Pendidikan Dalam Sekilas
Makna
Istilah pendidikan, secara etimologis --menurut bahasa--
merupakan padanan kata dalam bahasa Indonesia dari istilah education
dalam bahasa inggris atau educare dalam
bahasa latin yang artinya “mengantar keluar”, dalam istilah bahasa Arab
terdapat dua versi dominan yakni sebagian mengatakan Tarbiyah dan yang
lainnya lebih suka menyebut ta’dib agar didalamnya mengandung arti adab,
keadilan dan ketidak bingungan.
Dalam karyanya yang berjudul Philosophy of
education, Ruper C Lodge, mengungkapkan bahwa pendidikan itu adalah kehidupan,
dan hidup adalah pendidikan. Ia mendifinisikan”.. The word education is
used, sometimes in a wider, sometimes is narrower sense. In the wider sense,
all experience is said to be educative …… life is education and education
is life”.
Apapun sebutannya
dan istilahnya, esensi pendidikan adalah suatu epistimologi (istilah) mendasar
yang berimplikasi luas dan lebar, yang merupakan proses aktif yang
melibatkan seluruh ekponen inhern (perangkat bawaan) manusia berpadu
dengan segenap dimensinya --multi
dimensional-- yang diatasnya menjadi tempat dibangunnya
suatu gerak (activity) baik jasmani atau rohani yang tidak
lagi kosong nilai. Nilai baik dan buruk, benar dan salah atau pantas dan tidak
pantas akan memancar dari aktifitas yang dilahirkan dari proses pendidikan
terseabut. Manusia sebagai bagian dari alam, perbuatannya, aktifitasnya,
keputusannya secara niscaya akan berimplikasi luas pada alam sekitarnya. Gerak
manusia akan membawa dampak terhadap alamnya, komunitasnya dan bahkan pada
dirinya sendiri.
Dalam pendidikan Islam, gerak (motoric) yang lahir dari
akumulasi proses yang mendasar tersebut menurut Ahmad Marimba, diharapkan
mencerminkan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang
utama, melalui proses (a) pembiasaan (b) pembentukan pengertian, sikap dan
minat (c) Pembentukan kerohanian yang luhur.
Pendidikan dan Generasi
Islami
Menyoal generasi muda tidak dapat dipisahkan dari
persoalan potensi besar yang terpendam dibalik fisik mereka yang
relatif difahami lebih kuat dan perkasa. Potensi tersebut tidak seperti yang
dimiliki oleh mahluk lain, yang dapat dengan sendirinya terbentuk dan
berkembang secara kudrati (natural behaviour) –sunnatullah. Mahluk
lain akan menemukan bentuk karakternya secara mandiri dan bersifat automaticaly
begitu ia terlahir – meskipun beberapa kasus binatang tergolong Animal
educable -- bahkan beberapa binatang lain memperoleh karakter dari jenis kebinatangannya
bersamaan dengan kelahirannya. Sedangkan manusia, tidak dapat menemukan
kemanusiaannya secara niscaya, man’s natural powers bukan hanya butuh
proses yang panjang melainkan juga sekaligus harus benar dan terarahkan. Ini
menunjukkan bahwa manusia untuk menjadi manusia perlu jedah tertentu untuk
dididik -- homo educandum = mahluk yang harus dididik -- secara continum
(berkesinambungan) terarah dan secara materi harus terkandung suatu nilai
kebenaran. Meskipun kenyataannya pada setiap proses yang sama tersebut dengan
individu yang berbeda tidak selalu berakhir dengan hasil yang sama. Hal ini
menunjukkan kompleksitas dalam proses pembentukan kemanusiaan pada seorang
manusia.
Menurut Dra. Zuhairini, dalam bukunya Filsafat
Pendidikan Islam, Pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi
semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
(melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya
kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi
fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam kontek ini, generasi
muda sebagai manusia selalu berhasrat pada pendidikan, karena memang secara
umum tanpa mempersoalkan hirarkinya bahwa kebutuhan dasar manusia adalah (a)
Kebutuhan biologis, (b) Kebutuhan psikis, (c) kebutuhan social, (d) Kebutuhan
agama (spiritual) dan (e) Kebutuhan paedagogis (intelektual).
Jadi tidak dapat ditawar lagi, bahwa pendidikan memiliki
relevansi dan implikasi yang luar biasa dalam wacana pembentukan generasi muda.
Oleh karena itu dunia pendidikan Islam harus concern terhadap
persoalan generasi muda, sebab pendidikan merupakan proses yang representatif
terhadap pembentukan generasi yang Islami, yaitu sebuah generasi yang cinta
kepada Allah dan Allah mencintai mereka, lemah lembut terhadap orang yang
mu’min, bersikap keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, berjihat di jalan
Allah, tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. (QS. Al maidah ayat
54).
Unsur Persoalan Makro
Pendidikan sebagai sebuah sistem, sangat tergantung pada
harmonitas antara usaha (kegiatan), pendidik, terdidik, tujuan, dan alat atau
sarana pendidikan. Lima
unsur dalam proses pendidikan tersebut harus terbentuk dalam sebuah integritas
yang sebangun. Sebagai sistem, tidak ada yang tidak penting atau paling
penting, bagaimanapun kecilnya ketidak seimbangan pada salah satu unsur
tersebut, akan berakibat tidak tercapainya cita-cita sebuah proses. Lain dari
pada itu, sebetulnya cukup banyak sub-ordinasi yang mempengaruhi proses pendidikan,
namun kita akan coba berangkat dari persoalan-persoalan makro pendidikan.
Pertama, usaha atau kegiatan pendidikan harus
bersifat bimbingan, pertolongan, pembinaan yang dilakukan secara sadar baik
oleh pendidik dan atau terdidik. Dalam teori progressivisme kegiatan
pendidikan harus bersifat fleksibel atau The liberal road to culture,
tidak kaku, toleran, open-minded, corious (ada rasa ingin tahu yang
besar dari terdidik).
Dr Jalaluddin dalam bukunya “filsafat pendidikan
Islam, konsep dan perkembangan”, mengatakan bahwa secara normatif kegiatan
pendidikan islam bertujuan menolong anak didik mengembangkan kemampuan
individunya, membiasakan anak didik membentuk sikap diri, membantu anak didik
bertindak efektif dan efesien, membimbing aktifitas anak didik
Kedua, Pendidik sebagai sumber informasi harus
mampu menguasai metode sekaligus materi pengajaran. Pendidikan tinggi yang
berkompeten dengan dunia pendidikan – fakultas keguruan misalnya -- senyatannya
lebih banyak menghasilkan pelaku pendidikan yang menguasai metode mengajar dari
pada materi yang diajarkan. Sebaliknya fak-fak yang non keguruan menguasai
materi namun lemah dalam metode mengajar. Kedua kemampuan tersebuat (menguasai
metode dan meteri) harus menjadi kemampuan yang akumulatif dari seorang pendidik.
Ketiga, Terdidik tidak hanya sebagai obyek dan
terget yang pasif, tetapi harus menjadi subyek yang aktif, memiliki motivasi
yang sama untuk mewujudkan sebuah proses pendidikan. Keberhasilan sistem harus
menjadi tanggung jawab semua komponen pendidikan, tidak hanya guru yang
bertugas mendisiplinkan murid, tetapi murid harus punya rasa butuh terhadap
prilaku disiplin. Bukan hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab terhadap
keaktifan guru, tetapi guru harus punya pertalian terhadap apa yang terbaik bagi
anak didik dan sekolah.
Keempat, Pendidikan harus
mempunyai dasar dan Tujuan yan jelas. Menurut faham
esensialisme, bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang jelas dan
tahan lama sehingga memberi kestabilan dan arah yang jelas pula. Bahkan aliran Perennialisme
(perennial=Abadi atau kekal) memandang sangat penting berpegang pada
nilai-nilai norma-norma yang bersifat kekal abadi, dalam oxford
advanced learner’s dictionary of current English tentang norma yang abadi
ditulis”Countinuing throughout the whole year” atau “lasting for a
very long time “. Keabadian inilah yang menjadi bidikan dari tujuan
pendidikan. Kita perlu melakukan restore to the original form atau merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudyaan yang samasekali
baru. Menurut Muhammad Iqbal, Manusia harus memiliki prinsip-prinsip abadi
untuk mengatur seluruh kehidupannya, karena prinsip yang abadi memberi kita
pijakan yang kokoh di dunia yang senantiasa berubah. Orientasi pendidikan kita
bukan sekedar selembar ijazah, NEM yang tinggi, lapangan pekerjaan, dan
peningkatan statsus atau aktualisasi diri. Tetapi lebih jauh dari itu, yakni
menggapai nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan kepribadian berdasarkan nilai
keabadian yaitu Qur-an dan Hadits.
Kelima, Alat/sarana yang cukup untuk
melaksanakan pembelajaran. Alat yang memadai tidak diukur dari mahal dan
canggihnya, tetapi lebih pada fungsionalisme alat dan sarana sesuai dengan
kebutuhan sehingga lebih efesien dalam menunjang proses pendidikan. Namun
demikian, dunia pendidikan tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan sarana
pendidikan yang serba mutakhir, paling tidak harus mampu memanfaatkan segala
sarana yang ada secara optimal. Bahkan karena hasil tehnologi itu bersifat value
free (bebas nilai) hampir seluruh perkembangan tehnologi dapat dijadikan
sarana pendidikan baik yang bernuasa merusak maupun membangun.
Akhirnya
Akhirnya, dunia pendidikan Islam harus mampu menyusun
skala preferensi atau prioritas dan mengkonfirmasikannya dengan ruh Islam. Dalam kontek ini ada dua point yang
penting yaitu ijtihat dan jihad. Pendidikan Islam harus menjadi kunci pembuka
pintu ijtihat bila telah tertutup. Untuk membuka pintu ini memerlukan parameter
waktu dan ruang, bukan taqlid (peniruan) dan taqlif. Tetapi menguasai dengan
sempurna warisan Islam dan disiplin ilmu modern. Jihad yang merupakan istilah
penting dalam idiologi islam harus difahami secara komprehensif dan membentuk
opini yang benar terhadap pengetahuan dunia luar tentang konsep jihad. Jihad
harus difahamkan sebagai proses yang berkesinambungan yang berlaku terhadap
semua usaha orang-orang islam untuk menegakkan dan memperkokoh kedaulatan
(sovereightnity) Allah dalam fikiran dan jiwa manusia, termasuk pendidikan,
dengan malaksanakan kewajiban Islam sebagaimana termaktub dalam al Qur-an.
Referensi:
No comments:
Post a Comment