Sebagai pegawai negeri dan anggota KORPRI tiap guru harus menaati
segala peraturan kepegawaian dalam melakukan tugasnya. Bagi guru ini berarti
bahwa ia harus hadir pada tiap pelajaran agar jangan merugikan murid. Seorang
pegawai administrasi masih dapat mengejar ketinggalannya dengan mengerjakannya
di rumah di luar jam kantor.
Selain peraturan umum bagi pegawai tiap-tiap sekolah mempunyai
peraturan-peraturan khusus tentang berbagai tugas lain yang harus dilakukan
oleh guru seperti membantu administrasi sekolah, tugas piket, membimbing
kegiatan ekstrakulikuler, menjadi anggota HUT sekolah, menjadi wali kelas dan
sebagainya.
Sebagai pengajar ia harus membuat persiapan, memberi dan mememriksa
ulangan, mengabsensi murid, mengahdiri rapat guru, dan sebagainya. Dalam segala
tugas kewajuban ia senangtiasadi bawah pengawasan kepala sekolah yang harus
memberi conduite yang baik agar memperoleh kenaikan tingkat. Dengan sendirinya
guru akan mematuhi tiap peraturan dan intruksi dari atasannya.
Berdasarkan kekuasaan yang dipegang oleh kepala sekolah terbuka
kemungkinan baginya untuk bertindak otoriter. Sikap ini dapat menjelma dalam
sikap otoriter guru terhadap murid. Namun pada umumnya guru menginginkan kepala
sekolah yang demokratis yang mengambil keputusan berdaarkan musyawarah,
walaupun dalam situasi tetentu diinginkan pimpinan yang berani bertindak tegas
dengan penuh otoritas.
Guru-guru cenderung bergaul dengan sesame guru. Guru terikat oleh norma-norma menurut harapan masyarakat yang dapat
menjadi hambatan untuk mencari pergaulan dengan golongan lain yang tidak
dibebani oleh tuntutan-tuntutan tentang kelakuan tertentu. Guru dan sesame guru
mudah saling memahami dan dalam pergaulan antara sesama rekan dapat memelihara
kedudukan dan peranannya sebgai guru. Itu sebabnya guru-guru akan membantu
cliquenya sendiri.
Perkumpulan guru juga menggambarkan peranan guru. PGRI misalnya
bersifat professional yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
sekalipun juga disebut perbaikan nasib guru, namun guru-guru pada umumnya
kurang dapat menerima perkumpulan guru sebagai serikat buruh. Mengajar dan
mendidik sejak dulu dipandang sebagai profesi kehormatan yang tidak semata-mata
ditunjukan kepada keuntungan material. Memperjuangkan nasib melalui perkumpulan
guru dengan menonjolkan soal upah bertentangan dengan hati sanubari guru,
sekalipun ia turut merasa kesulitan hidup sehari-hari.
Lagi pula usaha menggunakan perkumpulan guru sebgai alat
memperjuangkan perbaikan nasib mungkin akan terbendung bila pengurus perkumpulan
itu terpilih dari kalangan kepala sekolah atau mereka yang telah mempunyai
kedudukan yang cukup tinggi karena tidak ingin mendapat teguran dari atasan
itu. Danya perkumpulan guru memberi kesempatan bagi guru untuk lebih
mengidentifikasikan dirinya dengan profesinya.
No comments:
Post a Comment