Peranan guru dalam hubungannya dengan murid bermacam-macam menurut
situasi interaksi social yang dihadapinya, yakni situasi formal dalam proses
belajar-mengajar dalam kelas dan dalam situasi informal.
Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar
anak dalam kelas guru harus sanggup menunjukan kewibawaan atau otoritasnya,
artinya ia harus mempu mengendalikan, mengatur, dan mengontrol kelakuan anak.
Kalau perlu ia dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak belajar,
melakukan tugasnya atau mematuhi peraturan. Dengan kewibawaan ia menegakan
disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses belajar-mengajar.
Dalam pendidikan kewibawaan merupakan syarat mutlak. Mendidik ialah
membimbing anak dalam perkembangannya kea rah tujuan pendidikan. Bimbingan atau
pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan
diperoleh bila pendidik menpunyai kewibawaaan. Kewibawaan dan kepatuhan
merupakan dua hal yang komplementer untuk menjamin adanya disiplin.
Adanya kewibawaan guru dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara
lain :
- Anak-anak sendiri mengharapkan guru yang berwibawa, yang dapat bertindak tegas untuk menciptakan suasana disiplin dan mereka bersedia mengakui kewibawaan itu. Bila ada guru baru, mereka sering menguji hingga manakah kewibawaan guru itu. Mereka lebih senang bila guru menang dalam pengujian kewibawaan guru itu.
- Guru dipandang sebagai pengganti orang tua lebih-lebih pada tingkat SD. Bila di rumah anak itu mematuhi ibunya, maka lebih mudah ia menerima dan mengakui kewibawaan ibu guru.
- Pada umumnya tiap orang tua mendidik anaknya agar patuh kepada guru. Bila guru digambarkan sebagai orang yang harus dihormati, sebagai orang yang berhak menghukum pelanggaran anak, bila orang tua senagtiasa memihak guru dalam semua tindakannya, maka guru lebih mudah menegakan kewibawaaanya.
- Guru sendiri dapat memelihara kewibawaannya dengan menjaga adanya jarak social antara dirinya dengan murid dan berenda-gurau dengan mereka. Sekalipun dalam situasi informal guru harus senangtiasa menjaga kedudukannyasebagai guru dan tidak menjadi salah seorang anggota yang sama dengan anak-anak.
- Guru harus disebut “Ibu Guru” atau “Pak Guru” dan dengan julukan itu memperoleh kedudukan sebagai orang yang dituakan.
- Dalam kelas guru duduk atau berdiri di depan murid. Posisi yang menonjol itu memberikannya kedudukan yang lebih tinggi daripada murid yang harus duduk tertib di bangku tertentu. Ia senangtiasa mengawasi gerak-gerik murid untuk mengontrol kelakuannya. Sebagai guru ia berhak menyuruh murid melakukan hal-hal menurut keinginannya.
- Untuk guru sering disediakan ruang guru yang khusus yang tak boleh dimasuki murid begitu saja.
- Guru-guru muda yang ingin bergaul dengan murid sebagai kakak dan akan dinasihati oleh guru-guru tua yang berpengalaman agar menjaga jarak dengan murid dan jangan terlampau rapat dengan mereka.
- Wibawa guru juga diperolehnya dari kekuasaannya untuk menilai ulang atau ujian murid dan menentukan angka rapor dan dengan demikian menentukan nasib murid, apakah ia naik atau tinggal kelas. Murid maupun mahasiswa sangat menyegani pengajar yang memegang kekuasaan itu. Ada guru yang menyalahgunakan kekuasaan itu dan diberi julukan “killer”.
- Namum kewibawaan yang sejati diperoleh guru berdasarkan kepribadiannya sendiri. Kepribadian itu harus dibentuk berkat pengalaman. Kepribadian diperolleh dengan mewujudkan norma-norma yang tinggi pada diri guru seperti rasa tanggungjawab, yang nyata dalam ketaatan pada waktu, persiapan yang cermat, kerajinan memeriksa pekerjaan murid, kesediaan membimbing dan membantu murid, kesabaran, ketekunan, kejujuran, dan sebagainya.
Kewibawaan sejati tidak diperoleh dengan penyalahgunaan kekuasaan
dengan ancaman akan memberikan angka rendah bila guru merasa ia kurang
dihormati. Sekalipun kedudukan sebagai guru telah memberikan kewibawaan formal,
namun kewibawaan itu harus lagi didukung oleh kepribadian guru.
Dalam situasi informal guru dapat mengendorkan hubungan formal dan
jarak social, misalnya sewaktu reaksi berolah raga, berpiknik atau kegiatan
lainnya. Murid-murid menyukai guru yang pada waktu-waktu demikian dapat bergaul
dengan lebih akrab dengan mereka, sebagai manusia kepada menusia lainnya, dapat
tertawa dan bermain lepas dari kedok formal. Jadi guru hendaknya dapat
menyesuaikan peranannya menurut situasi social yang dihadapinya. Akan tetapi
bergaul dengan murid secara akrab sebagai sahabat dalam situasi belajar dalam
kelas akan menimbulkan kesulitan disiplin bagi murid itu sendiri. Dalam
masyarakat kita yang sedidkit banyak masih bercorak otoriter-partikhel mungkin
sikap demokratis masih belum dapat dijalankan sepenuhnya.
Walaupun guru bertindak otoriter dengan menggunakan kewibawaannya,
namun ia tidak akan dicap sebagai kejam. Guru dapat bertindak tegas bahkan keras namun
dapat menjaga jangan sampai menyinggung perasaan dan harga diri murid. Ini
mungkin selama ia mengecam kesalahan yang dibuat murid agar diperbaiki tanpa menyentuh pribadi anak itu sendiri.
Kebanyakan murud-murid akan tetap menyukainya dan memandangnya sebagai guru
yang baik asal ia selalu berusaha memahami murid dan bersedia untuk
membantunya.
Pada satu pihak guru harus bersikap otoriter, dapat mengontrol
kelakuan murid, dapat menjalankan kekuasaannya untuk menciptakan suasana
disiplin demi tercapainya hasil belajar yang baik dan untuk itu ia menjaga
adanya jarak social dengan murid. Di
lain pihak ia harus dapat menunjukan sikap bersahabat dan dapat bergaul dengan
murid dalam suasana yang akrab. Guru yang berpengalaman dapatmenjalankan
peranannya menurut situasi social yang dihadapinya. Kegagaln dalam hal ini akan
merusak kedudukannya dalam pandangan murid, kepala sekolah, rekan-rekan guru
maupun orang tua murid.
No comments:
Post a Comment