Sejak awal Indonesia
adalah sebuah negara hukum, maka hukum memang penting. Tetapi lebih penting
lagi adalah bagaimana kita membaca dan memaknai hukumtersebut. Nazi Jerman juga
sebuah negara hukum, tetapi membantai jutaan orang Yahudi dengan sengaja dan
sistematis. Ternyata tipe negara hukum itu dapat bermacam-macam, demokratis,
otoriter, bahkan “monster”.
Pelajaran sejarah tersebut sungguh-sungguh berharga untuk
mencerahkan dan mendewasakan kehidupan umat manusia dalam bernegara hukum. Kita
menjadi tahu bahwa hukum itu hanya bentuk atau wadah yang di dalamnya dapat
diisi dengan seribu macam keinginan dan kepentingan. Bentuk itu tidak berubah
dan tidak ada hubungannya dengan isi. Dunia pasca-holocaust
yang dilakukan negara hukum Nazi Jerman tentunya menjadi lebih cerdas. Memang
itulah yang kemudian terjadi, seperti pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dengan moral kemanusiaan yang baru.
Indonesia lahir sesudah pengalaman dunia yang diciptakan para penguasa negara
hukum Nazi Jerman. Para arsitek UUD1945
tentunya sangat kuat dibayangi oleh kengerian terhadap genosida yang dilakukan
negara hukum Nazi Jerman. Dengan latar belakang itulah kita membaca pikiran
Supomo dan kawan-kawan bahwa Indonesia
adalah sebuah negara hukum bukan negara kekuasaan semata.
Indonesia tidak boleh mengulangi sejarah dan jatuh sebagai negara yang
menggunakan kekuasaanya dengan sewenang-wenang. UUD RI menjawab
dengan kata-kata “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pernyataan tersebut
bersifat histories dan merupakan jawaban bangsa Indonesia terhadap pembantaian
kemanusiaan di dunia yang waktu itu baru saja lewat. Kekuasaan memang penting,
tetapi jangan dibiarkan menjadi liar. Hukum bertugas mengendalikan kekuasaan
tersebut. Hukum tak dapat mengendalikan kekuasaan, kecuali negara hukum itu
memiliki komitmen terhadap moral kemanusiaan.
Dapat dikatakan, negara hukum Indonesia adalah sebuah negara
hukum yang komitmen moral kemanusiaan. Ini masih lebih tinggi daripada sebutan
negara hukum demokratis. Dengan komitmen seperti itu, sudah sepantasnyalah
apabila Indonesia
menawar negara hukum macam apa yang akan dibangun di negeri ini.
Bukan kuantitas
Undang-undang itu memang penting, tetapi janganlah diukur dari
jumlah yang diproduksi. Kuantifikasi perundang-undangan dapat menjerumuskan
kita kepada kediktatoran kalimat undang-undang, padahal UUD 1945 sarat dengan
pesan dan kandungan moral. Konstitusi Indonesia
layak disebut sebagai “konstitusi partisan” yang memihak kepada bagian bangsa Indonesia yang
kurang beruntung. Kata-kata “ sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” adalah sebuah
deklarasi moral yang menyentakan.
Sejak UUD 1945 menyusui (nurture) perundang-undangan
Indonesia
dengan penuh pesan moral kemanusiaan, maka kita belum bernegara hukum dengan
benar apabila pesan-pesan tersebut belum diwujudkan dengan nyata di semua
lembaga negara.
Di dalam
dunia modern undang-undang kita perlukan karena kehidupan sudah menjadi sangat
kompleks sehingga membutuhkan panduan yang jelas. Untuk itulah undang-undang
diperlukan. Kendati demikian, memahami dan menerima undang-undang sebagai suatu
yang final (finite scheme) adalah
kesalahan besar. Cacat undang-undang adalah sebuah kemungkinan besar yang dapat
terjadi.
Oleh karena itu di muka dikatakan bahwa jangan sampai terjadi
kediktatoran perundang-undangan. Hukum sejatinya diciptakan untuk kepentingan
manusia. Di dalam negara hukum Indonesia,
seyogyanya paradigma itulah yang kita pegang, yaitu hukum adalah untuk manusia
bukan sebaliknya.
Maka sungguh celakalah apabila reformasi itu dimaknai sebagai
“reformasi produksi undang-undang” karena bangsa Indonesia tidak akan meningkat
kebahagiaannya dengan cara bernegara
hukum seperti itu.
No comments:
Post a Comment