Bulan Oktober telah ditetapkan pemerintah sebagai Bulan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Namun gaung even tahunan ini tidak dirasakan oleh
sebagian besar masyarakat. Ironisnya lagi, kecuali Pusat Bahasa,
institusi pendidikan pun tidak banyak yang turut serta berpartisipasi
mensosialisasikan “hari jadi” bahasa Indonesia ini melalui berbagai
kegiatan kebahasaan atau apresiasi sastra yang diperuntukkan bagi
pelajar atau mahasiswa.
Kritik pedas Taufik Ismail mengenai buta sastra di negeri ini memang
ironi memalukan. Pelajaran bahasa Indonesia diperlakukan sebatas
syarat mendapatkan nilai dan lulus ujian. Tanpa ada provokasi untuk
menciptakan gairah bahasa, gairah nalar, dan gairah imajinasi dalam
proses pengajaran. Sastra Indonesia pun layu bahkan sekarat dalam dunia
pendidikan kita.
Jika alasan keterbatasan waktu dan dana menjadi penghalang untuk ikut
serta memeriahkan bulan bahasa, maka para pendidik tidak perlu
memaksakan diri untuk menyelenggarakan lomba menulis cerpen atau
musikalisasi puisi di sekolah. Tapi keterbatasan ini pun hendaknya
tidak menciutkan niat para pendidik memprovokasi pelajar di sekolah
untuk cinta bahasa dan “melek” sastra.
Usaha minimal yang dapat kita lakukan saat belajar bahasa Indonesia
di dalam kelas adalah membangkitkan kembali memori kolektif para pelajar
tentang peristiwa 28 Oktober 1928. Sempatkan waktu barang setengah jam
saja untuk menceritakan semangat nasionalisme pemuda kala itu yang
berani berikrar menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ceritakan juga tentang peristiwa yang jauh terjadi sebelum Sumpah
Pemuda dikumandangkan, yakni saat Jahja Datoek Kajo dan Agus Salim
dengan lantang berani berpidato dalam Volksraad (saat ini DPR) dengan
menggunakan bahasa Indonesia (“Pidato Otokritik di Volksraad
1927-1939”, Azizah Entek dkk). Peraturan pemerintah Hindia Belanda
yang mengharuskan berbahasa Belanda saat berpidato di meja Volksraad,
tidak dihiraukan oleh pemuda-pemuda pemberani itu. Kesadaran tentang
bahasa persatuan pula yang menginspirasi mereka membangun Rumah Bahasa,
sebuah rumah yang digunakan untuk merangkum segala bahasa di kepulauan
nusantara.
Bulan bahasa tidak semata-mata dimaknai dengan berbagai lomba dan
sayembara menulis. Usaha membangkitkan kembali memori kolektif sejarah
bahasa Indonesia pun sangat berguna bagi masyarakat bangsa ini untuk
sembuh dari amnesia berkepanjangan. Kesalahan sistemik dunia pendidikan
yang semakin meminggirkan sejarah bahasa Indonesia harus segera
dihentikan.
Jadikan momen bulan bahasa ini untuk memprovokasi pelajar dan
masyarakat “melek” sejarah bahasa dan sastra Indonesia. Tentu saja ini
bukan sebuah proses provokasi yang mudah ditengah kondisi masyarakat
kita yang terpuruk secara ekonomi dan sosial. Tapi bukankah, selalu ada
awal untuk sebuah perjuangan namun tak pernah ada akhir?
No comments:
Post a Comment