diakses darimana saja dan
kapan saja. Sistem e-learning memungkinkan pembelajar untuk
belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus
secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas.
E-learning sangat tepat sebagai sarana
belajar orang dewasa, bagi peningkatan kemampuan dan pengetahuan para
karyawan dan eksekutif. Bagi anak-anak dan pemuda, yang membutuhkan
dasar-dasar yang kuat bagi belajar selanjutnya, belajar di sekolah
sangat cocok dan sangat diperlukan.
Menurut Sukmadinata (2007: 208), belajar di sekolah memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan e-learning, antara lain:
a. Proses
pendidikan hanya bisa terjadi dalam interaksi langsung, segi-segi
afektif seperti: sikap, nilai, apresiasi, kehalusan perasaan tidak cukup
hanya diberitahukan atau diinformasikan, tetapai harus dihayati dan
ditularkan melalui interaksi langsung.
b. Pengembangan
kemampuan-kemampuan dasar tidak dapat dipelajari sendiri, tetapi
membutuhkan bimbingan, latihan dan pendampingan guru secara langsung.
c. Program
pembelajaran sekolah merupakan bagian dari program pendidikan yang
cukup panjang dan membentuk satu keutuhan pembinaan, mulai dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi.
d. Program
pembelajaran dirancang dalam sebuah kurikulum yang lengkap,
komprehensif dan sistematis mencakup semua tujuan, bahan dan proses
pembelajaran yang harus diberikan atau ditempuh.
Lebih
lanjut, Sukmadinata (2007: 209) menawarkan solusi untuk memadukan
keduanya karena masing-masing memiliki kelebihan dan juga kelemahan. E-learning
dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran dalam pendidikan
di sekolah. Para peserta didik dapat diberi tugas atau mencari sendiri
bahan-bahan pelajaran di internet. Guru sebaiknya telah menyusun program
pembelajaran dengan memasukkan kegiatan e-learning, sebagai pelengkap, pengayaan, atau program terpadu. E-learning dapat
dimasukkan dalam program sekolah, apakah hanya untuk kelompok peserta
didik tertentu sebagai program pengayaan, atau bagi semua peserta didik
sebagai program penunjang atau program terpadu dengan pembelajaran
utama.
Mengacu
pada pandangan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa belajar dapat
dilakukan di kelas dan di luar kelas serta dapat memanfaatkan setiap
sumber belajar yang ada guna mengembangkan segala potensi yang dimiliki
dan mencapai perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Hal
demikian karena hakekat dari belajar adalah pengembangan segala potensi
yang dimiliki melalui segala aktifitas, praktik, dan pengalaman untuk
mencapai perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik.
Adapun
dalam penggunaan istilah, menurut para ahli pendidikan, kata
pembelajaran lebih tepat digunakan dibandingkan dengan kata pengajaran
disebabkan pembelajaran menggambarkan tentang upaya untuk membangkitkan
prakarsa belajar peserta didik. Pembangkitan prakarsa ini memiliki makna
yang signifikan dalam proses pendidikan, sebab disinilah substansi dan
hakekat pendidikan dalam proses transformasi –dalam makna yang luas–
terhadap peserta didik. Pembelajaran tidak hanya memperhatikan pada “apa
yang dipelajari”, tetapi lebih pada “bagaimana membelajarkan
pembelajaran.” (Naim & Patoni, 2007: 67).
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, Max, dkk., 2000, Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press
Gulö, W. , 2002, Strategi Belajar-Mengajar, Jakarta: Grasindo
Roziqin, Muhammad Zainur, 2007, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang: Averroes Press
Knight, George R., 1982, Issues and Alternatives in Educational Philosphy, Cet. XII, Michigan: Andrews University Press
Suryosubroto, B., 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta
Tilaar, H.A.R., 2002, Pendidikan. Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. III, Bandung: Remaja Rosdakarya
Fathurrohman, Pupuh & Sutikno, Sobry, 2007, Strategi Belajar Mengajar melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami, Cet. II, Bandung: Refika Aditama
Freire, Paulo, 2002, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, et.al., Cet. IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harefa, Andrias, 2004, Menjadi
Manusia Pembelajar (On Becoming a Learner); Pemberdayaan Diri,
Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, Cet. VII, Jakarta: Kompas
Naisbitt, John, dkk.., 2001, High Tech-High Touch; Pencarian makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, terj. Dian R. Basuki, Bandung: Mizan
Naim, Ngainun & Patoni, Achmad, 2007, Materi Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (MPDP-PAI), Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya
No comments:
Post a Comment